8 April 2013

Andai Dia Insan




Body Scorpion King, memberikan image pada parasnya yg gagah perkasa dan berani, sorot matanya yg tajam seolah tau akan yg benar dan yg salah.
Setiap harinya tak lelah mengarungi jalanan dari Tulungagung sampai Jakarta atau sebaliknya. Kelok, liku, dan terjalnya medan tak menyurutkan rutinitas mengemban amanahnya, tak kenal panas dan gelap, tak kenal hari hari, tak gentar akan suasana, dialah gambaran seorang petualang sejati yg tegar memaknai hidup. Tak seperti mayoritas keremajaan era sekarang, yg gegap gempita terhadap keadaan, menradisikan sebuah malam minggu yg dianggap malam yg panjang, eh tapi panjang darimana bagi mereka yg bekerja sebagai seorang SPG di sebuah pusat perbelanjaan, yg justru menjadikan hari minggu adalah jam kerja yg mutlak.
Identitas yg dikenakan para crewnya, bertuliskan "Harapan Jaya Tulungagung", mungkin hanya inilah PO yg menyertakan homebase dalam ID di seragam awak kabinnya, seakan tak memungkiri akan asal muasal kampungnya dan juga justru membanggakan daerah tempat kelahirannya. Berbeda dengan anak muda sekarang yg begitu menginjakkan satu kakinya di ibukota, langsung terbius dengan gaya dan bahasa sok kekotaanya, biar narcis gitu loch... Hehe, gak ingat apa dengan sejarahnya dulu sebagai wong ndeso?
Dia hanya berhenti di agen resmi saja untuk mengambil penumpang, biarpun sepi namun tak pernah melakukan Sarkawi di sepanjang jalan kehidupanya, tak ingin senonoh mengambil yg bukan hak'nya, menerima apa adanya, Narimo Ing Pandum. Jauh berbeda dengan Gayus Tambunan yg tak puas akan gajinya sehingga memakan harta haram dari uang rakyat.
Kelas Executive yg menjadi layanannya tak dipampangkan dalam bentuk stiker tulisan yg menghiasi bagian tubuh putihnya, tak ingin pamer akan kelebihan yg ada pada dirinya yg menurut ajaran islam adalah sebuah penyakit hati bertajuk Riya', biarlah orang mengetahui dan menilai kebenaran itu dengan sendirinya.
Harga yg nominalnya tidak lebih besar dari kelas yg sama dengan dapur pacu yg berbeda, layaknya pribadi yg tak silau akan harta, atau yg belakangan ini disebut matre.
Pun saat tiba di rumah makan, tak bertinggi hati dengan kelas yg diusungnya, tempat service makannya bersamaan dengan dua kelas di bawahnya, menguak nilai bahwa tak adanya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin atau sejenisnya.
Tujuan akhir di Jakarta yg selalu berpindah pindah, bukan sebuah hal yg menjadikanya iri, seakan dia sadar akan indahnya saling berbagi.
Tulisan SCANIA yg mewarnai bodynya, hanyalah sebuah sedikit gambaran dari jiwa di balik raga built up karoseri Tentrem yg dimilikinya.
Tak salah pihak managenent PO Harapan Jaya menamainya dengan tag BEYOND IMAGINATION.
Belajarlah memaknai arti yg terkandung dalam trademark'nya, biarpun dia adalah sesosok bis, tak ada salahnya kita mencoba menjadi seseorang yg menganut nilai nilai positifnya.

Sensasi EURO-NG ala Budiman



Kalau ngomongin soal trayek Pasundan, khususnya rute tol Cipularang, mungkin yg terlintas dalam benak adalah Primajasa dan Budiman. Dua PO yg dimiliki orang berdarah Tasikmalaya inilah yg menjadi raja pangsa pasar jasa angkutan jarak menengah line Jakarta-Jawa Barat.
Trayek yg ditawarkan keduanya pun cukup beragam, mencangkup berbagai kota di Jakarta, Bekasi, Bandung, Garut, Tasik, dan sekitarnya. Kesamaan strategi dalam menentukan rute tujuan, yaitu tidak hanya melayani trayek ke terminal besar saja, namun juga ke tempat tempat keramaian lainnya, membuat kedua PO ini semakin sengit rivalitasnya. Tak lain seperti jalur Surabaya-Jogja/Semarang yg diisi oleh dua petarungnya Eka/Mira dan Sumber Group, keduanya melayani tujuan yg seutuhnya bersinggungan, namun pelayanan yg berbeda membuat fanatisme setiap orang pun berlainan pula, kalau pengen yg larinya bagai yg punya jalan tak salah ikut Sumber Kencono seanteronya, namun jika naik Eka/Mira itu justru lebih menawarkan kenyamanan. Begitupun Primajasa dan Budiman, yg satu lebih konsisten di kelas menengah ke bawah, dan kompetitornya condong melayani kelas Bisnis AC ke atas.
Trip'ku kali ini adalah dalam rangka meninggalkan kota Sumedang menuju ibukota, iklas gak iklas, mau gak mau, urusan kerja mengharuskanku menyudahi petualanganku di daerah yg adem ayem itu dan kembali mengarungi panasnya kota suku Betawi. Biar berat, bagai tertarik magnet yg dimedani bumi tempat Universitas Padjadjaran berdiri ini, tetap ku paksakan kaki ini menapak menuju pintu Tol Cileunyi sebagai terminal bayangan tempat titik awalku melakoni perjalanan ini.
Silau matahari menyerang sekujur tubuhku yg hanya terbalut helaian celana jeans dan tshirt, tiada ruang tunggu, tiada obyek yg sedikitnya layak untukku jadikan tempat berteduh, juga gak ada Umbrella Girl yg menawarkan jasanya padaku dalam menanti kibar bendera start. Sebenarnya ada dua unit armada Doa Ibu yg tengah mangkal, namun karena waktu yg mulai beranjak mendekati tengah hari, bayangan body buatan Mayasari Utama itu tak sanggup menutupiku dari sengatan wijaya siang. Ya sudahlah, biar kulit ini semakin menyaingi mengkilatnya warna BeJeU, berharap bakal segera ada bis yg lewat.
Bukan sombong ataupun sok berlebihan, biarpun cuma buruh, namun untuk urusan bis, jujur saja aku lebih memilih yg menawarkan pelayanan di kelas menengan ke atas, biarpun harus merogoh recehan lebih banyak, nanum ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di kelas ekonomi yg terbilang apa adanya. Maka kali ini adalah sang raja dari Priangan "Budiman" yg sengaja ku tunggu, yg katanya untuk tujuan Kp.Rambutan memberikan dua option service, kelas Eksekutif dan Super Eksekutif. Kenapa harus Budiman, pasalnya kubu Primajasa tidak mengoperasionalkan squat kelas Eksekutifnya untuk tujuan Garut dan Tasik, sehingga hanya kelas AC Ekonomi saja yg ada, pernah membaca suatu thread di BisMania kalo sebenarnya ada line baru Primajasa tujuan Tasik dengan layanan kelas Eksekutif, namun hingga sekarang tak pernah aku menemui sosoknya.
Satu unit armada penantianku lewat, namun jalannya kok anteng di lajur kanan, tanpa ada usaha untuk mencari tambahan penumpang layaknya mayoritas bis jarak menengah lainnya, seakan cuek pada penumpang dan tidak butuh lagi rupiah sebagai imbalannya, apalagi di belakang pintu depan selalu ada stiker yg tertempel bertuliskan "Hanya menaikkan penumpang di agen resmi", waah,,,apa jangan jangan ini bis tidak berhenti sembarangan lagi, bisa gagal deh rencanaku menjajal armada buah rintisan Bapak Saleh Budiman ini, dan terpaksa berdiri berdesakan di Primajasa lagi deh... Ah, sabar dulu aja deh, nanti di belakangnya juga ada armada lagi.
"Mas, Jakarta mas...", tanya seorang kondektur yg baru saja turun dari bis berlivery ala Budiman, hampir saja aku terkecoh mengira bahwa itu memang Budiman, namun ku rasa kok ada yg janggal, benar saja ternyata itu adalah PO Saluyu Prima yg mungkin merupakan armada eks Budiman. "Kp.Rambutan, Pasar Rebo, ayo mas...", rayuannya padaku. Ku pikir kalau aku ikut ini malah bisa sampai Pasar Rebo, gak cuma di Kp.Rambutan saja, lebih efektif juga. "Gak mas, saya ke Priok...", tolakku dengan sebuah kebohongan supaya aku tak terserang iming imingnya lagi. Aku tak tertarik akan kelebihannya di sisi tujuan akhir yg semakin mendekati domisiliku, pasalnya reputasi tentang PO yg tergabung dalam Diana Group itu belum sedikitpun aku mengerti, daripada terjadi hal hal yg mungkin akan nenghambat perjalananku, maka lebih ku memilih bersabar dalam menunggu bis incaranku.
Dari kejauhan terlihat armada putih menuju halte non resmi ini, tanpa dipaksa calo dan tanpa rayuan dari kondektur, orang orang di sini yg rupanya juga menunggu bis ke Jakarta langsung menyerbu armada berbaju Evo-X Rahayu Santosa itu. Aku hanya pasrah, tak mau berlomba memperebutkan sebuah tempat duduk, biar dikata menyerah sebelum berjuang, karena tak mengingini terulangnya rasa capek ini berdiri di atas chasis Hino RK8-R235 mengaspal sepanjang 89 km di Tol Purbaleunyi, 56 km di Tol Jakarta-Cikampek, dan 13 km di Tol Lingkar Luar.
Belum juga bis yg facalift'nya telah dirombak dengan mata milik Jetbus itu berangkat, dari arah yg sama nampak sebuah Jetbus HD berwarna abu abu, tertulis tag jurusan Tasik-Jakarta beserta kelas yg diusungnya. Setelah tertangkap mata dengan jelas, oh rupanya ini adalah Budiman, namun maukah dia peduli akan diriku, ku arahkan sorot mata ini menuju sang kondekturnya sebagai isyarat bahwa aku sedang membutuhkan layanannya, aku tak mau ceroboh dengan melambaikan tangan, mengingat masih adanya keraguan di diriku bertanya tanya apakah PO ini menganut sistem ambil point atau tidak. Kondektur pun dengan sigap menanggapi maksud hatiku lewat selayang pandang bola mata ini, "Jakarta Jakarta..." teriaknya sebagai tanda tanya pada tatapanku padanya tadi, "Kampung Rambutan kan pak?" penjelasanku sebelumnya, "Iya, ayo Rambutan" jawabnya sembari membukakan pintunya untukku.

Mbok yo ojo Ndeso Ndeso mas...
Hemmm, akhirnya dapat bis juga, lega rasa hati ini, seolah mendapat jawaban dari segala kekhawatiran dan keraguanku tadi.
Tempat duduknya tak terisi penuh, terlihat masih ada tiga pasang yg masih kosong, aku memilih menempati kursi paling belakang, tepat di depan sekat pembatas antara ruang penumpang dan toilet serta smoking area.

Interior Seat 2-2, 9 baris ke belakang
Seat Alldila cukup nyaman
AC desain terbaru
Bantal cukup tebal, lumayan empuk
Dua buah bantal telah disediakan di sela sela sandaran seat berbrand Alldila ini. Kabinnya terasa bersih dan baru, lengkap dengan pajangan LCD 29" di bagian depan, bahkan jok'nya masih benar benar ori, belum termodifikasikan dengan kain sarung yg sejatinya mengurangi keindahaan aslinya.
Tak lama, kondektur menuju ke tempatku bersandar, segera ku layangkan selembar uang motif proklamator untuk ditukarkan dengan dua lembar tiket.
50 ribu, nominal yg mungkin begitu mahal jika disejajarkan dengan banderol tiket bis malam ke kampungku. Secara meskipun bis ini dilabel dengan kelas Eksekutif, namun kenyataan yg ada mengatakan sesungguhnya kualitasnya tidaklah mengungguli bis malam dengan layanan VIP Class. Coba bandingkan dengan Laju Prima, sama sama mengusung body Royal Coach, dengan jumlah seat tak berbeda pula, namun plus fasilitas selimut, serta ada tambahan service makan, yg hanya dibanderol dengan harga 125 ribu untuk perjalanan sepanjang 650 km, 4 kali lebih panjang dari jarak yg ditempuh Budiman, namun hanya dengan kelipatan harga sebesar 2,5 kalinya saja. Mungkin bukan sebuah keasingan, memang beginilah kaitan antara harga dan kualitas Eksekutif di lini bis AKAP jarak menengah ini, tidak lain yg diterapkan Primajasa tujuan Bandung-Lebak Bulus yg juga mematok tarif sama untuk kelas Eksekutifnya.
Di sebelah kananku, tertempel stiker dari management, yg merekomendasikan kewajiban seorang muslim untuk tak meninggalkan sholat, hmmm suatu kebijaksanaan yg hanya aku dapati di PO ini aja, dengan jarak tempuh perjalanan yg hanya memakan waktu kurang lebih dari 3 jam, PO ini tidak segan mengharuskan kru untuk memberikan kesempatan sholat kepada penumpangnya di masjid terdekat, di berbagai nama bis malam yg pernah ku tumpangi yg lama perjalananya sekitar 15 jam, yg jika diasumsikan maka mencangkup waktu sholat Ashar, Magrib, Isyak, dan Subuh pun tak pernah ku temui adanya kewajiban singgah selain untuk service makan dan control point saja, sungguh arif bijaksana engkau Bapak Saleh, tak salah menamai armada kepunyaanmu dengan kata "BUDIMAN".

Dibaca dan dijalankan ya, hehehe...
Melihat ruang yg disediakan khusus untuk para pecandu rokok sedang tak berpenghuni, aku pun memasukinya untuk tak menyiakan kesempatan dari apa yg telah difasilitaskan, bukan fasilitas rokok tentunya, namun hanya tempatnya saja. Disini terdengar begitu jelas akselerasi mesin OM-906LA yg meraung raung mendorong chasis OH-1526 sepanjang 12 meter ini, pijakan kaki kanan sopir ternyata tak begitu halus, terasa suara naik turun putaran mesinnya yg tak beraturan, injakan pedal remnya juga tak perlahan, bis yg ber'trademark EURONG ini terasa secara mendadak mengurangi lajunya, seperti sebuah bis bumel yg tengah kejar setoran saja.

Dua unit kursi dalam Smoking Area
Kembali ke tempat dudukku semula, ternyata bis ini banter juga, beberapa rival sengitnya yg berdapur pacu Hino dan setia akan body Evo-X nya dengan mudah dilahapnya, benar saja kalau ini disebut sebagai bus cepat, biar larinya tak sekencang setan dari Luragung, namun di dalam Tol bis ini tak pernah sekalipun berhenti mengambil penumpang layaknya kompetitor yg sempat diblongnya tadi yg selalu berhenti menarik point di titik titik terlarang.

Thoot,,, Thoot...
Disek yo Bosss...
Masuk di rest area yg lokasinya bersamaan dengan kantor PT Jasa Marga, ternyata disini tempat persinggahannya, lain dengan Primajasa yg mampirnya di rest area yg berada di pinggir Tol Cikampek. Tidak ada acara mengisi solar, dua unit armada satu PO juga telah berjajar parkir di sini, mungkin hanya sekerdar parkir memberi luang waktu menjalani sholat pada penumpangnya.

Sedang menanti kembalinya penumpang seusai sholat
Namun berbeda dengan bisku, selepas seorang cheker yg mengemban amanah mencatat jumlah sewa turun, rupanya bisku tak ikut parkir bersama kedua temannya, kenapakah gerangan? Bukannya telah ada peraturan untuk berhenti di masjid terdekat saat waktu sholat tiba, bukankah ini telah menginjak saatnya menunaikan sholat dzuhur? Apakah karena tempat ini bukan masjid melainkan rest area, atau mungkinkah semua insan yg ada dalam bis ini adalah non muslim, namun kenapa awak bis'nya tak jua menjalakan kewajiban lima waktu itu, kenapa management hanya mewajibkan mereka untuk memberikan waktu untuk sholat pada penumpangnya tanpa mengharuskan mereka sendiri juga menjalaninya, hehehe... aneh bin lucu...
Roda kembali bergulir mengaspali sisa jarak sekitar 70 km, sempat ngeblong Kramat Djati dengan mulus saat bis berlivery putih merah itu memasuki rest area di tol Cikampek. Seiring perjalanan Tol Cikampek hingga Kampung Rambutan, dua Lorena, Sinar Jaya, dan Agra Mas berhasil ditaklukkannya.

KD memasuki rest area
Permisi mbak Loren...
Kasih jalan donk Non...
Mau pulang ke pool Cibitung nih kaya'nya...
Dari Karawang ya Mas Agra...?
Setidaknya ini adalah sebuah pengalaman baru, setelah biasanya aku merangkul Primajasa sebagai mitra perjalananku ke kota kembang dan sekitarnya, kini lega rasanya bisa menjajal sensasi EURONG yg menurut versiku merupakan arti dari Eksekutif rasa VIP (kelasnya), Utamakan sholat (pelayanannya), Royal Coach (Balutan body'nya), OH-1526 (Chasis'nya), Ngeblong (tidak mengambil penumpang di jalan Tol), Good lah (kesimpulan dari semuanya).
Akhirnya perjalananku harus berakhir setelah memasuki area parkir bis Antar Kota terminal Kampung Rambutan, harus menerima kenyataan bahwa aku telah tidak lagi ada di Sumedang, serta harus berpisah dengan sang EURONG yg mengantarku ke sini, dan berkata "Hmmmm.... Jakarta lagi, Jakarta lagi...".
Saksi bisu perpisahaan'ku


5 April 2013

Demand New Travego di Indonesia





New Travego, itulah sebutan produk bus builder yg keberadaannya tercetus oleh Mercedes-Benz Jerman.
Di Indonesia, desain bis bis ala daratan Eropa selalu menggegerkan industri pasar karoseri, lebih lebih dua raja rancang bangun body bis asal Malang, sebut saja Adiputro dan Morodadi Prima, yg karyanya justru hanya mencermin dari bis bis ala benua terbesar ketiga itu. Tak heran, pasca lahirnya unit versi pembaruan dari Old Travego itu, dua karoseri di kota apel itulah yg terawal merintisnya di Indonesia.
Dari awal kemunculannya hingga sekarang, New Travego telah mengalami perubahan facelift sebanyak tiga kali, dari yg pertama menggunakan lampu Marcopolo atau sering disebut dengan lampu smile, kemudian varian keduanya mengusung lampu New Marcopolo, dan lampu Royal sebagai generasi ketiganya.
Adiputro varian pertama dengan Lampu Smile
Adiputro varian kedua / New Marcopolo
Adiputro varian terbaru / Jetbus

Namun, biarpun sebenarnya Adiputro lah yg pertama mengenalkan body ini dengan label Royal Coach'nya, tak sedikit pula bahkan hampir semua perusahaan karoseri di Indonesia akhirnya juga tertarik untuk membuat body bis yg memang terpandang gagah nan elegan itu.
Karoseri Tentrem yg merupakan tetangganya, mengenalkan produk basis ini dengan label Jupiter, New Armada memproduksinya dengan tag Avant Garde dan Grand Aristo, lain dari itu Tri Sakti dan Trijaya Union pun tak mau diam melihat geliat para rivalnya
Morodadi varian pertama
Morodadi varian kedua
Morodadi varian terbaru
Tentrem dengan nama Jupiter
New Armada dengan nama Grand Aristo
Trisakti
Trijaya Union
Karoseri HPM
Gunung Mas

Lain dari karya karoseri yg sesungguhnya, deman body bis yg berciri khas adanya tambahan panggul ini juga menyerang pada bengkel interen Perusahaan Otobus itu sendiri. Banyak dari mereka yg sengaja membuat atau hanya merombak body armada kepunyaanya dengan tampilan New Travego.
Rombakan Karoseri Rosalia Indah
Rombakan Garasi Muji Jaya Ngabul
Rombakan Garasi Shantika Ngabul
Rombakan Karoseri Revolution
Rombakan Karoseri Jaya

Ada juga yg ternyata terjangkit oleh wabah body yg identik dengan garis lengkung kaca samping depan ini, namun tak cukup kuat modal untuk pembiayaan modifikasinya, alhasil finishing dari buah kejahilanya pun menghasilkan karya yg lucu untuk dinikmati.
Aslinya body Classic by Restu Ibu
Classic Restu Ibu
Aslinya Concerto Rahayu Santosa
Mungkin Old Travego
Tidak terdeteksi asal muasalnya
Mungkin Skyliner/Panorama

Terbayang, betapa ganasnya virus ini menyerang dan menular? Sebenarnya, ada juga body bis buatan anak bangsa yg tak kalah garang, seperti varian Legacy dari Laksana, Evonext by New Armada, dan juga Scorpion King made in Tentrem.
 Namun mengapa di Indonesia New Travego justru menjadi penguasa rumah rumah di atas chasis? Benarkah bis bis Eropa terkenal akan kualitas, kenyamanan, dan kemewahanya, sehingga para petinggi PO di Indonesia baik yg berbudget menggunung sampai yg hanya pas pasan secara gampang mengikuti style tren ala bis bis Eropa? Hmmm,,, entahlah...