"Sik, lagi mampir agen Simpang Depok...", selarik balasan dari teks 'centang biru' yg ku layangkan pada seorang teman pagi itu. Sontak, Aku tak bisa terdiam dengan posisi awalku, rasa kaget atas dasar heran semu tak percaya menggugah syaraf ini dari keadaan 'ngglethek'.
Puasa
pertama masih menyisakan jam panjang untuk sampai pada jadwal ngabuburit.
Artinya, masih harus melewatkan beberapa minggu lagi untuk mencapai tanggal
musim mudik. Pun pricelist sebagian PO sudah ada yg turun, namun berburu tiket
dari sekarang tidakkah terlalu dini?
Sayang,
ekspetasiku malah melenceng, sesampainya dari agen, temanku harus rela dengan
sisa satu kursi di tanggal 10 besok, sedang rencana untuk 'mudik gasik' pada tanggal 8-9 harus terkubur imbas kursi di data list
agen sudah terlingkari lebih awal.
Lagi-lagi
Aku terlena akibat kesombonganku, dua tahun terakhir Aku hanya pasrah diri pada
bis rombongan yg membawaku menuju kampung halaman, harusnya sadar diriku
mengilhami bahwasanya sebanyak dua kali arus mudik itu Aku melewatkan
perkembangan pasar tiket bis di hari lebaran.
Pun begitu,
apa boleh buat, Aku bukanlah seorang yg tercatat sebagai karyawan di sektor
formal, yg dengan gampangnya menentukan tanggal kepulangan mereka setelah
kalender cuti bersama perusahaannya diturunkan. Sedangkan Aku yg hanya
menghambakan jalan rizki pada mandor, yg belum ada titik terang kapan proyek
akan kelar, jelas bukan hal mudah bagiku mendaftarkan diri beserta Down Payment
pada sebuah nama bis. Bisa saja Aku pulang lebih awal, atau malah paling mepet
hari H lebaran.
Ah, rasanya
Aku dihakimi oleh diri sendiri. Semua itu bagai sebuah pembelaan semata, bukan
perkara itu yg membuatku mengurungkan niat mencalonkan diri sebagai penumpanng.
Justru kencondonganku menyaring satu nama yg bakal mejadi singgasana nanti
belum memasuki babak final.
Tercatat,
Putera Mulya P02 adalah bis yg membawaku ke Bekasi bulan Agustus tahun lalu,
dan sejak itu hingga kini Aku tak pernah lagi sekadar mencicipi citra rasa bis
malam. Rosin, STJ, Pumas 2nd Aniversary Edition, adalah bentuk nyata
progresif bis line Purwantoro yg hanya mampu Aku nikmati secara maya. Kalau
sudah didalangi sejarah seperti itu, justru haram hukumnya jikalau Aku gegabah
dalam mengejar coretan tanggal dalam tiket sementara label di atasnya
terabaikan.
Telebih lampu hijau dari istri untukku pulang
terlebih dulu sudah menyala terang. Serasa terkena sabetan pecut untuk semakin
menguatkan asa ku dalam menentukan pilihanku kali ini. Setidaknya Aku lebih
leluasa karena tidak terikat jadwal cuti serta jam pulang kerja istri yg sering
kali menyiutkan selera Kami dalam memilih bis.
Bukan boking
untukku yg menjadi prioritas, justru sewaktu Aku meninggalkan daerah Cileungsi
nanti, mutlak sudah ada tiket atas nama istriku sebagai bekal saat menyusulku.
Lain ladang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain agen lain bokednya. Berbeda dengan
agen Simpang Depok, suara lantang Ibu Ayu masih mengisyaratkan tersedianya
kursi kosong untuk tanggal 12 bulan depan, tanpa pertimbangan lagi Aku
mendaftarkan nama istriku sebagai satu penumpang yg akan dibawa Scania K410IB Double Decker berkelir
kuning keemasan. Memang hanya bis premium itu yg selaras dengan bel pulang
kantor istriku, daripada harus menunggu keesokan harinya untuk bisa ikut bis Wonogirian yg umumnya berangkat di
jam-jam siang.
Dua hari
berselang, ku beranikan menunjuk angka 10 sebagai tanggal yg akan sejukkan ku
dari hausnya 'numpak bis' selama 9
bulan terakhir. Entah, apakah proyek akan kelar lebih awal sehingga Aku harus
menantikan tanggal itu dengan menyandang status pengangguran, ataukah justru
Aku dicap sebagai pecundang lantaran meninggalkan pekerjaan yg belum rampung,
apapun resikonya bakal ku indahkan.
Mandiri Online begitu membantu, bukan tempat yg jadi penghalang,
namun waktu antara Aku dan jam buka agen sukar sinkron. Berkat aplikasi dari
bank BUMN itu Aku sukses mengamankan seat 4C dengan imbalan awal 200K. Baru 3
hari sesudahnya, PT. Graha Segara Behandle selaku owner project ku berbaik hati
berbagi waktu, beranjak dari tengah hari Perempatan Pasar Rebo bisa jadi
tumpuan kakiku, menutup sisa tunggakan untukku bisa dilagalitas penuh atas
kuasaku pada seat 4C.
Ya, final
nya, PO yg baru seumur jagung membuka line Purwantoro ini yg ku nobatkan
sebagai winner dalam seleksi kali ini.
****
Mudik, di
balik kebahagian bertemu istri hebat yg mampu merawat anak-anaknya di kampung,
bertemu orang tua kuat yg bisa menahan rasa khawatir akan anak-anaknya yg
berada di perantauan, bertemu sahabat dan sanak saudara yg tak bisa setiap kali
bertatap muka langsung. Demi sebuah terpaan cinta dalam senandung atas rindu yg
telah menggunung, rupanya masih saja tersimpan misteri yg menghantui.
Adalah
perihal macet, yg tak pernah renggang kaitannya dengan fenomena musiman umat
muslim itu.
Antisipasi
menghindari buah kemacetan, yg bila diuraikan bisa bercabang-cabang bentuknya,
Aku ragukan janji agen yg mewajibkan Aku chek-in jam 11.00. Maju atau mundurnya
jam take off bisa saja terjadi di moment seperti ini, dan alangkah bahagianya
Aku ketika agen masih konsisten pada janji awal yg tertulis di tiket. Aku pun
hanya telat 1 menit tiba di lapak Pak
Supri selaku agen resmi Putera Mulya
dan Sudiro Tungga Jaya Pasar Rebo.
Seorang
Bapak paruh baya sudah menyambutku di agen, beliau adalah salah satu dari
banyaknya korban ludesnya tiket bis reguler tujuan Wonogiri, hingga hanya bisa
merasakan empuknya kursi bis pariwisata yg 'biasa'
di sediakan pihak agen di musim ramai seperti ini.
"Aku
asline Malang Jawa Timur Mas, ning rabi oleh wong Baturetno. Aku yen lebaran
ora mulih nyang Malang, rono malah yen Natal, keluargaku kabeh Kristen Mas,
mung Aku sing Islam".
Syukurlah
Pak, bahagiaku menyertai Sampeyan beserta keluarga. Di tengah kemarakan isu
perpecahan yg acap kali dilatari oleh SARA, Anda dan keluarga yg berbeda
keyakinan tetap memegang teguh indahnya kerukunan dalam sebuah keluarga.
HDD berkelir hitam putih ber-tag Ka'bai sekadar numpang lewat saja, pun
koleganya 'I Nerazzurri' tak jua peduli
akan keberadaanku di sini.
"Asline
Ka'bai iki lho sing gowo penumpangku ki, malah dirubah neh...", bentuk
kekesalan salah satu agen di Pasar Rebo yg juga merangkap agen STJ. Seraya
menunjuk bis jurusan Kotabumi-Purwantoro itu, beliau mengungkapkannya pada Pak
Supri.
Sebelumnya,
petugas agen yg memakai kostum Agra Mas
itu mengeluhkan tentang penumpangnya yg marah-marah lantaran awalnya dijanjikan
berangkat jam 12 siang namun mundur jadi jam 5 sore. Siapakah penumpang itu? Ya,
bagian dari penghuni kabin STJ jurusan Purwantoro. Hmmm, ini artinya??? Ah sudahlah...
Penggede tanah Wilis unjuk bukti jikalau harapan darinya tak pernah palsu, jaya-lah para pemegang 'tiket
mahal' nya, tak kurang dari 13 bis susul menyusul menggulirkan rodanya ke
arah matahari terbit dalam jangka waktu Dhuzur sampai Azar. Jangankan dibuat
jenuh akan squad 'puter walik', kata 'telat' pun seakan tak pernah diindahkan
dalam manage-nya. Memang, tuslah harga kelas Patas yg sebanding dengan kelas
Executive PO lain bukan tanpa alasan.
Berikutnya, PO pemegang rekor armada tronton terbanyak,
mengekor rival sengitnya di jalur Blitar
dengan 7 bis dengan rentang waktu satu jam lebih lama.
Dalam jangka
waktu yg sama, Agra Mas berhasil
mencatatkan urutan di belakang Gunung
Harta dengan 6 bis yg salah satunya adalah Double Decker berkode BM089.
7 bis
berstiker Shalawat Nabi membuat Haryanto
menempati posisi berikutnya, hanya saja waktu yg dibutuhkan 2 jam lebih
panjang.
Serta 5 Laju Prima dan 2 Rosalia Indah adalah pemandangan yg menyakitkan bagiku saat ini.
Penumpang
dengan tiket Putera Mulya lebih dulu
habis setelah S01, M02, dan DD01
bergantian menyambangi agen.
Hingga 19
menit menjelang buka puasa waktu setempat, penumpang bis yg konon 'banter' ini masih terlantar tanpa
kejelasan. Kursi persediaan Pak Supri tak cukup menampung para pemudik apes hari itu, hingga pelataran
warung di kanan kiri serta trotoar jalan turut merasakan muntahannya.
"Ini
Mas, kalau mau komplain soal STJ, langsung telepon ke pengurusnya aja. Aku dah
pusing, kalau tau yg nelpon nomerku malah gak diangkat ini".
Digit angka
tertulis pada sebuah amplop putih dilekatkan ke dinding semi permanennya oleh
Pak Supri.
Seorang
Bapak yg hendak ke Magetan bersama istri dan satu anaknya mencoba mencari
kejelasan lewat nomor pengurus itu.
Suara dalam
speaker tertangkap jelas olehku, namun tanpa disertai kejelasan kapan bis akan
tiba di agen, jadi intinya sia-sia lah debit saldo dari pulsa Bapak itu.
"Sesuk
yahene buko neng Kedung Roso", ekspetasi yg pernah ku nadakan pada istriku sewaktu
berbuka puasa kemarin. Apes, realitanya indera ini masih menangkap kumandang
adzan Maghrib di wilayah DKI.
Bukan bab 'putar kepala' biang amarahku, namun
bukankah ini adalah sesuatu yg bisa dihindari sejak awal. Andaisaja sebelum ke
agen Aku dikabari tentang delay karet
ini, niscaya ini justru menjadi sebuah kebahagian, keurungan berangkat ke agen
tentu memberi satu kesempatan untukku bisa mencicipi sekadar pembatal puasa bersama istri. Kali ini,
Kami masih di dalam lingkup wilayah yg tidak terpaut jauh, namun tidak bisa
merasakan kehangatan berbuka bersama, lebih lagi kausanya hanyalah sesuatu yg
paling dibenci orang se-dunia, menunggu. Hmmm, sungguh Surga yg tak pernah ku rindukan...
Tuhan memang
adil, ditunjukkanlah sebuah keberuntungan bagi mereka yg awalnya kurang
beruntung dalam mencari ketersediaan tiket bis malam regular, kali ini mereka
justru take-off terlebih dulu dengan sebuah Super
High Deck berkelir Manssion.
Senandung
ayat-ayat Al-Qur'an sayup mengalun merdu, pertanda usai sudah umat muslim dalam
menunaikan sunah tarawih malam ini. Satu persatu tulisan 'TDK MELAYANI
PENUMPANG' terlihat di papan runing text armada Cityline, artinya tiba saatnya armada-armada pengusung slogan 'kini lebih baik' itu menjalani
pergantian shif dengan kolegannya, AMARI.
Sementara,
tak jua satupun stiker 'Eleng Kuat Slamet' menampakkan
warna-warninya.
"Piye
Pak, enek kabar neh urung?", olahan kata-kata ku tertuju pada Pak Supri.
"Magista
wis mangkat soko Pondok Pinang arah rene iki..."
"Magista
nyang Wonogiri opo Magetan?"
"Wonogiri
lo, bismu. Magetan'e malah urung jelas iki montor'e teko ngendi..."
Akhirnya,
setelah melewatkan waktu yg lamanya cukup untuk memangkas jarak
Jakarta-Wonogiri di kondisi normal,
tersurat kabar atas apa yg ku tunggu rino
nganti wengi ini.
Deretan
kursi made in Malang yg terbalut
selimut ala bed cover warna selaras dengan siraman cat bisnya ini masih banyak
yg tidak bertuan ketika kakiku menginjakkan papan Haidek-nya, hanya baris tempat dudukku ke depan saja yg terisi,
plus lima penumpang lain yg naik bersamaku menuju kursi posisi buritan.
GT Pasar
Rebo sebagai garis start untuk driver membejek pedal gasnya di JORR, sayang
kaki kanannya harus rajin memadu padankan dua pedal lantaran sedikit kemacetan
mulai menghadang menjelang simpang sususn Cikunir. Seandainya keberangkatan ini
on time, google map masih menggambar
rute ini dengan warna hijau.
Jejeran
lapak yg ketika siang sampai sore seperti pasar tumpah di jalan HM Joyo Martono
kini sudah menampakkan kesunyiannya, rolling dor, folding gate, dan berbagai
jenis pintu utama lainnya sudah terlihat tertutup rapat. Hanya agen Ibu Ayu yg
masih terbuka lantaran DD03 masih
nampang di depannya.
Penunggu
setia yg naik dari agen Depsos ini
pun belum juga memenuhi kuota separo saja dari total jumlah seat.
Kembali
berkutat dengan kepadatan di tol Jakarta-Cikampek. Penghentian pekerjaan di
bawah tangan Waskita Karya sepertinya tidak mulus sebagai solusi menghindarkan
terjadinya keruwetan lalu lintas di sini, justru membludaknya mobil kecil lah
yg menambah sempitnya jalan sepanjang jalur mudik.
Tidak perlu
meng-kambing hitamkan pemerintah, lebih-lebih Presiden, karena semua ini jelas
saja di luar kuasa wajib orang nomor satu di negeri ini.
Berbagai
upaya telah dilakukan dinas terkait, bahkan pihak swasta seperti kontraktor
jalan tol pun urun dalam hal ini, namun ketika volume kendaraan melebihi permukaan
aspal yg ada, realitanya tetap saja bagaikan ember yg diisi air dari drum,
tumpah ruah.
Yen pengen
ora macet, mudik wae yen ora ngepasi lebaran, penak to?
Budiman
3E154 memilih
antrian yg kurang pas di GT Cikarang Utama, begitupun Scorpion King berlabel Dieng Indah, sehingga e-tol card yg
dipegang driverku bisa lebih dulu ditempelkannya.
Prima Jasa yg membawa pemudik tujuan Tasik menjadi panutan HDD berkelir hijau ini dalam melibas
bahu jalan. Kanaya Trans dilewati keduanya bersama puluhan mobil pribadi di
Cikarang Pusat.
Adalah KM
39, Rest Area yg dalam kondisi ditutup sementara ini masih saja menjadikan
antrian panjang di dua lajur paling kiri, sehingga turut menghambat laju lajur
lainnya.
Titik
terakhir sebagai tambahan beban kabin adalah Karawang, di agen inilah 32 kursi
yg di usung kabin model HD bervarian
bando ini dinyatakan tidak berstatus full.
Akupun
menutup kemubadziran kursi 4AB, daripada harus berjubel dengan penunggu kursi
4D, namun Aku akan tetap bertahan andaikan yg dipangku seat 4D adalah Sweet 20 berjenis Hawa.
Jam di siang
hari yg tidak sedikitpun memberiku kesempatan untuk memejamkan mata, berimbas
rasa ngantuk pada malam harinya. Hingga Jalur Pantura menjelang RM Kedung Roso
membangunkan mimpiku.
Di HP ku
terlihat waktu menunjukkan jam 03.30. Hmmm, sesungguhnya menyantap menu khas
Brebes di kala buka adalah surga yg ku inginkan kemarin, sayangnya rumah makan
bis ini malah menyuguhkan menu ala wartegnya saat waktu sahur tiba.
Dua kolega
pariwisata yg bertugas sebagai angkutan
pemadu mudik 'Tsalju' dan 'New Comando' menempati round paling
muka, di seberangnya berbaris Rosin eks karavan,
Setia Negara
SR2, Sumba Putra, Blue Star, dan Putra Remaja Evolander.
Sedang area
paling ujung diisi bala bantuan macam Grand Panorama, Max 77 Trans, dan Shelota
Wisata.
Meskipun
dalam suasana mudik, antrian swa-makan
tidaklah mengular parah. Ya, lantaran sudah bukan jamnya, terlebih ini bukanlah
saat yg paling dinanti mayoritas muslim, andaisaja ini terjadi 10 jam
sebelumnya, tentu pemandangannya akan lain.
Tiga pemuda
dengan pakaian berlumuran sisa-sisa
pelumas mesin nampak stand by di sini, satu di antaranya memakai wearpack bertuliskan Agam Tungga Jaya di bagian punggungnya.
Ternyata di samping molornya jam keberangkatan yg sesungguhnya membuat kecewa,
rupanya ada usaha demi lancarnya penumpang bertemu keluarga.
Mereka patut
dipahlawankan beserta kru dan jajaran lainnya yg rela memrioritaskan apa yg
menjadi tanggung jawabnya, padahal di balik itu tentu saja keluarga sangat
menginginkan kehadirannya berbaur dalam kehangatan suasana hari nan fitri esok.
Selimut
model bed cover bermotif bunga-bunga ku indahkan bersama pangkuan seat Alldila. Hembusan suhu lewat louver serta rencana bisa saur dengan
orang tua dan sholat subuh berjamaah dengan wong
ndeso yg akhirnya tak kesampaian menambah angler tidurku sepanjang jalan Pantura ruas Brebes-Kendal.
The Special One, baik di PO itu sendiri, di jajaran bis dua lantai,
bahkan di dunia bis tanah air, Conqueror, menjadi display paling
gagah di pelataran rumah makan yg berhimpitan dengan SPBU milik pembawa ikon Menara Kudus.
Berbaur
dengan body rancangan karoseri
kondang, Jetbus 2 SHD yg diusung ATJ
Tsalju dan New Comando.
Tak ingin
mengulur waktu ataukah tak ingin membuat batal para penumpangnya, Magista
hanya menyejajarkan body pada dua seniornya itu tak lebih dari kepentingan kontrlol. Sesudahnya langsung kembali capcus meninggalkan dua Kramat Djati dan dua Rosalia Indah yg turut menjadi selir-selir Double Deck milik Nusantara.
Ritual
wajib, 'nyolar', hampir saja gagal
gegara sopir tak kunjung menurunkan jarum speedometernya saat hendak mencapai
SPBU langgananya. Meski sedikit memaksa, untungnya jarak masih memungkinkan
untuk sopir segera menginjak rem dalam-dalam.
Selimut yg
masih rapi membalut sandaran kursi sampai jatuh berhamburan, beberapa alas kaki
penumpang ada yg berlarian maju ke depan akibat mendadaknya pengereman. Ndilalah, tidak ada kendaraan yg
menempel di belakang buritannya, sehingga kedrastisan
turunnya kecepatan hanya dirasakan orang yg berada di bis itu sendiri.
Bis malam dadakan 'Arimbi' terlihat mulai mengurangi
beban kabinnya beberapa kilo setelah SPBU daerah Kendal ini. Dari papan
trayeknya tertulis tujuan akhirnya adalah markas
besar PO dengan livery abadi, Harapan Jaya.
Ini
sekaligus menjadi pandangan terakhirku sebelum Aku menyudahi kesadaranku hingga
kembali melihat dunia di daerah Salatiga.
Kemacetan di
daerah Ampel membuat Royal Safari dan
Eka melihat aksi ngeblong yg justru diiming-imingi oleh bis malam ini. Makin ke
depan arus makin sedikit pegeserannya, dari informasi sopir bis yg mengarah ke
Barat, laka lah yg membidani kemacetan panjang ini.
Memang
sebuah SR-1 dengan kondisi muka remuk
sempat crash dengan bis ku, mungkin Dia lah bagian dari korbannya.
Usai kembali
melewatkan mimpi, Ka'bai dan Evolution menyambut di RM Pak Eko
Ngadirojo. Dua spesies dari Adiputro itu terlihat tengah melakukan operan
penumpang, hmmm dibalik riuhnya agenda mudik, nampaknya masih ada pundi-pundi
untuk sekadar mengisi kehampaan kabin bis yg hendak ngosong ke Barat.
Dan akhirnya
14.00 kakiku berhasil move on dari
deck yg ku diami selama 16 jam. Selamat siang menjelang sore Purwantoro...
Ekspetasi
menunggu sahur pun berubah menjadi menunggu buka, bukankah justru saat-saat
menunggu buka itu adalah saat yg paling indah bagi Kita umat muslim yg
menunaikan puasa wajib. So, justru inikah
saat yg sesungguhnya ku rindukan?
Memang, saat
inilah saat yg tak luput Aku menantikan, namun meskipun Aku tiba 10 jam lebih
awal, tetap saja Aku akan menemui saat menjelang berbuka ini. Jadi
maaf, bukan ini surga yg ku rindukan...