Sorot dim dari Toyota Limo putih itu ku balas dengan
lambaian tangan, pertanda jasa transportasi berbasis taksi dari group Ekspress
itu memang tengah ku butuhkan, ku alunkan langkah semi cepat untuk mencapai
posisi sedan varian Vios yg sedikit kebablasan dari tempatku berdiri tadi
karena memang isyarat persetujuan antara aku dan sopir tadi tercipta ketika
mobil yg dikemudikannya tinggal menyisakan sejengkal jarak denganku, ditambah
lagi usahanya untuk menepis lajur kiri yg kebetulan tidak dalam status prei. Putaran u-turn terdekat dilaluinya usai ku infokan kemana destinasiku.
Sopirnya terlihat agresif dalam mengontrol kakinya menyentuh pedal gas, jangan
jangan beliau ini mantan sopir Sumber
Kencono, sayang tiada dialog yg mengisi sunyi perjalanan ini, andai saja
aku tak sungkan membuka perkacapan ringan dengan sopir ini, mungkin ku ketahui
sepak terjangnya sebelum beliau menyalurkan keahlian mengemudinya di Ekspres.
Jarak Gandaria Raya Bogor ke Lenteng Agung terpangkas dengan argo IDR 36.000,
yg nyatanya tetap saja aku membayar senilai 40.000 karena hanya selembar uang
nominal 10.000 yg ku terima sebagai kembalian lembaran biru ku tadi. Bukan
masalah pelit, wong di lain perjalanan dengan rute yg sama biasanya kembalian
dari uang 50-ribua-an itu malah ku biarkan saja, itung itung sebagai tip barang bawaan yg kudu memerlukan
ruang di bagasi, namun di sisi lain uang 4000 itu cukup untuk tarif angkot
jarak dekat. Akan tetapi saya ridho dan ikhlas, sehingga uang hasil
mengemudinya itu berupa rejeki yg halal guna menghidupi keluarga bapak sopir
tersebut.
****
"Tikete mundak Mas, 190 saiki...", kata penjaga Agen Lenteng sembari menyiapkan tiket untukku.
"Solar medun kok malah tiket mundak to Mbak?", candaku berbasa basi.
"Iki ijik rego liburan wingi, dadi ngasi saiki urung normal...".
Ngobrol ngalor ngidul menjadi pengisi waktu penantian armada yg katanya diisi oleh si hitam eks Nusantara. BM 033 menjadi bis pertama yg melintas di Lenteng siang itu, yg kemudian disusul oleh Sedya Mulya. Biasanya, disusul lagi oleh Sindoro kemudian tak lama bis ku pun datang, tapi hingga LP 108 dan satu LP berbody New Marco lewat, kok belum juga bis ku datang, padahal semestinya angkatan Laju Prima dari Depok lebih siang dari Haryanto.
Sepatah dua patah kata yg tersambung lewat jaringan telepon selular antara penjaga agen dan pengawal itu membuahkan warta bis sedang storing di Bubulak dan tidak jalan ke timur alias perpal. What, padahal sudah molor setengah jam dari jadwal, tapi bis masih di Bubulak?
Penjaga agen menawarkan kepadaku apakah ingin tetap pulang dengan bis lain atau menunda satu hari keberangkatan, karena waktu masih belum bergeser dari jam 1 siang, maka tak ada alasan untukku mengundur keberangkatanku menjadi besok hari, namun dilemannya adalah semua bis dari Depok sudah berangkat, seandainya informasi kerusakan armada itu lebih awal maka masih ada kesempatan untukku mengais sisa sisa kursi Agra, Laju, sekalipun Sedya Mulya.
Ku sarankan agen untuk menilik keberadaan armada SSM, karena selama aku di sini memang belum ku lihat armada 212 / 214 melintas, siapa tau dewi fortuna masih berpegang padaku, namun hasilnya pun nihil, bahwasanya hanya mataku saja yg tak menangkap momen armada Sindoro lewat.
Dering telepon agen menyerukan ralat perpal, tapi berhubung mundurnya keberangkatan dengan imbas waktu yg terkuras, dibarengi hampanya pundi pundi meja agen Terminal Depok, demi memangkas jarak Bubulak-Pasar Rebo, dicarilah alternatif menyimpang dari jalur sesuai trayek, full menapaki aspalan Raya Bogor tanpa mengarahkan kemudi menyinggahi agen Depok, Lenteng, dan Tanjung Barat, alhasil kenyamanan leyeh leyeh ku di agen Lenteng kudu terusik oleh layanan Go-Jek sebagai media darat menuju agen Pal, soal biaya jasa ojek online itu sudah ditanggung seutuhnya oleh agen.
Huhhh, ribet, dari Gandaria ke Lenteng balik lagi ke Pal, sesungguhnya siapa ya yg menjadikan hidupku hari ini didera susah bin ribet, ya jelas aku sendiri, andai saja dari awal optimisku merujuk agen Pal walau bukan dengan armada Pak Haji, jelas aku tak seribet ini.
****
"Pak, njenengan agene wonten pundi? Kulo sampun wonten ngePal, niki wonten ngajeng Sumba Putra.", lantunan via HP ku tujukan pada 12 digit nomor yg konon dimiliki Pak Edi selaku agen Haryanto wilayah Pal yg dibekalkan agen Lenteng tadi.
"Sinten Niki?”
"Niki penumpang saking Lenteng wau".
"Oo nggih kulo tak teng mriku, njenengan tunggu mriku, Sumba Putra ngajeng niku to?"
Layaknya orang yg masih buta akan tata letak jejeran agen di Pal saja, akupun lebih memilih berdiam di depan agen Rosalia Indah hingga tak lama orang berseragam Haryanto pun menghampiri dan menuntunku ke Agen. Ternyata Pak Edi ini bukan seorang penjaga agen melainkan seperti pengurus di daerah Pal.
Selain Sumba Putra, ada dua Harapan Jaya dan sebuah SHD berkelir hijau jurusan Bogor-Malang. Di agen ada 4 penumpang lain yg akhirnya lebih dulu take off dengan Kramat Djati dan dua orang lainnya dibawa oleh Haryanto 1626 eks Nusantara, HR 143 mungkin?
Barisan menara kudus lainnya adalah HR 10 serta Blue Titans entah berkode HR berapa.
Ramayana, Harapan Jaya, Gunung Harta, Jaya, Rosalia Indah, Laju Prima, Zentrum MK, Raya, Sari Indah, silih berganti berhenti mengisi parkir paralel terminal bayangan yg selalu membuat kemacetan pada jam jam tertentu itu, serasa lama sudah aku menunggu bis yg tak kunjung menampakkan kisi kisi AC dari kejauhan. Perutku dari pagi ku tuntut untuk bersabar, menanti jatah dari hasil tukar kupon yg ku niscayakan bakal berlangsung sebelum senja berpaling, namun karena adanya trouble itu maka tak terpungkiri bakal ada keterlambatan juga soal asupan gizi pada tubuh ini.
****
15.00 akhirnya 132 pun membawaku beranjak dari deretan agen yg berhadapan dengan Cimanggis Square itu.
Rupanya penumpang dari agen Tanjung Barat juga harus mengalami transisi ke Pasar Rebo, dari sini jumlah penghuni kabin made by Adiputro ini sudah layak untuk tidak dikatakan besar pasak daripada tiang.
Berjalan beberapa kilometer selepas gerbang tol Pasar Rebo, injakan kaki kanan sopir harus silih berganti antara gas dan rem dalam rentan waktu beberapa detik saja, ini lantaran lalu lintas berstatus padat merayap. Jelas, makin bertambah lama lagi aku bakal mencicipi sepiring nasi sebagai makan malamku nanti, lebih ngenes lagi lantaran rumah makan yg disambanginya ternyata sudah berpindah ke RM. Kalijaga Cirebon, minimal selisih satu jam lebih lama dibandingkan semasih bermitra dengan rumah makan di Patok Besi dulu, alhamdulillah aku tak mengidap gejala mag atau lambung yg mungkin saja kambuh karena urusan telat makan.
Putaran roda di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta harus terpotong oleh penumpang di agen Jatiwarna.
Gunung Mulia berbody Proteus munjadi objek bis yg terakhir ku lihat sebelum akhirnya aku bisa sejenak memejamkan mata. Lumayan, mengisi waktu dimana perut sedang dangdutan dan lalu lintas tengah tak bersahabat pula. Terlihat lalu lintas lancar ketika mata ini kembali menangkap kenyataan, terlihat Garuda Mas ngacir di sebelah kanan, terpisah separator dengan bis berpintu tengah ini, ku pastikan ini adalah exit Gerbang Tol Cikarang Barat 3. Di agen sudah parkir Haryanto berbody Evonext, tak ku telisik berlabel HR berapa, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh armada berlivery Black-Pearl ini.
Masuk rest area KM.57 bersama Pesibo dan Redbul. Pedagang Dodol Garut menawarkan dagangannya selama proses pengisian solar berlangsung penuh.
Di penghujung tol Cikampek, terlihat Pahala Kencana masuk dari GT.Cikopo mengarah ke Cipali, entah darimanakah armada Jetbus Nano Nano itu, mungkinkah masih mempercayakan service makannya di seputaran Indramayu, ataukah hanya sejenak sowan ke agen Cikampek saja.
Dua Zentrum masing masing berbody New Setra livery biru dan Scorpion X livery biru eks Madu Kismo dengan mudah didahului dari lajur kanan, sepertinya kru kedua Zentrum itu saling kenal dengan kru King Of The Night ini, setiap kali mendahului pasti sopir selalu sedikit melambatkan bisnya hingga beberapa detik kedua bis berposisi sejajar lalu saling menyapa lewat alunan klakson.
Masih sempat ku saksikan kedigdayaan si Perak Hitam ini atas Ramayana, Gunung Mulia, dan Tunggal Dara yg berjalan waton kelakon di lajur kiri.
Seiring senja berganti, rasanya pun enggan untuk melek ria, sebuah kebahagiaan bagiku jikalau Tuhan mengabulkan keinginanku untuk kembali sejenak mengistirahatkan indera sebagai alternatif dari rasa lapar yg kian tak terbendung serta suasana akan panorama tol panjang yg menjenuhkan. Walupun sewaktu terang telah hilang, di tol terpanjang se-Indonesia ini kita bisa menyaksikan kobaran obor abadi dengan jelas, namun aku lupa tepatnya di KM berapa, yg jelas jika mengarah ke Cirebon, api abadi ini berada di sebelah kiri, tak berjarak jauh dari titik batu bleneng yg konon keramat itu.
GT. Palimanan adalah titik pertama yg kulihat setelah melewatkan sebagian panjang Cipali dalam lelap.
Zentrum MK terlihat berjejer rapi di halaman rumah makan Singgalang Jaya. Tak jauh, rumah makan yg papan namanya masih terlihat sementara, yg pastinya adalah cabang baru karena imbas Cipali, RM. Barokah Indah 2 dipenuhi oleh pasukan Laju Prima. Selanjutnya RM. Aroma terlihat dihuni oleh dua nama PO yaitu Pahala Kencana dan Harapan Jaya, padahal dulu sebelum Cipali beroperasi, Harapan Jaya sudah menggandeng RM. Kalijaga untuk sebagian armadanya yg tidak mampir di Taman Sari 2 Pemanukan, sekarang sewaktu semua armadanya harus menempatkan servis makan di daerah Cirebon, kenapa HarJa tidak meneruskan kontrak kerja samanya dengan Kalijaga dan malah memindahkan layanan makan gratisnya di RM. Aroma?
Besar kemungkinan umur rumah makan di daerah ini tidak akan terimbas oleh tol Trans Jawa, pasalnya seandainyapun nanti ruas tol Pejagan-Pemalang bisa beroperasi dan perusahaan bis malam mengalihkan rute armadanya via tol Trans Jawa, exit GT Kanci dan kembali masuk GT Pejagan mungkin menjadi alternatif terbaik dalam meminang rumah makan langganannya.
Dan tiba giliran HR 132 untuk masuk rumah makan Kalijaga. Terlihat tagname Laskar Pelangi sudah take off meninggalkan resto mitranya itu. Biasanya untuk team Wonogiri itu tiba di rumah makan lebih awal, dan hanya bareng dengan armada Madura, tapi karena keterlambatan keberangkatan tadi maka untuk kali ini bercampur aduk dengan armada ke Muriaan juga.
121, 124, 66, 51, 26, 143, 133, 10 adalah kode kode armada HR yg parkir berjajar dengan bis yg membawaku.
Ada dua option menu makan, selain nasi putih dan lauk disediakan pula nasi soto. Lhah, ini sih biasa dalam layanan makan Haryanto, namun menu pilihan seperti ini biasanya disuguhkan di rumah makan kepunyaannya sendiri, tapi ini di rumah makan lain kok juga seperti ini, tanya kenapa?
Ternyata oh ternyata, jawaban ini sekaligus menjawab soal hengkangnya PO asal Tulungagung dari sini. Di papan nama depan ( pinggir jalan) memang masih tepampang tulisan Kalijaga sebagai identitasnya, namun sewaktu aku kembali menempati seat 3B, sekilas ku lihat sebuah spanduk bertulis ‘Selamat Datang di Rumah Makan Menara Kudus’ di pintu masuk sisi kirinya. Wow, mungkinkah aset ini telah berpindah ke tangan PO Haryanto juga?
Tiada kontrol yg dilangsungkan sebelum bis kembali menapaki aspal, entah cara apa yg diberlakukan perusahaan macam Haryanto, Bejeu, Rosalia Indah dan Harapan Jaya untuk mengantisipasi adanya ilegal passenger dalam sebuah perjalanan bis-bisnya. Padahal kursi kursinya juga tidak selalu terisi penuh di semua perjalanan, pun begitu tak jua ku saksikan adanya fenomena sarkawi ketika aku tengah melakoni perjalanan dengannya. Bertolak dengan Pahala Kencana atau Laju Prima yg justru mengalokasikan seorang cheker di berbagai titik, selain di kedua rumah makan kontrolan juga dilakukan di daerah Tegal.
Selain kontrol, rupanya pergantian sopir pun juga tidak dilakukan, alias kali ini HR 132 dibawa oleh sopir bertajuk engkel, merangkap sebagi sopir pinggir sekaligus sopir tengah. Hemmm, tak ada rasa capek, kantuk, atau bosan kah berada di belakang kemudi dalam waktu kurang lebih 15 jam tanpa adanya istirahat yg berarti, baik tenaga, pikiran, dan indera harus dituntut bekerja tanpa boleh lengah sebentar saja, memerangi medan jalan yg tak selalu mulus dan lalu lintas yg bisa saja amburadul. Mungkin inilah yg menjadikan obsesi sopir untuk melabeli armadanya dengan julukan 'King Of The Night'.
****
B 21 terlihat lihai berlari di depanku, Santoso dan The Green Titan 'Persibo' dengan gampang dilewati 'Raja Malam' ini berkat tuntunan si hitam. Walaupun beberapa kali ada kesempatan untuk mengambil alih posisi Bejeu di depannya, namun nampaknya sopir lebih memilih untuk menjadi pengintil saja, dua kali lampu utama dimatikannya sebagai pertanda Scorpion King hitam itu dipersilahkan untuk tetap menjadi imam. RM. Kedung Roso menjadi titik pungkas kebersamaan dua bis bercat hitam ini, Bejeu tak kunjung mengarahkan rodanya keluar dari medan jalan, seperti berniat menunggu HR 132 berposisi tepat di sampingnya, "Gek ndang selak masuk angin", sapaan kenek kepada kru Bejeu ketika kedua bis saling berhenti sejajar, "Yo iyo", balasan dari sopir B 21.
Kenapa Bejeu memilih singgah di sini, padahal rumah makan langganannya dulu 'Barokah Indah' juga telah membuka cabang baru di daerah Cirebon.
Dari lawan arah, dua unit New Setra berlivery merah merona tengah berkonvoi, bisa ditebak bis berkode BM itu sampai di Jakarta sebelum hari berganti.
TZ 80 melenggang lewat sisi kanan, lumayan lama Mercy 1830 ini hanya bisa membuntuti, walaupun pada akhirnya juga tetap bisa dilewatinya lagi.
Kalau saja keberangkatan tadi mundur satu jam lagi, mungkin bakal lebih banyak aksi aksi yg apik dijadikan tontonan, karena pasti lebih banyak bertemu bis bis lor'an, drivernya pun mungkin juga lebih gesit pembawaannya karena semakin telat akan semakin banter.
Tak banyak pemandangan yg ku lirik selama perjalanan, walaupun seat Alldila tak mampu menjadi singgasana yg menghadiakan mimpi bagiku, namun pas on board memang belumlah muncul niatan merangkai ulasan cerita perjalanan ini.
Penumpang lain telah lelap menikmati keindahan dunia bawah sadar, layar LCD 29" tak lagi menyuguhkan visual yg kiranya bisa memberiku entertaiment, mata ini pun enggan untuk mengerti kehendak untuk melewatkan menit menit tanpa kesadaran, hanya aktivitas merem-melek lah yg bisa ku lakukan saat itu, serta berharap welcome dari RM. Menara Kudus Gringsing cepat terlaksana agarku lekas bisa mencicip raos kopi hitam dan menyalurkan hasrat menghisap Djarum Black Cappuccino yg terpenjara sedari Cirebon tadi.
Sedikit kemacetan dari imbas pengecoran membuat HR 66 menyusul, sempat terjadi dialog antara kedua sopir untuk menyiasati arus yg padat merayap itu dengan membuka jalur kanan, tapi karena dari lawan arah lalu lintas cukup rapat, akhirnya ujung kemacetan pun ditembus dengan jurus sabar lan narimo.
Komunikasi telepon membuat sopir sedikit mengurangi pijakan pedal gas di tikungan Subah, dari sisi kiri New Setra berkode TZ 80 berhasil mengambil kesempatan yg tercipta oleh konsentrasi sopir pada dialog via HP nya. Rosalia Indah, Harapan Jaya, Tunas Merapi eks Lorena, Maju Lancar Non AC, dan Kramat Djati putih-orange berturut turut menjadi bulan bulanan HR 132 yg berupaya terus mengejar TZ 80 itu. Di suatu kesempatan akhirnya Zentrum MK putih-hijau itupun seperti ngalah dengan hanya membututi bokong truk gandeng di lajur kanan, sehingga memudahkan HR 132 ini untuk kembali melenggang dari kiri.
Jalan baru dipilih sebagi jalur untuk membelah belantara pohon jati Alas Roban, andai saja ada pilihan aku lebih srek untuk lewat jalur Poncowati, selain membuahkan sedikit adrenalin lewat konturnya yg sempit, curam, dan berkelok, teksturnya pun lebih mulus daripada jalan baru yg justru bergelombang karena permukaan betonnya yg tak kunjung ditimpah aspal. Dan yg jelas, harapanku untuk mengisi pergantian hari dengan segelas kopi di Menara Kudus pun musnah sudah dikarenakan bis tidak melewati rumah makan pribadinya itu. Sedikit kemungkinan sebagai obat galau, bisa saja bis menempatkan tradisi ngopi penumpangnya itu di RM. Menara Kudus 2 bersamaan dengan mereffil tangki bahan bakar. Terlihat sudah ada dua bis Haryanto yg sedang melakoni pengisian solar, namun tiada penampakan armada parkir dengan penumpang berhamburan di luar kabin seperti yg ku lihat di perjalananku beberapa bulan lalu yg jua dengan Black-Pearl 1830 ini. Sinar kabin yg tak lekas berganti terang, pertanda terkuncinya akses keluar bagi penumpang untuk sekedar menggugah kebekuan syaraf dengan racikan air plus kopi dan gula khas Kendal. Sungguh, sejatinya aku merindu akan secuil moment ini, di perjalanan ku ngetan akhir akhir ini, terlebih setelah open tol road Cipali dinyatakan valid, jam sowan di rumah makan ke-dua menjadi lebih dini, tak pernah melampaui batas 22.00. Berbeda ketika aku masih menggantungkan urusan traveling pada Laju Prima, Gajah Mungkur, Tunggal Dara, dan Gunung Mulia dulu, yg waktu second-pit-stop nya telah melewati star time next day.
****
Lampu utama kabin sebgai penerangan satu penumpang yg akan turun menyilaukan pejaman mata di Terminal Boyolali. Bis tidak masuk ke Terminal Kartasura, dan mengambil rute tempuh melalui jalan Solo-Jogja tembus ke Solo Baru, jalur alternatif yg biasa dipilih bis malam yg melakukan perjalanan ke barat untuk bisa terhindar dari kemacetan sepanjang jalur dari Solo Baru hingga Jalan Slamet Riyadi bila melewati rute sesungguhnya.
Jalur dalam kota dipilihnya ketika memasuki daerah Sukoharjo, terlihat aktivitas Pasar Sukoharjo sudah ramai oleh para pedagang sayur serta beberapa pedagang makanan dan minuman sebagai penghangat pagi para pelaku jual beli di pasar yg belum lama direnovasi itu.
Rupanya Terminal Giri Adipura masih disinggahinya untuk menurunkan beberapa penumpang tujuan Praci, Batu, dan Pacitan. Entah, siapa yg bakal membawa mereka sampai di tujuan yg tertulis di tiket, dengan selisih keberangkatan yg hampir 4 jam, masihkan dua kolega non-purwantoro nya masih berada di belakang, namun baik di tempat bis berhenti maupun ketika bis berjalan tidak ku temuai adanya armada Wonogirian lainnya. Malah di sini yg muncul justru dua punggawa bis ATB yg sudah tidak diragukan lagi soal speednya, Sumber Selamat dan Sugeng Rahayu.
Segelas kopi hitam dan dua buah tahu goreng melegakan kedahagaan yg kurindukan sejak setengah perjalanan tadi.
Perempatan Ponten menjadi titik pertama penurunan penumpang setelah bis kembali berjalan.
Ojek dan para sopir angkutan berlarian bergegas menadah adanya penumpang yg turun di Ngadirojo, namun sayang pundi pundi yg berbuah rejeki bagi mereka rupanya nihil alias penumpang bertujuan Ngadirojo kosong.
Tikungan tikungan di barat Sidoharjo mengidentifikasikan bahwa rupanya sopir sudah mulai kalah akan serangan kantuk, bis berjalan pelan ketika lingkar kemudi diputar mengikuti lekuk indah seribu satu kelokan itu, seolah sopir baru menjajaki kontur jalanan di area Wonogiri. Irung Petruk, ditikungan yg kalau dilihat aneh nan bikin heran ini, sopir semakin menunjukkan jiwa sadarnya yg mulai terkikis, berkali kali menguap dan lebih sering garuk garuk kepala adalah tanda tanda makhluk Tuhan yg paling ngantuk.
Melewati Pasar Ndarjo, tak juga sopir menunjukkan gelagat kebugarannya kembali. Perasaanku mulai terusik, ketenangan perlahan pergi, pasalnya perjalanan yg penuh dengan romantika tikungan ini bakal terkesan masih menyisakan lumayan jarak bila diukur dalam keadaan pengemudi yg ngantuk. Kenek hanya acuh, penumpang di depan juga diam seribu bahasa, tiada larik kalimat yg disuarakan untuk sebatas memberi solusi akan gejala yg dialami sopir.
Hmmm, ternyata guyonan yg selama ini aku dengar, bahwa sopir bis yg ugal ugalan lebih berpeluang masuk surga lantaran bisa membuat penumpang yg dibawanya senantiasa berdoa itu bohong, itu palsu, faktanya aku lebih giat memanjatkan pinta perlindungan dariNya ketika sopir ngantuk daripada sopir ugal ugalan. Andai saja squat bumel Solo-Purwantoro lebih rajin dalam memulai rutinitasnya, maka lebih baik ku percayakan raga ini di dalam peluknya.
Gumanku menggerutu, ngakunya King Of The Night, tapi kok keteteran melawan malam. Yaah, walaupun naluriku tetap bisa memaklumi, mungkin karena jadwal mangkat yg mundur 3,5 jam, sehingga semestinya saat ini sopir sudah nglilir namun masih harus nyetir.
SPBU Jatisrono sudah terlihat riuh ramai, bukan karena antrian kendaraan yg ingin menanti tancapan nozzle ke mulut tangki kendaraannya, melainkan sinar remang remang lampu buritan barisan bumel Tunggal Dara Putera yg mejadikan Pom Bensin itu sebagai garasinya. Tak biasanya pemandangan ini ku saksikan dalam acara pulkam ku, dara dara abdi jalan 2 x sehari pulang pergi itu biasanya masih adem dengan rehatnya, kali ini ritual pemanasan mesin sebagi SOP mesin diesel telah dilakukan oleh keenam armadanya. Owhalah, tak ku sadari kalau hari telah beranjak pagi, pantas saja si King Of The Night ini hampir klepek klepek, rupanya virus kepagian mulai menjalar merasuk digdayanya dalam merajai malam, untung saja Desa Miricinde sebagai point tujuanku tercapai sebelum fajar ber-silau, andai telat sebentar saja, pasti si hitam ini semakin tak mampu bertahan dengan tahta rajanya.
Hmmm, King Of The Night yg kepagian, berlalulah menuju singgasa terakhirmu, sebelum akhirnya menjadi kesiangan...
****
"Tikete mundak Mas, 190 saiki...", kata penjaga Agen Lenteng sembari menyiapkan tiket untukku.
"Solar medun kok malah tiket mundak to Mbak?", candaku berbasa basi.
"Iki ijik rego liburan wingi, dadi ngasi saiki urung normal...".
Ngobrol ngalor ngidul menjadi pengisi waktu penantian armada yg katanya diisi oleh si hitam eks Nusantara. BM 033 menjadi bis pertama yg melintas di Lenteng siang itu, yg kemudian disusul oleh Sedya Mulya. Biasanya, disusul lagi oleh Sindoro kemudian tak lama bis ku pun datang, tapi hingga LP 108 dan satu LP berbody New Marco lewat, kok belum juga bis ku datang, padahal semestinya angkatan Laju Prima dari Depok lebih siang dari Haryanto.
Sepatah dua patah kata yg tersambung lewat jaringan telepon selular antara penjaga agen dan pengawal itu membuahkan warta bis sedang storing di Bubulak dan tidak jalan ke timur alias perpal. What, padahal sudah molor setengah jam dari jadwal, tapi bis masih di Bubulak?
Penjaga agen menawarkan kepadaku apakah ingin tetap pulang dengan bis lain atau menunda satu hari keberangkatan, karena waktu masih belum bergeser dari jam 1 siang, maka tak ada alasan untukku mengundur keberangkatanku menjadi besok hari, namun dilemannya adalah semua bis dari Depok sudah berangkat, seandainya informasi kerusakan armada itu lebih awal maka masih ada kesempatan untukku mengais sisa sisa kursi Agra, Laju, sekalipun Sedya Mulya.
Ku sarankan agen untuk menilik keberadaan armada SSM, karena selama aku di sini memang belum ku lihat armada 212 / 214 melintas, siapa tau dewi fortuna masih berpegang padaku, namun hasilnya pun nihil, bahwasanya hanya mataku saja yg tak menangkap momen armada Sindoro lewat.
Dering telepon agen menyerukan ralat perpal, tapi berhubung mundurnya keberangkatan dengan imbas waktu yg terkuras, dibarengi hampanya pundi pundi meja agen Terminal Depok, demi memangkas jarak Bubulak-Pasar Rebo, dicarilah alternatif menyimpang dari jalur sesuai trayek, full menapaki aspalan Raya Bogor tanpa mengarahkan kemudi menyinggahi agen Depok, Lenteng, dan Tanjung Barat, alhasil kenyamanan leyeh leyeh ku di agen Lenteng kudu terusik oleh layanan Go-Jek sebagai media darat menuju agen Pal, soal biaya jasa ojek online itu sudah ditanggung seutuhnya oleh agen.
Huhhh, ribet, dari Gandaria ke Lenteng balik lagi ke Pal, sesungguhnya siapa ya yg menjadikan hidupku hari ini didera susah bin ribet, ya jelas aku sendiri, andai saja dari awal optimisku merujuk agen Pal walau bukan dengan armada Pak Haji, jelas aku tak seribet ini.
****
"Pak, njenengan agene wonten pundi? Kulo sampun wonten ngePal, niki wonten ngajeng Sumba Putra.", lantunan via HP ku tujukan pada 12 digit nomor yg konon dimiliki Pak Edi selaku agen Haryanto wilayah Pal yg dibekalkan agen Lenteng tadi.
"Sinten Niki?”
"Niki penumpang saking Lenteng wau".
"Oo nggih kulo tak teng mriku, njenengan tunggu mriku, Sumba Putra ngajeng niku to?"
Layaknya orang yg masih buta akan tata letak jejeran agen di Pal saja, akupun lebih memilih berdiam di depan agen Rosalia Indah hingga tak lama orang berseragam Haryanto pun menghampiri dan menuntunku ke Agen. Ternyata Pak Edi ini bukan seorang penjaga agen melainkan seperti pengurus di daerah Pal.
Selain Sumba Putra, ada dua Harapan Jaya dan sebuah SHD berkelir hijau jurusan Bogor-Malang. Di agen ada 4 penumpang lain yg akhirnya lebih dulu take off dengan Kramat Djati dan dua orang lainnya dibawa oleh Haryanto 1626 eks Nusantara, HR 143 mungkin?
Barisan menara kudus lainnya adalah HR 10 serta Blue Titans entah berkode HR berapa.
Ramayana, Harapan Jaya, Gunung Harta, Jaya, Rosalia Indah, Laju Prima, Zentrum MK, Raya, Sari Indah, silih berganti berhenti mengisi parkir paralel terminal bayangan yg selalu membuat kemacetan pada jam jam tertentu itu, serasa lama sudah aku menunggu bis yg tak kunjung menampakkan kisi kisi AC dari kejauhan. Perutku dari pagi ku tuntut untuk bersabar, menanti jatah dari hasil tukar kupon yg ku niscayakan bakal berlangsung sebelum senja berpaling, namun karena adanya trouble itu maka tak terpungkiri bakal ada keterlambatan juga soal asupan gizi pada tubuh ini.
****
15.00 akhirnya 132 pun membawaku beranjak dari deretan agen yg berhadapan dengan Cimanggis Square itu.
Rupanya penumpang dari agen Tanjung Barat juga harus mengalami transisi ke Pasar Rebo, dari sini jumlah penghuni kabin made by Adiputro ini sudah layak untuk tidak dikatakan besar pasak daripada tiang.
Berjalan beberapa kilometer selepas gerbang tol Pasar Rebo, injakan kaki kanan sopir harus silih berganti antara gas dan rem dalam rentan waktu beberapa detik saja, ini lantaran lalu lintas berstatus padat merayap. Jelas, makin bertambah lama lagi aku bakal mencicipi sepiring nasi sebagai makan malamku nanti, lebih ngenes lagi lantaran rumah makan yg disambanginya ternyata sudah berpindah ke RM. Kalijaga Cirebon, minimal selisih satu jam lebih lama dibandingkan semasih bermitra dengan rumah makan di Patok Besi dulu, alhamdulillah aku tak mengidap gejala mag atau lambung yg mungkin saja kambuh karena urusan telat makan.
Putaran roda di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta harus terpotong oleh penumpang di agen Jatiwarna.
Gunung Mulia berbody Proteus munjadi objek bis yg terakhir ku lihat sebelum akhirnya aku bisa sejenak memejamkan mata. Lumayan, mengisi waktu dimana perut sedang dangdutan dan lalu lintas tengah tak bersahabat pula. Terlihat lalu lintas lancar ketika mata ini kembali menangkap kenyataan, terlihat Garuda Mas ngacir di sebelah kanan, terpisah separator dengan bis berpintu tengah ini, ku pastikan ini adalah exit Gerbang Tol Cikarang Barat 3. Di agen sudah parkir Haryanto berbody Evonext, tak ku telisik berlabel HR berapa, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh armada berlivery Black-Pearl ini.
Masuk rest area KM.57 bersama Pesibo dan Redbul. Pedagang Dodol Garut menawarkan dagangannya selama proses pengisian solar berlangsung penuh.
Di penghujung tol Cikampek, terlihat Pahala Kencana masuk dari GT.Cikopo mengarah ke Cipali, entah darimanakah armada Jetbus Nano Nano itu, mungkinkah masih mempercayakan service makannya di seputaran Indramayu, ataukah hanya sejenak sowan ke agen Cikampek saja.
Dua Zentrum masing masing berbody New Setra livery biru dan Scorpion X livery biru eks Madu Kismo dengan mudah didahului dari lajur kanan, sepertinya kru kedua Zentrum itu saling kenal dengan kru King Of The Night ini, setiap kali mendahului pasti sopir selalu sedikit melambatkan bisnya hingga beberapa detik kedua bis berposisi sejajar lalu saling menyapa lewat alunan klakson.
Masih sempat ku saksikan kedigdayaan si Perak Hitam ini atas Ramayana, Gunung Mulia, dan Tunggal Dara yg berjalan waton kelakon di lajur kiri.
Seiring senja berganti, rasanya pun enggan untuk melek ria, sebuah kebahagiaan bagiku jikalau Tuhan mengabulkan keinginanku untuk kembali sejenak mengistirahatkan indera sebagai alternatif dari rasa lapar yg kian tak terbendung serta suasana akan panorama tol panjang yg menjenuhkan. Walupun sewaktu terang telah hilang, di tol terpanjang se-Indonesia ini kita bisa menyaksikan kobaran obor abadi dengan jelas, namun aku lupa tepatnya di KM berapa, yg jelas jika mengarah ke Cirebon, api abadi ini berada di sebelah kiri, tak berjarak jauh dari titik batu bleneng yg konon keramat itu.
GT. Palimanan adalah titik pertama yg kulihat setelah melewatkan sebagian panjang Cipali dalam lelap.
Zentrum MK terlihat berjejer rapi di halaman rumah makan Singgalang Jaya. Tak jauh, rumah makan yg papan namanya masih terlihat sementara, yg pastinya adalah cabang baru karena imbas Cipali, RM. Barokah Indah 2 dipenuhi oleh pasukan Laju Prima. Selanjutnya RM. Aroma terlihat dihuni oleh dua nama PO yaitu Pahala Kencana dan Harapan Jaya, padahal dulu sebelum Cipali beroperasi, Harapan Jaya sudah menggandeng RM. Kalijaga untuk sebagian armadanya yg tidak mampir di Taman Sari 2 Pemanukan, sekarang sewaktu semua armadanya harus menempatkan servis makan di daerah Cirebon, kenapa HarJa tidak meneruskan kontrak kerja samanya dengan Kalijaga dan malah memindahkan layanan makan gratisnya di RM. Aroma?
Besar kemungkinan umur rumah makan di daerah ini tidak akan terimbas oleh tol Trans Jawa, pasalnya seandainyapun nanti ruas tol Pejagan-Pemalang bisa beroperasi dan perusahaan bis malam mengalihkan rute armadanya via tol Trans Jawa, exit GT Kanci dan kembali masuk GT Pejagan mungkin menjadi alternatif terbaik dalam meminang rumah makan langganannya.
Dan tiba giliran HR 132 untuk masuk rumah makan Kalijaga. Terlihat tagname Laskar Pelangi sudah take off meninggalkan resto mitranya itu. Biasanya untuk team Wonogiri itu tiba di rumah makan lebih awal, dan hanya bareng dengan armada Madura, tapi karena keterlambatan keberangkatan tadi maka untuk kali ini bercampur aduk dengan armada ke Muriaan juga.
121, 124, 66, 51, 26, 143, 133, 10 adalah kode kode armada HR yg parkir berjajar dengan bis yg membawaku.
Ada dua option menu makan, selain nasi putih dan lauk disediakan pula nasi soto. Lhah, ini sih biasa dalam layanan makan Haryanto, namun menu pilihan seperti ini biasanya disuguhkan di rumah makan kepunyaannya sendiri, tapi ini di rumah makan lain kok juga seperti ini, tanya kenapa?
Ternyata oh ternyata, jawaban ini sekaligus menjawab soal hengkangnya PO asal Tulungagung dari sini. Di papan nama depan ( pinggir jalan) memang masih tepampang tulisan Kalijaga sebagai identitasnya, namun sewaktu aku kembali menempati seat 3B, sekilas ku lihat sebuah spanduk bertulis ‘Selamat Datang di Rumah Makan Menara Kudus’ di pintu masuk sisi kirinya. Wow, mungkinkah aset ini telah berpindah ke tangan PO Haryanto juga?
Tiada kontrol yg dilangsungkan sebelum bis kembali menapaki aspal, entah cara apa yg diberlakukan perusahaan macam Haryanto, Bejeu, Rosalia Indah dan Harapan Jaya untuk mengantisipasi adanya ilegal passenger dalam sebuah perjalanan bis-bisnya. Padahal kursi kursinya juga tidak selalu terisi penuh di semua perjalanan, pun begitu tak jua ku saksikan adanya fenomena sarkawi ketika aku tengah melakoni perjalanan dengannya. Bertolak dengan Pahala Kencana atau Laju Prima yg justru mengalokasikan seorang cheker di berbagai titik, selain di kedua rumah makan kontrolan juga dilakukan di daerah Tegal.
Selain kontrol, rupanya pergantian sopir pun juga tidak dilakukan, alias kali ini HR 132 dibawa oleh sopir bertajuk engkel, merangkap sebagi sopir pinggir sekaligus sopir tengah. Hemmm, tak ada rasa capek, kantuk, atau bosan kah berada di belakang kemudi dalam waktu kurang lebih 15 jam tanpa adanya istirahat yg berarti, baik tenaga, pikiran, dan indera harus dituntut bekerja tanpa boleh lengah sebentar saja, memerangi medan jalan yg tak selalu mulus dan lalu lintas yg bisa saja amburadul. Mungkin inilah yg menjadikan obsesi sopir untuk melabeli armadanya dengan julukan 'King Of The Night'.
****
B 21 terlihat lihai berlari di depanku, Santoso dan The Green Titan 'Persibo' dengan gampang dilewati 'Raja Malam' ini berkat tuntunan si hitam. Walaupun beberapa kali ada kesempatan untuk mengambil alih posisi Bejeu di depannya, namun nampaknya sopir lebih memilih untuk menjadi pengintil saja, dua kali lampu utama dimatikannya sebagai pertanda Scorpion King hitam itu dipersilahkan untuk tetap menjadi imam. RM. Kedung Roso menjadi titik pungkas kebersamaan dua bis bercat hitam ini, Bejeu tak kunjung mengarahkan rodanya keluar dari medan jalan, seperti berniat menunggu HR 132 berposisi tepat di sampingnya, "Gek ndang selak masuk angin", sapaan kenek kepada kru Bejeu ketika kedua bis saling berhenti sejajar, "Yo iyo", balasan dari sopir B 21.
Kenapa Bejeu memilih singgah di sini, padahal rumah makan langganannya dulu 'Barokah Indah' juga telah membuka cabang baru di daerah Cirebon.
Dari lawan arah, dua unit New Setra berlivery merah merona tengah berkonvoi, bisa ditebak bis berkode BM itu sampai di Jakarta sebelum hari berganti.
TZ 80 melenggang lewat sisi kanan, lumayan lama Mercy 1830 ini hanya bisa membuntuti, walaupun pada akhirnya juga tetap bisa dilewatinya lagi.
Kalau saja keberangkatan tadi mundur satu jam lagi, mungkin bakal lebih banyak aksi aksi yg apik dijadikan tontonan, karena pasti lebih banyak bertemu bis bis lor'an, drivernya pun mungkin juga lebih gesit pembawaannya karena semakin telat akan semakin banter.
Tak banyak pemandangan yg ku lirik selama perjalanan, walaupun seat Alldila tak mampu menjadi singgasana yg menghadiakan mimpi bagiku, namun pas on board memang belumlah muncul niatan merangkai ulasan cerita perjalanan ini.
Penumpang lain telah lelap menikmati keindahan dunia bawah sadar, layar LCD 29" tak lagi menyuguhkan visual yg kiranya bisa memberiku entertaiment, mata ini pun enggan untuk mengerti kehendak untuk melewatkan menit menit tanpa kesadaran, hanya aktivitas merem-melek lah yg bisa ku lakukan saat itu, serta berharap welcome dari RM. Menara Kudus Gringsing cepat terlaksana agarku lekas bisa mencicip raos kopi hitam dan menyalurkan hasrat menghisap Djarum Black Cappuccino yg terpenjara sedari Cirebon tadi.
Sedikit kemacetan dari imbas pengecoran membuat HR 66 menyusul, sempat terjadi dialog antara kedua sopir untuk menyiasati arus yg padat merayap itu dengan membuka jalur kanan, tapi karena dari lawan arah lalu lintas cukup rapat, akhirnya ujung kemacetan pun ditembus dengan jurus sabar lan narimo.
Komunikasi telepon membuat sopir sedikit mengurangi pijakan pedal gas di tikungan Subah, dari sisi kiri New Setra berkode TZ 80 berhasil mengambil kesempatan yg tercipta oleh konsentrasi sopir pada dialog via HP nya. Rosalia Indah, Harapan Jaya, Tunas Merapi eks Lorena, Maju Lancar Non AC, dan Kramat Djati putih-orange berturut turut menjadi bulan bulanan HR 132 yg berupaya terus mengejar TZ 80 itu. Di suatu kesempatan akhirnya Zentrum MK putih-hijau itupun seperti ngalah dengan hanya membututi bokong truk gandeng di lajur kanan, sehingga memudahkan HR 132 ini untuk kembali melenggang dari kiri.
Jalan baru dipilih sebagi jalur untuk membelah belantara pohon jati Alas Roban, andai saja ada pilihan aku lebih srek untuk lewat jalur Poncowati, selain membuahkan sedikit adrenalin lewat konturnya yg sempit, curam, dan berkelok, teksturnya pun lebih mulus daripada jalan baru yg justru bergelombang karena permukaan betonnya yg tak kunjung ditimpah aspal. Dan yg jelas, harapanku untuk mengisi pergantian hari dengan segelas kopi di Menara Kudus pun musnah sudah dikarenakan bis tidak melewati rumah makan pribadinya itu. Sedikit kemungkinan sebagai obat galau, bisa saja bis menempatkan tradisi ngopi penumpangnya itu di RM. Menara Kudus 2 bersamaan dengan mereffil tangki bahan bakar. Terlihat sudah ada dua bis Haryanto yg sedang melakoni pengisian solar, namun tiada penampakan armada parkir dengan penumpang berhamburan di luar kabin seperti yg ku lihat di perjalananku beberapa bulan lalu yg jua dengan Black-Pearl 1830 ini. Sinar kabin yg tak lekas berganti terang, pertanda terkuncinya akses keluar bagi penumpang untuk sekedar menggugah kebekuan syaraf dengan racikan air plus kopi dan gula khas Kendal. Sungguh, sejatinya aku merindu akan secuil moment ini, di perjalanan ku ngetan akhir akhir ini, terlebih setelah open tol road Cipali dinyatakan valid, jam sowan di rumah makan ke-dua menjadi lebih dini, tak pernah melampaui batas 22.00. Berbeda ketika aku masih menggantungkan urusan traveling pada Laju Prima, Gajah Mungkur, Tunggal Dara, dan Gunung Mulia dulu, yg waktu second-pit-stop nya telah melewati star time next day.
****
Lampu utama kabin sebgai penerangan satu penumpang yg akan turun menyilaukan pejaman mata di Terminal Boyolali. Bis tidak masuk ke Terminal Kartasura, dan mengambil rute tempuh melalui jalan Solo-Jogja tembus ke Solo Baru, jalur alternatif yg biasa dipilih bis malam yg melakukan perjalanan ke barat untuk bisa terhindar dari kemacetan sepanjang jalur dari Solo Baru hingga Jalan Slamet Riyadi bila melewati rute sesungguhnya.
Jalur dalam kota dipilihnya ketika memasuki daerah Sukoharjo, terlihat aktivitas Pasar Sukoharjo sudah ramai oleh para pedagang sayur serta beberapa pedagang makanan dan minuman sebagai penghangat pagi para pelaku jual beli di pasar yg belum lama direnovasi itu.
Rupanya Terminal Giri Adipura masih disinggahinya untuk menurunkan beberapa penumpang tujuan Praci, Batu, dan Pacitan. Entah, siapa yg bakal membawa mereka sampai di tujuan yg tertulis di tiket, dengan selisih keberangkatan yg hampir 4 jam, masihkan dua kolega non-purwantoro nya masih berada di belakang, namun baik di tempat bis berhenti maupun ketika bis berjalan tidak ku temuai adanya armada Wonogirian lainnya. Malah di sini yg muncul justru dua punggawa bis ATB yg sudah tidak diragukan lagi soal speednya, Sumber Selamat dan Sugeng Rahayu.
Segelas kopi hitam dan dua buah tahu goreng melegakan kedahagaan yg kurindukan sejak setengah perjalanan tadi.
Perempatan Ponten menjadi titik pertama penurunan penumpang setelah bis kembali berjalan.
Ojek dan para sopir angkutan berlarian bergegas menadah adanya penumpang yg turun di Ngadirojo, namun sayang pundi pundi yg berbuah rejeki bagi mereka rupanya nihil alias penumpang bertujuan Ngadirojo kosong.
Tikungan tikungan di barat Sidoharjo mengidentifikasikan bahwa rupanya sopir sudah mulai kalah akan serangan kantuk, bis berjalan pelan ketika lingkar kemudi diputar mengikuti lekuk indah seribu satu kelokan itu, seolah sopir baru menjajaki kontur jalanan di area Wonogiri. Irung Petruk, ditikungan yg kalau dilihat aneh nan bikin heran ini, sopir semakin menunjukkan jiwa sadarnya yg mulai terkikis, berkali kali menguap dan lebih sering garuk garuk kepala adalah tanda tanda makhluk Tuhan yg paling ngantuk.
Melewati Pasar Ndarjo, tak juga sopir menunjukkan gelagat kebugarannya kembali. Perasaanku mulai terusik, ketenangan perlahan pergi, pasalnya perjalanan yg penuh dengan romantika tikungan ini bakal terkesan masih menyisakan lumayan jarak bila diukur dalam keadaan pengemudi yg ngantuk. Kenek hanya acuh, penumpang di depan juga diam seribu bahasa, tiada larik kalimat yg disuarakan untuk sebatas memberi solusi akan gejala yg dialami sopir.
Hmmm, ternyata guyonan yg selama ini aku dengar, bahwa sopir bis yg ugal ugalan lebih berpeluang masuk surga lantaran bisa membuat penumpang yg dibawanya senantiasa berdoa itu bohong, itu palsu, faktanya aku lebih giat memanjatkan pinta perlindungan dariNya ketika sopir ngantuk daripada sopir ugal ugalan. Andai saja squat bumel Solo-Purwantoro lebih rajin dalam memulai rutinitasnya, maka lebih baik ku percayakan raga ini di dalam peluknya.
Gumanku menggerutu, ngakunya King Of The Night, tapi kok keteteran melawan malam. Yaah, walaupun naluriku tetap bisa memaklumi, mungkin karena jadwal mangkat yg mundur 3,5 jam, sehingga semestinya saat ini sopir sudah nglilir namun masih harus nyetir.
SPBU Jatisrono sudah terlihat riuh ramai, bukan karena antrian kendaraan yg ingin menanti tancapan nozzle ke mulut tangki kendaraannya, melainkan sinar remang remang lampu buritan barisan bumel Tunggal Dara Putera yg mejadikan Pom Bensin itu sebagai garasinya. Tak biasanya pemandangan ini ku saksikan dalam acara pulkam ku, dara dara abdi jalan 2 x sehari pulang pergi itu biasanya masih adem dengan rehatnya, kali ini ritual pemanasan mesin sebagi SOP mesin diesel telah dilakukan oleh keenam armadanya. Owhalah, tak ku sadari kalau hari telah beranjak pagi, pantas saja si King Of The Night ini hampir klepek klepek, rupanya virus kepagian mulai menjalar merasuk digdayanya dalam merajai malam, untung saja Desa Miricinde sebagai point tujuanku tercapai sebelum fajar ber-silau, andai telat sebentar saja, pasti si hitam ini semakin tak mampu bertahan dengan tahta rajanya.
Hmmm, King Of The Night yg kepagian, berlalulah menuju singgasa terakhirmu, sebelum akhirnya menjadi kesiangan...
hi salam kenal mas,saya firman saya juga penggemar bis mungkin suatu saat kita bisa ngopi2 sambil ngobrol seputar bis,capernya sip bgt,btw kontak saya pin bb5B99C7C1
ReplyDeleteSalam kenal juga Mas Firman. Boleh, bila suatu saat ada kesempatan untuk ngopi bareng.
DeleteTerima Kasih atas kunjungan dan reviewnya. Ok,,nanti saya add Mas...
Critane Apik.
ReplyDeleteterima kasih
Delete