Kalau hari Sabtu berangkat ke Jakarta lalu Senin'nya balik lagi ke kampung, sementara hari Minggu yg menjadi interval waktu PP mesti ku manfaatkan untuk ke Bekasi melepas kangen. Hmmm, waktu yg ku rasa singkat, apalagi tujuan utamaku kali ini adalah untuk mengantarkan mama ke Jakarta, sehingga aku harus bisa tiba sedini mungkin, toh kalau bisa sampai lebih awal berarti luang waktu istirahat sebelum aku memulai perjalanan ke Bekasi juga lebih lama.
Repair jalan Pantura yg tak pernah ada hentinya adalah satu hal yg aku kawatirkan menghambat waktu tempuhku, kabarnya usaha Pemerintah untuk kebut perbaikan jalan sebelum tiba arus mudik lebaran menjadi momok di balik kemacetan panjang di daerah Pemanukan.
Intinya, aku harus mencari solusi agarku tak terjebak kemacetan itu, dan ku pikir satu satunya cara untuk itu adalah ikut PO yg keberangkatannya lebih awal, kenapa? Karena saat bis tiba di titik kemacetan, niscaya lalu lintas belum dipenuhi oleh bis bis malam yg berangkat di waktu normal, sehingga memungkinkan macetnya belum terlalu parah.
Agra Mas, ya... seketika terlintas di pikiranku untuk menggandeng PO yg dulu pernah mengecewakanku itu. Namun itu dulu, saat arus balik lebaran tahun 2009, yg notabene PO berkelir merah itu belum resmi membuka trayek ke Wonogiri seperti saat ini, kalau teringat pelayanannya ketika itu, rasanya mustahil lah aku bakal mau bermitra dengannya lagi.
Tapi, sekarang lain, dari aneka kabar yg tertangkap, mengatakan bis yg bermarkas di Karawang ini reputasinya bagus, dan itu aku amin'i lantaran terus bermunculan armada armada gres utuk mengukuhkan squatnya, dan juga telah menihilkan sistem sarkawi yg dulu pernah dianutnya. Dan satu lagi, di awal trayek resmi ke Wonogirinya diraih, ada yg bilang bahwa bis ini jam 7 malam telah mencapai kota pemalang arah Jakarta, woow sungguh... di saat yg lain masih mengarungi aspal Tol Semarang, bis ini mampu melesat lebih dari 100km di depannya.
Biarlah, kenangan pahit yg lalu bersamamu akan ku hapuskan, dan kini aku harapkan untukmu memberi yg terbaik kepadaku, buktikan merahmu wahai Agra Mas...
"So, mobile sing jatah Bogor body Evolution iki, piye sido melu Agra ora?", begitulah suara earphone'ku saat jam 7 pagi nada dering HP ku memberantakkan mimpi indahku. Yups, konsekuensi yg patut di acungi jempol, bis berangkat lebih awal ditandai dengan agen yg buka lebih pagi, dan itulah suara temanku yg hendak melakukan trip bersamaku nanti, dialah yg aku percayai mecari tiga lembar tiket.
Masa bodo lah, entah armada berparas apapun yg jalan, aku tak memilah milih, yg aku mau kali ini adalah yg penting Agra Mas.
Jam sembilan aku telah stand by di pinggir jalan raya, katanya sih dari terminal take off jam 09.30 makanya aku siap 30 menit sebelum keberangkatan, bukan takut ketinggalan, tapi belajar on time, disiplin, menghargai kru gitu lah lebay'nya, hehe...
Sayang, info agen ternyata meleset 30 menit, membuat aku harus duduk dalam kebosanan selama satu jam. Jam 10.00 temanku yg lokasi penantiannya di desa Sukomangu menelfonku memberi kabar jika bis telah lepas landas, tak lama bis merah polos rajutan karoseri Bogor itupun tiba juga menghampiriku, dengan sekali kedipan mata Marcopolonya diiringi suara klakson khas hino serta kelap kelip lampu hasyrad, mengisyaratkan padaku bahwa dialah bis yg aku tunggu.
"Bagasi kabeh ora mas...", tanya sang kenek saat membukakan pintu bagasi untuk sebuah kardus dan tas jinjing yg dibawa ibuku. Tanpa ada pinta dariku, helper itu seakan langsung tanggap akan kebutuhan tempat untuk barang bawaan penumpangnya, baru kali ini lho aku menemui sesuatu seperti ini...
2AB, nomor seat untuk kami berdua, sedang temanku Piyik menempati satu seat di depanku, kursi keramat yg selalu menjadi incaran para BMC yg doyan touring.
Fasilitas selimut lengkap dengan bantalnya, hanya saja lubang AC'nya berada di dalam bagasi atas, tak terletak di setiap plafond di atas tempat duduk penumpang, melihat hal ini aku yakin bahwa bis ini sebelumnya adalah bis kota atau bis pariwisata yg di legalkan untuk divisi malam.
Sopirnya ramah, santun lagi, setiap kali satu persatu penumpang naik dari agen yg dilewatinya langsung disapa olehnya "Monggo Pak / Bu... dipun persani wonten tiket'ipun lenggahe nomor pinten...".
Keneknya juga selalu berbahasa krama baik dengan para penumpang atau dengan sopir, kebiasaan yg telah lama tak ku temui, jadi ingat kenangan saat dulu masih setia dengan Gunung Mulia, kenek selalu berbahasa halus dengan sopirnya, terkesan lebih etis, dimana jabatan lebih rendah akan menuakan dan menghormati pada yg lebih tinggi, inilah etika yg patut dicontoh.
11.30 bis memasuki terminal Wonogiri, sudah ada satu armada disitu dan ada lagi dua armada yg menyusulku, aku gak melihat kode BM berapa saja yg menjadi nomor body Agra divisi bis malam di situ.
Setengah jam waktu yg dibutuhkan untuk urusan transfer penumpang, dan mantabnya lagi bis yg aku tumpangi telah full seat dari terminal Giri Adipura ini, berarti laju bis nantinya bakal langsung bablas, tanpa mampir mampir di agen lagi, sipp lah... lumayan bisa mempercepat waktu tempuh.
Dari sini kendali setir telah beralih kepada driver yg baru, lho padahal kan belum sampai rumah makan kok sudah oplosan ya, ooh rupanya Agra menganut sistem sopir langsir, dan baru di sinilah lingkar kemudi dipegang oleh sopir pinggir aslinya.
Masuk terminal Kartasura, belum terlihat pasukan Laju Prima ngumpul di sini, pertanda bisku tiba lebih awal darinya.
Lepas Kartasura, temanku Piyik bergegas meninggalkan kursi idamannya dan berpindah ke seat CB berdampingan dengan sang kenek, aku lebih memilih tidur, enggan buat ninggalin seat 2B ku, pasalnya kalau itu aku lakukan berarti aku juga ninggalin ibuku, gak ah... lebih baik bobok manis aja...
Sebelum memasuki Tol Semarang, dua unit Purwo Widodo "Kian Santang" mulus di take over.
Tepat jam enam sampailah di persinggahan makan malam, rumah makan Raos Eco. Tempat service makannya berderet dengan Tunggal Dara Putera, Sari Giri, dan Travel. Tak ubahnya dengan Laju Prima, di sini pun lauk utama tetap diambilkan oleh si pelayan rumah makan, tidak seperti di Sari Rasa atau Taman Sari yg kesemuanya diambil oleh si penumpang yg hendak makan, sebenernya ini prasmanan apa bukan sih?
Suasana ruang makan masih sepi, hanya bisku dan satu unit Sari Giri saja sebagai penghuninya.
Jadi ingat, dulu waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah makan ini, belum ada yg namanya service makan prasmanan di sini, semua yg masuk di sini adalah dengan membayar dulu apa yg telah dipesan, baru deh dimakan.
Saat itu Timbul Jaya, Sedya Mulya, dan Serba Mulya masih berlangganan di sini, sebelum akhirnya keberadaannya tergusur oleh Laju Prima dan Agra Mas yg menguasai stand parkir di rumah makan ini.
Setengah jam berlalu, kini giliran driver tengah yg bertugas memacu mesin Hino RG ini. Kata temenku Piyik yg juga ternyata kenal akrab dengan pak sopir itu, namanya adalah Pak Tulus yg merupakan eks Gunung Mulia.
Menyusuri tanjakan Plelen Sinar Jaya 55 AC harus rela memberi jalan untuk pak Tulus maju ke depan, di Subah Gunung Harta mesti terlewati karena lajunya yg merayap, pariwisata Muda Perkasa dan AM Shantika pun pasrah saat diasapi di Batang, hingga akhirnya harus terjebak kemacetan yg lumayan panjang bersama Sinar Jaya 26 2X, Dedy Jaya "One Heart", dan Coyo di Pekalongan lantaran adanya acara pembukaan Mall baru.
Sepanjang perjalanan, sang sopir dan kenek banyak membicarakan uang jalan yg di jatahkan manajemen pada kru, mulai dari konsumsi solar, uang makan, uang cuci bis, sampai pada sisa dari keseluruhan biaya satu perjalanan yg nantinya bakal menjadi hak milik ketiga kru itu.
Kenek yg akhirnya ku ketahui bernama Pukit adalah orang Pacitan, yg saat ini sedang di alih tugaskan untuk line Purwantoro. Dalam pengakuannya dengan pak Tulus, sebelumnya dia bekerja di Pacitan Jaya Putra untuk bis kecil jurusan Pacitan-Nawangan, semenjak reputasi perusahaan yg dinaunginya meredup, kemudian dia memilih hengkang dan sampai sekarang bercengkrama dengan Agra Mas. Dikatakan pula, konon keseluruhan armada PJP saat ini hendak dijual dengan nilai 4M termsuk garasi dan ijin trayeknya.
Sebelum masuk Tol Cirebon, pak Tulus menghentikan armadanya, sementara Piyik turun untuk mengganjal ban menggantikan tugas seorang kenek karena dialah yg saat itu menduduki seat CD. Entah kenapa mesti diganjal, apakah armada eks Marissa Pariwisata ini fungsi Hand Rem'nya telah ditanggalkan?
Setelah mata terpejam, aku kembali terjaga ketika bis berhenti di rumah makan Taman Sari untuk kontrol penumpang.
Dari sini kendali setir masih tetap dipegang pak Tulus.
Kemacetan di Pemanukan menjadikan pak Tulus ragu untuk memilih lewat jalan mana, antara jalan alternatif menghindari macet atau tetap lewat jalan utama menerjang kemacetan panjang. Akhirnya pak Tulus memberanikan diri untuk tetap melaju di jalur utama dengan alasan waktu dini itu adalah hari Minggu yg niscaya lalu lintas tak seramai hari kerja, dan benar saja, ternyata justru tiada sedikitpun kemacetan yg terjadi di sini, sipp deh, bakal tiba di Jakarta sebelum fajar.
Oplosan driver pinggir berlangsung di Poll Karawang. Dari sini kenek tampak sibuk dengan DP (Daftar Penumpang) yg ada di tangannya, tak lain seperti seorang kenek bis bumel yg memberi aba aba turun pada penumpangnya. Yups, beginilah mestinya tugas seorang kenek, mengatur naik turunnya penumpang, dengan begitu maka tak akan ada kejadian penumpang kebablasan, toh itu juga bisa mencerminkan reputasi lebih lagi kan untuk PO nya.
"Pall, Pall, ingkang Pall wonten tigo, monggo persiapan...", hingga akhirnya aba aba mas Pukit pun jatuh padaku, di sini lah aku, ibuku, dan Piyik turun.
Ku lihat jam di HP, 04.00... Waktu yg masih begitu pagi, masih ada senggang waktu untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Bekasi nanti.
Semua berakhir seperti apa yg ku harapkan, kini telah kau buktikan merahmu padaku wahai Agra Mas...
No comments:
Post a Comment