Memasuki moment libur panjang, pasti ada sesuatu yg terlihat 'baru', yg biasanya tidak begitu menonjol, kini karena volumenya yg berstatus rame sehingga menggugah pandangan, alhasil membuat kita bakal menyadari akan itu.
Ya, itulah fenomena bis pariwisata, bis yg dalam hari hari biasa mungkin lebih sering leyeh leyeh di garasi, kini mulai kwalahan menyanggupi banjir order.
Di daerah yg kaya akan pariwisata, seperti halnya yg kita kenal di Bali dan Yogya, tentu jumlah bis yg berseliweran berlevel paling banyak daripada daerah lain yg minim daerah tamasya, pasalnya memang di kota yg punya daya tarik itulah nantinya mobil penumpang berukuran besar itu akan berlabuh.
Mungkin para Bupati atau Gubernur'nya begitu senang kala menjumpai barisan bis yg membawa rombongan anak TK, anak SMP, anak kuliahan, karyawan pabrik, keluarga besar, komunitas, bahkan ibu ibu PKK menjamah daerah kepemimpinannya. Karena dengan adanya roda yg berputar dan selanjutnya parkir di tanah yg di'ayomi, maka dibarengi pula oleh adanya wisatawan yg berkunjung ke sana. Di sektor wisata yg di kelola pemerintah setempat, tentunya kehadiran para turis domestik ataupun manca itu bakal menambah pundi pundi pendapatan daerah, itu keuntungan bagi penggedenya, lantas untuk para rakyatnya pun tak luput kebagian rejeki lewat omset dari pernak pernik, cinderamata, kerajinan, mainan anan anak, oleh oleh, persewaan, es kelapa muda, es buah, bakso, soto, tongseng, obat kuat, obat cari jodoh, obat galau, dan segalanya yg bisa diperdagangkan. Di luar itu juga akan menciptakan kebanggan tersendiri lantaran tempatnya diprimadonakan mayoritas orang, berbagai orang dari segala penjuru tiba, menikmati, dan memuja karena sebuah pesona serta pengalaman. "owh jadi ini pantai Sanur yg terkenal Sunset'nya itu", "ini to wujud candi Prambanan yg fenomenal itu", sungguh kekaguman itu akan membawa nama pemiliknya begitu agung di mata pengunjung, "Bali memang indah", "Yogya tak akan ku lupakan", "Gak nyesel jauh jauh ke Malang".
Yaaah, ibaratnya daerah daerah yg memiliki daya pikat tinggi itu adalah individu yg punya aset melimpah sekaligus figur publik, maka untuk meraup untung serta menjadi terkenal segampang pepatah membalikkan telapak tangan.
Sedangkan di Wonogiri, aset apakah yg laku dijual, yg kiranya bisa mendatangkan para pelancong datang, lebih lebih dari bangsa nan jauh di sana.
Kalau bicara tentang potensi SDA yg layak dijadikan pelet, dimanakah surga itu terletak? Biarpun tak berarti nihil, namun perkembangannya belumlah mampu menjelma menjadi magnet bagi khalayak yg haus panorama.
Di sektor budaya dan adat istiadat, rasanya begitu fana untuk dijadikan obyek yg mampu membuat mata asing mau melirik. Jelas saja, reality'nya kalau penduduk asli Wonogiri ingin menggelar kethoprak yg merupakan original art Jawa Tengah saja, mesti mendatangkan grup seni dari Solo. Apalagi soal adat istiadat, yg kian hari kian luntur jalaran pro kontra serta kepercayaan.
Maka, tidak berlebih jikalau di jalanan Wonogiri kala memasuki liburan pun juga banyak 'berseliweran' bis pariwisata dari luar daerah. Mau kemanakah mereka, apa yg didambakannya dari Wonogiri sampai rela menyewa bis untuk mencapainya?
Entah dimana titik tujuan mereka, yg pasti bukanlah di Wonogiri dermaga bis bis itu, sekali lagi mereka hanya 'berseliweran' alias 'lewat' doank. Bisa saja mereka itu rombongan dari Solo yg hendak berekreasi ke Malang, atau dari Ponorogo yg akan menuju Yogya, dan Wonogiri hanyalah menyandang tahta sebagai jalur alternaifnya semata.
Kapan ya bis bis itu akan berhenti di Wonogiri, tertata rapi layaknya di Bali atau Yogya?
Ya, itulah fenomena bis pariwisata, bis yg dalam hari hari biasa mungkin lebih sering leyeh leyeh di garasi, kini mulai kwalahan menyanggupi banjir order.
Di daerah yg kaya akan pariwisata, seperti halnya yg kita kenal di Bali dan Yogya, tentu jumlah bis yg berseliweran berlevel paling banyak daripada daerah lain yg minim daerah tamasya, pasalnya memang di kota yg punya daya tarik itulah nantinya mobil penumpang berukuran besar itu akan berlabuh.
Mungkin para Bupati atau Gubernur'nya begitu senang kala menjumpai barisan bis yg membawa rombongan anak TK, anak SMP, anak kuliahan, karyawan pabrik, keluarga besar, komunitas, bahkan ibu ibu PKK menjamah daerah kepemimpinannya. Karena dengan adanya roda yg berputar dan selanjutnya parkir di tanah yg di'ayomi, maka dibarengi pula oleh adanya wisatawan yg berkunjung ke sana. Di sektor wisata yg di kelola pemerintah setempat, tentunya kehadiran para turis domestik ataupun manca itu bakal menambah pundi pundi pendapatan daerah, itu keuntungan bagi penggedenya, lantas untuk para rakyatnya pun tak luput kebagian rejeki lewat omset dari pernak pernik, cinderamata, kerajinan, mainan anan anak, oleh oleh, persewaan, es kelapa muda, es buah, bakso, soto, tongseng, obat kuat, obat cari jodoh, obat galau, dan segalanya yg bisa diperdagangkan. Di luar itu juga akan menciptakan kebanggan tersendiri lantaran tempatnya diprimadonakan mayoritas orang, berbagai orang dari segala penjuru tiba, menikmati, dan memuja karena sebuah pesona serta pengalaman. "owh jadi ini pantai Sanur yg terkenal Sunset'nya itu", "ini to wujud candi Prambanan yg fenomenal itu", sungguh kekaguman itu akan membawa nama pemiliknya begitu agung di mata pengunjung, "Bali memang indah", "Yogya tak akan ku lupakan", "Gak nyesel jauh jauh ke Malang".
Yaaah, ibaratnya daerah daerah yg memiliki daya pikat tinggi itu adalah individu yg punya aset melimpah sekaligus figur publik, maka untuk meraup untung serta menjadi terkenal segampang pepatah membalikkan telapak tangan.
Sedangkan di Wonogiri, aset apakah yg laku dijual, yg kiranya bisa mendatangkan para pelancong datang, lebih lebih dari bangsa nan jauh di sana.
Kalau bicara tentang potensi SDA yg layak dijadikan pelet, dimanakah surga itu terletak? Biarpun tak berarti nihil, namun perkembangannya belumlah mampu menjelma menjadi magnet bagi khalayak yg haus panorama.
Di sektor budaya dan adat istiadat, rasanya begitu fana untuk dijadikan obyek yg mampu membuat mata asing mau melirik. Jelas saja, reality'nya kalau penduduk asli Wonogiri ingin menggelar kethoprak yg merupakan original art Jawa Tengah saja, mesti mendatangkan grup seni dari Solo. Apalagi soal adat istiadat, yg kian hari kian luntur jalaran pro kontra serta kepercayaan.
Maka, tidak berlebih jikalau di jalanan Wonogiri kala memasuki liburan pun juga banyak 'berseliweran' bis pariwisata dari luar daerah. Mau kemanakah mereka, apa yg didambakannya dari Wonogiri sampai rela menyewa bis untuk mencapainya?
Entah dimana titik tujuan mereka, yg pasti bukanlah di Wonogiri dermaga bis bis itu, sekali lagi mereka hanya 'berseliweran' alias 'lewat' doank. Bisa saja mereka itu rombongan dari Solo yg hendak berekreasi ke Malang, atau dari Ponorogo yg akan menuju Yogya, dan Wonogiri hanyalah menyandang tahta sebagai jalur alternaifnya semata.
Kapan ya bis bis itu akan berhenti di Wonogiri, tertata rapi layaknya di Bali atau Yogya?
No comments:
Post a Comment