2 January 2014

Pantai Nampu, Sisi Lain Panorama Wonogiri

Sawah, kebun, sungai, bukit, dan belantara lainnya sudah menjadi pemandangan biasa di Wonogiri. Tak salah memang, mendengar nama daerahnya saja, tidaklah tabu bahwa tekstur alamnya belum beranjak dari hutan (wono) dan gunung (giri).

Dengan kondisi alam seperti itu, dulu masyarakatnya harus menuju daerah lain untuk sekedar berwisata ke sebuah pantai. Teleng Ria yg berada di Pacitan dan Parang Tritis di Yogyakarta merupakan objek alternatifnya. Baru baru ini, tersirat kabar di dumay, bahwa ternyata ada sebuah pantai di Kabupaten yg dipimpin H.Danar Rahmanto itu, ya pantai Nampu, yg terletak di wilayah pesisir selatan, tepatnya di kecamatan Paranggupito.
Baru ngeh juga kalau ternyata wilayah kota gaplek juga berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, rupanya aku masih begitu awam menjiwai tentang tlatah asli panggonan'ku, ya mungkin begini lah imbas sebuah daerah kecil yg terpelosok, jauh dari keramaian sehingga jauh pula dari pandangan mata untuk mengenalinya. Berbeda dengan liku liku ibukota, dimana semua orang tau tentang setiap sudutnya, eh biarpun begitu, bagiku ya tetap kampungku lah surgaku...


Menyikapi hal itu, rasanya jadi kesemsem dengan pantai Nampu, bisa menikmati sebuah potensi yg dimiliki ranah lahirku, tentu sebuah nilai plus sebuah wisata. Tanpa ragu, tujuah liburan tahun baru 2014 ini adalah ke pantai Nampu.
Perjalanan di mulai dari Purwantoro menuju Ngadirojo, dari sana mengarah ke jalan menuju Baturetno. Dari pasar Baturetno perjalanan masih berlanjut hingga ke persimpangan Giriwoyo, selanjutnya ke arah kanan melewati Jalan Raya Baturetno-Pracimantoro, keadaan jalan di sini lumayan lebar, namun keadaannya mulai berlubang, mungkin dikarenakan kondisi lalu lalang kendaraannya yg sepi sehingga masih enggan untuk dilakukan perbaikan.
Berujung di perempatan Giribelah, dimana di titik inilah ruas jalan dari Batu dan Praci dipertemukan, mungkin ini pula yg melatar belakangi jalan raya dari Batu sepi, karena banyak wisatawan yg berasal dari arah barat sehingga lebih memilih untuk mencapai lokasi ini dari Praci.
Di sini, jika dari arah Batu maka mengambil ruas jalan yg lurus sebagai akses menuju kecamatan Paranggupito. Dengan ukuran jalan yg hanya pas-pas'an saja untuk dilalui dua mobil secara berjajar, serta kontur yg menanjak dan menikung dengan nuansa pohon jati di tepi kanan dan kiri, mengkondisikan kenaturalan sebuah daerah kecil di dalamnya. Semakin ke dalam jalan kian menciut serta berlubang, tikungan dan tanjakannya pun makin menguji adrenalin, bahkan ada beberapa di antaranya yg memangkas jarak pandang, dengan keadaan jurang dan bukit di sisi kanan kiri, memaksa salah satu harus berhenti manakala berpapasan dengan sesama mobil.
Karena ini merupakan ekspedisi pertama, rasa was was akan salah jalan selalu ada, akhirnya arahan dari warga yg kami tanyai bisa menjadikan kompas perjalanan ini. Tak perlu sungkan bertanya, kehadiran wisatawan di sini terlihat disambut baik oleh warga asli, itu terbukti dengan simpatinya dalam memberikan petunjuk saat kami berhenti bertanya, bahkan sepertinya mereka tau terlebih dulu tentang apa tujuan kami, yaitu bertanya tentang keberadaan pantai Nampu, seolah kebahagiaannya turut terukir tatkala banyak orang berdatangan untuk meramaikan potensi yg terkandung di daerahnya.
Sampai di kantor balai desa Gunturharjo, terdapat sebuah pertigaan lagi, untuk ke pantai Nampu yg ke arah kanan dengan jarak 9km, sedangkan yg ke kiri adalah menuju pantai sembukan.
Medan perbukitan yg berkelok naik turun menumbuhkan rasa deg-deg'an, serasa betapa panjangnya jalan untuk menuju surga yg bersembunyi di balik sana, namun ini hanyalah bagai petuah 'berakit rakit ke hulu berenang renang ke tepian' karena sesampainya di lokasi pantai, niscaya segala ceria bakal meluluhkan perasaan gundah itu.
Tarif masuk untuk mobil addalah 4000 rupiah dan untuk motor 2000 rupiah, serta tarif masuk per orang sebesar 1000 rupiah, ditambah biaya sewa parkir senilai 4000 rupiah untuk mobil dan 2000 rupiah untuk motor. Karena saat itu persediaan lahan parkir untuk mobil telah penuh, maka terpaksa mobil pun hanya terparkir di tepi jalan tak jauh dari lokasi.
Untuk mecapai bibir pantai, di Nampu ini harus menyusuri anak tangga terlebih dulu, baru kita akan disambut oleh hamparan pasir dan air laut.




Ombak di pantai ini tidaklah begitu besar, cocok untuk kita yg berkehendak berenang di pantai, namun karena banyak batu karang yg tumbuh di sini, sehingga harus sedikit hati hati agar tidak menyasar pada telapak kaki.



Urusan konsumsi tak perlu khawatir, karena telah tersedia berbagai jajanan yg dijual di sini.
Sayang, saat itu cuaca tidak mendukung, tak ada sorot mentari sedikitpun, membuat pesona pantai ini tidak dikelabuti oleh birunya langit, bahkan grimis pun sempat beberapa kali menghujam.
Namun sekiranya tak menyurutkan bahagia, bisa berkunjung, melihat hamparan samudera luas, dan berbaur dengan ombak yg datang, sekaligus mencicipi keindahan sisi lain panorama alam Wonogiri.





 





Nampu,,, It's Nirvana Behind the Hill...

1 January 2014

Bawalah Aku Pergi



Tumpukan lembar lembar dagangan agen itu kini diserbu dari jauh hari, tiada lagi pemandangan bis 'nggelondang' tanpa penghuni, justru imbas garasi yg 'nggelondang' tanpa bis lah adanya. Begitulah gambaran menjelang akhir tahun, beda tipis dengan musim mudik lebaran, mungkin lantaran distance antara pasca lebaran dengan pra tahun baru sekarang terhitung panjang, maka bagi kalangan informal memilih menjadikan itu sebagai moment yg pas untuk tilik kampung, tak khayal jika berakibat melonjaknya permintaan pasar penumpang pada bis malam, jadi fenomena kehabisan tiket bukan hal yg membuahkan heran.
Tak luputnya aku, lalai telah meluluh lantahkan kemudahanku mendapatkan tiket, rupanya tahun lalu aku bukanlah seorang winer dalam 'siapa cepat dia dapat', entah berapa kontak agen, berapa puluh PO, bahkan negosiasi tujuan pun ku'lakoni demi mendapat sertifikat untuk menghuni sebuah kursi, hasilnya nihil, tiada satupun status free yg dibalaskan agen menanggapi tanyaku itu. Untunglah pada ending cerita aku masih dianugerahi lewat empat lembar tiket Timbul Jaya dari agen Lenteng Agung.
Tak ingin mengulang kesalahan, tahun ini teledor jangan lagi manaung, siaga dari apa yg telah menjadi pelajaran setahun silam, yups sebelum janur melengkung aku harus legal menjadi calon penumpang.
Ups, sekilas naluri ini mengenang kala itu, PO rintisan Atmo Wiranto itulah yg menjelma bagai dewa penolong bagiku, tanpanya maka keinginan menggapai kampung niscaya berakhir harapan.
Mumpung belum ku beraksi ke sana sini menadah sisa sisa kursi, boleh juga rasanya berbalas budi dengan kembali merangkul perintis 'kandang Ngadirojo' itu, toh pengalaman ke-dua’ku tahun lalu bukanlah sebuah trip yg ku cap merah, meskipun sempat terpenjara up level derajat celcius lantaran trouble AC, namun selepasnya alhamdulillah lancar bin selamat. Selagi season ramai seperti ini, tak laik aku pilah pilih ataupun mengingini yg ini itu, mencoba menjadi seorang yg sungguh sungguh berjiwa penumpang, sing penting selamet, itulah taruhan di balik gagal pulang dan melewatkan pergantian tahun di ranah rantau ibukota, oh no...
Ku pelurukan pulsa ini menyasar nomor 081381880644 dari hasil geledahan akun facebook Agen Timbul Jaya, menyurat tanya tentang kesediaan tanda bukti penumpang, beruntung empat lembar surat kuasa atas hak milik kursi itu deal ku barter dengan rupiah 540 ribu untuk keberangkatan esok harinya.
Sayang, seorang yg tercatat dalam daftar bookingan tiket, salah satunya memutuskan untuk check-out hari itu juga dengan moda trans Handoyo jurusan terakhir Solo, ini sinyal yg mengidikasikan telah ludesnya tiket terlalap keganasan para pemburu kabin saat peak season. Perihal kemutlakan menjalani transit di Solo untuk menuju titik Purwantoro, bukan hal yg aneh bagi seorang maniak bis yg memang ingin mencicipi sensasi sebuah bis yg mentok di tujuan itu, namun kalau karena kehabisan tiket, sungguh ironis rasanya. Untung, satu cancel'an tiket pesanan itu bisa ku nego untuk keberangkatan tiga hari setelahnya.
Blue Bird HB 1741 mengawali perjalanan transisiku dari Gandaria 2 menuju Lenteng Agung. Transaksi pun berlangsung singkat, tiga tiket plus kupon makan tertebus dengan harga satuan 135 ribu, sungguh harga yg dibawah rata rata untuk saat itu.
Setengah jam berselang, armada racikan Jaya Karoseri yg tak lain menjadi tumpanganku tahun lalu menghampiri, kelir body yg dulu bertema ungu kini telah mengalami refresh menjadi putih bernuansa pelangi, rupawan wajah evolution’nya pun telah tergantikan oleh keanggunan muka Jetbus. Tak bisa dipungkiri, saat ini facelift tengah dalam tingkat drastis kemarakannya, tanpa malu dan ragu lampu Royal itu dijadikan senjata ampuh untuk memikat pesona dari tampilan depan, sedang di bagian lain masih mengidentifikasikan raga yg sejatinya. Bahkan lekuk indah yg ditelurkan oleh Adiputro itu bukan sedang dalam masa eksistensi di dunia perbisan saja, namun manusia pun banyak yg menjunjung tinggi nilai nilai itu untuk diaplikasikan pada dirinya, ya penampilan terpandang dari depan amatlah menyita simpati, terlihat putih bersih bagaikan sinar lampu Royal, begitu tertatap mengenai sisi samping dan kesemuannya, barulah terbongkar bentuk alaminya bahwa ternyata bukanlah Jetbus HD original, hanya sebatas kebohongan belaka dari upaya modifikasi wajah, hehe ora narimo ing pandum, facelift facelift...


Suguhan campursari ringkes luwes Sangkuriang menjadi ajang entertainment yg sekaligus memupuk kesenian daerah asli Jawa Tengah itu, namun aku lebih ingin melanyangkan pandangan ini ke luar sana, entah objek atau fenomena apa yg bakal tertangkap, bagiku itu lebih baik daripada melongok ke arah LCD 14" itu, bukan karena aku sungkan urun rasa dengan sebuah seni, namun maaf erotisme tubuh yg diperagakan pelantun tembangnya bukanlah sesuatu yg pantas lagi dimataku, lepas dari nilai nilai susila dan kesantunan dalam ber’etika.
GT Lenteng Agung dipilih untuk menjamak jalan tol lingkar luar menuju jalan tol Jakarta-Cikampek.
Decker penumpang terasa begitu rendah, ini terbukti manakala tangan tak mampu menjulur menyentuh blower AC dengan posisi duduk. Alhasil untuk meluaskan pandang ke luar diperlukan upaya pose duduk yg eksta tegak.
Pintu keluar Bekasi Timur dimanfaatkan agen jalan untuk menyudahi kawalannya di hari itu. Tunggal Daya Proteus, Shantika OND, dan Tunggal Dara Putera Cristal berselendang Setra menjadi pemandangan pertama yg meninggalkan sisa sisa pembakarannya saat bis berpintu tengah ini diam menbahu di Cikarang Barat.
Memang benar yg ditulis Mas Didik Edhi dalam artikelnya, bahwa di sepanjang jalan seputar Klari merupakan tambang emas bagi bis bis dengan panutan sistem nyeser. Pantas saja pintu tol Karawang Timur lebih dipilihnya darpada Dawuhan atau Cikopo, ternyata ada udang di balik batu. Hasilnya pun lumayan, setidaknya sepuluh orang dari tiga titik mampu direnggut untuk menutup rongga rongga kabin.
Sedya Mulya Nucleus 3 menjadi saksi tentang tindak tanduk ngompreng sang legendaris ini di depan pasar Kosambi, sedang di Jatisari giliran Purwo Widodo Volvo Phoenix yg memergoki aksinya.
Hadangan macet di Cikalong membuat duo Jetbus HD Pahala Kencana dan Garuda Mas mencuri start saat keadaan kembali lancar.
Penuh dengan penumpang sudah, kini giliran memenuhi bahan bakar di SPBU 34.412.13 Ciasem, tentu bukan hal yg sulit bagi Langsung Jaya, Putera Mulya, dan Pacitan Jaya Putra untuk unjuk kedigdayaan pada bisku.
Meski kursi telah rata terisi, ternyata bukan berarti tak punya peduli dengan orang orang pengabdi jiwa Sarkawi, di sepanjang jalur ini rupanya masih terpupuk subur soal RR'an, mungkin imbas dari ketiadaan lapak resmi yg mampu melegalkan dirinya sebagai penumpang bertiket. Haryanto The Phoenix, Harapan Jaya Jadoel Community, dan TDP SR1 tercatat melenggang maju lantaran bisku yg tengah melancarkan rayuan serta negosiasi pada empat orang penumpang yg pada akhirnya termakan oleh bujukan sang kenek juga.
Kursi di samping toilet tenggah menjadi singgasana tambahan bagi luapan penumpang dari semestinya, keberadaannya memang tak mengusik kenyaman ragaku, akan tetapi di sisi lain jiwaku terganggu akan rasa kurang enak pada seorang ibu yg membawa anak kecil itu, berpose duduk layaknya dalam sebuah angkutan kota, bersandar pada kerasnya sisi luar sebuah dinding toilet, bagaimana seorang ibu itu mendapatkan kata nyaman untuk sebuah perjalanan yg tidak bisa dibilang dekat. Memang gambaran ini tak ubahnya dengan setahun lalu, namun ketika itu yg menjadi tuan di atas kursi dadakan itu adalah seorang bapak dan remaja, dan aku pun juga menempati kursi dengan nomor lebih tinggi yg notabene jarakku lebih jauh dari pemandangan itu sehingga rasa empatiku tidaklah terlalu mengusik.
Kalau seperti ini, apa yg harus ku tingkahkan, mengalah dengan jalan bertukar tempat duduk itu berarti aku harus siap memikul resiko ketidak-nyamanan dalam memperoleh hak sebagai seorang konsumen, apalagi aku adalah penumpang bersetifikat dengan nomor resmi 20, sedangkan ibu itu hanya merupakan orang yg mau dinegosiasi oleh kru untuk menduduki tempat itu, kalau begini siapa yg salah, tepatkah aku lebih memilih sebuah kenyamanan jasmani daripada rohaniah, hmmm entahlah...
Putera Mulya AD 1575 CF dan AD 1501 CF telah menanti di rumah makan Kota Sari, sebuah rumah makan yg seolah terberai dan kumuh di daerah Ciasem ini masih menjadi kepercayaan bis bis yg sama halnya dengan fisik rumah makan langganannya itu. Buntut antriannya tidak tanggung tanggung, tiada perbedaan tempat service makan antara Putera Mulya dan Timbul Jaya, semua bersatu padu penuh sabar menanti giliran untuk mengambil sepiring nasi, sebuah ikan beserta dua menu pelengkap, dan segelas teh manis. Banyak yg bertingkah pilah pilih dalam mengambil lauk, kejeliaanya berlevel super dalam mencari mana yg lebih besar dari yg lain, ada pula yg sudah di atas piring lalu di kembalikan lagi untuk mengambil yg terlihat lebih gemuk. Sungguh hal yg memperlambat prosesi sebuah makan prasmanan, di samping hal 'sa'penak'e dewe' pada antrian di belakangnya, di sisi etika pun juga kudu diperhitungkan.
Hujan menyerang sesaat setelah take-off meninggalkan dua Putera Mulya yg padahal tiba terlebih dulu itu. Pacitan Jaya Putra menjadi yg pertama dalam mengakui kekalahan atas speed yg dibangun oleh sopir tengah, dan Putra Remaja Continental berlaku sebagai yg ke-dua sekaligus terakhir kalinya.
Terminal Cirebon menghancurkan mimpi indahku yg baru beberapa saat itu. Tak puas dengan sekedar seat non permanen di samping toilet, seorang ibu dengan anak remajanya yg menunggu selepas keluar terminal pun masih jua menjadi iming iming rejeki plus plus. "70 yo Mas?" teriakan lantang ibu itu dalam membuka proses nego dengan kenek, "Lha piro nekno 80 ya...", imbuhnya lagi. "Wes nek gelem 100, ora gelem yo uwis...", amunisi dari kenek untuk meruntuhkan pertahanan penumpang yg membandel dengan penawarannya. "90 ya...", tak gentar, pricelift 10 ribu pun masih saja dilontarkan oleh ibu itu untuk membabat harga yg dibakukan kepadanya.
Dalam hal yg sama, banyak penumpang yg acuh dengan sebuah harga, bukan sesuatu yg mencekik jikalau aset rupiahnya berkurang lebih banyak untuk mendapatkan sebuah bis yg nyaman dan berkelas, kefanatikannya tak mampu dibandingkan dengan selisih nominal, biarlah lebih mahal sedikit, asal mendapat pelayanan yg bagus. Di sini, tingkatan tawar menawar terus digencarkan, tak menepis rintik rintik air jatuh dari langit yg menghujaninya, tak khawatir pula bahwa pembelaan pada uang 10 ribu mungkin akan membuatnya gagal pulang kampung. Ya itulah dunia, lepas dari persepsi antara yg kuat dan lemah, atas dan bawah, tebal dan tipis, istimewa dan biasa, arah pandang serta cara dan selera setiap insan pastilah berbeda, mengacu pada niatan hati masing masing individu, yg penting kita tidaklah seyogya'nya sombong di satu aspek, siapa tau di lain sisi justru kita yg bakal diremehkan. Masih di bawah serangan air hujan yg menghujam, perjalanan berlanjut dengan menyundul posisi Harapan Jaya ketika menginjak bumi Brebes, sayang PO yg dikenal dengan slowly'nya lantaran mengutamakan kenyamanan dan keselamatan itu pun tak sanggup diprakarsa'i. Yg ada malah jadi bulan bulanan Putera Mulya yg tadi masih tertinggal di rumah makan, sesekali ku longok ke depan, tinggal'lah sebuah rona merah lampu buritan Jetbus sebagai jejak bis berlivery kuda itu yg masih samar samar terlihat, lihai juga rupanya sang Putera Mulya.
Stoplamp model irisan tumpuk milik Handoyo hanya mampu menjadi penuntun kemudi sopir saja di pelabuhan Kota Bahari, dan lagi lagi satu squat dari Karanganyar Tentram yg berhombase di Ngadirojo itu pun berhasil menari indah bersama dua Garuda Mas Jetbus HD dan Euroliner di atas 'alon alon waton kelakon' nya sisa aset kejayaan H.Danar Rahmanto ini.
Ku usahakan tubuh ini untuk bisa berbaur dengan seat tipis nan sempit dalam rangka membangun istana alam bawah sadar, dan biarpun harus berulang kali tercolek kesadaran, namun nyatanya pelukan kursi non handrest itu mampu mengistirahatkan jiwa raga hingga memasuki halaman rumah makan Sumber Rasa.
Sumba Putra Evobus dan AD 1583 BG menjadi tontonan sembari menyantap segelas kopi di waktu menjelang tengah malam itu.
Lewat kendali sopir pinggir, sisa jarak dari ekspedisi meninggalkan ibukota dilanjutkan, dua Shantika merupakan objek terakhir yg tertangkap mata di rumah makan itu, ternyata perpecahan yg melahirkan dua nama baru itu juga berujung dengan hengkangnya sang induk dari padepokan lamanya di Bukit Indah memisahkan diri dengan kubu baru milik Bangun Perkasa.
Krapyak menjadi first location berkurangnya warga kabin karya karoseri interen itu. Selanjutnya aku kembali terbuai goda dewi malam, tiada lagi yg ku ingat sedikitpun selain keadaan setengah sadarku saat bis mampir di terminal Tirtonadi dan kantor pusat Ngadirojo. Tiada acara oper penumpang, dalam perjalanan masuk kandang hanyalah menjalani prosesi pergantian kru lansir saja.
04.00 tepat aku melangkah meninggalkan kabin rainbow itu.


Sebetapa kemeriahan detik detik pergantian tahun di Jakarta, rasanya tak akan menyita perhatian ini, apa istimewanya melewatkan malam dan first day 2014 dengan taruhan kesemrawutan, macet, polusi, bahkan kriminalitas.
Monas, TMII, atau Puncak Bogor biarlah menjadi tujuan mereka yg menaruh angan padanya. Tentang pribadiku tetap saja berpaling sebelum terbentuk kemasyarakatan yg guyub rukun dan adem ayem, dan masih kukuh akan kekekalan sebagai bocah ndeso yg rindu akan tlatah aslinya.
Tak mampu menjauh dari ibukota, itu berarti aku harus siap dihadapkan dengan pesona riah riuh risihnya. Jalan apapun harus ku tempuh demi meninggalkan ladang tumpuan nafkah selama moment new year, bukan saatnya lagi mengingini sebuah ke'ekseklusif'an dan kecepatan, bisa pergi dari kota Metropolitan itu dengan sebuah bis sudahlah anugerah yg tiada tara.
Thank to Timbul Jaya AD 1572 EG...