10 July 2018

Surga Yang Tak Dirindukan


"Sik, lagi mampir agen Simpang Depok...", selarik balasan dari teks 'centang biru' yg ku layangkan pada seorang teman pagi itu. Sontak, Aku tak bisa terdiam dengan posisi awalku, rasa kaget atas dasar heran semu tak percaya menggugah syaraf ini dari keadaan 'ngglethek'.
Puasa pertama masih menyisakan jam panjang untuk sampai pada jadwal ngabuburit. Artinya, masih harus melewatkan beberapa minggu lagi untuk mencapai tanggal musim mudik. Pun pricelist sebagian PO sudah ada yg turun, namun berburu tiket dari sekarang tidakkah terlalu dini?

Sayang, ekspetasiku malah melenceng, sesampainya dari agen, temanku harus rela dengan sisa satu kursi di tanggal 10 besok, sedang rencana untuk 'mudik gasik' pada tanggal 8-9 harus terkubur imbas kursi di data list agen sudah terlingkari lebih awal.
Lagi-lagi Aku terlena akibat kesombonganku, dua tahun terakhir Aku hanya pasrah diri pada bis rombongan yg membawaku menuju kampung halaman, harusnya sadar diriku mengilhami bahwasanya sebanyak dua kali arus mudik itu Aku melewatkan perkembangan pasar tiket bis di hari lebaran.

Pun begitu, apa boleh buat, Aku bukanlah seorang yg tercatat sebagai karyawan di sektor formal, yg dengan gampangnya menentukan tanggal kepulangan mereka setelah kalender cuti bersama perusahaannya diturunkan. Sedangkan Aku yg hanya menghambakan jalan rizki pada mandor, yg belum ada titik terang kapan proyek akan kelar, jelas bukan hal mudah bagiku mendaftarkan diri beserta Down Payment pada sebuah nama bis. Bisa saja Aku pulang lebih awal, atau malah paling mepet hari H lebaran.

Ah, rasanya Aku dihakimi oleh diri sendiri. Semua itu bagai sebuah pembelaan semata, bukan perkara itu yg membuatku mengurungkan niat mencalonkan diri sebagai penumpanng. Justru kencondonganku menyaring satu nama yg bakal mejadi singgasana nanti belum memasuki babak final.
Tercatat, Putera Mulya P02 adalah bis yg membawaku ke Bekasi bulan Agustus tahun lalu, dan sejak itu hingga kini Aku tak pernah lagi sekadar mencicipi citra rasa bis malam. Rosin, STJ, Pumas 2nd Aniversary Edition, adalah bentuk nyata progresif bis line Purwantoro yg hanya mampu Aku nikmati secara maya. Kalau sudah didalangi sejarah seperti itu, justru haram hukumnya jikalau Aku gegabah dalam mengejar coretan tanggal dalam tiket sementara label di atasnya terabaikan.

Telebih lampu hijau dari istri untukku pulang terlebih dulu sudah menyala terang. Serasa terkena sabetan pecut untuk semakin menguatkan asa ku dalam menentukan pilihanku kali ini. Setidaknya Aku lebih leluasa karena tidak terikat jadwal cuti serta jam pulang kerja istri yg sering kali menyiutkan selera Kami dalam memilih bis.

Bukan boking untukku yg menjadi prioritas, justru sewaktu Aku meninggalkan daerah Cileungsi nanti, mutlak sudah ada tiket atas nama istriku sebagai bekal saat menyusulku.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain agen lain bokednya. Berbeda dengan agen Simpang Depok, suara lantang Ibu Ayu masih mengisyaratkan tersedianya kursi kosong untuk tanggal 12 bulan depan, tanpa pertimbangan lagi Aku mendaftarkan nama istriku sebagai satu penumpang yg akan dibawa Scania K410IB Double Decker berkelir kuning keemasan. Memang hanya bis premium itu yg selaras dengan bel pulang kantor istriku, daripada harus menunggu keesokan harinya untuk bisa ikut bis Wonogirian yg umumnya berangkat di jam-jam siang.

Dua hari berselang, ku beranikan menunjuk angka 10 sebagai tanggal yg akan sejukkan ku dari hausnya 'numpak bis' selama 9 bulan terakhir. Entah, apakah proyek akan kelar lebih awal sehingga Aku harus menantikan tanggal itu dengan menyandang status pengangguran, ataukah justru Aku dicap sebagai pecundang lantaran meninggalkan pekerjaan yg belum rampung, apapun resikonya bakal ku indahkan.

Mandiri Online begitu membantu, bukan tempat yg jadi penghalang, namun waktu antara Aku dan jam buka agen sukar sinkron. Berkat aplikasi dari bank BUMN itu Aku sukses mengamankan seat 4C dengan imbalan awal 200K. Baru 3 hari sesudahnya, PT. Graha Segara Behandle selaku owner project ku berbaik hati berbagi waktu, beranjak dari tengah hari Perempatan Pasar Rebo bisa jadi tumpuan kakiku, menutup sisa tunggakan untukku bisa dilagalitas penuh atas kuasaku pada seat 4C.

Ya, final nya, PO yg baru seumur jagung membuka line Purwantoro ini yg ku nobatkan sebagai winner dalam seleksi kali ini.

****

Mudik, di balik kebahagian bertemu istri hebat yg mampu merawat anak-anaknya di kampung, bertemu orang tua kuat yg bisa menahan rasa khawatir akan anak-anaknya yg berada di perantauan, bertemu sahabat dan sanak saudara yg tak bisa setiap kali bertatap muka langsung. Demi sebuah terpaan cinta dalam senandung atas rindu yg telah menggunung, rupanya masih saja tersimpan misteri yg menghantui.
Adalah perihal macet, yg tak pernah renggang kaitannya dengan fenomena musiman umat muslim itu.

Antisipasi menghindari buah kemacetan, yg bila diuraikan bisa bercabang-cabang bentuknya, Aku ragukan janji agen yg mewajibkan Aku chek-in jam 11.00. Maju atau mundurnya jam take off bisa saja terjadi di moment seperti ini, dan alangkah bahagianya Aku ketika agen masih konsisten pada janji awal yg tertulis di tiket. Aku pun hanya telat 1 menit tiba di lapak Pak Supri selaku agen resmi Putera Mulya dan Sudiro Tungga Jaya Pasar Rebo.

Seorang Bapak paruh baya sudah menyambutku di agen, beliau adalah salah satu dari banyaknya korban ludesnya tiket bis reguler tujuan Wonogiri, hingga hanya bisa merasakan empuknya kursi bis pariwisata yg 'biasa' di sediakan pihak agen di musim ramai seperti ini.

"Aku asline Malang Jawa Timur Mas, ning rabi oleh wong Baturetno. Aku yen lebaran ora mulih nyang Malang, rono malah yen Natal, keluargaku kabeh Kristen Mas, mung Aku sing Islam".

Syukurlah Pak, bahagiaku menyertai Sampeyan beserta keluarga. Di tengah kemarakan isu perpecahan yg acap kali dilatari oleh SARA, Anda dan keluarga yg berbeda keyakinan tetap memegang teguh indahnya kerukunan dalam sebuah keluarga.

HDD berkelir hitam putih ber-tag Ka'bai sekadar numpang lewat saja, pun koleganya 'I Nerazzurri' tak jua peduli akan keberadaanku di sini.

"Asline Ka'bai iki lho sing gowo penumpangku ki, malah dirubah neh...", bentuk kekesalan salah satu agen di Pasar Rebo yg juga merangkap agen STJ. Seraya menunjuk bis jurusan Kotabumi-Purwantoro itu, beliau mengungkapkannya pada Pak Supri.

Sebelumnya, petugas agen yg memakai kostum Agra Mas itu mengeluhkan tentang penumpangnya yg marah-marah lantaran awalnya dijanjikan berangkat jam 12 siang namun mundur jadi jam 5 sore. Siapakah penumpang itu? Ya, bagian dari penghuni kabin STJ jurusan Purwantoro. Hmmm, ini artinya??? Ah sudahlah...

Penggede tanah Wilis unjuk bukti jikalau harapan darinya tak pernah palsu, jaya-lah para pemegang 'tiket mahal' nya, tak kurang dari 13 bis susul menyusul menggulirkan rodanya ke arah matahari terbit dalam jangka waktu Dhuzur sampai Azar. Jangankan dibuat jenuh akan squad 'puter walik', kata 'telat' pun seakan tak pernah diindahkan dalam manage-nya. Memang, tuslah harga kelas Patas yg sebanding dengan kelas Executive PO lain bukan tanpa alasan.

Berikutnya, PO pemegang rekor armada tronton terbanyak, mengekor rival sengitnya di jalur Blitar dengan 7 bis dengan rentang waktu satu jam lebih lama.

Dalam jangka waktu yg sama, Agra Mas berhasil mencatatkan urutan di belakang Gunung Harta dengan 6 bis yg salah satunya adalah Double Decker berkode BM089.

7 bis berstiker Shalawat Nabi membuat Haryanto menempati posisi berikutnya, hanya saja waktu yg dibutuhkan 2 jam lebih panjang.

Serta 5 Laju Prima dan 2 Rosalia Indah adalah pemandangan yg menyakitkan bagiku saat ini.

Penumpang dengan tiket Putera Mulya lebih dulu habis setelah S01, M02, dan DD01 bergantian menyambangi agen.

Hingga 19 menit menjelang buka puasa waktu setempat, penumpang bis yg konon 'banter' ini masih terlantar tanpa kejelasan. Kursi persediaan Pak Supri tak cukup menampung para pemudik apes hari itu, hingga pelataran warung di kanan kiri serta trotoar jalan turut merasakan muntahannya.

"Ini Mas, kalau mau komplain soal STJ, langsung telepon ke pengurusnya aja. Aku dah pusing, kalau tau yg nelpon nomerku malah gak diangkat ini".

Digit angka tertulis pada sebuah amplop putih dilekatkan ke dinding semi permanennya oleh Pak Supri.
Seorang Bapak yg hendak ke Magetan bersama istri dan satu anaknya mencoba mencari kejelasan lewat nomor pengurus itu.
Suara dalam speaker tertangkap jelas olehku, namun tanpa disertai kejelasan kapan bis akan tiba di agen, jadi intinya sia-sia lah debit saldo dari pulsa Bapak itu.

"Sesuk yahene buko neng Kedung Roso", ekspetasi yg pernah ku nadakan pada istriku sewaktu berbuka puasa kemarin. Apes, realitanya indera ini masih menangkap kumandang adzan Maghrib di wilayah DKI.
Bukan bab 'putar kepala' biang amarahku, namun bukankah ini adalah sesuatu yg bisa dihindari sejak awal. Andaisaja sebelum ke agen Aku dikabari tentang delay karet ini, niscaya ini justru menjadi sebuah kebahagian, keurungan berangkat ke agen tentu memberi satu kesempatan untukku bisa mencicipi sekadar pembatal puasa bersama istri. Kali ini, Kami masih di dalam lingkup wilayah yg tidak terpaut jauh, namun tidak bisa merasakan kehangatan berbuka bersama, lebih lagi kausanya hanyalah sesuatu yg paling dibenci orang se-dunia, menunggu. Hmmm, sungguh Surga yg tak pernah ku rindukan...

Tuhan memang adil, ditunjukkanlah sebuah keberuntungan bagi mereka yg awalnya kurang beruntung dalam mencari ketersediaan tiket bis malam regular, kali ini mereka justru take-off terlebih dulu dengan sebuah Super High Deck berkelir Manssion.

Senandung ayat-ayat Al-Qur'an sayup mengalun merdu, pertanda usai sudah umat muslim dalam menunaikan sunah tarawih malam ini. Satu persatu tulisan 'TDK MELAYANI PENUMPANG' terlihat di papan runing text armada Cityline, artinya tiba saatnya armada-armada pengusung slogan 'kini lebih baik' itu menjalani pergantian shif dengan kolegannya, AMARI.
Sementara, tak jua satupun stiker 'Eleng Kuat Slamet' menampakkan warna-warninya.

"Piye Pak, enek kabar neh urung?", olahan kata-kata ku tertuju pada Pak Supri.

"Magista wis mangkat soko Pondok Pinang arah rene iki..."

"Magista nyang Wonogiri opo Magetan?"

"Wonogiri lo, bismu. Magetan'e malah urung jelas iki montor'e teko ngendi..."

Akhirnya, setelah melewatkan waktu yg lamanya cukup untuk memangkas jarak Jakarta-Wonogiri di kondisi normal, tersurat kabar atas apa yg ku tunggu rino nganti wengi ini.

Deretan kursi made in Malang yg terbalut selimut ala bed cover warna selaras dengan siraman cat bisnya ini masih banyak yg tidak bertuan ketika kakiku menginjakkan papan Haidek-nya, hanya baris tempat dudukku ke depan saja yg terisi, plus lima penumpang lain yg naik bersamaku menuju kursi posisi buritan.

GT Pasar Rebo sebagai garis start untuk driver membejek pedal gasnya di JORR, sayang kaki kanannya harus rajin memadu padankan dua pedal lantaran sedikit kemacetan mulai menghadang menjelang simpang sususn Cikunir. Seandainya keberangkatan ini on time, google map masih menggambar rute ini dengan warna hijau.

Jejeran lapak yg ketika siang sampai sore seperti pasar tumpah di jalan HM Joyo Martono kini sudah menampakkan kesunyiannya, rolling dor, folding gate, dan berbagai jenis pintu utama lainnya sudah terlihat tertutup rapat. Hanya agen Ibu Ayu yg masih terbuka lantaran DD03 masih nampang di depannya.
Penunggu setia yg naik dari agen Depsos ini pun belum juga memenuhi kuota separo saja dari total jumlah seat.

Kembali berkutat dengan kepadatan di tol Jakarta-Cikampek. Penghentian pekerjaan di bawah tangan Waskita Karya sepertinya tidak mulus sebagai solusi menghindarkan terjadinya keruwetan lalu lintas di sini, justru membludaknya mobil kecil lah yg menambah sempitnya jalan sepanjang jalur mudik.
Tidak perlu meng-kambing hitamkan pemerintah, lebih-lebih Presiden, karena semua ini jelas saja di luar kuasa wajib orang nomor satu di negeri ini.
Berbagai upaya telah dilakukan dinas terkait, bahkan pihak swasta seperti kontraktor jalan tol pun urun dalam hal ini, namun ketika volume kendaraan melebihi permukaan aspal yg ada, realitanya tetap saja bagaikan ember yg diisi air dari drum, tumpah ruah.
Yen pengen ora macet, mudik wae yen ora ngepasi lebaran, penak to?

Budiman 3E154 memilih antrian yg kurang pas di GT Cikarang Utama, begitupun Scorpion King berlabel Dieng Indah, sehingga e-tol card yg dipegang driverku bisa lebih dulu ditempelkannya.
Prima Jasa yg membawa pemudik tujuan Tasik menjadi panutan HDD berkelir hijau ini dalam melibas bahu jalan. Kanaya Trans dilewati keduanya bersama puluhan mobil pribadi di Cikarang Pusat.
Adalah KM 39, Rest Area yg dalam kondisi ditutup sementara ini masih saja menjadikan antrian panjang di dua lajur paling kiri, sehingga turut menghambat laju lajur lainnya.

Titik terakhir sebagai tambahan beban kabin adalah Karawang, di agen inilah 32 kursi yg di usung kabin model HD bervarian bando ini dinyatakan tidak berstatus full.
Akupun menutup kemubadziran kursi 4AB, daripada harus berjubel dengan penunggu kursi 4D, namun Aku akan tetap bertahan andaikan yg dipangku seat 4D adalah Sweet 20 berjenis Hawa.

Jam di siang hari yg tidak sedikitpun memberiku kesempatan untuk memejamkan mata, berimbas rasa ngantuk pada malam harinya. Hingga Jalur Pantura menjelang RM Kedung Roso membangunkan mimpiku.

Di HP ku terlihat waktu menunjukkan jam 03.30. Hmmm, sesungguhnya menyantap menu khas Brebes di kala buka adalah surga yg ku inginkan kemarin, sayangnya rumah makan bis ini malah menyuguhkan menu ala wartegnya saat waktu sahur tiba.

Dua kolega pariwisata yg bertugas sebagai angkutan pemadu mudik 'Tsalju' dan 'New Comando' menempati round paling muka, di seberangnya berbaris Rosin eks karavan,
Setia Negara SR2, Sumba Putra, Blue Star, dan Putra Remaja Evolander.
Sedang area paling ujung diisi bala bantuan macam Grand Panorama, Max 77 Trans, dan Shelota Wisata.


 Meskipun dalam suasana mudik, antrian swa-makan tidaklah mengular parah. Ya, lantaran sudah bukan jamnya, terlebih ini bukanlah saat yg paling dinanti mayoritas muslim, andaisaja ini terjadi 10 jam sebelumnya, tentu pemandangannya akan lain.

Tiga pemuda dengan pakaian berlumuran sisa-sisa pelumas mesin nampak stand by di sini, satu di antaranya memakai wearpack bertuliskan Agam Tungga Jaya di bagian punggungnya. Ternyata di samping molornya jam keberangkatan yg sesungguhnya membuat kecewa, rupanya ada usaha demi lancarnya penumpang bertemu keluarga.
Mereka patut dipahlawankan beserta kru dan jajaran lainnya yg rela memrioritaskan apa yg menjadi tanggung jawabnya, padahal di balik itu tentu saja keluarga sangat menginginkan kehadirannya berbaur dalam kehangatan suasana hari nan fitri esok.

Selimut model bed cover bermotif bunga-bunga ku indahkan bersama pangkuan seat Alldila. Hembusan suhu lewat louver serta rencana bisa saur dengan orang tua dan sholat subuh berjamaah dengan wong ndeso yg akhirnya tak kesampaian menambah angler tidurku sepanjang jalan Pantura ruas Brebes-Kendal.

The Special One, baik di PO itu sendiri, di jajaran bis dua lantai, bahkan di dunia bis tanah air, Conqueror, menjadi display paling gagah di pelataran rumah makan yg berhimpitan dengan SPBU milik pembawa ikon Menara Kudus.
Berbaur dengan body rancangan karoseri  kondang, Jetbus 2 SHD yg diusung ATJ Tsalju dan New Comando.
Tak ingin mengulur waktu ataukah tak ingin membuat batal para penumpangnya, Magista hanya menyejajarkan body pada dua seniornya itu tak lebih dari kepentingan kontrlol. Sesudahnya langsung kembali capcus meninggalkan dua Kramat Djati dan dua Rosalia Indah yg turut menjadi selir-selir Double Deck milik Nusantara.

Ritual wajib, 'nyolar', hampir saja gagal gegara sopir tak kunjung menurunkan jarum speedometernya saat hendak mencapai SPBU langgananya. Meski sedikit memaksa, untungnya jarak masih memungkinkan untuk sopir segera menginjak rem dalam-dalam.
Selimut yg masih rapi membalut sandaran kursi sampai jatuh berhamburan, beberapa alas kaki penumpang ada yg berlarian maju ke depan akibat mendadaknya pengereman. Ndilalah, tidak ada kendaraan yg menempel di belakang buritannya, sehingga kedrastisan turunnya kecepatan hanya dirasakan orang yg berada di bis itu sendiri.

Bis malam dadakan 'Arimbi' terlihat mulai mengurangi beban kabinnya beberapa kilo setelah SPBU daerah Kendal ini. Dari papan trayeknya tertulis tujuan akhirnya adalah markas besar PO dengan livery abadi, Harapan Jaya.
Ini sekaligus menjadi pandangan terakhirku sebelum Aku menyudahi kesadaranku hingga kembali melihat dunia di daerah Salatiga.

Kemacetan di daerah Ampel membuat Royal Safari dan Eka melihat aksi ngeblong yg justru diiming-imingi oleh bis malam ini. Makin ke depan arus makin sedikit pegeserannya, dari informasi sopir bis yg mengarah ke Barat, laka lah yg membidani kemacetan panjang ini.
Memang sebuah SR-1 dengan kondisi muka remuk sempat crash dengan bis ku, mungkin Dia lah bagian dari korbannya.

Usai kembali melewatkan mimpi, Ka'bai dan Evolution menyambut di RM Pak Eko Ngadirojo. Dua spesies dari Adiputro itu terlihat tengah melakukan operan penumpang, hmmm dibalik riuhnya agenda mudik, nampaknya masih ada pundi-pundi untuk sekadar mengisi kehampaan kabin bis yg hendak ngosong ke Barat.




Dan akhirnya 14.00 kakiku berhasil move on dari deck yg ku diami selama 16 jam. Selamat siang menjelang sore Purwantoro...

Ekspetasi menunggu sahur pun berubah menjadi menunggu buka, bukankah justru saat-saat menunggu buka itu adalah saat yg paling indah bagi Kita umat muslim yg menunaikan puasa wajib. So, justru inikah saat yg sesungguhnya ku rindukan?
Memang, saat inilah saat yg tak luput Aku menantikan, namun meskipun Aku tiba 10 jam lebih awal, tetap saja Aku akan menemui saat menjelang berbuka ini. Jadi maaf, bukan ini surga yg ku rindukan...