24 April 2014

Menoleh Masa Babat Alas Divisi BM



Berkali ku ulang menekan dial pad dengan angka yg masih sama, namun sama pula hasilnya, bukan suara 'thuuut' yg ku dengar melainkan voice mail tentang non aktifnya nomor. Tak biasanya CP agen langgananku itu offline, ah ya sudahlah, biar ku coba esok lagi, mungkin besok usahaku tak disambut suara digital otomatis itu lagi, namun ditanggapi dengan salam 'halo' manusia asli.
Tak luput memang, pagi harinya suara lantang merespon nada dari panggilanku, ganjilnya kok ini suara seorang ibu ibu. Hasil klarifikasi menyatakan bahwasanya dialah pengganti penjaga agen langgananku yg tengah libur. "Nggih mpun Buk, kulo tak teng agen mawon sakniki...", kalimatku seraya menutup sambungan antar GSM itu. Suka gak suka, aku harus sedikit repot untuk menyelesaikan transaksi pagi ini juga, gak bakal bisa jikalau ku pesan lalu ku tebus bebarengan waktu keberangkatanku nanti layaknya dulu dulu, lha wong penjaga agennya lain. Okelah, aku ke sana...
****
"Kemana Mas?"
, sambutan lantang Ibu yg sebelumnya hanya ku dengar suaranya via HP itu. Kok pasti yg ditanya agen soal arah tujuan, kenapa tidak soal tiket PO apa yg hendak dicari, terkesan meremehkanku tentang sepenggal pengetahuan subyek bis beserta obyek wilayah renggutan klien'nya, hehehe...
"Purwantoro Buk, Pahala wonten mboten?", langsung saja ku tekankan soal iktihadku menyasar lembaran tiket nano nano itu.
"Waah, Pahala yo ora enek, yen Purwantoro yo iki no, 135 oleh mangan". Hehmz, gumanku dalam hati sudah bosan Buk dengan yg itu itu saja.
Tanpa ada keterangan lanjutan soal ketidaktersediaan tiket incaranku itu, dilema antara sesunggunghnya W3 bukan mustahil bertrayek Bogor-Purwantoro akan tetapi di sini aku belum berjodoh, sekelebat niat mencari jati dirinya di agen lain, namun sayang naluriku mengurungkannya, apa boleh buat.
"Sampeyan urung tau numpak iki to Mas?" haduwh, Ibu ini kok menambah nggrundhel aja, ku balaskan pandangan sinis dan raut mrengut sebagai ungkapan kekesalanku. Batin batin, aku enggan lantaran bosan, kok malah dikira belum pernah mencobanya. Serasa ingin menampik prakiraannya itu, "Ora tanggung tanggung Buk, aku ngrasakne numpak Agra wiwit jamane babat alas mbiyen".
Sekilas fenomena itu mengingatkan kembali ke sebuah masa, saat dimana cikal bakal divisi BM megawali kiprahnya.

****

Ramadhan telah menginjak hari hari akhir, lebaran tinggalah sejengkal lagi. Ketika itu pula, "Cethoel" begitulah panggilannya, sempat mengabarkan bab profesi baru yg akan digelutinya pasca hari lebaran tahun 2009 itu. Sebendhel tiket seolah menjadi bukti akan antusias perannya membawa PO Agra Mas mencoba peruntungan di jalur bis malam untuk melayani luapan penumpang di arus balik nantinya. Aku pun turut dilibatakan walaupun tidaklah secara langsung, dalam perjanjian tidak tertulis dan tidak terikat hukum saat itu, tercapai sebuah kesepakatan bahwa jikalau nanti aku bisa mencari seorang penumpang, maka fee yg ku terima sebesar 5000 rupiah, sungguh iming iming yg menggugah. Aku pun meng'iya'i tawaran kerjasama kecil itu, namun bukan lantaran nominal bergambar pangeran Tuanku Imam Bonjol itu yg menggerakkan kemauanku, melainkan rasa ingin membantu sebatas mampuku.
H(+) mulai bergulir, tak banyak yg ku lakukan dalam menjalani karir abal abalku itu, aku hanya mencari klien dari teman yg ku kenali, sebatas mencari tau waktu keberangkatannya saja, untuk selebihnya ku serahkan nomor HP nya kepada Iwan (chethoel) untuk negosiasi lebih lanjut. Namun tak jarang, teman yg ku umpankan tadi balik mengabariku tentang keberatannya menjadi penumpang bis asing (kala) itu, faktor tujuan lah yg menjadi biangnya, maklum berhubung hanya satu unit armada yg disenjatakan dalam rintisan itu, sehingga kesulitan dalam mencapai tujuan memang tidak fiktif.
Hingga akhirnya tepat seminggu usai lebaran, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, dan sudah barang pasti aku harus melakoni pengalaman pertama bersama si merah itu.
Bis tidak masuk ke terminal Purwantoro, saat itu desa Tunggur menjadi lahan parkirnya, sehingga aku pun harus butuh extra untuk mencapai keberadaannya. Tiket dibanderol 140 ribu, konon harga itu khusus untukku, alhasil hanya dipathok pas untuk setoran kantor saja, tanpa adanya tambahan untuk kantong pengawal, komisi calo, dll. Sedangkan untuk harga umumnya adalah plus sepuluh ribu. Jujurkah? Iya aja lah...
Meski rodanya masih dalam status ilegal berputar di aspal Wonogiri, namun armada yg dihadirkan tak tanggung tanggung, gress baik mesin maupun bodynya. Apalagi kehadiran New Travego dari karoseri tersohor se-Indonesia pada saat itu masih dalam level fresh serta anget anget'nya, bahkan sebatas lingkup pandang mataku, inilah bis pertama dan satu satunya di Purwantoro yg mengusung builder Adiputro bertitel New Series itu.
Dalam perjalanan, bis selalu berhenti di setiap ada kerumunan orang yg menunjukkan gelagat ke Jakarta, hingga akhirnya tempat duduk berjumlah 60 (59 seat + 1 CD) tak muat menampung penumpang yg melebihi kapasitas di terminal Bangak jam 5 sore. Ada sekiranya 10 orang yg memilih kembali turun untuk meng'cancle tiket.
Dari titik inilah bis memulai perjalanan mulusnya, setelah sebelumnya lebih sering berhenti daripada jalannya.
Masuk rumah makan Raos Eco jam 9 malam, management belum memberikan service makan layaknya sekarang, masih memberlakukan sistem 'mangan karepmu, ora mangan yo rapopo' kepada setiap penumpangnya. Meskipun kala itu Laju Prima belum hadir di sini, namun areal parkirnya cukup penuh oleh Tunggal Dara Putera, Sedya Mulya, Timbul Jaya, dan Serba Mulya, sebelum akhirnya Timbul Jaya hengkang dari rumah makan ini dan di susul oleh Sedya Mulya, serta Serba Mulya yg jua hengkang dari jagat bis malam.
Tak banyak yg tercatat dalam kesadaran sepanjang perjalan ini, yg ku rasa sesaat jiwaku terbangun, ternyata bis'nya banter juga.
Bis masuk melalui gerbang tol Karawang Timur, penumpang bertujuan Karawang tidak diantar ke terminal ataupun pool dengan alasan bis akan langsung masuk tol, padahal sesuai janji bahwasanya penumpang yg bertujuan tidak searah dengan rute bis akan dilakukan transit di pool Klari, namun tidak begitulah fakta menyatakannya.
Melalui gerbang tol Cikunir, bis mengambil arah menuju tol lingkar dalam, padahal titik tujuanku semestinya bis mengambil arah ke tol lingkar luar.
Memasuki daerah Grogol seiring fajar menyingsing, lanjut Daan Mogot, Kalideres, dan Poris. Sungguh tragedi yg tidak mengenakkan bagiku, mengingat saat itu aku baru setahun di Jakarta, yg notabene aku masih rabun akan tata letak kotanya, was was akan nyasar karena aku tidak sampai di tujuanku begitu menggumpal di benak. Untung saja seusainya penumpang wilayah Tangerang berhasil diantarkan, bis langsung menuju Lebak Bulus, dan aku pun turun di Pasar Rebo untuk selanjutnya oper angkot menuju Gandaria tepat jam 10 siang, jadi total waktu tempuh genap 24 jam penuh.

****

Beberapa bulan berselang, via HP Cethoel menginformasikan bahwasanya usaha babat alas Agra Mas harus terhenti karena belum mendapat izin trayek resmi.
Dan tak berjarak lama, ku ketahui dia justru bergabung dengan Gunung Mulia Bumel line Solo-Purwantoro.

****

Lebaran selanjutnya, tepatnya di tahun 2010, tak ku ketahui persis apakah moda transportasi binaan Anugerah Mas itu kembali mengulang usaha babat alasnya memanfaatkan momentum arus balik ataukah tidak, apalagi ketika itu Cethoel masih menyandang status sebagai kondektur bumel Gunung Mulia. Namun sempat dua kali aku memergoki armada merah cabe ini jalan di kawasan Purwantoro.

****

Lebaran tahun berikutnya, Cethol mengkonfirmasiku untuk kembali mengulang dua tahun silam. Ini pertanda bahwa Agra mencoba membinasai kegagalannya dulu, mengasah golok lebih tajam untuk meneruskan babat alas yg sempat tertunda itu. Bahkan, beberapa hari setelah itu, Cethoel kembali menghubungiku menawarkan peluang kerja menjadi Controler untuk Agra, namun masih mistetius apakah yg dimaksudkan adalah divisi bis malam, atau Agra AKAP jarak menengah yg beroperasi di Jabodetabek.
Masih sama yg ku lakukan dengan dua tahun yg lalu, aku tak lebih hanya seorang pencari target via nomor HP. Akan tetapi, untuk urusan pribadiku, aku memilih enggan untuk kembali mengarungi Pantura bersamanya, tragedi yg lalu masih menggores menyisakan trauma untuk ku ulang kembali, aku pun lebih memilih Gunung Mulia untuk membawaku ke jagad golek duit.
Mungkin sejak saat itulah Agra Mas mampu membobol benteng trayek Wonogiri secara resmi.

Kenapa Harus Bis?



Sesungguhnya jengkel menyerang, serasa begitu terpukul, nggrundhel, bosan, mendengar tanya soal kekontra'an seseorang pada objek kemania'an-ku. Pun aku jelentrehkan sepanjang benang tak berujung, niscaya butir butir pasal pembelaan-diri'ku itu tak mudah olehnya untuk dimengerti.
Yaaah, meski sadarku mengilhami akan alasan 'keheranan' lah yg menjadi pelopor kalimat yg diikuti tanda baca clurit itu menyanyatku.
Serangkai kata pencari fakta tentang jawaban "Kenapa harus bis?" lagi dan lagi hadir menghadap, bahkan terkadang menjelma bagai sebuah hina bagiku tatkala dibumbui dengan 'fly to destination' sebagai bahan pertimbangannya.
Satu orang satu selera, kiranya cukup menjadikan gambaran akan fakta tentang perspsi seseorang yg selalu berbeda. Dan bilamana pilihanku memihak pada bis, bukan pada 'montor mabur', itu normal bin wajar plus tidak janggal. Tanya kenapa?
Menembus kaca bis sepanjang perjalanan bisa menghdirkan mozaik tersendiri, berbagai warna isian hidup mampu tertangkap pandang dari dalam kabin. Baik yg berada di lingkup lalu lintas seperti truk over muatan, mobil mewah, becak, pelanggaran lalin, ulah ugal ugalan, atau kecelakaan. Maupun yg terinteraksi disekitarnya, bangunan megah, warung remang remang, sungai, hutan, orang pacaran, bahkan cabe cabean sekalipun. Yg terkadang dari sinilah muncul ironi ironi tentang arti syukur sebuah hidup ini.
Kalau dalam kabin pesawat? Adakah yg pernah melihat elang, meteor, atau pesawat lain? Yg ada hanyalah pemandangan para biduanita bertubuh aduhai berparas cihuy lengkap dengan ramah tamah dan senyum palsunya. Bagaimana tidak palsu, senyum khas yg disuguhkan tak luput dari soal tuntutan kerja, dimutlakkan menyikapi apa yg tengah dihadapi dengan penuh sabar dan santun, maka tak lebih apa yg terasa spesial oleh para penyanjung maskapainya sesungguhnya performa belaka yg memang sudah menjadi tugasnya dalam berkarir.
Jelas berbeda dengan ramah tamah yg tercipta dari profesional pegang setir, yg tugas sejatinya membawa bis dengan aman dan nyaman, niscaya etikanya terlahir dari lubuk hati penuh keikhlasan.
Berada dalam bis mampu menciptakan sensasi adrenalin, menimbulkan rasa yg deg deg sir tatkala speednya memucuk, melewati tikungan setajam silet, buka jalur, selap selip, biarpun mata merem karena takut sekalipun, namun reality keadaannya tak termusnakan oleh deteksi jantung.
Dalam dekapan sayap burung besi, anteng anteng mawon rasanya, meski kecepatannya berbanding 15 kali dengan bis, akan tetapi ketika kokpit telah berada dalam mode auto-pilot yg notabene pesawat tidak sedang take-off atau landing, jangankan untuk mendetail berapa knot kecepatannya, merasakan pesawatnya banter apa alon aja susah, monoton...
Biarpun soal IDR sebenarnya tidak menjadi masalah untukku, karena selama harga tiket singa melet tidak melangit 2x lipat dengan harga tiket singa udara, bis tetap menjadi rekomendasi untuk urusan traveling.


Namun menanggapi celotehan celotehan argumen tentang unda undi budget pembelian tiket garuda terbang versus garuda lari hanya selisih tipis, ah tenane? Entah lagi promo atau lagi down lah, faktanya tetap saja lebih efisien naik bis. Andaikan banderol rupiah antara penjelajah angkasa dan petarung darat sama besar, itu hanya sebatas harga tiket doank. Biasanya untuk ke dan dari bandara harus menggunakan moda transportasi lain yg tentunya butuh extra biaya, belum lagi plus rupiah yg mesti diiurkan guna memenuhi kewajiban asuransi kecelakaan. Lha tapi kalau kecelakaan pesawat asuransinya lebih besar to? Owh, kita ingin selamat sampai tujuan bosss, bukan ingin mencari asuransi, jadi soal itu tak perlu menjadi bahan compare.


Mau membelah awan atau membelah kemacetan seh oke aja, namun persepsiku kalau naik bis adalah pilihan, sedang naik pesawat merupakan keharusan. Bisa saja aku berpaling dari bis dan menghamba pesawat untuk beberapa waktu, namun itu karena sebab tertentu yg memaksaku untuk bercengkerama di udara. Karena sebelum merasakan mengangkasa, aku tak pernah punya keinginan untuk itu, dan setelah merasakannya pun jua tak pernah aku ingin lagi lagi dan lagi.
So, intinya kenapa harus bis? Karena bis adalah pilihan. TITIK!