24 February 2013

Gara Gara Lampu Hijau



Tubuh tengah terbaring, mata pun masih terpejam dari pandangan nyata, ku dengar riam riam ada suara yg membuatku terbangun setengah sadar. Oh iya, rupanya pagi ini Ibu dan Adikku tiba di Jakarta, dan suara yg ku perhatikan itu tak lain adalah suara mereka beserta Pakde'ku yg berperan sebagai navigator pada kedua family ku, maklum ini adalah kunjungan perdana adik perempuanku menyambangi Ibukota, sedangkan ibu'ku sendiri terakhir ke sini sekitar 10 tahun silam ketika mendampingiku mengisi liburan sekolah kelas 2 SD dulu.
Segera ku bangun nyawa ini penuh semangat untuk menunda jalannya alur kehidupan dalam indahnya pesona mimpi, ku beranjak keluar dari kamar tidurku untuk secepatnya menyambut ketiga tamu spesialku itu.
"Yahmenten kok mpun dugi dhe (jam segini sudah tiba dhe)?" tanyaku pada pakde Sukirmanto. Tepat kemarin siang, ada sebuah pesan singkat yg dilayangkan oleh anaknya kepadaku, menanyakan tentang nomor HP agen jalan Gunung Mulia jurusan Bogor (Pak Bagong), maka sudah menjadi sebuah kepastian jikalau kedatangan mereka bertiga di sini adalah lewat bantuan armada PO Gunung Mulia.
Hanya saja aku sendiri belum pernah naik Gunung Mulia lantas tiba sepagi ini, tak salah jika aku langsung mengajukan tanya seperti itu pada pakde'ku yg akrab disapa "pak kancil" itu.
"Lhah, iki mau ndadak kebandang teko Pal kok le (ini tadi kebablasan sampe Pal)..." jawabnya.
"Lha pripun dhe, nopo lali mpun dangu mboten mriki (emang bagaimana, apa lupa sudah lama gak kesini)...?" tanya lanjutanku.
"Aku keturon, ning sakdurunge aku wes ngomong karo pengawale, yen aku ngko mudun Lampu Merah Cibubur... Lha kok bis'e wes liwat barang aku ora digugah, tangi tangi malah bis'e wes mlaku teko Pal... Tak unen unen'i pengawale, tuno leh nggugahi aku pas neng Karawang mau, tekok mudun ngendi, disauri mudun Lampu Merah Cibubur kok malah dibablasne ngasi teko Pal... (aku ketiduran, tapi sebelumnya aku sudah bilang sama pengawalnya kalau turun di Lampu Merah Cibubur, lha kok bis'nya udah lewat juga aku gak dibangunkan... Aku marahin pengawalnya, percuma aja bangunin aku sampai Karawang tadi, tanya turun dimana, dijawab turun Lampu Merah Cibubur kok malah dibablasin sampai Pal)...!"
Hahaha, Pakde Kancil... Bikin lelucon aja, soal kebablasan mah sudah menjadi fenomena yg wajar, namun faktor penyebab kebablasan yg dialami Pakde'ku yg berambut gondrong ini bisa melahirkan cerita yg lucu. Jawaban darinya saat ditanyai pengawal yg berbunyi "Lampu Merah Cibubur" itu lah yg menjadi biang keroknya, tanya kenapa??? Pasalnya, saat bis melintasi Lampu Lalu Lintas Cibubur, pada moment itu lampu yg sedang menyala adalah lampu hijau, bukan lampu merah, jelas saja bis pun tidak berhenti disitu untuk menurunkan Pakde'ku beserta rombongannya, lha wong beliau bilang sama pengawalnya kan turun di Lampu Merah Cibubur, bukan Lampu Hijau Cibubur.
Hehehe, ada ada saja... Ini cerita dari pengalaman nyata, namun soal alasan kebablasannya hanyalah sekedar bercandaan saja, penyebab yg sesungguhnya dari tragedi ini adalah tentu saja oleh Pakde Sukirmanto sendiri yg tengah terlelap tidur sehingga tidak tau bahwa bis telah sampai tujuaanya, dan sebagian lagi mungkin karena kelalaian sang pengawal yg lupa akan tujuan masing masing penumpang, bukan sengaja untuk tidak menyuruh sopirnya berhenti karena tidak menemui "Lampu Merah Cibubur" tadi.

Loyalitas yang Salah Kaprah

Parasnya terbilang lugu, raut wajahnya pun seolah menjadi image "pasrah" dalam jiwanya, tak ada sedikitpun tanda tanda adanya sekelumit fanatisme pada sang kebanggaannya.
Siapa yg menyangkal, dari segi penampilan lahiriah yg simple ini justru terkuak adanya kasus fanatik yg amat mendalam.
Parto, itulah nama pemberian orang tuanya. Sebagai remaja asli Wonogiri'an, tak khayal lagi jika runititas kesehariannya terluangkan di bumi perantauan, setiap kali materi buah kerja kerasnya terkumpul, dia menyempatkan untuk sambang ke kampung halaman, sekedar menilik kedua orang tua dan sanak keluarga yg rela ditinggalnya demi orientasi pencapaian pada masa depannya kelak. Bis malam tentunya menjadi alat transportasi pulang-pergi dari atau ke kampung kecilnya itu.
Mengingat dia bukanlah sebuah sosok yg menaruh perhatiannya pada sebuah bis, maka pastilah dia bukan sebuah "PO Mania", moment perjalanan mudik-baliknya tak selalu dilaluinya bersama satu nama operator bis saja, entah apa yg menjadikanya mayoritas orang begitu, apakah itu adalah dalam rangka mencari kekekalan hati dalam menemukan PO primadonannya, atau bisa saja karena situasi dan kondisi yg menjadikan banyak orang demikian, yg pasti alasannya bukanlah karena dia ingin mencicipi satu per satu dari semua bendera PO yg tengah berkibar, pasalnya dia bukanlah "BisMania".
Suatu seketika dia tengah melakoni acara bali ndeso, seperti remaja desa di sana sini yg acara malam harinya hanyalah diisi dengan acara nongkrong, aku pun ndlalah bertemu dengannya di suatu malam. Bercanda bersama, bertukar pikiran, saling berbagi cerita dari apa yg kami lihat, kami dengar, dan kami alami. Entah apa alurnya dulu yg membawa perbincangan malam itu menjuru pada masalah bis. Obrolan tentang pengalaman kita bersama suatu nama PO yg pernah kita rasakan, walaupun di antara kami hanya aku yg punya hobi di dunia perbisan, namun masing masing juga terlihat punya greget bercerita tentang bagaimana bis yg dulu pernah membawa dirinya sampai tujuan.
Kala itu memanglah belum seperti saat ini, dimana gegap gumpita persaingan antar onwer tengah mencapai titik didihnya, belum ada hiasan stiker sebagai embel embel strategi pemasaran yg saat ini sedang marak maraknya, tiada tulisan tagline sebagai keterangan merk dan seri mesin yg digunakannya, lukisan balon udara di pintu depan bagian bawah, ataupun level EURO sebagai notifikasi tolak ukur gas buang dari mesin bis itu sendiri. Tag "Air Suspension" yg kini mutlak tertulis indah di kaca samping bagian depan pun dulu belumlah lahir, setau mataku hanya PO Harapan Jaya yg menuliskan keterangan "BUS INI MENGGUNAKAN SUSPENSI UDARA" di kaca belakang. Tak heran jika sepengetahuan kami dulu tentang bis belumlah merambah pada teknologi balon udara yg lagi ngetrend sekarang ini.


Tiba pada Parto yg berkesempatan bercerita, nampaknya armada yg terakhir digunakan untuk pulang kampung kali ini adalah PO Safari, terbukti remaja yg akrab disapa "Todhenk" itu melontarkan kata kata kefanatikannya dengan PO asli Salatiga itu.
"Saiki aku tetep pilih Safari, bise penak, ngidak blegongan sepiro piro babar blas ora kroso (sekarang aku tetap pilih Safari, bis'nya enak, nginjak lubang seberapapun sama sekali gak terasa)...".
Hehehe, Todhenk Todhenk... Sebegitu besarkah fanatisme mu pada PO Safari? Banarkah teknologi Air Suspension yg diusung PO induk dari Blue Star ini begitu ampuh sehingga ada klaim positif dari seorang pelanggan barunya?
Hehe,,, bukan bermaksud merasa mustahil, tak percaya, ataupun meragukan squat armada PO dengan warna identik hijau itu, namun yg menjadikan pertanyaan adalah "Bagaimana seseorang bisa mengetahui jikalau bis yg ditumpanginya tengah menginjak sebuah lubang, sementara dia sendiri sama sekali tak merasakannya adanya getaran / goncangan ataupun tanda tanda lainnya" ???

Golden Dragon LP-108



Tidaklah hatiku bosan bercengkraman dengannya, namun tak jua puas ku dapati lewat persembahannya. Andaikan ingatanku mampu megukir sejumlah kesanku dengannya, entah berapa kali aku telah menikmati pelayanan itu, namun selalu saja aku dipososikan dengan sebuah pilihan serta keadaan yg mengharuskanku kembali melenggang di atas kenyamanan sang Laju Prima.
Apalagi keteguhanku untuk bisa mencicipi cita rasa Golden Dragon berpadu Legacy Sky SR-1 masih saja utuh, tekadku kuat, doaku penuh harapan suatu saat semua itu niscaya terlaksana.
Arus balik tahun baru 2013 nampaknya menjadi lahan subur bagi para operator perbisan, terbukti di kampung kecilku saat itu terbilang sulit untuk mendapatkan sebuah tiket bis malam sebagai sarana perjalanan kembali ke ibukota.
Memang, niatan hati tak begitu saja tertuju pada si biru putih yg telah cukup lama menjadi primadonaku, sempat ku bertanya tanya pada agen Harapan Jaya dan Rosalia Indah, namun persediaan tiket bukan saja habis di hari itu melainkan sudah terbooking hingga lima hari selanjutnya, ckckck semoga aja fenomena itu merupakan sedikit keberhasilan program "Ayo Naik Bis" oleh BisManiaComunity. Sedang catatan pembukuan di agen Laju Prima Purwantoro hanya tertulis tiket habis terjual sampai sehari berikutnya saja, jelas keadaan ini menjadikan efisien waktuku untuk lebih cepat memulai keseharianku mengais rejeki. Tanpa pikir panjang lagi, tiket segera ku tebus dengan nilai 260 ribu untuk dua lembar tiket sementara dari agen. Biarlah keinginanku untuk merasakan keganasan SCANIA atau 1626 terbendung dulu, jikalau takdir memelukku pasti Golden Dragon bakal tercapai, toh itu kan juga belum pernah aku menjajalnya, maka ku iklaskan ketidak cekatanku dalam menggapai made in Swedia ataupun Jerman, bagai tiada rotan akarpun jadi, Eropa gak ada China pun tak mengapa.
Berhubung bis yg bernaung di bawah kibar Hiba Group ini menghalalkan pelanggan yg telah memegang tiket untuk tidak harus datang ke agen ketika pemberangkatan, maka lebih efektif jika aku menunggu di jalan raya depan tempat tinggalku, yups lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya pastinya.
Sesaat ku isi waktu penantianku dengan sebuah penasaran bertabur harapan, ditengah rintik rintik kecil gerimis yg membasahi bumi Purwantoro kala itu, hape jadulku menderingkan isyarat sebuah panggilan masuk yg ternyata adalah dari Agen Laju Prima Purwantoro, mengabarkan bahwa armada yg akan membawaku telah berangkat meninggalkan lahan landasan parkir. "LP pinten Pak jatah kulo?", tanyaku untuk mendapatkan singkat kata yg ku yakin sanggup menjawab segala penasaran ini. "LP 108 Mas..." ???
Oh ya,,, LP 108??? Bukankah ini adalah sesuatu yg telah berulang gagal ku dapatkan di setiap kali usahaku, dan bukankan ini yg tetap masih ku tunggu di balik semua ketidak berhasilan sebelumnya, inikah jawaban atas segala kesabaranku dalam penantian yg lalu???
Segera ku jinjing tas punggungku untuk naik bersamaku ke kabin armada impian, ku arahkan langkahku menapak koridor body build up by Laksana karoseri ini ke seat 9A-B. Ku layangkan mata memutar menatap interior body yg di'atsiteki oleh Sani-Riri ini, berniat membuktikan kebenaran klaim seorang teman sesama pecinta bis yg menyatakan bahwa panorama rancang bangun dalam kabin body Legacy versi anyar ini lebih terlihat mewah sekalipun dibandingkan dengan made in Adiputro yg terkenal dengan brand name Royal Coach'nya. Tata letak bagasi atasnya dilengkapi dengan penutup berhidrolik layaknya sebuah kabin pesawat terbang, dengan penerangan lampu led putih yg berjajar memanjang, di langit langit atapnya terlukis beberapa bentangan garis biru yg ternyata berfungsi sebagai lampu tidur, dua unit pintu darurat atas dilengkapi dengan sign "exit" yg dapat menyala pada malam hari ketika lampu kabin dimatikan, serta dengan fitur seat original "Versa" yg memang cukup nyaman. Hmmm, patutlah jikalau interior produk unggulan Laksana ini menyandang gelar Luxury daripada produk rancang bangun karoseri lain. Hanya saja balutan AC unit dalam yg berbentuk grill dengan tombol power geser terasa kurang ekonomis, banyak tombol yg telah patah sehingga lubang AC tak dapat ditutup atau dibuka.
Bersamaan roda berputar melindas panasnya aspal jalan raya, kini giliranku untuk merasakan goyangan chasis Golden Dragon yg didorong 330 tenaga kuda. Sewaktu kemarin aku ikut PO lokal, ketika armadaku bersusah payah mengerahkan sekuat tenaganya untuk mendaki tanjakan jalur alas roban, kala itu LP 90 yg berspesifikasi sama dengan LP 108, dengan mudahnya ngeblong nafas tua armadaku, akselerasinya seperti begitu ringan. Namun itu hanya sekedar melihat di balik jendela PO lain, sekaranglah momentum untuk merasakan garangnya komponen bis buatan negeri tirai bambu yg sesungguhnya.
Jalur Wonpgiri yg dipenuhi dengan sudut tikungan yg tajam serta fisik aspal yg tak murni mulus, menjadikan sisi tersendiri untukku merasasakan kehebatan balon udara yg diadopsi di chasis ini. Sistematis kerja pada Air Suspension saat bis meliuk ditikungan yg tajam ku rasa oke, tidak begitu ku rasa ada kemiringan yg berarti pada body bis, begitupun saat bis berpapasan dengan sesama kendaraan seukuran yg mengharuskan satu di antara sisi rodanya jatuh keluar lintasan. Namun untuk urusan empuk tidaknya getaran, perasaan bis ini standar aja, masih juga terasa ada goncangan keras saat roda melewati jalan yg bergelombang, justu aku klaim lebih empuk chasis Mercy sekalipun yg tak bersuspensi udara.
Setibanya bis memasuki daratan tandus terminal Kartosuro, ku sempatkan untuk meghisap rokok di tempat yg memang telah difasilitaskan, "Smoking Area", hanya saja pintunya telah mengalami rombakan alias tidak standar lagi, pasalnya pintu tidak dapat menutup rapat dikarenakan pelatuk kuncinya telah raib, alhasil pintu dimodifikasi dengan kunci manual yg hanya bisa dioperatori dari dalam area merokok saja sebagai solusi pintu kembali tertutup normal, ini membuat siapapun nantinya mustahil bisa memasuki ruangan ini, soalnya jika bis telah diperjalanan maka pintu akses antara kabin penumpang dan Smoking Area ini pasti akan dipatenkan dari dalam oleh sang driver yg tengah mengarungi mimpi diatas ranjang macan'nya.
Sepanjang perjalanan, kaca diselimuti dengan beku embun karena cuaca yg tak bersahabat, hmmm... makin bertambah aja kejenuhanku. Menginjak kota semarang, bis masuk ke terminal Bawen, sepanjang lalu lalangku ke Jakarta dengan sebuah bis malam, inilah kali keduanya aku menemui bis yg aku tumpangi masuk terminal Bawen. Mataku hanya melihat sesosok Ramayana tujuan Jambi tengah parkir menghadap agen, lagi lagi tak ada pemandangan indah yg setidaknya bisa mengusir bosanku di LP 108. Tiada pilihan yg lebih baik menurutku selain berekspedisi ke alam mimpi di atas jok versa ini.
Sampai di raos eco pun tetap saja hujan tak jua berhenti, tak ku gubris penampakan squat Laju Prima yg tengah menjalani kewajiban service makan malam disini, begitupun beberapa unit Tunggal Dara Putera dan Agra Mas serta seunit Legacy Sky berbendera Sido Rukun. Kesemuanya hanya sebatas ku lihat, tak ku amati lebih dalam dikarenakan langit yg terus menyerang bumi lewat derasnya kucuran air.
Selesai ku menikmati hidangan pelayanan Raos Eco yg terbilang biasa biasa saja, hanya sebatang rokok yg berhasil ku bakar penuh, selebihnya hanya seperempat saja yg termakan api dan ku tinggalkan di tong sampah lantara sopir tengah telah menempati posisinya bersiap menjalankan tugasnya sebagai pengemudi. Inilah waktu yg sesungguhnya ku nanti dari keseluruhan perjalananku Purwantoro - Jakarta, di sinilah bisa ku saksikan bagaimana skil seorang driver membawa mobilnya dalam sebuah kecepatan serta terujilah ketangguhan dari armada pegangannya, aplagi di titik ini pulalah para kompetitor dari beberapa daerah telah head to head bersaing menaklukkan kelok jalan alas roban, semoga saja kuda besiku sanggup menumpah darah merebut kemenangan yg ku sanjung sanjung, membuktikan jiwa keperkasaan sebuah dapur pacu Yuchai 330hp ini.
Lepas landas sudah roda bis dari tanah parkir Raos Eco, sang driver mulai menginjak pelan pedal gas menerjang kegelapan disertai rintik hujan yg enggan berhenti menodai pemandangan, hatiku mulai tak kuasa menahan kesabaran untuk pak sopir menggeber mesinnya meninggalkan jauh lawan lawan dibelakangnya. Sudah ku relakan mata ini menyipit lantaran rasa ngatuk yg tak mau berkolaborasi, akselerasi hasil ruang bakar masih terasa rendah, belum ada tanda tanda level jarum kecepatan naik dari awal bis menginjak aspal tadi, entah kenapa sopir tengah ini justru lambat membawa batangannya. Kekhawatiran akan sebuah kekecewaanku mulai membuahkan kegelisahan, tak lama itu benar terjadi, Sedya Mulya melenggang dari sisi kanan menyisakan angin kencang yg seolah turut menyambar hatiku, pun begitu nampakknya belum juga ada niat yg tumbuh di benak sang driver untuk menyeimbangkan lajunya se'prima bis orange itu. Waktu terus berjalan, jarak makin memanjang, namun tak ada greget sedikitpun dari pak sopir untuk meramaikan race ala bis malam ini, malah lagi lagi sebuah Tunggal Dara Putera menyusul rekan satu daerahnya yg terlebih dulu ngeblong mengasapiku.
Haduuuh, rupanya keinginanku untuk merasakan krida sang Golden Dragon harus aku pupuskan di sini, tak ingin pemandangan malam ini hanya menggoreskan luka yg bertubi, mungkin lebih indah jikalau ku nikmati apa adanya, biarlah tak ku dapati persembahan sebuah kecepatan darinya, biar ku jadikan kenyamanan seat versa dan kemegahan interior SR-1 ini sebagai upaya untukku meraih speed di atas normal dalam halusinasi alam bawah sadar, ku rebahkan badan, ku tata selimut, ku pejamkan mata, ku lantunkan doa supaya selamat sampai Jakarta.