Janur, ya... daun kelapa yg masih muda yg umumnya berwarna
kuning kehijauan. Dalam adat masyarakat khususnya suku Jawa, janur begitu erat
kaitanya dengan pesta pernikahan. Entah apa alasanya dan darimanakah asal
muasalnya, sehingga ke’identikannya menjadikan dimana ada hajatan di situ pula
ada janur. Di tempat berlangsungnya resepsi, janur begitu mendominasi, dari
gerbang pintu masuk hingga ke dekorasi dekorasi di dalamnya.
Janur bisa dibuat menjadi berbagai macam bentuk, baik
sebatas mainan hingga fungsionalnya yg mengandung arti. Ketrampilan merangkai janur
menjadi suatu bentuk tentu mempunyai nilai seni, bahkan sewaktu SMP dulu,
sekolahku pun memuat pelajaran “Seni Janur” yg menjadi pelajaran Muatan Lokal Ketrampilan
Tangan dan Kesenian. Menggunting, melipat, dan menggulung janur hingga menjadi
berbagai bentuk mulai yg berskala simpel hingga yg rumit.
Namun, siapa tau di balik indahnya janur janur yg terangkai
menjadi beragam bentuk itu, ternyata ada sesuatu yg tabu, mistis, dan masih
menjadi mitos di kalangan suku Jawa hingga kini.
Panjang Ilang, ya itulah namanya. Rupanya nenek moyang dulu
pernah mewarisi anak cucunya untuk tetap memegang teguh anggapan bahwa
rangkaian janur yg satu ini tidaklah sembarangan. Konon, Panjang Ilang ini
tidak boleh sembarangan dirangkai jika tidak pada saat yg tepat yaitu ketika
menepati adanya orang yg punya hajat. Apa alasannya dan apa akibatnya, ya
apapun jawabanya itulah mitos, percaya tak percaya memang.
Keris, Pecut, Bola, Kipas, Ketupat, Kembar Mayang, dsb
adalah sebagian dari berbagai macam bentuk janur yg pernah ku pelajari dulu,
namun dari sekian banyak rangkaian janur yg di ajarkan di sekolahku selama
setahun itu, memang belum pernah aku merasa ada materi membuat rangkaian janur
bernama “Panjang Ilang”, jadi mungkin mitos itu memang benar adanya.