Berkali ku ulang menekan dial pad dengan angka yg masih
sama, namun sama pula hasilnya, bukan suara 'thuuut'
yg ku dengar melainkan voice mail
tentang non aktifnya nomor. Tak biasanya CP agen langgananku itu offline, ah ya sudahlah, biar ku coba
esok lagi, mungkin besok usahaku tak disambut suara digital otomatis itu lagi,
namun ditanggapi dengan salam 'halo'
manusia asli.
Tak luput memang, pagi harinya suara lantang merespon nada dari panggilanku, ganjilnya kok ini suara seorang ibu ibu. Hasil klarifikasi menyatakan bahwasanya dialah pengganti penjaga agen langgananku yg tengah libur. "Nggih mpun Buk, kulo tak teng agen mawon sakniki...", kalimatku seraya menutup sambungan antar GSM itu. Suka gak suka, aku harus sedikit repot untuk menyelesaikan transaksi pagi ini juga, gak bakal bisa jikalau ku pesan lalu ku tebus bebarengan waktu keberangkatanku nanti layaknya dulu dulu, lha wong penjaga agennya lain. Okelah, aku ke sana...
****
"Kemana Mas?", sambutan lantang Ibu yg sebelumnya hanya ku dengar suaranya via HP itu. Kok pasti yg ditanya agen soal arah tujuan, kenapa tidak soal tiket PO apa yg hendak dicari, terkesan meremehkanku tentang sepenggal pengetahuan subyek bis beserta obyek wilayah renggutan klien'nya, hehehe...
"Purwantoro Buk, Pahala wonten mboten?", langsung saja ku tekankan soal iktihadku menyasar lembaran tiket nano nano itu.
"Waah, Pahala yo ora enek, yen Purwantoro yo iki no, 135 oleh mangan". Hehmz, gumanku dalam hati sudah bosan Buk dengan yg itu itu saja.
Tanpa ada keterangan lanjutan soal ketidaktersediaan tiket incaranku itu, dilema antara sesunggunghnya W3 bukan mustahil bertrayek Bogor-Purwantoro akan tetapi di sini aku belum berjodoh, sekelebat niat mencari jati dirinya di agen lain, namun sayang naluriku mengurungkannya, apa boleh buat.
"Sampeyan urung tau numpak iki to Mas?" haduwh, Ibu ini kok menambah nggrundhel aja, ku balaskan pandangan sinis dan raut mrengut sebagai ungkapan kekesalanku. Batin batin, aku enggan lantaran bosan, kok malah dikira belum pernah mencobanya. Serasa ingin menampik prakiraannya itu, "Ora tanggung tanggung Buk, aku ngrasakne numpak Agra wiwit jamane babat alas mbiyen".
Sekilas fenomena itu mengingatkan kembali ke sebuah masa, saat dimana cikal bakal divisi BM megawali kiprahnya.
****
Ramadhan telah menginjak hari hari akhir, lebaran tinggalah sejengkal lagi. Ketika itu pula, "Cethoel" begitulah panggilannya, sempat mengabarkan bab profesi baru yg akan digelutinya pasca hari lebaran tahun 2009 itu. Sebendhel tiket seolah menjadi bukti akan antusias perannya membawa PO Agra Mas mencoba peruntungan di jalur bis malam untuk melayani luapan penumpang di arus balik nantinya. Aku pun turut dilibatakan walaupun tidaklah secara langsung, dalam perjanjian tidak tertulis dan tidak terikat hukum saat itu, tercapai sebuah kesepakatan bahwa jikalau nanti aku bisa mencari seorang penumpang, maka fee yg ku terima sebesar 5000 rupiah, sungguh iming iming yg menggugah. Aku pun meng'iya'i tawaran kerjasama kecil itu, namun bukan lantaran nominal bergambar pangeran Tuanku Imam Bonjol itu yg menggerakkan kemauanku, melainkan rasa ingin membantu sebatas mampuku.
H(+) mulai bergulir, tak banyak yg ku lakukan dalam menjalani karir abal abalku itu, aku hanya mencari klien dari teman yg ku kenali, sebatas mencari tau waktu keberangkatannya saja, untuk selebihnya ku serahkan nomor HP nya kepada Iwan (chethoel) untuk negosiasi lebih lanjut. Namun tak jarang, teman yg ku umpankan tadi balik mengabariku tentang keberatannya menjadi penumpang bis asing (kala) itu, faktor tujuan lah yg menjadi biangnya, maklum berhubung hanya satu unit armada yg disenjatakan dalam rintisan itu, sehingga kesulitan dalam mencapai tujuan memang tidak fiktif.
Hingga akhirnya tepat seminggu usai lebaran, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, dan sudah barang pasti aku harus melakoni pengalaman pertama bersama si merah itu.
Bis tidak masuk ke terminal Purwantoro, saat itu desa Tunggur menjadi lahan parkirnya, sehingga aku pun harus butuh extra untuk mencapai keberadaannya. Tiket dibanderol 140 ribu, konon harga itu khusus untukku, alhasil hanya dipathok pas untuk setoran kantor saja, tanpa adanya tambahan untuk kantong pengawal, komisi calo, dll. Sedangkan untuk harga umumnya adalah plus sepuluh ribu. Jujurkah? Iya aja lah...
Meski rodanya masih dalam status ilegal berputar di aspal Wonogiri, namun armada yg dihadirkan tak tanggung tanggung, gress baik mesin maupun bodynya. Apalagi kehadiran New Travego dari karoseri tersohor se-Indonesia pada saat itu masih dalam level fresh serta anget anget'nya, bahkan sebatas lingkup pandang mataku, inilah bis pertama dan satu satunya di Purwantoro yg mengusung builder Adiputro bertitel New Series itu.
Dalam perjalanan, bis selalu berhenti di setiap ada kerumunan orang yg menunjukkan gelagat ke Jakarta, hingga akhirnya tempat duduk berjumlah 60 (59 seat + 1 CD) tak muat menampung penumpang yg melebihi kapasitas di terminal Bangak jam 5 sore. Ada sekiranya 10 orang yg memilih kembali turun untuk meng'cancle tiket.
Dari titik inilah bis memulai perjalanan mulusnya, setelah sebelumnya lebih sering berhenti daripada jalannya.
Masuk rumah makan Raos Eco jam 9 malam, management belum memberikan service makan layaknya sekarang, masih memberlakukan sistem 'mangan karepmu, ora mangan yo rapopo' kepada setiap penumpangnya. Meskipun kala itu Laju Prima belum hadir di sini, namun areal parkirnya cukup penuh oleh Tunggal Dara Putera, Sedya Mulya, Timbul Jaya, dan Serba Mulya, sebelum akhirnya Timbul Jaya hengkang dari rumah makan ini dan di susul oleh Sedya Mulya, serta Serba Mulya yg jua hengkang dari jagat bis malam.
Tak banyak yg tercatat dalam kesadaran sepanjang perjalan ini, yg ku rasa sesaat jiwaku terbangun, ternyata bis'nya banter juga.
Bis masuk melalui gerbang tol Karawang Timur, penumpang bertujuan Karawang tidak diantar ke terminal ataupun pool dengan alasan bis akan langsung masuk tol, padahal sesuai janji bahwasanya penumpang yg bertujuan tidak searah dengan rute bis akan dilakukan transit di pool Klari, namun tidak begitulah fakta menyatakannya.
Melalui gerbang tol Cikunir, bis mengambil arah menuju tol lingkar dalam, padahal titik tujuanku semestinya bis mengambil arah ke tol lingkar luar.
Memasuki daerah Grogol seiring fajar menyingsing, lanjut Daan Mogot, Kalideres, dan Poris. Sungguh tragedi yg tidak mengenakkan bagiku, mengingat saat itu aku baru setahun di Jakarta, yg notabene aku masih rabun akan tata letak kotanya, was was akan nyasar karena aku tidak sampai di tujuanku begitu menggumpal di benak. Untung saja seusainya penumpang wilayah Tangerang berhasil diantarkan, bis langsung menuju Lebak Bulus, dan aku pun turun di Pasar Rebo untuk selanjutnya oper angkot menuju Gandaria tepat jam 10 siang, jadi total waktu tempuh genap 24 jam penuh.
****
Beberapa bulan berselang, via HP Cethoel menginformasikan bahwasanya usaha babat alas Agra Mas harus terhenti karena belum mendapat izin trayek resmi.
Dan tak berjarak lama, ku ketahui dia justru bergabung dengan Gunung Mulia Bumel line Solo-Purwantoro.
****
Lebaran selanjutnya, tepatnya di tahun 2010, tak ku ketahui persis apakah moda transportasi binaan Anugerah Mas itu kembali mengulang usaha babat alasnya memanfaatkan momentum arus balik ataukah tidak, apalagi ketika itu Cethoel masih menyandang status sebagai kondektur bumel Gunung Mulia. Namun sempat dua kali aku memergoki armada merah cabe ini jalan di kawasan Purwantoro.
****
Lebaran tahun berikutnya, Cethol mengkonfirmasiku untuk kembali mengulang dua tahun silam. Ini pertanda bahwa Agra mencoba membinasai kegagalannya dulu, mengasah golok lebih tajam untuk meneruskan babat alas yg sempat tertunda itu. Bahkan, beberapa hari setelah itu, Cethoel kembali menghubungiku menawarkan peluang kerja menjadi Controler untuk Agra, namun masih mistetius apakah yg dimaksudkan adalah divisi bis malam, atau Agra AKAP jarak menengah yg beroperasi di Jabodetabek.
Masih sama yg ku lakukan dengan dua tahun yg lalu, aku tak lebih hanya seorang pencari target via nomor HP. Akan tetapi, untuk urusan pribadiku, aku memilih enggan untuk kembali mengarungi Pantura bersamanya, tragedi yg lalu masih menggores menyisakan trauma untuk ku ulang kembali, aku pun lebih memilih Gunung Mulia untuk membawaku ke jagad golek duit.
Mungkin sejak saat itulah Agra Mas mampu membobol benteng trayek Wonogiri secara resmi.
Tak luput memang, pagi harinya suara lantang merespon nada dari panggilanku, ganjilnya kok ini suara seorang ibu ibu. Hasil klarifikasi menyatakan bahwasanya dialah pengganti penjaga agen langgananku yg tengah libur. "Nggih mpun Buk, kulo tak teng agen mawon sakniki...", kalimatku seraya menutup sambungan antar GSM itu. Suka gak suka, aku harus sedikit repot untuk menyelesaikan transaksi pagi ini juga, gak bakal bisa jikalau ku pesan lalu ku tebus bebarengan waktu keberangkatanku nanti layaknya dulu dulu, lha wong penjaga agennya lain. Okelah, aku ke sana...
****
"Kemana Mas?", sambutan lantang Ibu yg sebelumnya hanya ku dengar suaranya via HP itu. Kok pasti yg ditanya agen soal arah tujuan, kenapa tidak soal tiket PO apa yg hendak dicari, terkesan meremehkanku tentang sepenggal pengetahuan subyek bis beserta obyek wilayah renggutan klien'nya, hehehe...
"Purwantoro Buk, Pahala wonten mboten?", langsung saja ku tekankan soal iktihadku menyasar lembaran tiket nano nano itu.
"Waah, Pahala yo ora enek, yen Purwantoro yo iki no, 135 oleh mangan". Hehmz, gumanku dalam hati sudah bosan Buk dengan yg itu itu saja.
Tanpa ada keterangan lanjutan soal ketidaktersediaan tiket incaranku itu, dilema antara sesunggunghnya W3 bukan mustahil bertrayek Bogor-Purwantoro akan tetapi di sini aku belum berjodoh, sekelebat niat mencari jati dirinya di agen lain, namun sayang naluriku mengurungkannya, apa boleh buat.
"Sampeyan urung tau numpak iki to Mas?" haduwh, Ibu ini kok menambah nggrundhel aja, ku balaskan pandangan sinis dan raut mrengut sebagai ungkapan kekesalanku. Batin batin, aku enggan lantaran bosan, kok malah dikira belum pernah mencobanya. Serasa ingin menampik prakiraannya itu, "Ora tanggung tanggung Buk, aku ngrasakne numpak Agra wiwit jamane babat alas mbiyen".
Sekilas fenomena itu mengingatkan kembali ke sebuah masa, saat dimana cikal bakal divisi BM megawali kiprahnya.
****
Ramadhan telah menginjak hari hari akhir, lebaran tinggalah sejengkal lagi. Ketika itu pula, "Cethoel" begitulah panggilannya, sempat mengabarkan bab profesi baru yg akan digelutinya pasca hari lebaran tahun 2009 itu. Sebendhel tiket seolah menjadi bukti akan antusias perannya membawa PO Agra Mas mencoba peruntungan di jalur bis malam untuk melayani luapan penumpang di arus balik nantinya. Aku pun turut dilibatakan walaupun tidaklah secara langsung, dalam perjanjian tidak tertulis dan tidak terikat hukum saat itu, tercapai sebuah kesepakatan bahwa jikalau nanti aku bisa mencari seorang penumpang, maka fee yg ku terima sebesar 5000 rupiah, sungguh iming iming yg menggugah. Aku pun meng'iya'i tawaran kerjasama kecil itu, namun bukan lantaran nominal bergambar pangeran Tuanku Imam Bonjol itu yg menggerakkan kemauanku, melainkan rasa ingin membantu sebatas mampuku.
H(+) mulai bergulir, tak banyak yg ku lakukan dalam menjalani karir abal abalku itu, aku hanya mencari klien dari teman yg ku kenali, sebatas mencari tau waktu keberangkatannya saja, untuk selebihnya ku serahkan nomor HP nya kepada Iwan (chethoel) untuk negosiasi lebih lanjut. Namun tak jarang, teman yg ku umpankan tadi balik mengabariku tentang keberatannya menjadi penumpang bis asing (kala) itu, faktor tujuan lah yg menjadi biangnya, maklum berhubung hanya satu unit armada yg disenjatakan dalam rintisan itu, sehingga kesulitan dalam mencapai tujuan memang tidak fiktif.
Hingga akhirnya tepat seminggu usai lebaran, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, dan sudah barang pasti aku harus melakoni pengalaman pertama bersama si merah itu.
Bis tidak masuk ke terminal Purwantoro, saat itu desa Tunggur menjadi lahan parkirnya, sehingga aku pun harus butuh extra untuk mencapai keberadaannya. Tiket dibanderol 140 ribu, konon harga itu khusus untukku, alhasil hanya dipathok pas untuk setoran kantor saja, tanpa adanya tambahan untuk kantong pengawal, komisi calo, dll. Sedangkan untuk harga umumnya adalah plus sepuluh ribu. Jujurkah? Iya aja lah...
Meski rodanya masih dalam status ilegal berputar di aspal Wonogiri, namun armada yg dihadirkan tak tanggung tanggung, gress baik mesin maupun bodynya. Apalagi kehadiran New Travego dari karoseri tersohor se-Indonesia pada saat itu masih dalam level fresh serta anget anget'nya, bahkan sebatas lingkup pandang mataku, inilah bis pertama dan satu satunya di Purwantoro yg mengusung builder Adiputro bertitel New Series itu.
Dalam perjalanan, bis selalu berhenti di setiap ada kerumunan orang yg menunjukkan gelagat ke Jakarta, hingga akhirnya tempat duduk berjumlah 60 (59 seat + 1 CD) tak muat menampung penumpang yg melebihi kapasitas di terminal Bangak jam 5 sore. Ada sekiranya 10 orang yg memilih kembali turun untuk meng'cancle tiket.
Dari titik inilah bis memulai perjalanan mulusnya, setelah sebelumnya lebih sering berhenti daripada jalannya.
Masuk rumah makan Raos Eco jam 9 malam, management belum memberikan service makan layaknya sekarang, masih memberlakukan sistem 'mangan karepmu, ora mangan yo rapopo' kepada setiap penumpangnya. Meskipun kala itu Laju Prima belum hadir di sini, namun areal parkirnya cukup penuh oleh Tunggal Dara Putera, Sedya Mulya, Timbul Jaya, dan Serba Mulya, sebelum akhirnya Timbul Jaya hengkang dari rumah makan ini dan di susul oleh Sedya Mulya, serta Serba Mulya yg jua hengkang dari jagat bis malam.
Tak banyak yg tercatat dalam kesadaran sepanjang perjalan ini, yg ku rasa sesaat jiwaku terbangun, ternyata bis'nya banter juga.
Bis masuk melalui gerbang tol Karawang Timur, penumpang bertujuan Karawang tidak diantar ke terminal ataupun pool dengan alasan bis akan langsung masuk tol, padahal sesuai janji bahwasanya penumpang yg bertujuan tidak searah dengan rute bis akan dilakukan transit di pool Klari, namun tidak begitulah fakta menyatakannya.
Melalui gerbang tol Cikunir, bis mengambil arah menuju tol lingkar dalam, padahal titik tujuanku semestinya bis mengambil arah ke tol lingkar luar.
Memasuki daerah Grogol seiring fajar menyingsing, lanjut Daan Mogot, Kalideres, dan Poris. Sungguh tragedi yg tidak mengenakkan bagiku, mengingat saat itu aku baru setahun di Jakarta, yg notabene aku masih rabun akan tata letak kotanya, was was akan nyasar karena aku tidak sampai di tujuanku begitu menggumpal di benak. Untung saja seusainya penumpang wilayah Tangerang berhasil diantarkan, bis langsung menuju Lebak Bulus, dan aku pun turun di Pasar Rebo untuk selanjutnya oper angkot menuju Gandaria tepat jam 10 siang, jadi total waktu tempuh genap 24 jam penuh.
****
Beberapa bulan berselang, via HP Cethoel menginformasikan bahwasanya usaha babat alas Agra Mas harus terhenti karena belum mendapat izin trayek resmi.
Dan tak berjarak lama, ku ketahui dia justru bergabung dengan Gunung Mulia Bumel line Solo-Purwantoro.
****
Lebaran selanjutnya, tepatnya di tahun 2010, tak ku ketahui persis apakah moda transportasi binaan Anugerah Mas itu kembali mengulang usaha babat alasnya memanfaatkan momentum arus balik ataukah tidak, apalagi ketika itu Cethoel masih menyandang status sebagai kondektur bumel Gunung Mulia. Namun sempat dua kali aku memergoki armada merah cabe ini jalan di kawasan Purwantoro.
****
Lebaran tahun berikutnya, Cethol mengkonfirmasiku untuk kembali mengulang dua tahun silam. Ini pertanda bahwa Agra mencoba membinasai kegagalannya dulu, mengasah golok lebih tajam untuk meneruskan babat alas yg sempat tertunda itu. Bahkan, beberapa hari setelah itu, Cethoel kembali menghubungiku menawarkan peluang kerja menjadi Controler untuk Agra, namun masih mistetius apakah yg dimaksudkan adalah divisi bis malam, atau Agra AKAP jarak menengah yg beroperasi di Jabodetabek.
Masih sama yg ku lakukan dengan dua tahun yg lalu, aku tak lebih hanya seorang pencari target via nomor HP. Akan tetapi, untuk urusan pribadiku, aku memilih enggan untuk kembali mengarungi Pantura bersamanya, tragedi yg lalu masih menggores menyisakan trauma untuk ku ulang kembali, aku pun lebih memilih Gunung Mulia untuk membawaku ke jagad golek duit.
Mungkin sejak saat itulah Agra Mas mampu membobol benteng trayek Wonogiri secara resmi.