20 July 2013

Langsung Jaya, "We Make People To Destinition"

Mungkin sama halnya dengan dunia kedirgantaraan, maskapai Lion Air memang lebih terjangkau dalam hal harga tiket daripada Garuda Indonesia, tentu saja imbasnya adalah dalam hal service yg tak se'spesial seperti yg lebih mahal. Intinya kubu Garuda lebih condong memberikan segalanya yg terbaik sekalipun harus memathok harga yg melangit dengan kelas Bisnis ke atas, sedang Lion memilih menjual tiket untuk kalangan yg merasa enggan untuk merogoh kocek dalam dengan kelas Low End Ekonomi'nya.

Strategi pemasaran yg berbeda seperti itu juga berfenomena pada dunia bis, sebagai sesuatu yg memicu segmen pasar di berbagi golongan, mengikuti jejak sang Garuda bukanlah jaminan meraup untung yg bertubi.


Mungkin demikianlah benak PO Langsung Jaya berkata dalam memanagement squat armadanya. Memang ada benarnya, di ketatnya persaingan bisnis bis yg mayoritas mengadopsi armada bagus dan ter'upgrade sebagai senjata ampuh dalam menarik pelanggan, menyediakan armada bertarif murah bisa menjadi alternatif sebuah perusahaan dalam menyiasati gegap gempita perang bisnis yg tengah berdarah darah.
Armada yg dipakai tak lebih dari kata ala kadarnya, jangan ngarep bisa merasakan armada yg berembel Jetbus HD, Euro 3, WiFi, atau Air Suspension, di sini laik jalan merupakan sesuatu yg lebih dari cukup bahkan segala galanya, istilahnya "Olo waton teko, Nggremet waton selamet".
Bila kita melihat Dahlia Indah, Madjoe Group, Harta Sanjaya, atau Setia Bakti, PO dari Karanganyar ini tak jauh beda di sisi kelayakan armadanya. Mau dibilang jelek dikira menghina, mau dibilang bagus justru fitnah. Memang sesekalipun belum pernah aku merasakan pelukan PO PO itu, jadi entah seperti apa pemandangan yg ditawarkan di dalam kabin balok besi legendarisnya, apakah hembusan AC masih bisa menyejukkan tubuh, kursi mampu menjadi penompang dan sandaran yg empuk, toilet yg layak difungsikan sebagai area darurat buang air kecil, kesemuanya masih begitu tersembunyi untukku pribadi.
Wajah wajah kusam yg seakan penuh keluh kesal lantaran telah berpuluh puluh tahun mengabdi di jalanan, seharusnya faktor usia telah mewajibkannya untuk pensiun dari jabatan abdi pantura, semua itu bisa memberi gambaran seberapa comfort'kah citra rasa dari badan yg telah berkulit keriput dan tulang tulang keropos itu...
Laksana berlian yg terbungkus perunggu, wajah tak selalu mencerminkan hati, jangan disamakan dengan para komplotannya yg suka merekrut penumpang dengan setengah paksa lewat jasa tangan para calo terminal, mencekik penumpang dengan banderol tarif yg tak sesuai atau meminta uang tiket tambahan dengan resiko penumpang diturunkan bila menolak, jam keberangkatan yg selalu molor lantaran menunggu kursi bis terisi penuh, serta tujuan akhir yg melenceng dari yg telah disepakati sebelumnya. Hal seperti itu lumrah terjadi pada PO yg menerapkan sistem setoran untuk para krunya, biasanya rentan terjadi di bis yg merupakan kontestan Sapu Jagat di sebuah terminal.
Maka jangan samakan Langsung Jaya dengan PO nakal semacam itu, motif yg terukir serta warna yg tergores di belahan body luarnya bukanlah cermin kepribadian akan buruknya layanan darinya.
Biarpun tetap menganut siatem nyeser di jalanan, namun ada juga agen resmi yg tertunjuk sebagai ticketing di terminal maupun pinggir jalan, dan itu tentunya bukan calo. Tujuan akhir'pun jelas, tak ada kebohongan di balik mencari untung lewat putaran roda, seperti penumpang di janjikan untuk tujuan Jogja namun akhirnya hanya diturunkan di Semarang tanpa ada uang toleransi potongan harga tiket, hal seperti ini haram hukumnya di kubu Langsung Jaya. Service makan juga tersedia di sini, baik di Sari Rasa ataupun di Markoni.
Semua itu cukup membuktikan bahwa PO ini bukanlah abal abal dalam hal pelayanan karena telah mencangkup mayoritas layanan pada PO lain pada umumnya. Sehingga terjangkaunya harga tiket hanyalah menyediakan squat armada yg polos apa adanya, bukan berarti mengurangi kenyamanan pelanggan dengan cara meminimalkan pelayanannya, sehingga komitmen management untuk melayani dan mengantarkan penumpang ke tujuan benar terbukti dan tetap terjaga meskipun dengan kondisi tunggangan yg memprihatinkan.
Jika Lion Air mengusung moto "We Make People Fly" saja, itu berarti tidak mencangkup hal yg lebih spesifik dari sebuah memindahkan penumpang dari satu kota ke kota lain lewat penerbangannya, semisal baiknya pelayanan atau kemewahan makapainya. Maka andaikan saja aku adalah onwer Langsung Jaya, akan ku lekatkan moto "We Make People to Destinition".

10 July 2013

Purwantoro Lautan SR-1

Purwantoro, bumi yg menjadi bagian wilayah dari kabupaten Wonogiri yg notabene merupakan sebagai kecamatan paling Timur Provinsi Jawa Tengah. Sebagai kampung kecil yg dibentang oleh jalan raya antar provinsi, prasarana transportasi darat khususnya bis hanya cukup di katakan layak.

Jalan raya yg hanya pas pasan untuk medan berpapasan dua buah bis saja, dan juga terminalnya yg kecil dan sempit.
Padahal terminal inilah yg setiap harinya dimanfaatkan oleh puluhan bis malam tujuan Jakarta ataupun bis bumel tujuan Solo sebagai dermaga terakhir sekaligus pangkalan parkir untuk putar kepala kembali ke tujuan.
Namun, minimnya reputasi terminal tak menjadikan para pengusaha bis enggan untuk mengerahkan armadanya bernaung di sini. Berbagai bendera PO dari berbagai homebase pula setiap harinya berkibar riang seolah mengindahkan suasana terminal kecil itu.
Memang, keberadaan serta yg ada di terminal ini tak semegah kedudukan begitupun pendunduk di terminal tlatah lereng Gunung Muria yg di dominasi armada karya Adiputro. Pun demikian di jalanan Purwantoro setiap harinya berkeliaran armada andalan karoseri Laksana, Legacy Sky SR-1 yg dioperasionalkan oleh beberapa PO.
Terbayang, andai saja di satu hari, semua armada berfashion Lega Light dari semua PO terpakir rapi berjajar, hmmm sungguh indah terminal nan sempit ini layaknya sebuah lautan SR-1...









1 July 2013

Pahala Kencana, Pemain Bertahan Purwantoro



Trayeknya memang begitu tersebar ke berbagai penjuru kota hingga antar pulau, reputasinya pun juga OK, kekuatan armadanya tak boleh dianggap enteng, dari segi Mesin, Body, hingga kelas High End Super Executivenya, yups dialah Pahala Kencana. PO yg terlahir dan beranak pinak di Kudus yg akhirnya hijrah ke kawasan Kelapa Gading Jakarta Timur sampai sekarang ini adalah salah satu pendatang di kota Wonogiri.
Dengan dua unit armada yg dikerahkan, setiap harinya W2 dan W3 selalau aktif menggaruk aspal hingga ke Purwantoro mencoba meraup keuntungan dari panasnya persaingan bisnis transportasi bis. Rivalitas yg terus bergengsi, seakan menyurutkan PO berkelir "Nano Nano" ini untuk meluluhkan hati masyarakat pengguna bis umum di Wonogiri, singkat katanya meskipun kehadiranya lebih awal dari Laju Prima dan Agra Mas, namun garis keberuntungannya tak sebaik dua kompetitor sesama plat B itu.
Penambahan armada sebagai perluasan tujuan ke Jakarta yg tak segesit dua lawannya itu cukup membuktikan bahwa pasar penumpang tak begitu membludak, apalagi beberapa kali terlihat armadanya masih nongkrong di terminal Purwantoro ketika senja tiba, perpal ini makin menguatkan rendahnya minat penumpang terhadap PO yg turut andil dalam launching Mercedes-Benz O 500 R 1836 beberapa bulan lalu.


Namun itu semua tak menyiutkan niat management perusahaan bis yg berembel embel stiker level emisi gas buang dua tingkat di atas standar EURO di Indonesia ini, seolah mengilhami gagasan bahwa sebuah keberhasilan itu terwujud karena kemampuan melewati segala kegagalan yg meghalang. Biarlah saat ini tak seberuntung mereka, namun tekad yg disertai introspeksi diri niscaya bakal mendongkrak nilai reputasi seiring jalannya waktu.
Bahkan, kesabaran dalam mengarungi liku liku alam Wonogiri terpancar dari sistem rolling armada yg dialokasikan setiap harinya, cukup varian sehingga tak menimbulkan kesan "itu itu saja".
Melihat ini, timbul rasa kagum akan kobaran semangatnya dalam menjajahi trayek yg kurang menggiurkan baginya, bak seorang pemain bertahan yg setia berlari mengejar dan berhenti menanti bergulirnya bola ke kakinya.