Dentangan lonceng dari Pak Bos lantang berirama, menggitik
jiwa supaya mengimami raga yg dirasanya cukup dalam meladeni keluh kesel ini as to as possible ready di
belakang garis untuk start dalam ajang perebutan serpihan serpihan rejeki yg
diselenggarakan setiap detiknya oleh Kota
Monas.
Hmmm, Wonogiri...
Ditunggu gak bikin kaya, ditinggal ngangeni...
Ungkapan yg acap kali terlontar oleh anggota rantau comunnity itu tak luput adanya, penampakannya ialah gebuan rasa tatkala jam ngaso dari status komuter Ibukota tiba, enggan rasanya untuk menunda jadwal mulih ngetan pun sehari saja, sebaliknya, sehari, dua hari, seminggu, adalah akumulasi detik detik bahagia mengubur rindu bersama keluarga, sanak saudara, kawan lama, ranah tumbuh dewasa, atau sebuah kenangan.
Apa daya, ciutnya ruangan pekerjaan di kota pemilik bendungan sumber PLTA tak muat menampung ratusan manusia yg tanpa terkecuali butuh makan, niscaya kehanggatan yg terangkai bersama sanak family, jalinan keakraban dengan sahabat, bahkan roman roman yg terukir dengan calon mbok'ne bocah pun mesti terelakan pupus akan momok musim paceklik dompet pasca-outcome.
Yo wis lah, apalah arti sebuah pertemuan, tanpa landasan perpisahan yg perlahan memupuk kerinduan...
Lion Air ku coret dari sket hunter public transport ku, centang option pada Garuda Indonesia pun ku urungkan, pun moda yg menjadi title salah satu tembang yg dikaryakan Cak Diqin feat Wiwid Widayati, Sepur Argo Lawu, belum juga mencuatkan asa untuk menjadikan sebatas pengalaman.
Entah mengapa, kegandrunganku pada bis masih saja terpupuk hingga kini, biar sejatinya repot terkadang berlaku sebagai hadiah atas keputusan yg ku ulur, ku pikir, ku timbang timbang demi sebuah kemufakatan diri.
Gunung Mulia, bis berkulit putih bersih yg biasa dikawal Pak Bagong hingga homebasenya Sukoharjo itu ronanya terlalu sering ku jelajahi kabinnya, alangkah pas aku menjalani kencan malam dengan sosok lain. PO yg belum lama ku sanjung, Laju Prima, hasratku belum mencapai puncak keinginan untuk menobatkannya sebagai singgasana ke-empat kalinya. Meski baru secarik ingatan yg tertulis di board otak ku, namun keribetan oper-operan yg dilakukan Rosalia Indah membuatku enggan untuk menambah catatan dengannya lagi di waktu ini. Laksana tak ingin terdiam oleh gertakan para pelancong dari luar plat AD-G, duo Gajah bersaudara sukses merasuk hati mencatatkan nama sebagai nominasi, sayang, GMS tak mampu meluluhkan ragu akan rolling basis armada yg ditugaskan sebagai angkutan orang 'wah' di hari chek-out ku, pasalnya aku begitu nyidam akan kegarangan Scorpion King yg mengemban amanah Komando Super Executive itu, namun tiada jaminan keteguhan atas armada mana yg bakal melanglang ke Terminal Purwantoro dengan kasta teratas di hari itu. Sedang sang kakak, harus ada ekstra tenaga plus biaya lagi untukku diakui sebagai penghuni kabin selevel kelas Super Executive milik Rosalia, OBL, Pahala, dan Nusantara itu, ah amat ribet, Purwantoro-Ngadirojo-Cilandak-Pasar Rebo-Pal, terhitung empat kali aku kudu menggandeng angkutan dalam sekali perjalanan.
Bukan sesal yg ku umpankan atas takdir menjadi Wong Wonogiri, tak juga aku menitik-bawahkan layanan transportasi berbasis bis malam di kabupaten tempat Semar menjatuhkan batu anak plinthengnya beberapa abad lalu. Namun andai saja kaki Gunung Muria menjadi ibu pertiwi, tak khayal kebingungan akan lenyap dengan kemilau sajian armada armada apik yg penuh sanjung puji dari masyarakat awam hingga para penggila bis di Pulau Jawa. Kerajaan Haryanto dengan prajurit tangkas macam The Phoenix, The Phoebus, The Ocean, The Purpple The Titans, dan The Destroyer. Bejeu yg menyematkan fitur smart berupa Hot Spot On The Bus. Atau Nusantara yg dianugerahi rekor dari United Tractor sebagai pembeli dengan keranjang belanjaan bertumpah ruah.
Sekelebat renungan itu mengalihkan ingatan, dulu begitu mata terbuka akan pelintas Pantura, yg tertatap dari balik tempered-glass Panorama DX sebuah Gunung Mulia, teringat jelas akan ilmu jalanan, dikenalkan aku olehnya sebuah pengetahuan baru akan merk chasis/mesin bis di Indonesia. Adalah scania, digurui oleh armada armada squat Kota Kretek Nusantara, dan satu lagi PO asal Jawa Timur sisih kidul, Harapan Jaya.
Ough, gelengku, kenapa aku mesti bersusah memburu singa melet itu ke kota semarak, kenapa pikiranku tak segera menangkap bahwa Tulungagung juga memelihara kelestarian singa keturunan Swedia itu. Thettt, bel pertanda akhir waktu penentuan, mutlak satu jawaban, nihil kesempatan ralat, Harapan Jaya, optimisku melingkari opsi yg ku yakini menyumbang angka tambahan nilai rapor perjalanan sampai saat ini.
****
Grup FB Harapan Jaya Mania ku jadikan sohib dalam menimba informasi jaringan agen yg kiranya tak memeras keringat dalam mencapainya. Bukan perkara mudah bagiku, meski coretan alamat telah mengisi saku, kebutaan tata letak kota Solo adalah hambatan berarti. Lantaran Jalan Adi Sucipto merangsak address-memories, usaha hunting tiket hari pertama ku nyatakan jauh dari sukses. Ahmad Yani adalah nama jalur di tengah daratan berdirinya agen incaran, yg pada akhirnya menampakkan bangunannya di episode 2 kisah nyata pemburu tiket, namun peranku urung mendramakan adanya hasil lantaran sutradara menggariskan pintu agen dalam keadaan tertutup sebagi alur ceritannya. Ujung sinema, ku percayakan lembaran tiket sementara itu pada seorang teman yg tengah merampungkan garapan proyek di kota satelit itu.
Ku umpankan aset dompet menunjuk kelas executive sebagai satu satunya jaring mendapatkan jatah bis dengan trademark scania, apes, rupanya trayek yg bersinggungan dengan domisiliku hanya dilayani kelas patas dan VIP. Apalah kuasaku, selain pasrah akan keadaan yg dikondisikan management PO penguasa trayek Patas Tulungagung-Surabaya itu, VIP lah penawar pahitnya realita tak berjodoh dengan bis berpangkat panglima jenderal itu.
****
Dengan estimasi waktu tempuh normal, butuh sekitar 3 x 60 menit untuk move on dari Purwantoro ke Solo, ku cadangkan waktu setengah jam untuk bersahabat dengan keberangkatan bis 15 yg ditarget pukul 18.00. Agresifitas kaki sopir Gunung Mulia, ditambah penanggalan tradisi ngetem sebuah bis bumel, bukan mengulur waktu yg telah ku asuransikan, justru memangkasnya menjadi 30 menit lebih cepat, alhasil memberi slot time penantian tak kurang dari satu jam andai bis datang sesuai janjinya.
Pemandangan senja kota Solo begitu indah dengan adanya lalu lalang bis dari ataupun mengarah Terminal Tirtonadi, panorama di bawah mega oranye itu semakin elok akan sliweran Sumber Group, Eka/Mira, Safari and Family, beraneka bumel, dan ragam bis malam yg harus mampir ke bus station Surakarta itu.
Parade blue-led ciri khas New Travego face lift melamurkan pandang yg selama sejam lebih menyoroti dan disoroti lampu lampu pupolasi Jalan Ahmad Yani, ku tolehkan leher seraya menangkap sinar biru itu memenuhi bola mata, inilah bis yg akan memberiku the new experience to travel malam ini, batinku yakin setelah tertangkap secarik kertas putih bertulis angka 15 yg tertempel di kaca depan sebagi id-number of destination nya.
Nomor yg dibekalkan agen pada lembar tiket, tak selaras dengan pemandangan aslinya, bukan enggan menerima kenyataan untuk berpindah posisi, namun andai ku tujukan kaki pada tempat duduk pelarian dari semestinya, siapa tau penghuni resminya sudah menanti di agen depan, alah bodo amat, bukan ulahku mericuh, ku abadikan raga ini di seat kosong ber-id 8A. Terpisah gangway dengan sosok gadis yg berdua satu angkatan satu tujuan denganku, sayang, tingkah yg ditunjukkan ku anggap megelne (bikin sebal), komprominya dengan agen untuk meminta jok yg sebelahnya tak terjual, alias kelicikannya untuk buy one free one seat membuat bapak paruh baya harus rela terusir dari 8C-8D. Huhh, tak serta merta ku layangkan bully padanya lantaran akal bulus meminta dua jok atas satu tiket yg dibayar, namun dengan begitu maka mustahil sudah kesempatan emas untuk meminimalisir jarak ku dengannya yg terpisah lorong menuju toilet, pintu belakang, serta kandang macan itu. Andai saja aku bisa menjadikan satu diantara seat yg dipeluknya erat menjadi singgasanaku, niscaya bakal ada kesibukan lain jikalau tiada aksi yg tersuguh di luar nantinya. Yaah, apa boleh buat, jodohku adalah 8A, bukan 8C/8D lebih lebih penghuninya.
Satu selimut diberikan oleh kenek padaku, jelas saja ini pertanda bahwa selimut masih dalam status terikat tali seusai dicuci, sehingga masih dieman eman untuk dialokasikan di setiap kursinya, hanya pada yg berpenduduk saja selimut itu disebar.
Galaxy AirS satu kandang mencabuk dari kiri sebelum bangjo di dekat RM. Pantes, seolah mengisyaratkan pada driverku bahwa waktu mulai larut. Lajur yg sebenarnya diperuntukkan untuk lalu lintas yg hendak belok ke kiri, disabet dua kuda yg tengah guyub rukun ini untuk menjebol antrian panjang menunggu lampu hijau menyala. Skil kaki kiri sopir dalam menginjak kopling, membuat armadanya goyang patah patah, terasa adanya loncatan loncatan kecil berulang ulang, itu dilakukannya untuk merangsak kembali ke lajur sebenarnya, memaksa sebuah Hino Lohan dengan terpaksa harus berhenti menanti body sepanjang 12 meter ini masuk seluruhnya.
Sunyi sepi menyituasikan halaman RM. Sari Rasa yg biasanya dipenuhi berpuluh armada dari ragam nama PO, hanya dua bis berstiker geng kuda ini saja yg mengisi parkiran depan.
Ku alunkan kaki munyusuri lorong kabin karya orang Malang ini, mengikuti langkah yg dijejakkan para penumpang yg lebih dulu turun sebagi tuntunan akan rabunku pada letak meja yg mendulang sajian makan malam Harapan Jaya. Uniknya, tua muda, miskin kaya, pria wanita, dan perawan atau janda, semua langsung menyerbu pintu masuk rumah makan, pemandangan lain dari yg biasa ku saksikan bahwa toilet umumnya lebih diprioritaskan.
'Harapan Jaya', sambutan seorang laki laki dengan penampilan formal yg berdiri di depan pintu akses sub-room rumah makan seraya menyobek kupon makan dari tiket yg diumpankan para pemburu hidangan gratis. Rupanya PO elite ini menempatkan area prasmanan di ruang terpisah dari PO PO lain, lengkap dengan pendingin udara serta toilet di dalamnya, pantas saja aktifitas sowan toilet nihil terjadi selepas bebas dari dalam bis. Yg tak biasa lagi, tiada embel embel 'maaf ambil satu potong saja' menyanding lauk utama yg biasa terlihat di servis makan Gunung Mulia di sini, entah apakah itu menegaskan bahwa ayam kecap ini boleh diambil melebihi kapasitas patut atau tidak.
Dua kuda jantan lain telah merusak romantisme bis ku dan Galaxy varian terakhir itu, masing masing Scorpion King dan Jetbus HD yg sama sama didorong 260 tenaga kuda dari Jerman. Pupolasi Touring ala Tentrem kembali imbuh, sebuah Scania bertag Beyond Imaginaton datang dengan unjuk kebolehan turunnya body bis menyisakan sejengkal jarak dengan bumi, fitur canggih yg hanya dipunyai armada penyandang suspensi udara saja, jelas fungsinya membantu daya jangkau kaki penumpang sewaktu transisi antara kabin bis dan tanah terjadi.
Seruan nomor 15 dari kenek pertanda aku dan 29 orang lainnya agar segera kembali ke pangkuan seat Hai, selimut yg tadi telah ku aktifkan untuk penangkal hawa dingin yg disemburkan blouwer AC kini kerapiannya kembali menyelimuti tempat ku menyandarkan punggung, reclening seat yg telah ku otak atik guna menyelaraskan rebahan badan pun kembali ke sudut standarnya, tak bukan ini adalah ulah kenek sewaktu bis dalam keadaan kosong ditinggal pendudukkan mengisi perut tadi, layanan yg baru ku jumpai di PO white-orange ini, meski positif yg ku nilaikan, namun sejatinya memberatkan tugas kenek.
Bis dengan body yg kini telah discontinue berganti menjadi Jetbus itu pun meninggalkan ke empat kawannya. Suasana jalan daerah Kendal-Wleri-Batang-Subah mulai sepi dari panorama bis malam mengarah barat, tinggal lakon alon alon waton kelakon truk truk saja yg menjadi tontontan.
Ku lirik, Yuanita Cristiani KW2 tengah memimpikanku di seat 8D, Mbak Mbak...andai saja egomu tak menangkal kehadiran sesama manusia di seat 8C sebelahmu, pasti mimpimu seketika indah dalam kenyataan.
'glethok glethok', bunyi yg berasal dari bawah kabin itu enggan membisu tatkala medan non-mulus diterjang, melepaskan pelukku pada Mbak Asti yg ku rangkai dalam mimpi, huhh, bukan karena susah tidur lagi kesal ini tercurah, namun karena kemesraan itu tak terbawa ke realita, suara apa yg sebenarnya menjadi biang kerok perpisahan itu?
Pemalang belum juga menghadiahkan bobo manis untukku, malah macet imbas pengecoran jalan terjadi. Beberapa sopir menjadikan tanah berdebu di pinggir kiri sebagai tol darurat guna meloloskan bis yg dibawa, Galaxy AirS yg tadi tertinggal di Sari Rasa, Rosalia Indah New Travego, serta Haryanto adalah bis yg menjadi tuntunan sopir ku untuk turut terjun dari munafik aspal atas kemulusannya.
Iman dan satu makmum yg melakoni jamaah off road tadi langsung melejit bagai tak ingin menyiakan arti sebuah kelancaran. Hanya Rosalia Indah saja yg ogah menunjukkan kesan age-age, bersama dengan GMS, OBL, dan Muji Jaya akhirnya harus mengakui kejantanan kuda putih dari kabupaten pemilik wisata Pantai Popoh ini.
Suguhan sinema jalanan akhirnya tak mampu mengikat pandangan untuk setia bersaksi, Brebes menjadi titik start-ku memulai ekspedisi alam bawah sadar.
Biarpun bunyi glodakan yg sepertinya disumberi oleh komponen kaki kaki itu tak peka oleh jam dan jarak, tapi tak seperdetik pun mata menyapu kilas kabupaten Cirebon. Cahaya putih pancaran langit langit mahakarya Adiputro mengusik pejaman mata akan silaunya, rumah makan, begitulah pikirku sembari menyatukan senyawa jiwa.
Trio Raja KalajengKing yg lahir di Malang telah terparkir rapi di sini, ketiganya bernyawa Scania. Secangkir kopi dan seiris roti ditahtakan sebagai free snack service in the traveling.
Scorpion King feat Mercedes-Benz OH 1526 menyusul merapatkan barisan setelah aku kembali keluar menatap mega menjelang fajar bumi Indramayu.
Hmmm, Wonogiri...
Ditunggu gak bikin kaya, ditinggal ngangeni...
Ungkapan yg acap kali terlontar oleh anggota rantau comunnity itu tak luput adanya, penampakannya ialah gebuan rasa tatkala jam ngaso dari status komuter Ibukota tiba, enggan rasanya untuk menunda jadwal mulih ngetan pun sehari saja, sebaliknya, sehari, dua hari, seminggu, adalah akumulasi detik detik bahagia mengubur rindu bersama keluarga, sanak saudara, kawan lama, ranah tumbuh dewasa, atau sebuah kenangan.
Apa daya, ciutnya ruangan pekerjaan di kota pemilik bendungan sumber PLTA tak muat menampung ratusan manusia yg tanpa terkecuali butuh makan, niscaya kehanggatan yg terangkai bersama sanak family, jalinan keakraban dengan sahabat, bahkan roman roman yg terukir dengan calon mbok'ne bocah pun mesti terelakan pupus akan momok musim paceklik dompet pasca-outcome.
Yo wis lah, apalah arti sebuah pertemuan, tanpa landasan perpisahan yg perlahan memupuk kerinduan...
Lion Air ku coret dari sket hunter public transport ku, centang option pada Garuda Indonesia pun ku urungkan, pun moda yg menjadi title salah satu tembang yg dikaryakan Cak Diqin feat Wiwid Widayati, Sepur Argo Lawu, belum juga mencuatkan asa untuk menjadikan sebatas pengalaman.
Entah mengapa, kegandrunganku pada bis masih saja terpupuk hingga kini, biar sejatinya repot terkadang berlaku sebagai hadiah atas keputusan yg ku ulur, ku pikir, ku timbang timbang demi sebuah kemufakatan diri.
Gunung Mulia, bis berkulit putih bersih yg biasa dikawal Pak Bagong hingga homebasenya Sukoharjo itu ronanya terlalu sering ku jelajahi kabinnya, alangkah pas aku menjalani kencan malam dengan sosok lain. PO yg belum lama ku sanjung, Laju Prima, hasratku belum mencapai puncak keinginan untuk menobatkannya sebagai singgasana ke-empat kalinya. Meski baru secarik ingatan yg tertulis di board otak ku, namun keribetan oper-operan yg dilakukan Rosalia Indah membuatku enggan untuk menambah catatan dengannya lagi di waktu ini. Laksana tak ingin terdiam oleh gertakan para pelancong dari luar plat AD-G, duo Gajah bersaudara sukses merasuk hati mencatatkan nama sebagai nominasi, sayang, GMS tak mampu meluluhkan ragu akan rolling basis armada yg ditugaskan sebagai angkutan orang 'wah' di hari chek-out ku, pasalnya aku begitu nyidam akan kegarangan Scorpion King yg mengemban amanah Komando Super Executive itu, namun tiada jaminan keteguhan atas armada mana yg bakal melanglang ke Terminal Purwantoro dengan kasta teratas di hari itu. Sedang sang kakak, harus ada ekstra tenaga plus biaya lagi untukku diakui sebagai penghuni kabin selevel kelas Super Executive milik Rosalia, OBL, Pahala, dan Nusantara itu, ah amat ribet, Purwantoro-Ngadirojo-Cilandak-Pasar Rebo-Pal, terhitung empat kali aku kudu menggandeng angkutan dalam sekali perjalanan.
Bukan sesal yg ku umpankan atas takdir menjadi Wong Wonogiri, tak juga aku menitik-bawahkan layanan transportasi berbasis bis malam di kabupaten tempat Semar menjatuhkan batu anak plinthengnya beberapa abad lalu. Namun andai saja kaki Gunung Muria menjadi ibu pertiwi, tak khayal kebingungan akan lenyap dengan kemilau sajian armada armada apik yg penuh sanjung puji dari masyarakat awam hingga para penggila bis di Pulau Jawa. Kerajaan Haryanto dengan prajurit tangkas macam The Phoenix, The Phoebus, The Ocean, The Purpple The Titans, dan The Destroyer. Bejeu yg menyematkan fitur smart berupa Hot Spot On The Bus. Atau Nusantara yg dianugerahi rekor dari United Tractor sebagai pembeli dengan keranjang belanjaan bertumpah ruah.
Sekelebat renungan itu mengalihkan ingatan, dulu begitu mata terbuka akan pelintas Pantura, yg tertatap dari balik tempered-glass Panorama DX sebuah Gunung Mulia, teringat jelas akan ilmu jalanan, dikenalkan aku olehnya sebuah pengetahuan baru akan merk chasis/mesin bis di Indonesia. Adalah scania, digurui oleh armada armada squat Kota Kretek Nusantara, dan satu lagi PO asal Jawa Timur sisih kidul, Harapan Jaya.
Ough, gelengku, kenapa aku mesti bersusah memburu singa melet itu ke kota semarak, kenapa pikiranku tak segera menangkap bahwa Tulungagung juga memelihara kelestarian singa keturunan Swedia itu. Thettt, bel pertanda akhir waktu penentuan, mutlak satu jawaban, nihil kesempatan ralat, Harapan Jaya, optimisku melingkari opsi yg ku yakini menyumbang angka tambahan nilai rapor perjalanan sampai saat ini.
****
Grup FB Harapan Jaya Mania ku jadikan sohib dalam menimba informasi jaringan agen yg kiranya tak memeras keringat dalam mencapainya. Bukan perkara mudah bagiku, meski coretan alamat telah mengisi saku, kebutaan tata letak kota Solo adalah hambatan berarti. Lantaran Jalan Adi Sucipto merangsak address-memories, usaha hunting tiket hari pertama ku nyatakan jauh dari sukses. Ahmad Yani adalah nama jalur di tengah daratan berdirinya agen incaran, yg pada akhirnya menampakkan bangunannya di episode 2 kisah nyata pemburu tiket, namun peranku urung mendramakan adanya hasil lantaran sutradara menggariskan pintu agen dalam keadaan tertutup sebagi alur ceritannya. Ujung sinema, ku percayakan lembaran tiket sementara itu pada seorang teman yg tengah merampungkan garapan proyek di kota satelit itu.
Ku umpankan aset dompet menunjuk kelas executive sebagai satu satunya jaring mendapatkan jatah bis dengan trademark scania, apes, rupanya trayek yg bersinggungan dengan domisiliku hanya dilayani kelas patas dan VIP. Apalah kuasaku, selain pasrah akan keadaan yg dikondisikan management PO penguasa trayek Patas Tulungagung-Surabaya itu, VIP lah penawar pahitnya realita tak berjodoh dengan bis berpangkat panglima jenderal itu.
****
Dengan estimasi waktu tempuh normal, butuh sekitar 3 x 60 menit untuk move on dari Purwantoro ke Solo, ku cadangkan waktu setengah jam untuk bersahabat dengan keberangkatan bis 15 yg ditarget pukul 18.00. Agresifitas kaki sopir Gunung Mulia, ditambah penanggalan tradisi ngetem sebuah bis bumel, bukan mengulur waktu yg telah ku asuransikan, justru memangkasnya menjadi 30 menit lebih cepat, alhasil memberi slot time penantian tak kurang dari satu jam andai bis datang sesuai janjinya.
Pemandangan senja kota Solo begitu indah dengan adanya lalu lalang bis dari ataupun mengarah Terminal Tirtonadi, panorama di bawah mega oranye itu semakin elok akan sliweran Sumber Group, Eka/Mira, Safari and Family, beraneka bumel, dan ragam bis malam yg harus mampir ke bus station Surakarta itu.
Parade blue-led ciri khas New Travego face lift melamurkan pandang yg selama sejam lebih menyoroti dan disoroti lampu lampu pupolasi Jalan Ahmad Yani, ku tolehkan leher seraya menangkap sinar biru itu memenuhi bola mata, inilah bis yg akan memberiku the new experience to travel malam ini, batinku yakin setelah tertangkap secarik kertas putih bertulis angka 15 yg tertempel di kaca depan sebagi id-number of destination nya.
Nomor yg dibekalkan agen pada lembar tiket, tak selaras dengan pemandangan aslinya, bukan enggan menerima kenyataan untuk berpindah posisi, namun andai ku tujukan kaki pada tempat duduk pelarian dari semestinya, siapa tau penghuni resminya sudah menanti di agen depan, alah bodo amat, bukan ulahku mericuh, ku abadikan raga ini di seat kosong ber-id 8A. Terpisah gangway dengan sosok gadis yg berdua satu angkatan satu tujuan denganku, sayang, tingkah yg ditunjukkan ku anggap megelne (bikin sebal), komprominya dengan agen untuk meminta jok yg sebelahnya tak terjual, alias kelicikannya untuk buy one free one seat membuat bapak paruh baya harus rela terusir dari 8C-8D. Huhh, tak serta merta ku layangkan bully padanya lantaran akal bulus meminta dua jok atas satu tiket yg dibayar, namun dengan begitu maka mustahil sudah kesempatan emas untuk meminimalisir jarak ku dengannya yg terpisah lorong menuju toilet, pintu belakang, serta kandang macan itu. Andai saja aku bisa menjadikan satu diantara seat yg dipeluknya erat menjadi singgasanaku, niscaya bakal ada kesibukan lain jikalau tiada aksi yg tersuguh di luar nantinya. Yaah, apa boleh buat, jodohku adalah 8A, bukan 8C/8D lebih lebih penghuninya.
Satu selimut diberikan oleh kenek padaku, jelas saja ini pertanda bahwa selimut masih dalam status terikat tali seusai dicuci, sehingga masih dieman eman untuk dialokasikan di setiap kursinya, hanya pada yg berpenduduk saja selimut itu disebar.
Galaxy AirS satu kandang mencabuk dari kiri sebelum bangjo di dekat RM. Pantes, seolah mengisyaratkan pada driverku bahwa waktu mulai larut. Lajur yg sebenarnya diperuntukkan untuk lalu lintas yg hendak belok ke kiri, disabet dua kuda yg tengah guyub rukun ini untuk menjebol antrian panjang menunggu lampu hijau menyala. Skil kaki kiri sopir dalam menginjak kopling, membuat armadanya goyang patah patah, terasa adanya loncatan loncatan kecil berulang ulang, itu dilakukannya untuk merangsak kembali ke lajur sebenarnya, memaksa sebuah Hino Lohan dengan terpaksa harus berhenti menanti body sepanjang 12 meter ini masuk seluruhnya.
Sunyi sepi menyituasikan halaman RM. Sari Rasa yg biasanya dipenuhi berpuluh armada dari ragam nama PO, hanya dua bis berstiker geng kuda ini saja yg mengisi parkiran depan.
Ku alunkan kaki munyusuri lorong kabin karya orang Malang ini, mengikuti langkah yg dijejakkan para penumpang yg lebih dulu turun sebagi tuntunan akan rabunku pada letak meja yg mendulang sajian makan malam Harapan Jaya. Uniknya, tua muda, miskin kaya, pria wanita, dan perawan atau janda, semua langsung menyerbu pintu masuk rumah makan, pemandangan lain dari yg biasa ku saksikan bahwa toilet umumnya lebih diprioritaskan.
'Harapan Jaya', sambutan seorang laki laki dengan penampilan formal yg berdiri di depan pintu akses sub-room rumah makan seraya menyobek kupon makan dari tiket yg diumpankan para pemburu hidangan gratis. Rupanya PO elite ini menempatkan area prasmanan di ruang terpisah dari PO PO lain, lengkap dengan pendingin udara serta toilet di dalamnya, pantas saja aktifitas sowan toilet nihil terjadi selepas bebas dari dalam bis. Yg tak biasa lagi, tiada embel embel 'maaf ambil satu potong saja' menyanding lauk utama yg biasa terlihat di servis makan Gunung Mulia di sini, entah apakah itu menegaskan bahwa ayam kecap ini boleh diambil melebihi kapasitas patut atau tidak.
Dua kuda jantan lain telah merusak romantisme bis ku dan Galaxy varian terakhir itu, masing masing Scorpion King dan Jetbus HD yg sama sama didorong 260 tenaga kuda dari Jerman. Pupolasi Touring ala Tentrem kembali imbuh, sebuah Scania bertag Beyond Imaginaton datang dengan unjuk kebolehan turunnya body bis menyisakan sejengkal jarak dengan bumi, fitur canggih yg hanya dipunyai armada penyandang suspensi udara saja, jelas fungsinya membantu daya jangkau kaki penumpang sewaktu transisi antara kabin bis dan tanah terjadi.
Seruan nomor 15 dari kenek pertanda aku dan 29 orang lainnya agar segera kembali ke pangkuan seat Hai, selimut yg tadi telah ku aktifkan untuk penangkal hawa dingin yg disemburkan blouwer AC kini kerapiannya kembali menyelimuti tempat ku menyandarkan punggung, reclening seat yg telah ku otak atik guna menyelaraskan rebahan badan pun kembali ke sudut standarnya, tak bukan ini adalah ulah kenek sewaktu bis dalam keadaan kosong ditinggal pendudukkan mengisi perut tadi, layanan yg baru ku jumpai di PO white-orange ini, meski positif yg ku nilaikan, namun sejatinya memberatkan tugas kenek.
Bis dengan body yg kini telah discontinue berganti menjadi Jetbus itu pun meninggalkan ke empat kawannya. Suasana jalan daerah Kendal-Wleri-Batang-Subah mulai sepi dari panorama bis malam mengarah barat, tinggal lakon alon alon waton kelakon truk truk saja yg menjadi tontontan.
Ku lirik, Yuanita Cristiani KW2 tengah memimpikanku di seat 8D, Mbak Mbak...andai saja egomu tak menangkal kehadiran sesama manusia di seat 8C sebelahmu, pasti mimpimu seketika indah dalam kenyataan.
'glethok glethok', bunyi yg berasal dari bawah kabin itu enggan membisu tatkala medan non-mulus diterjang, melepaskan pelukku pada Mbak Asti yg ku rangkai dalam mimpi, huhh, bukan karena susah tidur lagi kesal ini tercurah, namun karena kemesraan itu tak terbawa ke realita, suara apa yg sebenarnya menjadi biang kerok perpisahan itu?
Pemalang belum juga menghadiahkan bobo manis untukku, malah macet imbas pengecoran jalan terjadi. Beberapa sopir menjadikan tanah berdebu di pinggir kiri sebagai tol darurat guna meloloskan bis yg dibawa, Galaxy AirS yg tadi tertinggal di Sari Rasa, Rosalia Indah New Travego, serta Haryanto adalah bis yg menjadi tuntunan sopir ku untuk turut terjun dari munafik aspal atas kemulusannya.
Iman dan satu makmum yg melakoni jamaah off road tadi langsung melejit bagai tak ingin menyiakan arti sebuah kelancaran. Hanya Rosalia Indah saja yg ogah menunjukkan kesan age-age, bersama dengan GMS, OBL, dan Muji Jaya akhirnya harus mengakui kejantanan kuda putih dari kabupaten pemilik wisata Pantai Popoh ini.
Suguhan sinema jalanan akhirnya tak mampu mengikat pandangan untuk setia bersaksi, Brebes menjadi titik start-ku memulai ekspedisi alam bawah sadar.
Biarpun bunyi glodakan yg sepertinya disumberi oleh komponen kaki kaki itu tak peka oleh jam dan jarak, tapi tak seperdetik pun mata menyapu kilas kabupaten Cirebon. Cahaya putih pancaran langit langit mahakarya Adiputro mengusik pejaman mata akan silaunya, rumah makan, begitulah pikirku sembari menyatukan senyawa jiwa.
Trio Raja KalajengKing yg lahir di Malang telah terparkir rapi di sini, ketiganya bernyawa Scania. Secangkir kopi dan seiris roti ditahtakan sebagai free snack service in the traveling.
Scorpion King feat Mercedes-Benz OH 1526 menyusul merapatkan barisan setelah aku kembali keluar menatap mega menjelang fajar bumi Indramayu.
Bis 4 pertama diberangkatkan, disusul bis 5 yg dibarengi dengan bis 15 ku. Kres dengan Lorena bergenre Mercy Limited OH 1725 ketika bisku berhasil menginjakkan rodanya di aspal.
Rosalia, Pahala, dan Haryanto menjadi sedikit teman saat jalanan sudah sepi dari populasi bis malam.
Sopir tengah yg kini mendapat jatah ngaso, memilih kursi nomor 9CD untuk rehat sementara sebelum menuju sprint-bed nya, bapak paruh baya yg sebernarnya bersertifikat di 7C tapi transmigrasi ke 10CD sempat bicara soal suara yg selakyaknya mengganggu kepulasan penumpang bagian belakang itu pada sopir, dijawabnya bahwa itu disumberi oleh per daun sebagai tompangan as roda, konon chasis Mercy penyempurnaan dari OH 1525 ini memang seperti ini semasih menyandang status montor anyar, namun seiring waktu pada akhirnya akan meredam tanpa sulap tanpa sihir.
Taksi putih bermahkota huruf E ku opsikan sebagai angkutan feeder menuju domisiliku, di bawah fly over Pasar Rebo aku menjalani transisi ini.
"Kemana Mas?"
"Pal Pak..."
"Lho, itu ke Pal to Mas?",penjelasannya setengah heran sambil menunjukkan jarinya mengarah pada mantan mobil palat kuning ku yg berjalan di depannya.
Memang andai aku mau, aku bisa mencapai domisiliku tanpa jasa taksi, karena Raya Bogor adalah jalur yg dilalui bis tujuan akhir Bogor dan Cileungsi, jelas aku tinggal mengayunkan kaki menapaki bumi untuk setor diri sampai rumah. Namun bukan dominasi kata mau yg aku ingkarkan pada jasa Harapan Jaya saat ini, melainkan kata mampu, ya, waktu tak kurang dari jam 8 pagi, jam dimana jalan raya sedang sarat pelalu lintas, bukan perkara mudah bagiku menjangkah sepuluh kali untuk membawa raga ini ke sebrang jalan, entah mengapa, aku masih banci dalam hal menjadi objek hidup yg memotong laju arus di jalanan Jabodetabek, maka kali ini ku percayakan Express menjadi tedheng aling aling.