Tak ku ingat pastinya, sudah berapa lama dan terhitung
berapa kali aku berpaling muka padanya.
Dampak wajah wajah anyar yg malang melintang dihadapku, laksana racun yg
membutakan mata hati, bahwasanya dia
lah muara sanjung puji dan tambatan asmara semasih jiwa ke-bis-an ku disangga
masa puber.
Kini rasa enggan itu malah kian berlapis, bukan saja tentang seperti apakah dirinya, yg mulai malas merekrut artis baru jebolan produser Laksana sebagai pemeran sinema malam Pantura Story, pun penampilan bintang bintang anyar turut menyumbang kausa ke-pecundang-an-ku.
Setelah sosok LP62, LP39, dan LP51 urun serta mengindahkan jalanku, yg memaknai adanya bubuhan noda dalam kesucian cinta pertamaku, tidaklah lantas membangun ironi mengagungkan kembali rindu padanya. Malah, adanya jeratan dusta akan cinta segilima antara Aku, Dia, dan Mereka.
Tak ubah dari senandung bait bait awal, rangkaian cerita yg terjalin beberapa kali dengan Laju Prima akhir akhir ini, membuahkan anggap 'aku bukan pilihan hatimu' dari Dia, Gunung Mulia...
Lalu, siapa maksud 'Mereka', yg bakal mencemburkan hati ke samudera rasa Aku dan Dia?
Jangan kemana mana, karena di sini akan mengangkat hal hal tabu menjadi layak dan patut untuk diperbincangkan, semua akan dikupas secara tajam, setajam Golok !
####
Entah mengapa, kali ini gelora asmaraku mendidih, rasanya tak ingin sekedar mencumbu satu nama. Opo maneh, sasaran ini pernah gagal oleh 'kencan rahasia' yg memenjarakan beberapa waktu silam, alhasil kerakusan melirik Nona Rosa, Neng Lia, dan Mbak Indah adalah gejolak jiwa yg sukar ku bendung. Biarlah cibiran 'playboy cap tiga jari' tertuju padaku, kalau tidak begitu, kapan ku dapati hangat pelukan tiga nama gadis berkulit putih itu.
Apalagi dalam ruwatan bali ngulon nanti, bukan urusan kerja dari big bos yg ku titik beratkan, melainkan mengenteng-entengi teman yg sedang terbebani gelimang uang lantaran ketiban setumpuk proyek kejar target. Niscaya itu bisa menombak kepekaannya pada ketiga nama ayu pengubur setiaku itu,
"Nek ora bareng Rosa, Lia, karo Indah, aku wegah mangkat".
Nampaknya senjata itu cukup ampuh menjerat ikatan pekerjaan, melumpuhkan organ organ jaringan fanatisme pada Dara cinta sejatinya.
****
Mungkin sudah akrab didengar, bahwa cucu dari nenek moyang Jawa yg menghuni ujung timur Kabupaten Wonogiri, disunahkan menjalani ritual sebelum berangkat ke Jakarta naik bis, waktunya boleh dilakukan beberapa jam, sehari, dan sepasar sebelumnya. Nama PO, kelas armada, tujuan, dan seserahan adalah sesaji yg kudu dipersiapkan sebelumnya. Oleh masyarakat Purwantoro peristiwa yg masih dilestarikan itu dinamai 'tuku tiket'.
Maka danyang yg bertengger di Jalan Raya Purwantoro-Ponorogo ku jamah demi tradisi yg diwariskan orang tua itu. Memang keberadaan pendhopo agen BPU asal Karanganyar itu lebih banyak menjauhkan diri dari populasi market ticket dalam terminal, lagi bangunannya pun kokoh dan permanen, mayoritas lengkap dengan area pembumian armadanya.
Hubungan kontak antara penjaga agen dan kantor pusat dalam mendatakan namaku dan dua teman sebagai penumpang Executive Class cukup lama. Berkali kali apa yg disuarakan harus diulanginya lagi lantaran penerimaan yg kurang responsif, sering putusnya sambungan selular makin menambah detik detik di PPT (Pusat Penjualan Tiket) yg tercecer di Kecamatan paling timur Provinsi Jateng itu.
Endingnya, pangkuan kursi 2B 2C dan 2D dikabulkan dengan tumbal uang tunai 450 ribu rupiah.
****
Mobil jenis pick-up dengan rumah rumah penumpang di bak belakang, yg bukan pemandangan aneh apabila di salah satu kecamatan rangkulan kota gaplek ini diindahkan sebagai angkutan orang, bersedia melebarkan trayek ilegalnya dari terminal non-bus Purwantoro ke agen tujuanku dengan akumulasi tarif 15.000 / 3 orang.
Memang tak semudah kenanganku dengan Dia, dimana nomor handphone pengawal merampungi segala urusan pemesanan tempat duduk, jeri payah tenaga, waktu, dan ongkos pun terpangkas oleh kebijakan take off dari agen yg tidak mengikat.
Menjelang dzuhur bis feeder pool Kartosuro itu datang. Instruksi kenek untuk memilih tempat duduk 'saksenenge' langsung menyambut kami bertiga, karena sesuai informasi darinya jikalau seisi bis masih akan dibongkar muat di pool.
Ternyata Concerto berpangkat Executive ini 'mungkin' berbeda dengan PO lain dengan kelas setara. Kata 'mungkin' ku sisipkan karena memang inilah my first trip dengan armada yg sepengetahuaku berfasilitas leg-rest itu, namun tidak demikian yg ku alami saat ini, melainkan hanya foot-rest sajalah yg dibekalkan sebagai penunjangnnya.
Agen Jatisrono yg lokasinya berada di Pasar Lawas, sedikit menyiutkan kabin 'ngelondang' ini. Dilihat dari gawan yg mungkin sudah dijatuhi klaim berupa cas apabila ini adalah sebuah pesawat, penafsiranku pulau seberanglah tanah jujukannya.
SPBU Wonogiri dipilih sebagai pemasok BBM besubsidi jenis solar ke dalam fuel tank yg terbenam dibawah rumah rumah arsitektur Rahayu Santosa ini sebelum berlanjut nyebrang ratan alias masuk pool perwakilan kota 1001 PO.
Imbuhan penumpang membuat bis bernomor lambung 154 ini nyaris tak menyisakan free seat. Bis mulai berjalan dengan pintu depan yg masih terbuka, rupanya hanya mencari posisi untuk kontrolan saja. Nama nama yg telah tercantum di DP disuarakan oleh petugas, pemeriksaan tiket dan tujuan pun tak luput adanya, disertai relokasi tempat duduk sesuai dengan nomor yg telah tertulis di dalamnya. Kok aneh, kalau warta kenek tadi dipedomankan, harusnya semua ini terjadi di Kartosuro.
Aku pun terhuyung menuju barisan kurawa (barisan bagian belakang) mencari kursi yg belum diakui, lantaran harus tersingkir oleh id-number-seat kami yg justru berpegang pada orang lain. Awalnya itu tidaklah ku problemakan, karena di sini aku hanyalah orang titipan. Persoalan terjadi saat di Kartosuro, ternyata bis tak menyisakan pun satu penumpang sama sekali, malah masih sempat ku tangkap mata, justru armada itu puter walik kembali mengarah timur yg kemungkinan akan menuju garasi Palur. Trus, apa manfaat dilakukannya operasi penertiban papan panggonan di sini ?
"Siapa yg belum dipanggil ?"
"Saya", sambil menunjuk mengarah nirwara.
Tak ubah seperti suasana taman kanak kanak yg ku alami belasan tahun lampau. Siapa yg belum diabsen ? Saya Buk... Siapa yg belum selesai tunjuk jari !
Rosa Rosa, hadirku ini berlaku sebagi pelangganmu, bukan sebagai jalan untukku beranjak dari masa bocah. Andai saja tutur 'ada yg belum dipanggil' diralatkan, sedikit ubahannya memberi kesan yg berbeda, lebih santun.
Langkah Pak Guru itu lantas menyambangi kumpulan kami, tiga tiket yg diminta lalu dibawanya turun masuk ke kantor, mungkin untuk di-scan keabsahannya. Setelah orang dalam melegalitas keaslian lembaran yg dibalut cover biru itu, akhirnya bukti sertifikasi uang 150 ribu x 3 itu kembali menjadi hak milik kami,
"Dari agen Purwantoro nggak ada konfirmasi ke sini masalahnya. Ini nanti oper di Kartosura ya !", imbuhnya.
"Iyaaa Paaak...".
Perjalanan menuju pool Kartosuro berlanjut. Central Loundry yg ada di Solo Baru, dijadikan tempat mengistirahatkan selimut selimut yg telah menghangatkan puluhan tubuh, untuk ditukar dengan yg baru, baru dicuci maksudnya...
Seperti yg tersinggung di atas, seisi bis baik manusia atau barang, terkecuali kepunyaan Rosa sendiri, atau orang yg menggantungkan pakaryan pada Lia dan Indah, diwajibkan untuk meloloskan diri dari dalam kabin tunggal gawan (setunggal-gangsal-sekawan) ini.
"Iki oper endi Mas ?", ku selakan tanya pada kesibukan mengosongkan bagasi yg dilakukan kenek berjiwa banyolan itu.
"Gak weruh aku, kono tekok nyang loket !".
Ayunan langkah mulai meninggalkan area yg tidak memadahi untuk sebuah bis memutarkan mukanya secara instan, sehingga peran gigi 'R' harus diperbantukan untuk meloloskan badannya dari tiang tiang penyangga atap yg membuat ruangan dengan penghuni empat unit bis 'mati' dan satu body yg ditompang oleh drum itu menjadi gelap tak bercahaya.
Melihat sebuah body yg bertumpu pada tong kosong tak terbunyi nyaring karena tidak ditabuh itu, apakah tempat ini adalah salon pribadi Rosa Lia serta Indah dalam berganti dandanan mengikuti fashion dan make up yg sedang dalam masa ngetrend, yg dikenal dengan nama karoseri Rosalia Indah di kaca belakangnya itu, tapi bukankah workshop itu di Palur adanya ? Lhah, embuh...
Menginjak ruang tunggu, jangkah orang orang dalam menjebol partisi kaca menjadikan pedoman bahwa itulah yg dimaksud loket oleh kenek tadi, segera aku mengekor pada aktifitas itu.
Dari beberapa penunggu meja yg membentuk konsonal 'L', sejujurnya mata hati ini menjatuhkan lirikan pada desk office yg dibacking-i kaum Hawa suku Jawa asli Kartasura. Pertama-karena jaraknya paling dekat dengan pintu, kedua-karena seorang wanita itu akan lebih lemah lembut, ramah tamah, dan sopan santun dalam melayani, ketiga-karena perkenalan itu terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya saja, tetapi juga karena kesempatan. Sayang, cegatan muncul oleh kursi yg dihadapnya sudah didahului Pak Adam, apa boleh buat, selain ku labuhkan kebingungan ini pada Customer Service yg nganggur.
Seperdelapan detik mata Bapak pendiam meja tujuan menatap kedatanganku, setelahnya, kembali bertatap layar dengan komputer didepannya. Andai spiritiualnya dapat menyelami batin ini, kalimat 'aku rene ki arep tekok, ora kok arep ndelok' pasti menjadi bisikan gaibnya.
Ku iringkan kata kata "Ini bis'nya yg mana Pak?" ketika ku serahkan tiga tiket di atas mejanya, mengingat di depan ruang tunggu memang sudah didiami oleh dua armada, siapa tau itu bis yg akan mengantarku ke Provinsi Banten.
Alih alih disambut tanggapan menilik tiketku, nada ketus "Ditunggu aja diluar nanti dipanggil !" adalah yg ku dapati. Seolah tangan ini membungkam rapat agar mulutku tak kebobolan perkataan khas Arek Suroboyo, 'Djancuk'.
Apakah semua yg ada di sini adalah penumpang lama yg otomasis sudah mendalami seluk beluk perusahaan yg Timbul dari ke-Jaya-an Bapak Atmo Wiranto itu, bukankah untuk pelanggan baru sepertiku ini lumrah jika merasa bertanya adalah rambu rambu kebingungan.
Kalaupun itu memang prosedur untukku sebagai penumpang, maka tidak ada yg salah dengan apa yg disuruhkan Bapak tadi, yg ganjil bagiku hanyalah hal penyampaiannya, kaku dan acuh. Sebatas ingin disegani dengan tata wicara, bukan berati aku ingin dianggap spesial kan? Pun itu yg dirasakannya, apa salahnya jika disuguhkan pada seorang pelanggan.
Kalau tidak memandang gelutan profesinya itu demi kehidupan keluarganya, mungkin saja bagiku untuk melepaskan Bapak itu dari jabatan yg diemban, caranya? Berdoa pada Allah, hahaha...
Silih berganti armada datang dan pergi dengan wiper yg bergerak untuk menembus pandangan lewat kaca akan derasnya peluru yg dihujamkan langit, cuaca pun mamasok jenuh ke dalam acara janjian dengan Rosa ini.
Toilet yg berada di belakang ruang tunggu, bukan fasilitas yg dibebaskan dari wajib dana kebersihan. Kenapa bangunnya tidak di luar pool saja ya kalau sama sama masih ditarif biaya ? Lumayan kan recehan dari orang yg bukan penumpang pun bisa mengisi celengan yg di siap sediakan.
Sate ayam dan gorengan belum cukup mengisi waktu penantian panjang ini, sementara lambat laun deretan kursi yg awalnya penuh kini mulai banyak yg terlihat tak bertuan, artinya sebagian penduduk telah sukses move on ke tumpuan yg lebih empuk dengan formasi 2-2 di ruang barunya. Trus, aku kapan ?
Saranku untuk kembali mengambil kejelasan ke dalam kantor akhirnya dengan gampang di-iya-i salah satu teman, perannya memang sengaja ku cadangkan pada sendiriku yg sudah canggung berinteraksi dengan abdi dalem ke-pt-an Rosalia Indah.
Lain dengan kiprah awalku yg keluar dengan bawaan hampa,
"Bis'e urung teko, sing tak tekok'i mau tekok nyang sandinge, pool Bitung sudah ada yg masuk belum, trus dijawab belum, ngono"
adalah warta yg dioleh-olehkan temanku, setidaknya bisa menjadi ayoman hati bahwa kami tercatat sebagai penumpang.
Seiring hujan yg terus mengguyur tanah kecamatan di bawah Pemkab Sukoharjo, semakin deras pula laju penumpang yg bergegas meninggalkan ruang tunggu. Umpama pemandangan ini terjadi dari awal, mungkin tidak akan terasa lama waktu penuh kebosanan ini, lantaran kelonggaran kursinya sangat leluasa untuk merebahkan badan merangkai kehidupan dunia lain.
"Tiketnya mana Mas ?",
tanya seorang petugas kantor yg menjalani praktek ke lapangan, mungkin sebagai tindakan atas pertanyaan kenapa masih ada beberapa penumpang yg belum berangkat.
Tiket serahanku dibawanya masuk ke kantor, entah bakal diapakan, mungkin proses scan kelegalan untuk yg ke-dua kalinya.
"Ini nanti nomor bis nya 297 ya Mas".
Sekeluarnya petugas paling sabar itu berhasil membawakan sebuah penawar kekhawatiran bagi kami, meski tanpa kepastian kapan armada itu akan datang.
****
"297 kae, apik So bis'e...",
spontanitas temanku menyambut kehadiran Lia dan Indah.
Apik? Kanggomu kuwi, batinku...
Coretan new livery memang mengesankan keanyaran, padahal bodynya saja sudah selayaknya turun pangkat dari Executive Class, sebuah rumah rumah yg dibangun oleh karoseri kota asal Inul Daratista, Tugas Anda.
Ditinggalkannya tajuk livery 'era 200X tampil beda' mungkin memang disengaja demi dongkrak penampilan, sehingga orang awam sepertiku lebih lebih temanku tidak berkecil hati melihat armada dengan rating kelas lebih rendah menggunakan armada baru (entah hanya body saja atau juga chasisnya).
Biarpun tua, bangun arsitektur made in Pasuruan ini masih sanggup menjalankan fungsionalnya memberi payungan dari panas dan hujan, terbukti tidak adanya titik kebocoran karena tertembus kederasan reaksi mencairnya mendung.
"Lungguho ngarep kono lo Mas, kuwi enggonku, aku nek lungguh ngarep ki ora penak"
sebenarnya suara itu lirih ku dengar dari seorang Ibu yg bikin bingung kedua temanku lantaran seat 2D telah ditempatinya, saking kemrungsungnya maka mereka pun tidak menangkap apa yg disuarakan Ibu itu.
Atas laporan kekisruhan tempat duduk ini, kenek kemudian mengecek tiket. Bukan menjelaskan dengan lugas perpindahan kursinya, Ibu itu malah ngomong "Kandani kon lungguh ngarep kok, wong kursi ijek okeh we kok bingung", seolah beliau paling tau soal bis ini.
Anak sebaya yg duduk di sampingku pun menimpalnya "Lha niku kursi mpun payu, nek sing duwe munggah pripun ?" atas gagasan ngawur Ibu itu.
Akhirnya tiga tiket yg ku pegang ini bertransisi seat-number menjadi 1C, 2B, dan 2C.
Air yg mengaliri kaca samping membuat pandangan keluar tidak tembus, sesekali hanya terlihat lamat lamat armada tunggal kandang dan Harapan Jaya. Sorenya keberangkatan membuat bis bis Wonogiri Inside sudah ngacir jauh di depan.
Perbincangan ringan dengan penumpang sebelahku yg katanya orang Ngawi lebih banyak mengisi waktu perjalanan awal shif pertama itu.
Di daerah Salatiga, terlihat satu komplotannya di pinggir jalan dalam keadaan berhenti dengan kap mesin terbuka. Melihatnya, sopir hanya bertanya pada kenek "Opo kuwi ? Non AC to ?" tanpa turut menepi membantu kedua sahabatnya yg tengah uthek berpayung pintu ruang mesin.
Sesuatu yg menurutku asing dari kebiasaan PO pada umumnya, yg walaupun sebatas mengganti ban pun, tetap ada rekan yg urun bantuan.
Apakah karena jumlah armada pemberangkatan perharinya yg buuuanyak, sehingga hanya kawan satu kelas saja yg diwajibkan tanggap darurat, atau memang di sini murni tiada aturan untuk bahu membahu ketika salah satu armada mengalami trouble ?
Shif pertama berakhir ketika bis menginjakkan roda di RM.Sari Rasa, tapi itu tidak berlaku untuk sopir, yg umumnya peralihan kendali setirnya dilakukan ketika start dari rumah makan ini.
Gradag gradak... Cesst... Greg...
Lubangan di jalur lingkar alas roban membuat sopir mendadak menginjak rem, kekagetannya membuat tidak seimbang antara pijakan rem dan kopling, karena mungkin kaki kiri memang sedang bebas tugas dari siaga di atas pedal, alhasil membuat mesin seketika mati.
"Lha ndisek ora rusak ngene iki ya ?"
Memang dari obrolannya dengan kenek, sepertinya sopir ini sudah lama tidak ditugaskan di rute Jakarta-nan, dan perjalanan inilah awal pertamanya beliau kembali dipindah tugaskan.
Usai mendapat jawaban bahwa sopir memilih untuk tidak melewati tol Palikanci, kenek lantas izin untuk tidur di kandang macan.
Tak ku ketahui di daerah mana, begitu aku membuka mata setelah sejenak tertidur, Bejeu New Travego menunjukkan aksinya sebagai kontestan Pantura asal Muria Grup yg dikenal dengan kecepatannya. Belum juga lampu triple diamond yg menempel di bumper belakang bis putra Jepara itu menjauh dari pandangan, kolega mudanya yg berbody Scorpion King pun menyusulnya.
Nusantara dengan balutan New Marcopolo yg sedikit memotong lajur saat mengejar dua bis hitam itu, membuat sopir sedikit menginjak rem supaya spion kirinya tidak kecanthol buntut bis ungu berlivery New York City itu.
Tak ingin ketinggalan dengan tiga rival banter nya, Haryanto bercorak The Phonix pun mengukuhkan pengakuan sopirku akan kekalahannya pada bis bis tlatah lor itu. Malah tak berselang lama, jauh di depan yg terlihat lamat lamat hanya rear lamp Marcopolo, Scorking, dan Triple Diamond, tandanya bis berbendera Menara Kudus itu sukses menyungkurkan ketiga lawan sesama Muriaannya.
Tidur ayam ku terbangun kembali ketika laju bis tersendat oleh kemacetan, Shantika biru Galaxy AirS di depanku, berusaha berpindah haluan ke lajur kiri, sehingga menyebabkan Shantika lainnya yg berada sejajar denganku yg sama sama berlivery biru dan berbody Galaxy AirS harus tertahan oleh kembarannya.
Perpindahan Shantika memberikan celah pandangan ke depan, sehingga terlihat kausa kemacetan ini, adalah Muji Jaya yg menyalakan lampu hazrad di lajur kanan. Sopir beratribut topi ala Glan Fredly ini pun mengikuti jejak navigator bis yg kini pecah menjadi beberapa sub nama itu.
Rupanya daruratisme Muji Jaya adalah proses oper penumpang karena armada se-garasi-nya nyeruduk bokong Haryanto The Phonix yg sempat menyisihkan bis ku ketika nemburu Nusantara dan dua Bejeu tadi. Tak hanya disruduk, bis berstiker euro 3 itu pun juga mencium pantat kendaraan di depannya, Raya. Kecelakaan karambol antara tiga nama PO itulah biang keladi ketersendatan ini.
Aku pun kembali tertidur, dan pulih terjaga saat bis masuk ke rumah makan pribadinya untuk memberikan layanan snack yg sudah dibanderol ke dalam tiket. Secangkir kopi dan seiris roti basah cukup menghangatkan pagi di Indramayu itu, paling tidak kesempatan untuk sekedar melepas nafsu makhruh 'merokok' bisa terlaksana di sini.
Karena ini adalah rumah makan interen, tidak ada clean-man yg tugasnya mencuci kaca depan bis ala kadarnya, maka sopir terpaksa melakukannya sendiri, dengan inisiatif mengaktifkan wiper dan menyiramkan air dari botol air mineral dari luar.
Sekembalinya ke perjalanan hanya ku isi dengan pejaman mata saja, hingga akhirnya sebuah lampu merah perempatan di Tangerang (entah dimana tempatnya, karena memang baru pertama kalinya aku ke sini) menjadi tempatku menyudahi hubungan dengan Mbak Rosa, Lia, dan Indah.
Kini rasa enggan itu malah kian berlapis, bukan saja tentang seperti apakah dirinya, yg mulai malas merekrut artis baru jebolan produser Laksana sebagai pemeran sinema malam Pantura Story, pun penampilan bintang bintang anyar turut menyumbang kausa ke-pecundang-an-ku.
Setelah sosok LP62, LP39, dan LP51 urun serta mengindahkan jalanku, yg memaknai adanya bubuhan noda dalam kesucian cinta pertamaku, tidaklah lantas membangun ironi mengagungkan kembali rindu padanya. Malah, adanya jeratan dusta akan cinta segilima antara Aku, Dia, dan Mereka.
Tak ubah dari senandung bait bait awal, rangkaian cerita yg terjalin beberapa kali dengan Laju Prima akhir akhir ini, membuahkan anggap 'aku bukan pilihan hatimu' dari Dia, Gunung Mulia...
Lalu, siapa maksud 'Mereka', yg bakal mencemburkan hati ke samudera rasa Aku dan Dia?
Jangan kemana mana, karena di sini akan mengangkat hal hal tabu menjadi layak dan patut untuk diperbincangkan, semua akan dikupas secara tajam, setajam Golok !
####
Entah mengapa, kali ini gelora asmaraku mendidih, rasanya tak ingin sekedar mencumbu satu nama. Opo maneh, sasaran ini pernah gagal oleh 'kencan rahasia' yg memenjarakan beberapa waktu silam, alhasil kerakusan melirik Nona Rosa, Neng Lia, dan Mbak Indah adalah gejolak jiwa yg sukar ku bendung. Biarlah cibiran 'playboy cap tiga jari' tertuju padaku, kalau tidak begitu, kapan ku dapati hangat pelukan tiga nama gadis berkulit putih itu.
Apalagi dalam ruwatan bali ngulon nanti, bukan urusan kerja dari big bos yg ku titik beratkan, melainkan mengenteng-entengi teman yg sedang terbebani gelimang uang lantaran ketiban setumpuk proyek kejar target. Niscaya itu bisa menombak kepekaannya pada ketiga nama ayu pengubur setiaku itu,
"Nek ora bareng Rosa, Lia, karo Indah, aku wegah mangkat".
Nampaknya senjata itu cukup ampuh menjerat ikatan pekerjaan, melumpuhkan organ organ jaringan fanatisme pada Dara cinta sejatinya.
****
Mungkin sudah akrab didengar, bahwa cucu dari nenek moyang Jawa yg menghuni ujung timur Kabupaten Wonogiri, disunahkan menjalani ritual sebelum berangkat ke Jakarta naik bis, waktunya boleh dilakukan beberapa jam, sehari, dan sepasar sebelumnya. Nama PO, kelas armada, tujuan, dan seserahan adalah sesaji yg kudu dipersiapkan sebelumnya. Oleh masyarakat Purwantoro peristiwa yg masih dilestarikan itu dinamai 'tuku tiket'.
Maka danyang yg bertengger di Jalan Raya Purwantoro-Ponorogo ku jamah demi tradisi yg diwariskan orang tua itu. Memang keberadaan pendhopo agen BPU asal Karanganyar itu lebih banyak menjauhkan diri dari populasi market ticket dalam terminal, lagi bangunannya pun kokoh dan permanen, mayoritas lengkap dengan area pembumian armadanya.
Hubungan kontak antara penjaga agen dan kantor pusat dalam mendatakan namaku dan dua teman sebagai penumpang Executive Class cukup lama. Berkali kali apa yg disuarakan harus diulanginya lagi lantaran penerimaan yg kurang responsif, sering putusnya sambungan selular makin menambah detik detik di PPT (Pusat Penjualan Tiket) yg tercecer di Kecamatan paling timur Provinsi Jateng itu.
Endingnya, pangkuan kursi 2B 2C dan 2D dikabulkan dengan tumbal uang tunai 450 ribu rupiah.
****
Mobil jenis pick-up dengan rumah rumah penumpang di bak belakang, yg bukan pemandangan aneh apabila di salah satu kecamatan rangkulan kota gaplek ini diindahkan sebagai angkutan orang, bersedia melebarkan trayek ilegalnya dari terminal non-bus Purwantoro ke agen tujuanku dengan akumulasi tarif 15.000 / 3 orang.
Memang tak semudah kenanganku dengan Dia, dimana nomor handphone pengawal merampungi segala urusan pemesanan tempat duduk, jeri payah tenaga, waktu, dan ongkos pun terpangkas oleh kebijakan take off dari agen yg tidak mengikat.
Menjelang dzuhur bis feeder pool Kartosuro itu datang. Instruksi kenek untuk memilih tempat duduk 'saksenenge' langsung menyambut kami bertiga, karena sesuai informasi darinya jikalau seisi bis masih akan dibongkar muat di pool.
Ternyata Concerto berpangkat Executive ini 'mungkin' berbeda dengan PO lain dengan kelas setara. Kata 'mungkin' ku sisipkan karena memang inilah my first trip dengan armada yg sepengetahuaku berfasilitas leg-rest itu, namun tidak demikian yg ku alami saat ini, melainkan hanya foot-rest sajalah yg dibekalkan sebagai penunjangnnya.
Agen Jatisrono yg lokasinya berada di Pasar Lawas, sedikit menyiutkan kabin 'ngelondang' ini. Dilihat dari gawan yg mungkin sudah dijatuhi klaim berupa cas apabila ini adalah sebuah pesawat, penafsiranku pulau seberanglah tanah jujukannya.
SPBU Wonogiri dipilih sebagai pemasok BBM besubsidi jenis solar ke dalam fuel tank yg terbenam dibawah rumah rumah arsitektur Rahayu Santosa ini sebelum berlanjut nyebrang ratan alias masuk pool perwakilan kota 1001 PO.
Imbuhan penumpang membuat bis bernomor lambung 154 ini nyaris tak menyisakan free seat. Bis mulai berjalan dengan pintu depan yg masih terbuka, rupanya hanya mencari posisi untuk kontrolan saja. Nama nama yg telah tercantum di DP disuarakan oleh petugas, pemeriksaan tiket dan tujuan pun tak luput adanya, disertai relokasi tempat duduk sesuai dengan nomor yg telah tertulis di dalamnya. Kok aneh, kalau warta kenek tadi dipedomankan, harusnya semua ini terjadi di Kartosuro.
Aku pun terhuyung menuju barisan kurawa (barisan bagian belakang) mencari kursi yg belum diakui, lantaran harus tersingkir oleh id-number-seat kami yg justru berpegang pada orang lain. Awalnya itu tidaklah ku problemakan, karena di sini aku hanyalah orang titipan. Persoalan terjadi saat di Kartosuro, ternyata bis tak menyisakan pun satu penumpang sama sekali, malah masih sempat ku tangkap mata, justru armada itu puter walik kembali mengarah timur yg kemungkinan akan menuju garasi Palur. Trus, apa manfaat dilakukannya operasi penertiban papan panggonan di sini ?
"Siapa yg belum dipanggil ?"
"Saya", sambil menunjuk mengarah nirwara.
Tak ubah seperti suasana taman kanak kanak yg ku alami belasan tahun lampau. Siapa yg belum diabsen ? Saya Buk... Siapa yg belum selesai tunjuk jari !
Rosa Rosa, hadirku ini berlaku sebagi pelangganmu, bukan sebagai jalan untukku beranjak dari masa bocah. Andai saja tutur 'ada yg belum dipanggil' diralatkan, sedikit ubahannya memberi kesan yg berbeda, lebih santun.
Langkah Pak Guru itu lantas menyambangi kumpulan kami, tiga tiket yg diminta lalu dibawanya turun masuk ke kantor, mungkin untuk di-scan keabsahannya. Setelah orang dalam melegalitas keaslian lembaran yg dibalut cover biru itu, akhirnya bukti sertifikasi uang 150 ribu x 3 itu kembali menjadi hak milik kami,
"Dari agen Purwantoro nggak ada konfirmasi ke sini masalahnya. Ini nanti oper di Kartosura ya !", imbuhnya.
"Iyaaa Paaak...".
Perjalanan menuju pool Kartosuro berlanjut. Central Loundry yg ada di Solo Baru, dijadikan tempat mengistirahatkan selimut selimut yg telah menghangatkan puluhan tubuh, untuk ditukar dengan yg baru, baru dicuci maksudnya...
Seperti yg tersinggung di atas, seisi bis baik manusia atau barang, terkecuali kepunyaan Rosa sendiri, atau orang yg menggantungkan pakaryan pada Lia dan Indah, diwajibkan untuk meloloskan diri dari dalam kabin tunggal gawan (setunggal-gangsal-sekawan) ini.
"Iki oper endi Mas ?", ku selakan tanya pada kesibukan mengosongkan bagasi yg dilakukan kenek berjiwa banyolan itu.
"Gak weruh aku, kono tekok nyang loket !".
Ayunan langkah mulai meninggalkan area yg tidak memadahi untuk sebuah bis memutarkan mukanya secara instan, sehingga peran gigi 'R' harus diperbantukan untuk meloloskan badannya dari tiang tiang penyangga atap yg membuat ruangan dengan penghuni empat unit bis 'mati' dan satu body yg ditompang oleh drum itu menjadi gelap tak bercahaya.
Melihat sebuah body yg bertumpu pada tong kosong tak terbunyi nyaring karena tidak ditabuh itu, apakah tempat ini adalah salon pribadi Rosa Lia serta Indah dalam berganti dandanan mengikuti fashion dan make up yg sedang dalam masa ngetrend, yg dikenal dengan nama karoseri Rosalia Indah di kaca belakangnya itu, tapi bukankah workshop itu di Palur adanya ? Lhah, embuh...
Menginjak ruang tunggu, jangkah orang orang dalam menjebol partisi kaca menjadikan pedoman bahwa itulah yg dimaksud loket oleh kenek tadi, segera aku mengekor pada aktifitas itu.
Dari beberapa penunggu meja yg membentuk konsonal 'L', sejujurnya mata hati ini menjatuhkan lirikan pada desk office yg dibacking-i kaum Hawa suku Jawa asli Kartasura. Pertama-karena jaraknya paling dekat dengan pintu, kedua-karena seorang wanita itu akan lebih lemah lembut, ramah tamah, dan sopan santun dalam melayani, ketiga-karena perkenalan itu terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya saja, tetapi juga karena kesempatan. Sayang, cegatan muncul oleh kursi yg dihadapnya sudah didahului Pak Adam, apa boleh buat, selain ku labuhkan kebingungan ini pada Customer Service yg nganggur.
Seperdelapan detik mata Bapak pendiam meja tujuan menatap kedatanganku, setelahnya, kembali bertatap layar dengan komputer didepannya. Andai spiritiualnya dapat menyelami batin ini, kalimat 'aku rene ki arep tekok, ora kok arep ndelok' pasti menjadi bisikan gaibnya.
Ku iringkan kata kata "Ini bis'nya yg mana Pak?" ketika ku serahkan tiga tiket di atas mejanya, mengingat di depan ruang tunggu memang sudah didiami oleh dua armada, siapa tau itu bis yg akan mengantarku ke Provinsi Banten.
Alih alih disambut tanggapan menilik tiketku, nada ketus "Ditunggu aja diluar nanti dipanggil !" adalah yg ku dapati. Seolah tangan ini membungkam rapat agar mulutku tak kebobolan perkataan khas Arek Suroboyo, 'Djancuk'.
Apakah semua yg ada di sini adalah penumpang lama yg otomasis sudah mendalami seluk beluk perusahaan yg Timbul dari ke-Jaya-an Bapak Atmo Wiranto itu, bukankah untuk pelanggan baru sepertiku ini lumrah jika merasa bertanya adalah rambu rambu kebingungan.
Kalaupun itu memang prosedur untukku sebagai penumpang, maka tidak ada yg salah dengan apa yg disuruhkan Bapak tadi, yg ganjil bagiku hanyalah hal penyampaiannya, kaku dan acuh. Sebatas ingin disegani dengan tata wicara, bukan berati aku ingin dianggap spesial kan? Pun itu yg dirasakannya, apa salahnya jika disuguhkan pada seorang pelanggan.
Kalau tidak memandang gelutan profesinya itu demi kehidupan keluarganya, mungkin saja bagiku untuk melepaskan Bapak itu dari jabatan yg diemban, caranya? Berdoa pada Allah, hahaha...
Silih berganti armada datang dan pergi dengan wiper yg bergerak untuk menembus pandangan lewat kaca akan derasnya peluru yg dihujamkan langit, cuaca pun mamasok jenuh ke dalam acara janjian dengan Rosa ini.
Toilet yg berada di belakang ruang tunggu, bukan fasilitas yg dibebaskan dari wajib dana kebersihan. Kenapa bangunnya tidak di luar pool saja ya kalau sama sama masih ditarif biaya ? Lumayan kan recehan dari orang yg bukan penumpang pun bisa mengisi celengan yg di siap sediakan.
Sate ayam dan gorengan belum cukup mengisi waktu penantian panjang ini, sementara lambat laun deretan kursi yg awalnya penuh kini mulai banyak yg terlihat tak bertuan, artinya sebagian penduduk telah sukses move on ke tumpuan yg lebih empuk dengan formasi 2-2 di ruang barunya. Trus, aku kapan ?
Saranku untuk kembali mengambil kejelasan ke dalam kantor akhirnya dengan gampang di-iya-i salah satu teman, perannya memang sengaja ku cadangkan pada sendiriku yg sudah canggung berinteraksi dengan abdi dalem ke-pt-an Rosalia Indah.
Lain dengan kiprah awalku yg keluar dengan bawaan hampa,
"Bis'e urung teko, sing tak tekok'i mau tekok nyang sandinge, pool Bitung sudah ada yg masuk belum, trus dijawab belum, ngono"
adalah warta yg dioleh-olehkan temanku, setidaknya bisa menjadi ayoman hati bahwa kami tercatat sebagai penumpang.
Seiring hujan yg terus mengguyur tanah kecamatan di bawah Pemkab Sukoharjo, semakin deras pula laju penumpang yg bergegas meninggalkan ruang tunggu. Umpama pemandangan ini terjadi dari awal, mungkin tidak akan terasa lama waktu penuh kebosanan ini, lantaran kelonggaran kursinya sangat leluasa untuk merebahkan badan merangkai kehidupan dunia lain.
"Tiketnya mana Mas ?",
tanya seorang petugas kantor yg menjalani praktek ke lapangan, mungkin sebagai tindakan atas pertanyaan kenapa masih ada beberapa penumpang yg belum berangkat.
Tiket serahanku dibawanya masuk ke kantor, entah bakal diapakan, mungkin proses scan kelegalan untuk yg ke-dua kalinya.
"Ini nanti nomor bis nya 297 ya Mas".
Sekeluarnya petugas paling sabar itu berhasil membawakan sebuah penawar kekhawatiran bagi kami, meski tanpa kepastian kapan armada itu akan datang.
****
"297 kae, apik So bis'e...",
spontanitas temanku menyambut kehadiran Lia dan Indah.
Apik? Kanggomu kuwi, batinku...
Coretan new livery memang mengesankan keanyaran, padahal bodynya saja sudah selayaknya turun pangkat dari Executive Class, sebuah rumah rumah yg dibangun oleh karoseri kota asal Inul Daratista, Tugas Anda.
Ditinggalkannya tajuk livery 'era 200X tampil beda' mungkin memang disengaja demi dongkrak penampilan, sehingga orang awam sepertiku lebih lebih temanku tidak berkecil hati melihat armada dengan rating kelas lebih rendah menggunakan armada baru (entah hanya body saja atau juga chasisnya).
Biarpun tua, bangun arsitektur made in Pasuruan ini masih sanggup menjalankan fungsionalnya memberi payungan dari panas dan hujan, terbukti tidak adanya titik kebocoran karena tertembus kederasan reaksi mencairnya mendung.
"Lungguho ngarep kono lo Mas, kuwi enggonku, aku nek lungguh ngarep ki ora penak"
sebenarnya suara itu lirih ku dengar dari seorang Ibu yg bikin bingung kedua temanku lantaran seat 2D telah ditempatinya, saking kemrungsungnya maka mereka pun tidak menangkap apa yg disuarakan Ibu itu.
Atas laporan kekisruhan tempat duduk ini, kenek kemudian mengecek tiket. Bukan menjelaskan dengan lugas perpindahan kursinya, Ibu itu malah ngomong "Kandani kon lungguh ngarep kok, wong kursi ijek okeh we kok bingung", seolah beliau paling tau soal bis ini.
Anak sebaya yg duduk di sampingku pun menimpalnya "Lha niku kursi mpun payu, nek sing duwe munggah pripun ?" atas gagasan ngawur Ibu itu.
Akhirnya tiga tiket yg ku pegang ini bertransisi seat-number menjadi 1C, 2B, dan 2C.
Air yg mengaliri kaca samping membuat pandangan keluar tidak tembus, sesekali hanya terlihat lamat lamat armada tunggal kandang dan Harapan Jaya. Sorenya keberangkatan membuat bis bis Wonogiri Inside sudah ngacir jauh di depan.
Perbincangan ringan dengan penumpang sebelahku yg katanya orang Ngawi lebih banyak mengisi waktu perjalanan awal shif pertama itu.
Di daerah Salatiga, terlihat satu komplotannya di pinggir jalan dalam keadaan berhenti dengan kap mesin terbuka. Melihatnya, sopir hanya bertanya pada kenek "Opo kuwi ? Non AC to ?" tanpa turut menepi membantu kedua sahabatnya yg tengah uthek berpayung pintu ruang mesin.
Sesuatu yg menurutku asing dari kebiasaan PO pada umumnya, yg walaupun sebatas mengganti ban pun, tetap ada rekan yg urun bantuan.
Apakah karena jumlah armada pemberangkatan perharinya yg buuuanyak, sehingga hanya kawan satu kelas saja yg diwajibkan tanggap darurat, atau memang di sini murni tiada aturan untuk bahu membahu ketika salah satu armada mengalami trouble ?
Shif pertama berakhir ketika bis menginjakkan roda di RM.Sari Rasa, tapi itu tidak berlaku untuk sopir, yg umumnya peralihan kendali setirnya dilakukan ketika start dari rumah makan ini.
Gradag gradak... Cesst... Greg...
Lubangan di jalur lingkar alas roban membuat sopir mendadak menginjak rem, kekagetannya membuat tidak seimbang antara pijakan rem dan kopling, karena mungkin kaki kiri memang sedang bebas tugas dari siaga di atas pedal, alhasil membuat mesin seketika mati.
"Lha ndisek ora rusak ngene iki ya ?"
Memang dari obrolannya dengan kenek, sepertinya sopir ini sudah lama tidak ditugaskan di rute Jakarta-nan, dan perjalanan inilah awal pertamanya beliau kembali dipindah tugaskan.
Usai mendapat jawaban bahwa sopir memilih untuk tidak melewati tol Palikanci, kenek lantas izin untuk tidur di kandang macan.
Tak ku ketahui di daerah mana, begitu aku membuka mata setelah sejenak tertidur, Bejeu New Travego menunjukkan aksinya sebagai kontestan Pantura asal Muria Grup yg dikenal dengan kecepatannya. Belum juga lampu triple diamond yg menempel di bumper belakang bis putra Jepara itu menjauh dari pandangan, kolega mudanya yg berbody Scorpion King pun menyusulnya.
Nusantara dengan balutan New Marcopolo yg sedikit memotong lajur saat mengejar dua bis hitam itu, membuat sopir sedikit menginjak rem supaya spion kirinya tidak kecanthol buntut bis ungu berlivery New York City itu.
Tak ingin ketinggalan dengan tiga rival banter nya, Haryanto bercorak The Phonix pun mengukuhkan pengakuan sopirku akan kekalahannya pada bis bis tlatah lor itu. Malah tak berselang lama, jauh di depan yg terlihat lamat lamat hanya rear lamp Marcopolo, Scorking, dan Triple Diamond, tandanya bis berbendera Menara Kudus itu sukses menyungkurkan ketiga lawan sesama Muriaannya.
Tidur ayam ku terbangun kembali ketika laju bis tersendat oleh kemacetan, Shantika biru Galaxy AirS di depanku, berusaha berpindah haluan ke lajur kiri, sehingga menyebabkan Shantika lainnya yg berada sejajar denganku yg sama sama berlivery biru dan berbody Galaxy AirS harus tertahan oleh kembarannya.
Perpindahan Shantika memberikan celah pandangan ke depan, sehingga terlihat kausa kemacetan ini, adalah Muji Jaya yg menyalakan lampu hazrad di lajur kanan. Sopir beratribut topi ala Glan Fredly ini pun mengikuti jejak navigator bis yg kini pecah menjadi beberapa sub nama itu.
Rupanya daruratisme Muji Jaya adalah proses oper penumpang karena armada se-garasi-nya nyeruduk bokong Haryanto The Phonix yg sempat menyisihkan bis ku ketika nemburu Nusantara dan dua Bejeu tadi. Tak hanya disruduk, bis berstiker euro 3 itu pun juga mencium pantat kendaraan di depannya, Raya. Kecelakaan karambol antara tiga nama PO itulah biang keladi ketersendatan ini.
Aku pun kembali tertidur, dan pulih terjaga saat bis masuk ke rumah makan pribadinya untuk memberikan layanan snack yg sudah dibanderol ke dalam tiket. Secangkir kopi dan seiris roti basah cukup menghangatkan pagi di Indramayu itu, paling tidak kesempatan untuk sekedar melepas nafsu makhruh 'merokok' bisa terlaksana di sini.
Karena ini adalah rumah makan interen, tidak ada clean-man yg tugasnya mencuci kaca depan bis ala kadarnya, maka sopir terpaksa melakukannya sendiri, dengan inisiatif mengaktifkan wiper dan menyiramkan air dari botol air mineral dari luar.
Sekembalinya ke perjalanan hanya ku isi dengan pejaman mata saja, hingga akhirnya sebuah lampu merah perempatan di Tangerang (entah dimana tempatnya, karena memang baru pertama kalinya aku ke sini) menjadi tempatku menyudahi hubungan dengan Mbak Rosa, Lia, dan Indah.
