"Omong'e Ma'e ora
oleh numpak Rosalia, kon numpak Laju Prima ae, jarene kuwi ki yo bis
apik..."
Bagai dua kata pertama di lirik awal lagu karya Ahmad Dhani - Aku cinta kau dan dia, 'hancur hatiku' yg patut menyindir emosional saat kalimat di atas bicara lewat SMS.
Bagaimana tidak, kerelaan mengundur jadwal pulang kampung demi bisa menjadi 'batur' untuknya, yg sudah jauh hari tertulis di board rencana 'NUMPAK ROSALIA' berakhir tak sempurna akibat pesan singkat itu.
Bukan orang LA namanya, kalau armada tunggangannya bukan di bawah pacuan Mr.D, iktihad ini berkata sesungguhnya bukan PO baru di jalur JKT-WNG itu yg menjadi biang keladi penghancur mimpi ini, namun condong kepada subyek nama sopirnya. Coba saja Mr.D belum hengkang dari perusahaan lamanya, mustahil nama Laju Prima direkomendasikan.
Andaikan saja derajatnya mabur duwur, dari sopir menjadi owner, maka urusan market bukan sesuatu yg dipusingkan, karena Lenteng Agung selalu berbaik hati mempersembahkan pundi pundi rupiah untukknya.
Apalah daya ini, menentang keharusan artinya ngobak-obak banyu bening, gawe perkoro, ngajak kesruh, dll.
Laju Prima yo Laju Prima, setidaknya semua ini akan lebih buruk lagi jikalau terjadi beberapa bulan yg lalu, semasih Mr.D menjabat sebagai pemutar roda di perusahaan lamanya, dimana armadanya tidaklah berlebih jika harus disebut ketinggalan jaman.
****
Waktu terus berjalan, jarak menuju hari dada Jakarta kian terpotong rotasi bumi. Ibarat sampai terbawa mimpi keingingan bersanding di dalam bis ini segeralah terjadi.
Dewa 19 tak lagi bersenandung bab kehancuran hati, namun . . .
Kali ini malah sayap band pentholan gitarisnya, Andra and the Backbone, yg menyinggung lewat kata yg dijudulkan pada lagu andalannya, musnah !
Adalah ketika layanan short messenger membawa kabar "Mas, aku arep numpak travel ae, nggo nyingkat wektu, dadi mulih kerjo iso langsung mangkat".
Luluh lantah sudah harapan yg terbangun selama ini.
Oh Tuhan yang kuasa,
Berilah petunjukMu,
Betapa pedih kurasakan,
Kisah-ku tak sampai.
Ok lah kalau begitu, pilihannya pada jasa travel malah turut memusnahkan larangan menjajal Rosalia Indah, pun nantinya bukan dirinya yg menjadi sandingan. Dan lagi, goes time pun memungkinkan untuk dibuat dini, tanpa diulur-ulur lagi oleh seorang 'bareng-an'.
****
Setiap kali RM.Sari Rasa menyuguhkan sajian atas kupon prasmanan Gunung Mulia, setiap itu pula armada berlogo ri itu merayu-rayu. Ragam pilihan kelas, luasnya jangkauan trayek, serta maneko-warno body yg menjadi varian pada armadanya, bukanlah kekayaan yg gampang direnggut oleh perusahaan skala kecil yg kurang konservatif.
Itulah yg menjatuhkan hati ini untuk mengencaninya.
Pal Depok menjadi jujukan pencarian tiket bis asli Karanganyar yg belum lama membuka trayek jagowari (Jakarta Ponorogo lewat Wonogiri) itu.
Tidak sulit menemukan agen di jajaran lapak lapak pasar tiket di sini, kios permanen yg dipakai secara pribadi membuatnya paling mencolok.
"Purwantoro ada Mas ?"
"Sementara ini kami belum ada..."
Lho ??? Kenapa gerangan ? Bukankah beberapa bulan ini armada putih beraksen bulan sabit itu sudah wira wiri di jalanan Purwantoro setiap harinya ?
Kalaupun memang trayek Purwantoro tidak dialokasikan dari sini, tidakkah pemberangkatan perhari-nya yg banyak seyogiyanya dijadikan pondasi oper-operan ?
Huuh, gesekan hati atas dasar nama Rosalia Indah berakhir sia sia. Emosi yg membalut kemarin ternyata hanyalah bujuk rasuk setan bis atas rapuhnya sebuah cinta, sehingga mudah digoyah oleh sesuatu yg padahal belum jelas ke-adaan-nya.
Atau, ini adalah guna-guna kiriman orang tuanya yg tidak menghendaki bis plat AD-XA ini berjasa ? Lhoh, lha wong saya ikutnya sendirian kok Pak Buk, tidak dengan anak Njenengan ! Kenapa menyan masih juga diobong !
Siapa yg bisa dijadikan pelarian kegagalan ini, selain Gunung Mulia yg memang sengaja terkucil karena ingin warna berbeda dari gemerlap dunia otobis.
Sindoro Satriamas . . .
Apa itu saja, memang belum ada iming iming darinya, tapi dari pengalaman yg dicatatkan konco kerjo kemarin, rasanya recomended juga kalau bis yg mengambil nama sebuah gunung sebagai merk dagangnya itu berperan obat kekecewaan ini.
"Mas, kene Mas...", penyusuranku mencari kios yg bermuka patut sebagai toko tiket terhenti oleh panggilan seorang Bapak yg membelakangi sebuah meja kecil bertulis beberapa nama bis itu.
Dari tempat yg hanyalah emperan tanpa latar ruang yg menampung kursi sebagai media penantian, sesungguhnya agak canggung untuk membalikkan langkah kepadanya.
"Rene sek ae rapopo, arep nyandi ?", karena tembakan peluru keduanya ini akhirnya aku putar haluan kembali menilas pinggiran aspal yg sudah terlewati lima langkah.
"Enek Sindoro Pak ?"
"Enek, ngendi medune ?"
"Purwantoro !"
"Lho yen Purwantoro yo udu Sindoro to, Sindoro kuwi yen Ponorogo, Madiun, Ngawi ngono."
"Ning Purwantoro ki enek Sindoro lo Pak !"
"Yo enek ning seko Priok kono, ora seko kene."
"Lha ngko dioper po ra yo iso lo Pak ?"
"Ora iso no !"
Sambil mengeluarkan sebuah tiket dari laci meja kerjanya, "Yen Purwantoro iki no !"
What ? Laju Prima ? Yg bener saja Pak !
Ini kan bis yg sempat menjadi musuh lantaran memblokade kesempatan untuk Rosalia meng-arena-i malamku dan dia. Yang menjadi biang kerok perasaan mangkel, anyel, dongkol, bercampur aduk menyerangku bahkan sampai beberapa hari. Yang membuat keromantisan kami ruwet karena aroganisme atas keinginan versus keharusan dalam menentukan satu dari dua nama bis. Masa aku akan terjerumus menjilat ludah, hmmm...
"Liyane kuwi orenek to Pak ?"
"Lha njaluk opo ? Sing penak yo iki, montore anyar anyar, 115 oleh mangan wisan..."
Pilihan yg sulit untuk diputuskan, di satu sisi aku bosan jikalau harus meminta tiket Gunung Mulia lagi, sedang bis yg ditawarkan ini pun setidaknya bisa menuliskan satu pengalaman baru, di sisi lain aku telah mengolok bis ini, yg dari lubuk hati sesungguhnya aku menolak mentah mentah apa yg sudah disarankan orang tuanya kemarin.
Seperti apa jadinya andaikan dia tau bahwa bukan Rosalia yg sudah ku agungkan namanya yg besok membawaku menuju kampung, malah bis yg aku anggap melatari perang batin kami yg akhirnya berjasa.
Ya jangan sampai dia tau donk Mas !
"Yo wis Pak nekno kuwi ae !"
ups, aku telah terperdaya bisik bisik maya dari penjaga agen, seolah dia tau tentang kebimbangan ini, hingga pengaruh gaib supaya aku merahasiakan semua ini merasuk pikiran kosong ku.
Semanjur inikah komat kamit yg dimantrakan dukun suruhan orang tuanya, sampai aku dibuatnya bertekuk lutut dibawah ketetapannya itu.
####
Sebuah New Marcopolo lebih dulu mapan di terminal darurat Pal Depok, lebih cepat dari kedatanganku yg dipatok setengah jam menjelang keberangkatan.
"Iki kursi nomer piro tok Pak ? 30 opo 38 ?", menindaklanjuti jatah tempat duduk yg tertulis kurang jelas di lembar tiket.
"3D, mburi sopir nomor telu !"
Owh, jadi di PO yg tergabung dalam Hiba Grup ini menerapkan sistem seperti itu untuk penomoran seat-nya. Maklum cah ndeso, lagi ngerti sing model koyo ngene iki...
Jalan Raya Bogor dipungkasi oleh haluan kanan di pertigaan Hek menuju Terminal Pinang Ranti. Cikarang dan Karawang adalah agen selanjutnya yg dijatahkan pada bis trayek Depok-Purwantoro ini.
Meskipun baru, ekspedisi malam jarak jauhnya tidak dipermainkan oleh puluhan kursi yg dibawa, dari jumlah 38 hanya beberapa kursi bagian buntut saja yg tidak laku.
Seperti inilah fenomena dunia bisnis, modal adalah komposisi yg paling mutlak dalam memulainya, semakin kuat modal semakin kuat pula kemungkinan perputaran usaha lebih cepat, jadi kalau ada yg bilang bisnis tanpa modal itu rasanya impossible banget.
Dua armada 'kegagalan cinta' ku, Rosalia, menyejajarkan badannya di atas fly over Pemanukan yg tengah tersendat. Melihatnya, bukan perih karena aku tak bisa di dalamnya yg ku rasakan, malah banggaku timbul oleh fisik luar bis yg membawaku ini justru lebih up to date dari dua saudara berkelas Bisnis AC Seat 2-2 dan Bisnis AC Seat 2-2 Toilet itu.
"Ya, semuanya mohon untuk bersiap, karena bis sudah masuk rumah makan, kupon makan yg ada di tiket jangan lupa untuk dibawa. Untuk menghindari hal hal yg tidak diinginkan, disarankan apabila membawa barang barang berharga agar ikut dibawa turun.
Lha nanti tempat servis makannya di situ ya (sambil menunjuk arah yg di maksudkan)", wah inilah pengalaman pertama aku menjumpai seorang kenek yg sudi memberikan arahan lisan pada penumpang ketika bis masuk di RM.Taman Sari 2. Apakah ini memang SOP dari perusahaan, ataukah pribadi kenek yg memang berjiwa ramah tamah? Entahlah...
Bis dengan pengodean LP62 itu menyendiri di tengah kepungan Tunggal Dara, Gajah Mungkur, Harapan Jaya, Maju Lancar, dan lainnya. Mungkinkah trayek Depok-Purwantoro ini adalah senjata tunggal, atau memang para koleganya ada yg sudah lebih dulu pergi dan belum datang?
Basis rumah makan terbesar langganan para bis itu ditinggalkan. Sayang, tak banyak pemandangan dibalik kaca yg tercatat, waktu dalam kabin buatan Adiputro versi Non HD lebih banyak ku habiskan untuk menikmati kenyamanan perjalanan alias tidur.
Namun, sempat aku mengingat ada satu teman sejalan satu garasinya mendahului di suatu daerah antara Indramayu-Kendal, ini mencoret dugaan bahwa bis ini seorang diri mengarungi Pantura.
Rumah Makan ke-dua kembali membukakan mata, arah kaki langsung menuju toilet yg diarahkan oleh sebuah papan penujuk. Letak toilet yg bersembunyi, dan penampakan armada Tunggal Dara Putera, mengingatkan ketika saat itu aku di bawa bis yg sedang merintis jalur Jakarta-Purwantoro saat itu, ya inilah RM.Raos Eco yg dikenalkan oleh Agra Mas pada arus balik 2009 lalu.
"Kopi Mbak !", seruku pada gadis penunggu stand jajanan di emperan rumah makan.
"Kopi hitam apa kopi susu Mas ?"
"Kopi Susu !"
Inilah kali pertamanya merasakan original kopi susu, dimana bukanlah 3 in 1 yg dikemas dalam sebuah merk yg disedukan untukku, melainkan benar benar kopi hitam murni yg dicampur dengan gula plus susu putih, entah susu apa dan susu siapa yg ikut serta digelasku.
"Sing Praci wau sinten nggih? Badhe oper wonten mriki nopo mandhap Wonogiri mawon Pak? Mriki mawon nggih, ngentosi bis'e tesih wonten mburi, wonten penguruse kok...", kenek yg akhirnya ku ketahui bernama Pak Sugeng itu memberikan pilihan pada penumpang bertujuan kecamatan asal Presiden RI ke-dua. Ternyata line Wonogiri pun sudah di drop lebih dari satu armada oleh bis baru ini.
Kembali aku menyambung mimpi saat bis beranjak dari rumah makan penyedia kopi plus susu seharga 7500 itu.
Salatiga, Boyolali, Solo, Wonogiri, berangsur kursi kursi kabin ini tinggal menyisakan sisa sisa selimut yg berantakan, mungkin tak lebih dari sepuluh nyawa yg menghidupi planet Royal Coach E ini dalam perjalanan dari Wonogiri ke timur.
"Mas'e ngendi ?", sambil menindakkan tugas merapikan serakan kain biru bekas penghangat tubuh penumpangnya, Pak Sugeng menanyakan itu padaku.
"Terakhir ngendi iki ngko Pak ?"
"Gur Slogohimo ki, sisan ngguyang."
"Ora Purwantoro to ?"
"Masalahe iki ngetem neng guyangan Slogohimo. Ngko dipindah rapopo yo ?"
"Yo wes tak medun Slogohimo wae Pak."
"Malah ngono."
Apa boleh buat, meskipun seorang diri ini tetap menjadi sebuah konsekuensi perusahaan, namun gagasan ini pun bisa memaklumi, bagaimana gambaran dua orang kru dengan kendaraan besar harus bolak balik Slogohimo-Purwantoro hanya demi mengantarkan seorang penumpang.
Bantuan seorang teman sebagai ojek feeder akhirnya lebih ku pilih untuk menyambung sisa perjalanan yg masih sekitar lima kiloan itu.
Bagai dua kata pertama di lirik awal lagu karya Ahmad Dhani - Aku cinta kau dan dia, 'hancur hatiku' yg patut menyindir emosional saat kalimat di atas bicara lewat SMS.
Bagaimana tidak, kerelaan mengundur jadwal pulang kampung demi bisa menjadi 'batur' untuknya, yg sudah jauh hari tertulis di board rencana 'NUMPAK ROSALIA' berakhir tak sempurna akibat pesan singkat itu.
Bukan orang LA namanya, kalau armada tunggangannya bukan di bawah pacuan Mr.D, iktihad ini berkata sesungguhnya bukan PO baru di jalur JKT-WNG itu yg menjadi biang keladi penghancur mimpi ini, namun condong kepada subyek nama sopirnya. Coba saja Mr.D belum hengkang dari perusahaan lamanya, mustahil nama Laju Prima direkomendasikan.
Andaikan saja derajatnya mabur duwur, dari sopir menjadi owner, maka urusan market bukan sesuatu yg dipusingkan, karena Lenteng Agung selalu berbaik hati mempersembahkan pundi pundi rupiah untukknya.
Apalah daya ini, menentang keharusan artinya ngobak-obak banyu bening, gawe perkoro, ngajak kesruh, dll.
Laju Prima yo Laju Prima, setidaknya semua ini akan lebih buruk lagi jikalau terjadi beberapa bulan yg lalu, semasih Mr.D menjabat sebagai pemutar roda di perusahaan lamanya, dimana armadanya tidaklah berlebih jika harus disebut ketinggalan jaman.
****
Waktu terus berjalan, jarak menuju hari dada Jakarta kian terpotong rotasi bumi. Ibarat sampai terbawa mimpi keingingan bersanding di dalam bis ini segeralah terjadi.
Dewa 19 tak lagi bersenandung bab kehancuran hati, namun . . .
Kali ini malah sayap band pentholan gitarisnya, Andra and the Backbone, yg menyinggung lewat kata yg dijudulkan pada lagu andalannya, musnah !
Adalah ketika layanan short messenger membawa kabar "Mas, aku arep numpak travel ae, nggo nyingkat wektu, dadi mulih kerjo iso langsung mangkat".
Luluh lantah sudah harapan yg terbangun selama ini.
Oh Tuhan yang kuasa,
Berilah petunjukMu,
Betapa pedih kurasakan,
Kisah-ku tak sampai.
Ok lah kalau begitu, pilihannya pada jasa travel malah turut memusnahkan larangan menjajal Rosalia Indah, pun nantinya bukan dirinya yg menjadi sandingan. Dan lagi, goes time pun memungkinkan untuk dibuat dini, tanpa diulur-ulur lagi oleh seorang 'bareng-an'.
****
Setiap kali RM.Sari Rasa menyuguhkan sajian atas kupon prasmanan Gunung Mulia, setiap itu pula armada berlogo ri itu merayu-rayu. Ragam pilihan kelas, luasnya jangkauan trayek, serta maneko-warno body yg menjadi varian pada armadanya, bukanlah kekayaan yg gampang direnggut oleh perusahaan skala kecil yg kurang konservatif.
Itulah yg menjatuhkan hati ini untuk mengencaninya.
Pal Depok menjadi jujukan pencarian tiket bis asli Karanganyar yg belum lama membuka trayek jagowari (Jakarta Ponorogo lewat Wonogiri) itu.
Tidak sulit menemukan agen di jajaran lapak lapak pasar tiket di sini, kios permanen yg dipakai secara pribadi membuatnya paling mencolok.
"Purwantoro ada Mas ?"
"Sementara ini kami belum ada..."
Lho ??? Kenapa gerangan ? Bukankah beberapa bulan ini armada putih beraksen bulan sabit itu sudah wira wiri di jalanan Purwantoro setiap harinya ?
Kalaupun memang trayek Purwantoro tidak dialokasikan dari sini, tidakkah pemberangkatan perhari-nya yg banyak seyogiyanya dijadikan pondasi oper-operan ?
Huuh, gesekan hati atas dasar nama Rosalia Indah berakhir sia sia. Emosi yg membalut kemarin ternyata hanyalah bujuk rasuk setan bis atas rapuhnya sebuah cinta, sehingga mudah digoyah oleh sesuatu yg padahal belum jelas ke-adaan-nya.
Atau, ini adalah guna-guna kiriman orang tuanya yg tidak menghendaki bis plat AD-XA ini berjasa ? Lhoh, lha wong saya ikutnya sendirian kok Pak Buk, tidak dengan anak Njenengan ! Kenapa menyan masih juga diobong !
Siapa yg bisa dijadikan pelarian kegagalan ini, selain Gunung Mulia yg memang sengaja terkucil karena ingin warna berbeda dari gemerlap dunia otobis.
Sindoro Satriamas . . .
Apa itu saja, memang belum ada iming iming darinya, tapi dari pengalaman yg dicatatkan konco kerjo kemarin, rasanya recomended juga kalau bis yg mengambil nama sebuah gunung sebagai merk dagangnya itu berperan obat kekecewaan ini.
"Mas, kene Mas...", penyusuranku mencari kios yg bermuka patut sebagai toko tiket terhenti oleh panggilan seorang Bapak yg membelakangi sebuah meja kecil bertulis beberapa nama bis itu.
Dari tempat yg hanyalah emperan tanpa latar ruang yg menampung kursi sebagai media penantian, sesungguhnya agak canggung untuk membalikkan langkah kepadanya.
"Rene sek ae rapopo, arep nyandi ?", karena tembakan peluru keduanya ini akhirnya aku putar haluan kembali menilas pinggiran aspal yg sudah terlewati lima langkah.
"Enek Sindoro Pak ?"
"Enek, ngendi medune ?"
"Purwantoro !"
"Lho yen Purwantoro yo udu Sindoro to, Sindoro kuwi yen Ponorogo, Madiun, Ngawi ngono."
"Ning Purwantoro ki enek Sindoro lo Pak !"
"Yo enek ning seko Priok kono, ora seko kene."
"Lha ngko dioper po ra yo iso lo Pak ?"
"Ora iso no !"
Sambil mengeluarkan sebuah tiket dari laci meja kerjanya, "Yen Purwantoro iki no !"
What ? Laju Prima ? Yg bener saja Pak !
Ini kan bis yg sempat menjadi musuh lantaran memblokade kesempatan untuk Rosalia meng-arena-i malamku dan dia. Yang menjadi biang kerok perasaan mangkel, anyel, dongkol, bercampur aduk menyerangku bahkan sampai beberapa hari. Yang membuat keromantisan kami ruwet karena aroganisme atas keinginan versus keharusan dalam menentukan satu dari dua nama bis. Masa aku akan terjerumus menjilat ludah, hmmm...
"Liyane kuwi orenek to Pak ?"
"Lha njaluk opo ? Sing penak yo iki, montore anyar anyar, 115 oleh mangan wisan..."
Pilihan yg sulit untuk diputuskan, di satu sisi aku bosan jikalau harus meminta tiket Gunung Mulia lagi, sedang bis yg ditawarkan ini pun setidaknya bisa menuliskan satu pengalaman baru, di sisi lain aku telah mengolok bis ini, yg dari lubuk hati sesungguhnya aku menolak mentah mentah apa yg sudah disarankan orang tuanya kemarin.
Seperti apa jadinya andaikan dia tau bahwa bukan Rosalia yg sudah ku agungkan namanya yg besok membawaku menuju kampung, malah bis yg aku anggap melatari perang batin kami yg akhirnya berjasa.
Ya jangan sampai dia tau donk Mas !
"Yo wis Pak nekno kuwi ae !"
ups, aku telah terperdaya bisik bisik maya dari penjaga agen, seolah dia tau tentang kebimbangan ini, hingga pengaruh gaib supaya aku merahasiakan semua ini merasuk pikiran kosong ku.
Semanjur inikah komat kamit yg dimantrakan dukun suruhan orang tuanya, sampai aku dibuatnya bertekuk lutut dibawah ketetapannya itu.
####
Sebuah New Marcopolo lebih dulu mapan di terminal darurat Pal Depok, lebih cepat dari kedatanganku yg dipatok setengah jam menjelang keberangkatan.
"Iki kursi nomer piro tok Pak ? 30 opo 38 ?", menindaklanjuti jatah tempat duduk yg tertulis kurang jelas di lembar tiket.
"3D, mburi sopir nomor telu !"
Owh, jadi di PO yg tergabung dalam Hiba Grup ini menerapkan sistem seperti itu untuk penomoran seat-nya. Maklum cah ndeso, lagi ngerti sing model koyo ngene iki...
Jalan Raya Bogor dipungkasi oleh haluan kanan di pertigaan Hek menuju Terminal Pinang Ranti. Cikarang dan Karawang adalah agen selanjutnya yg dijatahkan pada bis trayek Depok-Purwantoro ini.
Meskipun baru, ekspedisi malam jarak jauhnya tidak dipermainkan oleh puluhan kursi yg dibawa, dari jumlah 38 hanya beberapa kursi bagian buntut saja yg tidak laku.
Seperti inilah fenomena dunia bisnis, modal adalah komposisi yg paling mutlak dalam memulainya, semakin kuat modal semakin kuat pula kemungkinan perputaran usaha lebih cepat, jadi kalau ada yg bilang bisnis tanpa modal itu rasanya impossible banget.
Dua armada 'kegagalan cinta' ku, Rosalia, menyejajarkan badannya di atas fly over Pemanukan yg tengah tersendat. Melihatnya, bukan perih karena aku tak bisa di dalamnya yg ku rasakan, malah banggaku timbul oleh fisik luar bis yg membawaku ini justru lebih up to date dari dua saudara berkelas Bisnis AC Seat 2-2 dan Bisnis AC Seat 2-2 Toilet itu.
"Ya, semuanya mohon untuk bersiap, karena bis sudah masuk rumah makan, kupon makan yg ada di tiket jangan lupa untuk dibawa. Untuk menghindari hal hal yg tidak diinginkan, disarankan apabila membawa barang barang berharga agar ikut dibawa turun.
Lha nanti tempat servis makannya di situ ya (sambil menunjuk arah yg di maksudkan)", wah inilah pengalaman pertama aku menjumpai seorang kenek yg sudi memberikan arahan lisan pada penumpang ketika bis masuk di RM.Taman Sari 2. Apakah ini memang SOP dari perusahaan, ataukah pribadi kenek yg memang berjiwa ramah tamah? Entahlah...
Bis dengan pengodean LP62 itu menyendiri di tengah kepungan Tunggal Dara, Gajah Mungkur, Harapan Jaya, Maju Lancar, dan lainnya. Mungkinkah trayek Depok-Purwantoro ini adalah senjata tunggal, atau memang para koleganya ada yg sudah lebih dulu pergi dan belum datang?
Basis rumah makan terbesar langganan para bis itu ditinggalkan. Sayang, tak banyak pemandangan dibalik kaca yg tercatat, waktu dalam kabin buatan Adiputro versi Non HD lebih banyak ku habiskan untuk menikmati kenyamanan perjalanan alias tidur.
Namun, sempat aku mengingat ada satu teman sejalan satu garasinya mendahului di suatu daerah antara Indramayu-Kendal, ini mencoret dugaan bahwa bis ini seorang diri mengarungi Pantura.
Rumah Makan ke-dua kembali membukakan mata, arah kaki langsung menuju toilet yg diarahkan oleh sebuah papan penujuk. Letak toilet yg bersembunyi, dan penampakan armada Tunggal Dara Putera, mengingatkan ketika saat itu aku di bawa bis yg sedang merintis jalur Jakarta-Purwantoro saat itu, ya inilah RM.Raos Eco yg dikenalkan oleh Agra Mas pada arus balik 2009 lalu.
"Kopi Mbak !", seruku pada gadis penunggu stand jajanan di emperan rumah makan.
"Kopi hitam apa kopi susu Mas ?"
"Kopi Susu !"
Inilah kali pertamanya merasakan original kopi susu, dimana bukanlah 3 in 1 yg dikemas dalam sebuah merk yg disedukan untukku, melainkan benar benar kopi hitam murni yg dicampur dengan gula plus susu putih, entah susu apa dan susu siapa yg ikut serta digelasku.
"Sing Praci wau sinten nggih? Badhe oper wonten mriki nopo mandhap Wonogiri mawon Pak? Mriki mawon nggih, ngentosi bis'e tesih wonten mburi, wonten penguruse kok...", kenek yg akhirnya ku ketahui bernama Pak Sugeng itu memberikan pilihan pada penumpang bertujuan kecamatan asal Presiden RI ke-dua. Ternyata line Wonogiri pun sudah di drop lebih dari satu armada oleh bis baru ini.
Kembali aku menyambung mimpi saat bis beranjak dari rumah makan penyedia kopi plus susu seharga 7500 itu.
Salatiga, Boyolali, Solo, Wonogiri, berangsur kursi kursi kabin ini tinggal menyisakan sisa sisa selimut yg berantakan, mungkin tak lebih dari sepuluh nyawa yg menghidupi planet Royal Coach E ini dalam perjalanan dari Wonogiri ke timur.
"Mas'e ngendi ?", sambil menindakkan tugas merapikan serakan kain biru bekas penghangat tubuh penumpangnya, Pak Sugeng menanyakan itu padaku.
"Terakhir ngendi iki ngko Pak ?"
"Gur Slogohimo ki, sisan ngguyang."
"Ora Purwantoro to ?"
"Masalahe iki ngetem neng guyangan Slogohimo. Ngko dipindah rapopo yo ?"
"Yo wes tak medun Slogohimo wae Pak."
"Malah ngono."
Apa boleh buat, meskipun seorang diri ini tetap menjadi sebuah konsekuensi perusahaan, namun gagasan ini pun bisa memaklumi, bagaimana gambaran dua orang kru dengan kendaraan besar harus bolak balik Slogohimo-Purwantoro hanya demi mengantarkan seorang penumpang.
Bantuan seorang teman sebagai ojek feeder akhirnya lebih ku pilih untuk menyambung sisa perjalanan yg masih sekitar lima kiloan itu.