20 March 2013

Sisi Lain Pejantan Tangguh

Rasa bingung untuk memilih antara melangsungkan atau menunda keberangkatan kian menggelora kala terucap untaian kalimat "Nek nyang awak urung penak mbok yo ojo sido bali sek to le, nunggu ben waras tenan, wong arep numpak bis adoh kok..." dari Mbah ku. Suasana makin riuh saat keluargaku mengetahui aku akan naik PO Harapan Jaya dari Solo, "Wong nyegat bis soko kene wae okeh kok ndadak adoh adoh nyang Solo..." begitulah kata kata Ibuku yg seolah menyayangkan kepergianku seorang diri padahal di hari itu Bapakku dan temanku pun hendak ke Jakarta.
Ku coba menghubungi pihak agen terkait, menanyakan tentang perubahan tanggal keberangkatanku, namun sayang dia mengatakan beberapa hari ke depan bis penuh, jadi aku harus menunggu sekitar satu minggu lagi untuk mendapatkan bis dari tanggal semula yg ku undur. Wah, terlalu lama jika sampai seminggu, jika tiket ini ku biarkan hangus, selain 170 ribu melayang maka aku juga harus kehilangan sedikit kesempatan merasakan mesin Scania, biar tetap ku bawa tubuh yg tengah kurang fit ini mengarungi Pantura bareng Harapan Jaya lah, berharap andaikan mimpiku mendapat armada Scania terwujud, badan yg lagi loyo ini bisa kembali akas waras...
Siangnya ku sempatkan mengantarkan ketiga saudara yg juga akan meninggalkan kampung ini dengan PO Laju Prima dari tiket yg berhasil ku tebus kemarin harinya, gak taunya ternyata ada tiga teman seprofesi yg turut hengkang dari ranah Purwantoro ini juga dengan PO berkelir dominan putih-biru itu.

Sesudahnya ke enam sanak kerabatku memulai perjalanan dengan LP 51, kini tinggal menunggu keberangkatan Bapakku yg setia dengan PO andalannya Tunggal Dara Indonesia. Karena loyalitasnya itulah yg terkadang membuatnya merasa aneh dan ngomel ngomel jikalau aku harus jauh jauh ke Solo hanya untuk sama sama ke Jakarta, hehehe....maklum lah, namanya orang tua, apalagi mana tau kalau apa yg aku lakukan itu adalah sebagian dari hobiku pada bis.
11.30 akhirnya bis merah marun pun tiba juga, aku beranjak meninggalkan jalan raya untukku kembali ke rumah dan bersiap diri mengawali pelanconganku ke Kota 1001 perantau.

Mengingat daerah Solo Baru hingga Stasiun Purwosari rawan macet, 12.30 tepat aku berangkat, dengan asumsi 3 jam perjalanan ke Solo, sehingga bisa on time dengan ketetapan tiba di agen 30 menit sebelum jam keberangkatan.
"Kowe sido arep mangkat tenan, wong mangkat okeh bature kok malah adoh adoh nyang Solo gek gur dewe, yo wes ngati ngati yo...", kalimat perpisahan yg dilayangkan Mbahku seolah menghawatirkan keberangkatanku yg sedang mendadak sakit sehari sebelumnya. Dengan sarana sepeda motor, aku diantar adik perempuanku ke jalan raya seusai berpamitan dengan Mbah dan Ibuku.
Tak lama menunggu, sebuah bis bumelan Solo-Purwantoro pun lewat, berlivery ala Tunggal Dara Putera namun masih berbendera atas nama Timbul Jaya, entah siapakah pemilik bis ini sebenarnya, memang akuisisi armada bumel milik Timbul Jaya ke Tunggal Dara Putera telah lama terjadi, bahkan kesemua armadanya pun telah bermetamorforsis menjadi corak ala Tunggal Dara Putera, namun sebagian masih bertitel PO Timbul Jaya selaku pemilik lamanya.
"Solo Mas?", tanya sang kondektur sembari mengambil selembar uang yg ku layangkan padanya. "Nggih Pak, iki ngko liwat Sumber ra Pak?", jawabku dengan embel embel tanya yg dilantari pengalaman jika lalu lintas macet maka ada bis yg mengambil rute pintas untuk mengejar jam, sehingga tidak melalui daerah Sumber yg merupakan tempat dimana agen Harapan Jaya yg ku tuju berada. "Liwat kok Mas...", jawabnya sesudah memberikanku uang kembalian.
Suara raungan mesin yg begitu keras, angin kencang yg masuk dari kaca jendela yg terbuka, klakson yg tak henti hentinya berbunyi untuk meminta jalan kendaraan di depannya, teriakan sang kenek mencari penumpang, seolah menjadi ciri khas bis bumel yg telah lama tak ku rasakan. Dulu semasih STM, seperti ini adalah pemandangan sehari hari, setiap pulang pergi sekolah selalu menantikan PO Gunung Mulia, yg saat itu dikenal armada bumelanya paling bagus dari yg lain, namun karena ikatan kerjaku, semua itu hanya bisa terkenang di saat saat seperti ini saja.
15.00 aku sampai di Solo baru, setelah sebelumnya tertidur, ku lihat HP ku ada sebuah notifikasi pesan singkat yg ternyata dari agen yg isinya "Sampai agen Harapan Jaya jam 15.15, terima kasih", lah kok bisa berubah gini, kemarin pas beli tiket kan janjinya bis berangkat jam 16.00 jadi aku harus tiba di agen jam 15.30, yaaaah semoga aja dari Solo Baru tidak ada kemacetan, sehingga untuk mencapai agen tak lebih dari 15 menit.
Kebetulan banget lalu lintasnya gak begitu padat, hanya antrian panjang di setiap titik lampu merah saja, alhasil aku bisa sampai di agen jam 15.16, selisih 1 menit dengan ketentuan baru agen yg baru ku terima tadi.

Tiket pesanan segera ku tukarkan dengan tiket asli, seiring waktu penantianku pada bis 11, ada beberapa calon penumpang yg datang dengan diantar oleh mobil mobil berkelas city car dan MPV, Wooow juga ya ternyata para pelanggan PO ini. 16.00 adalah waktu dimana bis ku seharusnya datang, namun bukannya bis jurusan Pasar Rebo (Poll)-Lebak Bulus yg datang melainkan guyuran hujanlah yg menyapa membasahi kota Solo yg sedang berlangsung pertandingan sepak bola Liga Djarum di stadion Manahan saat itu. Di bawah rintikan deras air dari langit, berhenti sebuah New Marcopolo HD dengan nomor H226 yg digunakan untuk bis 22, ada tiga orang penumpang yg naik. Tak jauh di belakangnya, berhenti lagi JETBUS HD dengan tagline 1626 Air Suspension di kaca sampingnya, "Ayo bus 11 jurusan Pasar Rebo Lebak Bulus" seru penjaga agen untuk menyegerakan penumpangnya menaiki bis.
Aaah, ternyata belum beruntung lagi aku, bukan Scania lagi yg ku dapati, yo wes lah tak apa, ada yg bilang kalau katanya Mercy varian Air Suspension perdana ini tak kalah nyaman.
Ku letakkan tas ku di bawah seat 2B, ini yg ku suka dari HJ, kebanyakan kursinya buatan Rimba Kencana, yg menurutku lebih nyaman daripada brand lain seperti Alldila, Versa, ataupun Restindo. Di sampingku yg menduduki seat 2A adalah seorang ibu ibu yg tengah asik menikmati cemilan bawaannya. Bis mulai berjalan perlahan melawan basahnya aspal jalanan kota Solo, 2 LCD TV di bagian depan dan tengah sedang mempertontonkan alunan merdu tembang koplo dari orkes melayu khas Jawa Timuran "SERA" yg dibintangi oleh Vivi Rosalita dan Cak Brodin menyanyikan lagu "Tak Tunggu Balimu", seolah lubuk ladangku di Jakarta yg menanti kedatanganku besok pagi. Bis masuk terminal Kartosuro, saat menunggu penumpang itulah waktu yg tepat untuk para pedagang asongan menawarkan dagangannya, aqua / mizone, tahu, kripek belut, kripek usus ayam, arem arem, permen tolak angin, koran sindo, semua tak perlu susah di dapatkan, tinggal barter dengan rupiah yg sesuai dengan nominalnya saja, huuufttt...tekstur di terminal ini kan masih utuh tanah, apalagi hujan sedang turun, berapa orang pedagang aja yg masuk, jadi berapa jumlah kaki yg membawa telapaknya ke kabin Royal Coach E ini, bikin loby bis ikut ikutan becek karena bekas injakan para pencari nafkah dalam terminal aja.
Di Boyolali bis langsung lurus tanpa masuk ke Terminal, sampai di daerah Salatiga bis berhenti di sebuah warung yg menjual tahu bakso dan tahu isi, selain membeli untuk diri sendiri dan crew, pengawal pun juga menawarkan kepada penumpang seisi bis, bagi yg berminat pun tak usah harus turun dari bis, cukup memberikan uangnya ke pak pengawal maka nanti akan kembali diantarkan tahu sesuai pesanannya, enak bukan?
"Pak, bisa numpang ngecas HP?", tanya seorang penumpang yg duduk di deretan seat sebelah kananku kepada pramugara sesaat setelah bis berjalan dari pangkalan pedagang tahu tadi, "Bisa Mas?", jawab pramugara sambil menunggu HP yg hendak di cas dikasihkan oleh empunya, hmmmm cukup perfect juga ya servis dari crew nya...
Singgah sebentar di terminal Salatiga, lalu exit lagi dan melanjutkan perjalanan via alternatif jalan baru. Badan yg kurang fit membuatku merasa ingin tidur dipangkuan seat "Hai" ini, namun apa daya, hanya setengah sadar dan sebentar sebentar aku terjaga dari mimpiku, alunan naik turun balon udara built up 1626 yg memang sangat empuk membuatku justru terbangun saat bis melewati jalan yg bergelombang, getaran body memang terasa minimal, namun imbasnya body terasa mentul mentul naik turun begitu hebat.
Di terminal Bawen terlihat ada kemacetan karena perbaikan jalan yg seolah menjadi proyek kontrak mati di jalur akses Jakarta, namun masih tetap berjalan walaupun hanya merayap.
Lepas dari kemacetan, akselerasi putaran mesin sang OH1626 ini terasa rendah, bahkan sampai di blong oleh Raya di tol Semarang, PO yg konon armadanya disegel supaya tidak melampaui batas kecepatan 90 km/jam itu dengan mudah melenggang mengasapiku. Mungkin memang benar, komitmen management dari HJ tetap konsisten pada kenyamanan dan keselamatan penumpang, biarpun armada yg dipakai setangguh apa, itu bukan berarti para drivernya harus terbakar api emosi oleh bis bis banter layaknya Muria-an, yg penting adalah sebisa mungkin membawa armadanya dengan aman sehingga penumpang merasa nyaman dan selamat sampai tujuan.
Mata yg semula terpejam mengisi kejenuhan kembali terbuka saat bis masuk di Rumah Makan, di halaman depan terlihat rapi berjajar pasukan Zentrum, pemain baru yg reputasinya boleh diacungi jempol, nyatanya di  awal kehadiranya dulu masih parkir di area belakang RM.Sari Rasa, sekarang telah berpindah di depan yg mulanya hanya di dominani oleh dua raksasa pemilik Scania, siapa lagi kalau bukan Harapan Jaya dan Nusantara, ini adalah bukti semakin bertambahnya peminat pada Zentrum sehingga makin bertambah pula armada yg dioperasikan untuk divisi reguler, dan akhirnya ruang service makan pelanggannya pun berpindah area dari ruangan sempit di belakang menjadi di depan yg terlihat lapang, bersebelahan persis dengan ruang makan bis ku.
Ku tukarkan kupon makanku dengan sebuh piring, sebatang sendok serta garpu, lalu ku masuki ruang khusus service makan ala PO Harapan Jaya. Nasi putih, mie, tahu, telur bulat, sayur sop, daging ayam, kerupuk, teh manis, lengkap dengan pisang sebagai pencuci mulutnya, semua boleh diambil tanpa adanya embel embel tulisan "Maaf, ambil satu potong saja", atau komando dari pelayannya "Sayur bebas, lauk pilih salah satu", dan juga tiada perbedaan untuk kelas Patas, VIP, atau Executive yg terkesan mengambarkan adanya sebuah kesenjangan sosial antara si pemegang tiket Low Class dan High End, semua terangkum dalam satu keluarga besar, keluarga PO Harapan Jaya Tulungagung.
Lagi lagi badan yg sedang loyo berimbas pada indera pengecap yg tak merasakan kenikmatan saat menyantap sajian menu, ku sudahi saja lah acara makan malamku, ku tinggal ke toilet untuk mencuci tangan, keluar dari toilet berniat minum es teh manis yg memang dari awal belum ku cicipi sedikitpun, lho kok piring dan gelasku sudah raib dari mejaku semula, ya ampun mana sehabis makan aku belum sempat minum lagi, gimana seh pelayanan Rumah Makan ini, kok main sambet aja. Terpaksa deh aku bergegas keluar untuk kembali naik ke dalam bis mengambil sebotol air mineral yg ku beli dari agen tadi, eh di dalam bis rupanya ada Pak pramugara sedang melipati selimut para tamu kabinnya. "Iki nek kelas Patas yo dilempiti pak?", tanyaku lantaran penasaran karena hal yg sama juga dilakukan oleh kubu Rosalia Indah namun hanya untuk kelas Super Executivenya saja, "Yo iyo mas, mbok VIP opo Patas yo tetep dilempiti, wes peraturan soko kantor mas", jawabnya dengan nada ramah tamah. Semakin menguatkan tak adanya tensi perbedaan antara ketiga kelas yg berbeda level, semua sama dalam hal pelayanan, hanya berbeda di sisi fasilitas armadanya saja, sungguh sesuatu yg seolah bertolak belakang dengan tumbuh berkembangnya benih benih kesombongan dan rendah diri.
Sesudahnya, aku duduk persis di samping bisku H316, menunggu waktu bis kembali mengaspal dengan kegiatan wajib setelah makan, apalagi kalau bukan menghisap rokok. Pak pramugara yg selesai merapikan selimut, melanjutkan kewajibannya membuang sampah dan menyapu lantai bis, setelah itu barulah beliau bisa menunaikan kegiatan isi perutnya setelah sebelumnya menutup dan mengunci pintu bis, ini menjadikan sisi tersendiri akan image sebuah PO, dengan keadaan pintu terkunci maka resiko kehilangan barang bawaan penumpang yg ditinggalkan akan semakin kecil.
Tiada satupun armada lain selain bisku, Zentrum yg tadi berjajar tak kurang dari 8 unit, satu per satu lengser meninggalkan RM mitranya ini, barisan armada racikan Adiputro milik Nusantara yg biasanya memenuhi parkiran pun juga tak terlihat batang hidungnya, entah apa belum datang atau memang sekarang persinggahan raja muria itu telah berpindah ke padepokan lain. Sampai akhirnya pak sopir pinggir yg usai menikmati jamuan di ruang crew membukakan pintunya, dan para penumpang pun segera kembali menjamah tempat duduknya semula. Entah mengapa, saat di tempat peristirahatan seperti ini, yg lazimnya juga merupakan tempat dimana dilakukannya pengontrolan penumpang serta aplusan dari sopir pinggir kepada sopir tengah, namun di PO ini justru tak pernah ku temui adanya cheking penumpang layaknya kebanyakan PO lain, pun begitu juga tak pernah ku temui adanya fenomena sarkawi yg dilakoni para crewnya.
Bis pun mulai berjalan keluar dari RM.Sari Rasa yg merupakan Rumah Makan daerah timur yg paling banyak disinggahi berbagai nama nama PO besar seperti Kramat Djati, Gunung Harta, Rosalia Indah, Gunung Mulia, Tunggal Dara, Langsung Jaya, Putra Remaja, Garuda Mas, Bandung Expres, Nusantara, Zentrum, dan Harapan Jaya sendiri. Berhenti di lampu merah beberapa ratus meter setelah mengaspal, sejajar dengan Rosalia Indah Super Executive Class Jetbus Morodadi, "Thoot" sapaan sang driver RosIn, "Piye ngko, liwat ngendi? Slawi po ngendi?", tanya pramugaraku pada driver bis berformasi seat 2-1 itu, tak terdengar apa jawabannya namun kembali pramugaraku menjawab "Lebak Bulus". Inilah arti persahabatan sebuah crew jalan, meski dari bendera perusahaan yg berbeda dan berhombase yg berjauhan pula, namun begitu mudahnya mereka saling mengenal saat ada sedikit waktu untuk bersama, biarlah urusan rekrut merekrut penumpang management yg mengatur, seolah mereka hanyalah menjalankan tugas tanpa ada beban mencari penduduk kabin, saling bertukar kabar, bahu membahu menaklukkan gerangnya aspal pantura bersama sama, hmmmm indahnya kebersamaan dalam perbedaan ini.
Setelah lampu menyala hijau, RosIn pun langsung melesat meninggalkan bisku. Di susul Nusantara Scania Irizar biru made in Adiputro turut melaju meninggalkanku. Hampir sampai di deretan rumah makan Wleri, Shantika tribal hijau pupus bertagline ELEGANCE pun nyeruduk dari kiri, padahal rumah makan yg hendak dihampiri tak lagi jauh di depan, masih saja ngeblong, maklum lah style ala driver Muria-an dipadu armada yg up to date, gak tanggung tanggung, gress baik mesin maupun body, satu lagi bekal yg mutlak terpenuhi yaitu jatah solar yg lhos lhosan, mau apa lagi kalau sudah seperti itu, buat para drivernya, tradisi banter selain bisa menyingkat waktu tempuh, kan juga bisa buat nunjukin skil sesama pengemudi montor gedhe ini, tentu sebuah aksi yg mempunyai daya tarik tersendiri, baik bagi driver maupun sebagian penumpangnya.
Menyusuri tanjakan Alas Roban, laju bis pelan karena adanya rentetan panjang kendaraan di depannya, masih terlihat bokong dari RosIn dan Nusantara yg meninggalkanku tadi turut berjalan pelan di depan sana. Setelah mencapai puncaknya, ternyata biang keladinya ini to, Al-Amin eks Timbul Jaya yg mogok dan setengah dari badannya masih berada di jalan raya.
Hmmmm,,,lagi lagi badan gak bisa kompromi, rasa dingin begitu membeku, seolah selimut tipis ini tak jua mampu menepis kedinginanku lantaran sakit dadakan itu, biarlah ku coba untuk mengistirahatkan sekujur tubuh ini, ku pejamkan mata ini dari kesaksian akan tontonan di pantura malam itu, perlahan jiwaku mulai memasuki alam bawah sadar, dan terlelaplah aku.
Brebes, jiwaku kembali tersadar mendengan suara sopir yg tengah calling callingan dengan sesama kerabatnya, menanyakan tentang keadaan lalu lintas, ku lihat kemacetan terjadi, bis sama sekali gak bergerak, di lajur sebelah kanan terlihat truk tlailer, ku lihat lagi di jalur kanan, kali aja ada residivis blong kanan yg melancarkan aksinya, benar saja, Bejeu melokomotifi buka jalur kali ini, disusul Nusantara, Raya, Rosalia Indah, Pahala Kencana, dan GMS. Driverku pun memberikan meal-mealan pada penguasa lokal untuk dicarikan celah sebagai jalan menuju jalur lawan arah.
"Jo, tangio Jo, iki ngeblong lo, ngko nek ngemeal", pak sopir berusaha membangunkan pengawalnya setelah bisnya berhasil membututi GMS. "Iki mau sing ngomendani Bejeu Jo", hehehe fenomena buka jalur seolah sebuah pertempuran dengan arus lawan arah, sehingga pak sopir menyebut Bejeu sebagai komandan pasukannya, karena dialah yg mengepalai iringan bis bis pengguna jalur lawan ini.
Titik kemacetan adalah jebolnya jembatan di Brebes, sehingga diterapkan sistem buka tutup jalur. Lancar kira kira 10 km, kemacetan kembali menghadang, terlihat di depan Bejeu dan Nusantara mulai bermanuver ke kanan untuk memanfaatkan jalur lawan yg sedang sepi, driverku pun menyalakan lampu sign kanan menandakan akan mengikuti jejak terlarang kedua setan jalanan dari bumi kartini itu.
"Arep liwat kanan iki?", tanya pramugara pada pak sopir.
"Yo iyo, bature nganan kok...".
Tapi mobil elf di depanku yg menghalangi celah putaran arah sebagai jalan bermanuver, membuat bisku harus ketinggalan dua komplotannya tadi, dan ternyata adrenalin driverku tak seperti keberanian para driver dari lor-lor'an, karena jarak dari Nusantara yg sudah terlampau jauh, sehingga tak adanya kendaraan yg dibuntuti, akhirnya pak sopir pun memilih mengurungkan niatnya untuk mengambil jalur lawan, hmmmm....sayang deh, padahal jalur kanan tengah sepi banget, kok gak berani buka jalur sendirian seh, apa pak sopir masih terngiang dengan rekomendasi kantor yg berbunyi "Anda adalah pengemudi Kami yg terbaik, dan bukan pembunuh jalanan" kali ya???
Setelah sekitar 1 km menyusuri jalan dengan keadaan tersendat, akhirnya terlihat penyebab kemacetannya adalah laka'nya sebuah Jetbus HD Nano Nano EURO 4 yg berada di kanan jalan, sehingga arus dari lawan arah juga banyak yg melakukan aksi buka jalur, efeknya di jalur kiri pun terkena dampak macetnya.
Entah bagaimana kronologi kecelakaannya, melihat tiang lampu penerangan di tengah jalan yg juga tumbang tertabrak, maka bisa dipastikan kalau PK ini dari arah timur, namun kenapa bisa berhenti menabrak perumahan warga yg berada di sisi sebelah utara jalan raya.
"Montor balap yo ngono kuwi Jo...", komentar pak sopir pada pramugara melihat kejadian laka itu, seolah merasa aneh dengan krononologi kejadiannya, dan seolah sadar diri akan dirinya yg diwajibkan untuk lebih mengutamakan kenyamanan dan keselamatan, bukan kecepatan.
Lepas dari tragedi lakalantas PK, mata menyipit lagi, bubu manis ahh....
03.30, kulihat jam di samping layar LCD pada bis bagian depan, kulihat kanan kiri, kok jalanan sepi begini, mendengar pembicaraan pak sopir yg tengah berbagi informasi dengan teman sesama PO nya, ini ternyata sudah sampai di Indramayu.
Sampai di sini, ada masalah pada sistem suspensi udaranya, entah apa penyebabnya, namun sistematis kerja balon udara pada tumpuan roda bis ini tak lagi terasa empuk seperti tadi, begitu bis menginjak lubang, getaran terasa sangat keras.
Tepat pukul 04.00 bis memasuki rumah makan kedua untuk melakukan service snack pagi, ku pikir waktu yg masih cukup untuk bisa mencapai Ibukota sebelum terjadinya macet dimana mana, apalagi ini kan hari Senin, terlambat sebentar saja maka jelas bakal disambut oleh kemacetan dalam kota.
Setelah selesai menghabiskan sepotong roti basah dan secangkir kopi, aku beranjak keluar dari ruang RM, berpikir bis akan segera kembali menggaruk aspal menghabiskan jarak tempuh yg tersisa, eh rupa rupanya para crew sedang memperbaiki Air Bellow yg mengalami trouble tadi, semoga saja gak lama.
Di suasana pagi yg masih dingin, langit masih berbintang dan dunia pun masih gulita, dimana para penumpang tengah asik menikmati snack yg di sajikan oleh RM Taman Sari, para crew harus rela bekerja mengakali supaya bis dapat normal seperti sedia kala.
04.30 menginjak 04.45 dan 05.00, bis bis belakangnya pun mulai menyusul bisku di sini, Scania New Travego sebagai bis 29, MB 1626 Jetbus HD berkode bis 7, Scania New Setra dengan nomor trayek 8, MB 1526 Scorpion King berangka 16, MB 1525 Galaxy AirS berkode 4, serta Jetbus HD berpapan trayek 5. Anehnya dari kesemuanya itu, tiada satupun kru yg membantu jalannya perbaikan pada bisku. Setiap keluhan atau adanya kesulitan para crew saat mencoba menservice armada batangannya itu, selalu disampaikan oleh driver tengah pada para penumpangnya, persis seperti kejadian pada sebuah pesawat, yg apabila ada penundaan jam terbang sedangkan penumpang telah berada di dalam kabin pesawat, maka instruksi akan disampaikan langsung oleh pilot yg bersangkutan.
05.30 akhirnya ada instruksi untuk penumpang bis 11 kembali memasuki kabin, pertanda armada telah beres dari trouble dan siap untuk diberangkatkan kembali.
Menjelang pintu masuk tol Cikampek, lagi lagi kemacetan menyerang, di depanku persis ada sebuah PK Nano New Marcopolo, dari kiri terdengar raungan mesin yg ternyata adalah Haryanto Orange Titans yg memanfaatkan tanah pinggiran jalan sebagai sarana ngeblongnya. Tepat pas di gerbang tol Cikampek, beriringan lagi dengan PK Nano Evonext, namun seusai transaksi tol selesai tanpa pamitan dia langsung melesat meninggalkanku begitu saja. Bis mampir di rest area untuk mengisi solar, bareng juga dengan Sindoro Satriamas livery biru. Sampai di gerbang tol Cikunir arus lalu lintas masih lancar, namun kemacetan parah justru terjadi beberapa kilo di depannya, lebih parah daripada beberapa kasus macet yg terjadi sebelumnya tadi. Bahkan waktu yg dibutuhkan untuk mencapai tujuan Pasar Rebo terhitung 1,5 jam, jam 09.00 akhirnya aku berpisah dengan H316. 16 jam 30 menit, akumulasi waktu yg dibutuhkan dari Solo hingga Pasar Rebo, selain karena kemacetan, kecepatan dari bis pun hanya standar saja, ya mungkin inilah jiwa dari PO Harapan Jaya, biar impianku mendapatkan armada berdapur Scania pun, mungkin tak jua ku dapati aksi driver yg menantang adrenalin, jadi setangguh apa pendorong armadanya, management tetap lebih condong ke sisi kenyamanan dan keselamatan penumpang.