9 October 2012

Tradisi Ketika Gerhana Bulan


Sudah pernah donk menyaksikan gerhana bulan? Dalam tata surya kita, bumi selalu mengelilingi matahari yg pada suatu saat akan terjadi posisi jarak bumi dengan bulan terpisahkan oleh matahari yg mengakibatkan terjadinya sebuah gerhana bulan. Terjadinya gerhana ini tidaklah berjarak lama seperti gerhana matahari yg hanya terjadi berapa ratus tahun sekali saja, tapi ketika bulan sedang purnama gerhana ini sering terjadi. Di desaku gerhana disebut dengan istilah "grahanan", ya mungkin lidah orang tua jaman dulu kan gak bisa pas banget dalam mengucapkan sebuah kata, dan juga gak bisa pas banget dalam mencari sebab kenapa grahanan itu bisa terjadi. Begini kisahnya, dulu semasih aku kecil, kan belum tau sebab terjadinya grahanan yg sebenarnya, lantas setiap kali ada grahanan para orang tua beramai ramai membunyikan kentongan, ya mungkin sesuatu yg wajar lah, toh kentongan kan juga sebagai isyarat waspada, namun selain itu ada yg unik dari beliau para nenekku, mereka berbondong bondong menuju ke rumah yg mempunyai lesung, itu lho alat tradisional yg dulu dipakai untuk menumbuk, mungkin sekarang telah berganti menjadi mesin penggiling sebagai alat yg moderen.
Wujud Lesung
Nah, kebetulan masa itu rumahku adalah salah satu rumah yg masih menyimpan sebuah lesung, setiap ada grahanan banyak banget para tetangga yg ke rumah sambil membawa alu sebagai pemukulnya, kalau dipikir apa hubunganya dengan situasi dan kondisi yg tengah terjadi? Unik bukan? Tapi inilah tradisi, sebuah kepercayaan yg temurun dari generasi ke generasi hingga membuahkan keniscayaan sampai dengan saat itu. Menurut ingatanku tentang apa yg aku dengar dari penjelasan orang tua kala itu, konon grahanan itu terjadi karena bulan dimakan oleh Buto, sehingga bulannya tinggal separo, nah perut Buto itu diumpamakan sebuah lesung tadi, maka jika lesung tadi dipukuli beramai ramai dengan alu, niscaya Buto tersebut akan memuntahkan kembali bulan yg telah dimakannya tadi, sehingga bulan kembali utuh, haha... lucu ya??? Tapi bener lho pada waktu itu anak seumuran aku masih pada takut akan mitos tersebut, biasanya yg bertugas sebagai penggebug lesung itu para ibu ibu, sedangkan bapak bapaknya bertugas jaga rumah di halaman sambil melihat kembalinya bulan dari perut si Buto tadi, aku yg merasa takut akan bau mistisnya itu hanya bisa terdiam lesu sembari menahan detak jantung yg tak kunjung memelan. Sesungguhnya, waktu lah yg menentukan kapan bulan itu akan pulih sedia kala, karena sebenarnya itulah bagian perjalanan revolusi bumi, namun kepercayaan yg mengatakan jikalau Buto belum memuntahkan bulan dari perutnya apabila bulan belum kembali utuh membuat para ibu ibu semakin gencar memukul lesungnya, bahkan sampai tercipta sebuah irama layaknya sebuah alunan orkes melayu saja.
Kronologi gerhana bulan sesungguhnya
 Setelah aku duduk di bangku SD dan mendapatkan pengetahuan tentang alam, barulah aku tau akan ketidak benaran mitos grahanan itu, sehingga sesekali terjadi grahanan tak lagi aku takut, justru aku merasa terhibur dengan nada yg tercipta dari tangan ibu ibu dengan alu dan lesungnya itu, bercampur rasa tertawa melihat keunikan tradisi ini. Kini sayang, entah mati atau pindah ke alam mana tradisi itu, selain semakin berkurangnya jumlah orang tua yg berakibat makin menurunnya yg memegang teguh mitos itu, sekarang juga sulit menemukan sebuah lesung di desaku, kebanyakan telah dimuseumkan di lapak barang antik oleh ahli warisnya sehingga tak ada lagi benda yg dilaksanakan sebagai perut Buto tadi. Tradisi akan terus turun temurun, namun sedikit saja ada ketidak percayaan dari satu generasi, maka akan semakin menipis kepercayaan itu di penerusnya nanti, yg akhirnya akan menghapus sebentuk dari adat dan budaya di suatu daerah.