15 December 2012

Ini Bis VIP..! Bukan V-VIP

Senja enggan bertahan, panorama kuning kemerahan sang candi ayu kian memudar menjadi hitam, parade led lampu New Marcopolo telah nampak terang membiru, oh rupanya hari mulai beranjak petang... Sebuah Taksi ber'trade-mark Kosti berhenti di depan agen tempatku menjalani penantian pada bis 15 yg bakal menghampiriku, sang sopir yg berjenis wanita turun dan langsung menyambangi petugas loket, tak lama disusul kedua penumpang kendaraan public menengah ke atas itu yg salah satunya adalah gadis seumuranku dan lainnya adalah ibu sebaya mbah'ku. Di dalam agen terdengar sopir taksi itu tengah melancarkan aksi negosiasi dengan penjaga, entah siapakah di antara ketiga perempuan itu yg akan berangkat ke Jakarta dengan PO Harapan Jaya malam itu, yg jelas bukan sopir taksinya lah... Seusai merampungkan urusan pembelian tiket, wanita yg berkarir menunjukkan emansipasinya itu pun kembali ke mobil sarana mencari nafkahnya dengan sebelumnya mengucapkan selamat jalan pada gadis mantan penumpangnya tadi, oh jadi cewek cantik itu hendak menuju Jakarta to, wah sayang dia bersama seorang ibu, andaikan aja dia sendiri... Tak lama berselang, seorang bapak datang dengan sebuah sepeda motor, lantas mendekati si cewek dan ibu itu, dari perhatianku pada bentuk percakapannya, mungkin seh bapak itu adalah bagian keluarga mereka, namun gak tau dengan maksud dan tujuan apa beliau ke situ, apa hanya ingin sekedar mengucapkan selamat jalan, atau malah menjemput ibu itu, sehingga cewek manis itu hanya berangkat ke Jakarta seorang diri? Hmmm, semoga aja begitu, hehehe... ngayal, kalaupun aja cewek berpostur tubuh tinggi itu benar benar sendiri, berapa persentase kemungkinanku untuk bisa satu bis dengannya, secara dari tujuan dan kelas bis ada banyak, dan aku hanya bisa ikut satu bis saja yaitu bis 15, yg merupakan kode bis dengan tujuan Bogor berkelas VIP. Berselang detik yg menjadi menit dan terakumulasi mencapai setengah jam, akhirnya bis yg ku tunggu datang, aku langsung bergegas beranjak ke dalam bis tanpa teringat segala khayalanku tadi, setelah aku bisa menompangkan tubuhku di seat nomor 8A, tak ku sangka dan betapa kagetnya aku, di depan terlihat cewek berambut lurus panjang itu ternyata mengikuti jejak langkahku. Aduh, seolah aku merasakan kutipan Laskar Pelangi "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi mimpi itu" menjadi kenyataan, bagaimana tidak, dari berbagai kemungkinan yg mulanya ku ragukan, kini telah menjadi satu kepastian, aku bisa bareng dalam satu kabin bis dengan perawan ayu itu. Nalarku mulai bekerja dengan sendirinya, aku duduk di seat 8A dan seat 8B masih kosong, dan dari agen Solo tersebut hanya aku dan dia aja yg naik ke bis 15, sudah bisa ku pastikan keniscayaan bahwa dia bakal ku sanding di seat 8B, getaran dada semakin kencang dan cepat, telapak tangan menjadi dingin dan berair menahan grogi yg berlebih, harapan bercampur tanda tanya bernaung di hatiku... Setelah dia berposisi berdiri di loby samping seatku, bola mata indahnya melirak lirik kanan kiri mencari nomor tempat duduk yg sesuai dengan angka pada tiketnya, lalu menuju ke bapak yg telah duduk di seat seberangku yaitu seat 8CD, bibir manisnya mulai mengucap kata "Maaf, Bapak duduk dimana yach, ini tempat duduk saya", bapak paruh baya yg seharusnya tidak menempati seat di nomor itu pun menjawab "O iya, saya duduk di 7A, mbak nomor berapa duduknya? Ini kan yg satu masih kosong" sembari menunjuk seat 8D di sebelahnya, "Saya di 8D pak, tapi katanya agen tadi 8CD kosong, saya mau duduk sendiri". Betapa berbalik 180 derajat segala mimpi mimpi ku tadi, sudah harapan yg tak tercapai, dan lebih tragis lagi mendengar kata kata yg terangkai dari lidahnya itu. Ini kan bis bertitel kelas VIP bukan VVIP, dimana formasi seat yg tersedia adalah 2-2, bagaimana imajinasi yg diterapkan pada pola pikirnya sehingga dia mengingikan dua unit tempat duduk dengan satu tiket? Di bis berkelas Super Executive pun, pemegang satu tiket hanya diperkenankan menduduki satu kursi single. Andai aku mampu membalas dramatisnya kalimat yg terucap tanpa rasa malu dan kasihan, namun apa daya, dalam satu unit bis ada lebih dari 30 orang yg kesemuanya terbingkai dalam satu ikatan customer PO Harapan Jaya. Oh My God, aku baru tersadar bahwasanya jiwaku telah terpengaruh akan goda sesosok gadis itu, tanpa aku sadari aku telah mengabaikan urusan bis yg menjadi kegilaanku. Mungkin inilah jawabannya kenapa Allah tidak memeluk mimpiku bersama cewek itu, karena aku adalah seorang BisMania, bukan CewekMania.

13 December 2012

(NL 377) Bukanlah Super Star

Luang waktu disela sela kesibukanku mengabdikan diri pada rutinitas keluarga kecilku di desa tak ku siakan terbuang ataupun terganti dari kecanduanku mengorek informasi seputar seluk beluk bis yg bakal membawaku kembali berkecimpung di padatnya tanah ibu kota nanti. Dalam ajang kontes hatiku untuk menentukan PO mana yg akan terpilih, saat ini hanyalah ada dua kandidat sebagai calon Jet Daratku besok, antara Laju Prima atau Rosalia Indah Super Executive Class. Memang terkesan tabu, kedua kontestan merupakan dua pribadi yg bisa dikata beda dan jauh dari imbang, lantaran kelas lah yg melahirkan perbedaan ini, LP mengusung VIP Class sedang RosIn yg ku lirik mutlak berkelas Super Executive yg merupakan kelas tertinggi di keluarga PO asli Karanganyar ini, butir butir nilai yg patut ku jadikan alasan mengapa aku meng'absolute'kan diri untuk berkata tidak pada RosIn kelas Executive ke bawah adalah karena keyakinanku yg dipondasi oleh pengalaman dan narasumber di Windows of World bahwasanya empat macam option kelas di bawah Super Executive di RosIn terbilang tidaklah lebih menarik andaikan diadukan dari fitur armada dan fasilitas di dalamnya dengan PO lainnya, maka aku pun enggan buat menoleh ke kelas yg bukan merupakan kelas Top Rank ini. Dari kabar admin lewat asosiasi LPFC yg digawanginya, tersirat berita bahwa jatah tetap line Depok - Purwantoro yg sedari awal diperkuat oleh jajaran armada karya Adiputro "New Travego / New Marcopolo", kini telah di'alih-posisi'kan menjadi LP-108 yg berselendang Legacy SR-1 ala Laksana menggantikan LP-39 yg berlabel Royal Coach E. Inilah mengapa aku kembali munurunkan PO milik Hiba Utama Group ini menjadi peserta pilihan hatiku menyanding RosIn sebagai satu satunya rival, tak lain ke'semok'an tubuh nona SR-1 yg hingga saat aku menulis blog ini urung kecapaian mencicipinya, ditambah lagi aura ke'empuk'kan performa Suspensi Udara built up chasis Golden Dragon yg menjadi tulang tubuh anggunnya. Pun disamping kemolekan tubuh putih LP-108 ternyata tak jua tertutupi roman Luxury yg ditorehkan RosIn lewat kelas SE'nya, apalagi konon kata para BisMania yg doyan touring lewat CaPer (Catatan Perjalanan) yg pernah ku terjemahkan dalam hati, mengatakan bahwa kubu RosIn seolah lebih memanjakan penumpang yg berangkat dari arah timur (Madiun - Solo) ketimbang yg di jalur Selatan (Jogja via Selatan), sehingga membuatku termakan iming iming akan layanan "Pramugari" dan armada berdapur pacu OH1626 with Built Up AirSus'nya. Dalam penjurian siapakah juara hatiku nanti, aku tak mau berkeliling 7x sampai pusing, biarlah cara bodoh ini mengatakan padaku siapa yg pas untuk ku tunjuk nanti, tak ubahnya sebuah kocokan arisan atau lemparan dadu, aku hanya berpasrah dalam waktu, bersedia dalam keadaan, jikalau nanti aku berangkat armada LP dari Purwantoro jatah 108 maka aku ikut LP, namun apabila yg jatah saat itu adalah Cres'an-nya yaitu 51 maka bisa dipastikan aku bakal menebus tiket RosIn tanpa sedikitpun goresan ragu dihati. Niat hati seh check out meninggalkan adem ayem desaku hari Jum'at, menepati hari keberangkatan LP-51 dari Margonda, yg berarti LP-108 lah yg ngetem di terminal Purwantoro nantinya, but dikarenakan rasa persaudaraan yg tak ingin ku korbankan, pasalnya ada seorang saudara yg hendak mem'bareng'i lepasku dari keluarga untuk sekedar mencari penafkahan hidup, dan anehnya sebagai orang yg dikata minta tolong kepadaku supaya bisa diajak berangkat bersama namun menolak kebulatan hatiku dalam menetapkan waktunya. Apa boleh buat, terpaksa lah aku konfirmasi via HP dengan bosku untuk menunda keberangkatan yg telah terencana sebelumnya menjadi keesokan hari dari jadwal sebelumnya, sehingga jika moment ini ku paksakan untuk tetap menyambangi agen LP maka tentu saja LP-51 lah yg ku dapat. Gak mau ingkar akan ketulusan janjiku untuk berpasrah pada keadaan, maka ku putuskan untuk mengurungkan tekadku merangkai kenangan malam bersama Mbak SR-1 lantaran ketiadaan LP-108 di Purwantoro nanti dan beranjak alih ke agency RosIn. Dua buah tiket dengan seat 5B - 5C tertebus dengan tiga lembar uang livery proklamator dan selembar the ocean motif sang pencipta lagu Indonesia Raya serta selembar lagi uang pecahan sepuluh ribuan. Memang sayang seh sebenarnya dapat jatah seat deretan kanan di kelas jenderal ini, selain berformasi dua unit tempat duduk jumlah deretan kursi ke belakang pun lebih unggul satu angka dibandingkan dengan deretan jok di sebelah kiri, so besar kemungkinan jarak seat satu dengan lainnya tak selonggar yg berformasi enam baris seperti deretan di sampingnya. Mematuhi rekomendasi yg tertera pada tiket, aku pun tiba di agen purwantoro jam 10.30. Seusai proses Check-In selesai, disertakan pula coretan spidol permanen membuat angka 320 yg berarti nantinya armada bernomor lambung itulah yg akan melayaniku. Tak segera jantungku memelan dalam berdenyut, pertanda kegemetaran melanda yg diilhami sebuah rasa penasaran akan armada seperti apakah yg aku dapatkan nanti, langsung saja ku buka lembaran layar gruop Rosalia Indah Mania guna mencari informasi dari sobat RIM yg kiranya megetahuinya. Dari coment para anggota group, banyak yg mengatakan bahwa NL-320 merupakan armada berbody Sprinter Laksana dengan rombakan New Marcopolo pada HeadLamp'nya dan dipakai untuk kelas Executive line Merak - Surabaya. Waduh, tiket yg telah ku kantongi kan bernilai tiket SE, kok imbalannya armada Exe ya, kalau aja mungkin NL tersebut dulunya benar berkelas Exe, berarti aku bakalan terkejutkan dengan gebrakan armada SE bekas kelas di bawahnya neh. Keanehan tak kunjung menjauh dari pikiran ini, seperti apa jadinya nanti jika semua itu berkenyataan, sedang harapanku untuk mencicipi armada kelas teratas sudah tak bisa ditawar lagi sesuai dengan jumlah rupiah yg ku bendakan menjadi lembaran tiket penumpang. Sejam sesudahnya bis Exe Setra Selendang Adiputro pun tiba, aku dipersilahkan segera masuk oleh penjaga agen. Sejalan dengan take-off'nya bis ber'kode lambung 147 itu dari agen Purwantoro, ku tujukan bola mataku merevolusi bumi interior Royal Coach E itu, terlihat ada beberapa kursi yg hand-rest'nya telah tak terlengkapi dengan pembungkus, hanya menyisakan pemandangan bentuk besi bulat sebagai rangkanya saja, juga kantong barang yg tertempel di belakang jok brand Restindo buatan Grup Rahayu Santosa itu pun tali talinya banyak yg telah lepas dari mula awalnya, serta board bagasi atas yg tak terlihat rapi lagi lantaran ter'variasikan dengan balutan isolatif plastik. Hmmm, layakkah armada rajutan karoseri ternama dari Malang ini masih diposisikan dalam jajaran bis berkelas Runer-Up'nya RosIn?


Sesampaianya di pool Wonogiri, penumpang pemegang tiket Patas AC (Bussines Class Rec Seat 2-2 Non Toilet) dimonggo'kan untuk berpindah ke bis dibelakangnya, sementara penumpang jurusan Lampung dan penumpang transit di poll Kartosuro dimohon untuk tetap berdiam di kabin dengan pendingin udara Thermo King itu. Setibanya di Kartosuro jam menunjuk angka 4 sore, aku beserta penumpang lain yg tak ada niat hendak ke Lampung pun turun dari bis Executive Recomended itu. Keadaan loket dan ruang tunggu nampaknya telah mengalami renovasi dari semula yg aku temui setahun silam, Rosalia Mart pun telah dilengkapkan di dalam area ruang tunggu sebagai sarana penunjang, gak tau apakah toiletnya pun turut ada progress atau tidak, dari yg semula dipatok tarif kebersihan menjadi free for customer. Sekitar sejam menunggu sembari menatap rintik air hujan membasahi kota bagian Sukoharjo Makmur ini, dua unit armada SE dan sebuah SR-1 Exe telah mampir dan mapan menunggu penghuni kursi kursi yg setia dibawanya kemana mana. Petugas agen mulai memanggil satu per satu nama penumpang yg berhak melangkahkan kakinya ke dalam bis yg telah siaga, aku sedikit tak menghiraukannya lantaran kedua armada Super yg masuk kesemuanya tiada yg bernomor 320. Namun dadaku berdetak dengan tiba tibanya saat mendengar ada salah satu penumpang Super Executive jurusan Bogor dipanggil petugas, dalam hati berkata kata penuh tanya apakah ini bisku, secara tujuanku di Pall Depok adalah jalur yg dilintasi bis bis jurusan Bogor, dan jikalau ada penumpang yg dipanggil untuk naek ke bis Super Executif jurusan Bogor, masa seh aku tidak terpanggil, bukannya RosIn SE hanya ada satu unit yg berlabuh di Kota Hujan. Telapak tanganku semakin mendingin dibumbui keringat ringan saking rasa was-was'ku menunggu sebuah panggilan. "Keluarga Dian, 2 orang, dari agen Purwantoro, tujuan Pall Depok, Kelas Super", alangkah terkejutnya aku mendengar panggilan itu, langsung saja ku mengeluarkan jurus langkah seribu untuk mendaftarkan tiketku pada Cheker yg memanggilku itu. Setelah tiketku dilihat dan tertera angka 320 bawaan dari agenku tadi, "377 nggih mas, sanes 320" penjelasannya, ku sahut "O... Nggih pak, niki bise mpun wonten mriki?," dibalasnya "sampun mas, niko ingkang nembe puter wonten mburi, mase ngentosi wonten ngajeng pintu samping mriku mawon", tutur katanya ramah dan halus memberikan pengarahan pada pelanggan, tak seperti apa yg ku dapati setahun yg lalu ketika hendak ke Ciledug dengan Exe NL 297. Sembari aku meniti langkah koridor untuk munuju seat 5B-5C ku, Oh My God, inikah Interior Super Executive RosIn saat ini dengan rajutan elegant body Jetbus ala Morodadi prima itu. Sungguh mengagumkan, seat setebal sofa rumah tinggal bernuansa coklat kemudaan memberikan aroma mewah nan kalem pada kabin bis bintang empat ini, dilengkapi pula sandaran tangan yg telah teraruh sebotol air mineral Utra, benar benar beda dengan yg dulu pernah ku saksikan di rumah makan Sari Rasa saat kala itu hatiku masih cinta mati dengan Gunung Mulia. Syukur'ku akan kekeliruan agen Purwantoro yg memberikan info 320 sebagi NL bisku, karena setengahnya memang inilah niatku mencoba kelas SE, mendapat armada terbaru yg katanya bertenaga Mercedes-Benz 1626 itu. Namun setelah ku kupas info mengenai NL 377 ini di salah satu forum via google, ternyata ini bukanlah salah satu dari 20 armada terbaru milik RosIn yg ber'built-up suspensi udara itu, konon ini adalah rebody saja, sedang jiwanya tetap bernyawa OH 1521 Intercooler. Seiring Jetbus ku take-off dari daratan pool, cuaca pun enggan cerah kembali, tetesan air hujan menimbulkan warna es pada kaca serta waktu yg mulai beranjak meninggalkan senja di weekend ini membuat jarak pandangku menikmati wahana pinggir jalan raya tak lagi jauh dan luas. Normalnya jiwaku, perjalanan ke Jakarta adalah momentum yg paling mudah ku isi dengan rangkaian mimpi, namun hingga kudaku memasuki terminal Boyolali pun tak jua aku bisa memejamkan pandanganku dari alam nyata. Kemacetan jalan di Salatiga menambah aura kejenuhanku, semakin memperpanjang waktu tempuh putaran enam roda armada besar ini. Menginjak aspalan kota Ungaran mendadak film yg gak aku mengerti judul serta ceritanya dalam LCD mati, disusul led biru yg difungsikan sebagai lampu tidur kabin pun padam, jam digital yg terletak di atas layar 21" turut restart ke angka 00:00, entah apa gerangan yg terjadi, tak lama bersamaan dengan tangan driver yg membelokkan lingkar setirnya ke kiri tercium aroma kabel terbakar, mungkin ini penyebab trobel ke'tidak-fungsi'an beberapa fasilitas dalam kabin tersebut. Pramugara pun terdengar berusaha memperbaiki konsleting yg tengah terjadi, tak sampai memakan waktu lima menit akhirnya semua bisa kembali normal, sopir pun kembali mengambil ancang ancang untuk menaklukkan medan jalan Ungaran. Krida pancalan pedal gas sang pilot tak sanggup ku saksikan lantaran dunia dalam mimpi menghilangkan kesadaranku sepanjang lintasan Ungaran - Kendal, jiwaku kembali terjaga sesaat bis parkir di pelataran belakang rumah makan Sari Rasa bersama NL 400 dan NL 320 yg kabar anginnya sempat mengacaukan pikiranku siang tadi. Selepasnya aku turun dari kabin armadaku, aku langsung menuju Toilet untuk sekedar mencuci muka yg lembab karena ke'tidak-cocokan'ku dengan ruangan ber'air-conditioner. Lantas segera saja ku masuki ruangan berkaca yg dikhususkan untuk penumpang RosIn Super Executive Class, tak ku sangka sebelumnya bahwa ternyata di dalam ruangan spesial untuk pelanggan RosIn itu telah tersedia toilet gratis, sama halnya dengan ruang servis makan Harapan Jaya, hanya saja jika di PO dari Tulungagung itu menjadikan ruangan ber'AC ini untuk customer di berbagai kelas, tak hanya kelas terbaik saja. Menu yg dihidangkan secara prasmanan pun ku rasa biasa saja, tak ada yg spesialnya melebihi sajian service makan pada umumnya, hanya saja tidak terpampangnya caution permohonan maaf untuk mengambil satu potong ayam saja, entah apakah itu mungkin para penumpang dibebaskan untuk mengambil sesuka hatinya ataukah tidak. Sesudahnya menghisap sebatang rokok sebagai jamuan penutup makan malam, ku sandarkan kembali sekujur tubuhku di seat 5B ku, selimut yg tadinya berantakan karena telah ku pakai pun kini kembali rapi seperti sedia kala, lagi lagi tak beda dengan pelayanan PO Harapan Jaya. Driver tengah mulai memacu putaran roda keluar dari halaman rumah makan, terlihat Shantika Kebo masih terparkir di pelataran RM Bukit Indah, lima unit Madu Kismo berjajar rapi di Kota Sari, dan Laju Prima yg hendak take off meninggalkan Raos Eco. Sesaat mobil besarku merangkak mendaki tanjakan alas roban, dengan jiwa santainya seunit Bejeu mengasapiku dari sebelah kanan, Mercedes-Benz'ku hanya bisa berpasrah, tak lama menyusul GMS Scorpion King yg berkelas sama dengan armadaku, super executive, hanya saja di kubu GMS masih menerapkan formasi 2-2 pada setiap baris seatnya, hmmmmm, mungkin saat bisnya mampu ngeblong bisku para penumpangnya berkata dalam batin "fasilitas boleh lebih rendah, tapi larinya gak kalah". Belum juga GMS jauh berlalu, terlihat dari sebelah kiri ada spion tanduk yg hendak maju mendahului'ku, setelah usahanya berhasil lagi lagi Black Bus Comunity lah rupanya, ini berarti bisku telah ditaklukan oleh tiga unit Scorpion King, tinggal nunggu saja lah Scorpion King'nya siapa lagi yg menjadi urutan ke empat nanti, ku rasa tak kan ada tindakan dari sang sopir untuk menyejajarkan pegangannya dengan para kompetitornya. Benar saja dugaanku, dari sebelah kiri melenggang dengan tenangnya seunit Legacy Sky milik Laju Prima yg tadi telah ku blong saat dia masih di rumah makan langgananya, tak jauh di belakangnya Scania Kebo milik Shantika turut membututi larinya Golden Dragon yg ngacir di depannya. Rasa rasanya tak ingin sakit hati lebih dalam karena penghianatan para rival rival raja jalanan malam, aku lebih memilih untuk menggapai indahnya pantura dalan mimpi. Seatnya yg nyaman membuatku tak usah bersusah ambil posisi untuk start meluncur ke alam maya mengejar satu unit SR-1, dua unit Kalajengking hitam, dan dua unit Kalajengking lain di dalam pejaman mata. Keadaan jalan yg tak selalu mulus dan putaran roda yg terkadang berhenti sejenak, sering kali menyadarkanku dari pesona palsu mimpi mimpiku. Hingga akhirnya jiwa ini terjaga seutuhnya ketika armadaku memasuki lapangan parkir rumah makan Rosalia Indah Indramayu. Mata yg urung sepenuhnya terbuka menjiwai raga ini ku paksakan untuk menyusuri jalan setapak kabin buatan karoseri Malang itu, hingga akhirnya tercapailah tujuanku ke dalam rumah makan untuk meramaikan jamuan pagi ala kelas VIP ke atas ini. Seusainya ku selesaikan urusan kecilku di toilet yg terbilang kurang mumpuni karena terlihat sedikit kotor dan tidak terawat, ku coba untuk mencari cari tempat dimana aku bisa menukarkan kupon ku dengan segelas kopi dan snack, ku ikuti alur para penumpang lainnya namun tak ada juga yg terlihat punya greget untuk melangkahkan kakinya ke desk service gratis itu, yg ada kesemua penumpang dari tiga unit armada yg tengah terparkir di luar itu hanya langsung mengincar tempat duduk tanpa membawa hidangan yg bakal menghangatkan suasana pagi di kota Indramayu itu, ketimbang aku tersipu malu dihadapan 22 x 3 orang, mendingan aku ikutan duduk aja, pura puranya pegang HP buat nutupin kegelisahanku ini. Sedang penumpang armada yg datang terlebih dulu telah asik menikmati snack hasil penukaran selembar kertas kuning yg dibanderol bersama tiket, lalu darimana mereka mendapatkannya, ku rasa ketika dulu aku di sini bareng NL 297 gak seperti ini suasananya, begitu aku melewati gerbang pintu akses masuk ruangan aku langsung disambut kehadiran meja tempat snack disediakan, tapi ini kok beda, tata ruangan dan arah mata angin pun ku rasa gak sama kaya dulu, ah tau ah, penumpang yg satu bis sama aku juga pada belum bisa mencicipi snack, kalau mereka nantinya dapat masa aku gak dapat seh. Tiba tiba ada seorang pelayan yg sedari tadi wira wiri datang menyamperi'ku, dengan membawa sepotong roti basah dan sebuah pastel yg tergabung rapi di atas leser bersama selembar tisyu kering, dia pun langsung menyajikan apa yg dibawanya setelah sebelumnya meminta kupon ku, gak berjarak lama ada lagi seorang yg menawarkan minuman yg ku kehendaki, pilihanya teh atau kopi saja, terus ada lagi yg menyusul mengantarkan sehelai handuk basah hangat melengkapi semua hidangan sebelumnya. Well, sekarang baru terjawab segala kegundahanku tadi, ternyata pelayanan untuk kelas Super Executive memang beda dengan kelas di bawahnya, pantas saja ruangan ini ku rasa berubah gak seperti saat aku menjalani service snack pagi bareng kelas Executive dulu, pun tiga unit armada yg terparkir kesemuanya bertitel SE Class, ternyata ini ruangan khusus untuk customer di kelas bintang toh... Sepanjang roda Rosin'ku berputar mengitari aspalan jalan Indramayu - Jakarta, tak ada yg berkesan untuk ku save dalam ingatan dan ku beberkan menambah panjang entri ini, sehingga Service Snack pagi di Rumah Makan Rosalia Indah itulah latar waktu dan tempat yg menjadi ujung alur catatan perjalananku kali ini. Kesimpulan dariku, NL 377 bukanlah SuperStar, dari armadanya yg masih Mercedes-Benz OH1521, belum mengusung fitur Air Suspension, serta dari segi pelayanan yg terbilang bersaing dan berbanding dengan kelas Executive ke bawah milik Harapan Jaya. Mungkin inilah pasal yg menjadi landasan kenapa kubu PO Harapan Jaya tak jua mengenalkan kelas Level Up melengkapi tiga kelas yg telah tersedia dalam manajemennya, jikalau kelas menengah ke bawah yg ditawarkan aja telah dibenankan berbagai fitur dan layanan tak ubahnya kelas Top Level, lantas kelebihan apa lagi yg harus ditambahkan supaya kelas di atasnya bisa terbilang Super Executive, haruskah mengadopsi mesin berpower 1000hp, bercilinder 50000cc, dengan rasio percepatan 9 speed + 2 gigi mundur, bertumpu pada 4 balon udara di setiap as roda? Dengan fitur Lemari Es, Mesin Cuci, Bak Mandi + Shower air hangat, bioskop, salon & SPA di dalam kabin body import dari Benua Atlantis? Serta dengan driver yg telah mengantongi jam terbang melebihi kapten, dengan pengawalan helper dari anggota militer Rusia, dan pramugari dari juara miss Indonesia? Hmmmm, (anak gaul bilang) LEBAY...

9 October 2012

Tradisi Ketika Gerhana Bulan


Sudah pernah donk menyaksikan gerhana bulan? Dalam tata surya kita, bumi selalu mengelilingi matahari yg pada suatu saat akan terjadi posisi jarak bumi dengan bulan terpisahkan oleh matahari yg mengakibatkan terjadinya sebuah gerhana bulan. Terjadinya gerhana ini tidaklah berjarak lama seperti gerhana matahari yg hanya terjadi berapa ratus tahun sekali saja, tapi ketika bulan sedang purnama gerhana ini sering terjadi. Di desaku gerhana disebut dengan istilah "grahanan", ya mungkin lidah orang tua jaman dulu kan gak bisa pas banget dalam mengucapkan sebuah kata, dan juga gak bisa pas banget dalam mencari sebab kenapa grahanan itu bisa terjadi. Begini kisahnya, dulu semasih aku kecil, kan belum tau sebab terjadinya grahanan yg sebenarnya, lantas setiap kali ada grahanan para orang tua beramai ramai membunyikan kentongan, ya mungkin sesuatu yg wajar lah, toh kentongan kan juga sebagai isyarat waspada, namun selain itu ada yg unik dari beliau para nenekku, mereka berbondong bondong menuju ke rumah yg mempunyai lesung, itu lho alat tradisional yg dulu dipakai untuk menumbuk, mungkin sekarang telah berganti menjadi mesin penggiling sebagai alat yg moderen.
Wujud Lesung
Nah, kebetulan masa itu rumahku adalah salah satu rumah yg masih menyimpan sebuah lesung, setiap ada grahanan banyak banget para tetangga yg ke rumah sambil membawa alu sebagai pemukulnya, kalau dipikir apa hubunganya dengan situasi dan kondisi yg tengah terjadi? Unik bukan? Tapi inilah tradisi, sebuah kepercayaan yg temurun dari generasi ke generasi hingga membuahkan keniscayaan sampai dengan saat itu. Menurut ingatanku tentang apa yg aku dengar dari penjelasan orang tua kala itu, konon grahanan itu terjadi karena bulan dimakan oleh Buto, sehingga bulannya tinggal separo, nah perut Buto itu diumpamakan sebuah lesung tadi, maka jika lesung tadi dipukuli beramai ramai dengan alu, niscaya Buto tersebut akan memuntahkan kembali bulan yg telah dimakannya tadi, sehingga bulan kembali utuh, haha... lucu ya??? Tapi bener lho pada waktu itu anak seumuran aku masih pada takut akan mitos tersebut, biasanya yg bertugas sebagai penggebug lesung itu para ibu ibu, sedangkan bapak bapaknya bertugas jaga rumah di halaman sambil melihat kembalinya bulan dari perut si Buto tadi, aku yg merasa takut akan bau mistisnya itu hanya bisa terdiam lesu sembari menahan detak jantung yg tak kunjung memelan. Sesungguhnya, waktu lah yg menentukan kapan bulan itu akan pulih sedia kala, karena sebenarnya itulah bagian perjalanan revolusi bumi, namun kepercayaan yg mengatakan jikalau Buto belum memuntahkan bulan dari perutnya apabila bulan belum kembali utuh membuat para ibu ibu semakin gencar memukul lesungnya, bahkan sampai tercipta sebuah irama layaknya sebuah alunan orkes melayu saja.
Kronologi gerhana bulan sesungguhnya
 Setelah aku duduk di bangku SD dan mendapatkan pengetahuan tentang alam, barulah aku tau akan ketidak benaran mitos grahanan itu, sehingga sesekali terjadi grahanan tak lagi aku takut, justru aku merasa terhibur dengan nada yg tercipta dari tangan ibu ibu dengan alu dan lesungnya itu, bercampur rasa tertawa melihat keunikan tradisi ini. Kini sayang, entah mati atau pindah ke alam mana tradisi itu, selain semakin berkurangnya jumlah orang tua yg berakibat makin menurunnya yg memegang teguh mitos itu, sekarang juga sulit menemukan sebuah lesung di desaku, kebanyakan telah dimuseumkan di lapak barang antik oleh ahli warisnya sehingga tak ada lagi benda yg dilaksanakan sebagai perut Buto tadi. Tradisi akan terus turun temurun, namun sedikit saja ada ketidak percayaan dari satu generasi, maka akan semakin menipis kepercayaan itu di penerusnya nanti, yg akhirnya akan menghapus sebentuk dari adat dan budaya di suatu daerah.

23 May 2012

Mencoba berHarap




Dentangan lonceng dari Pak Bos lantang berirama, menggitik jiwa supaya mengimami raga yg dirasanya cukup dalam meladeni keluh kesel ini as to as possible ready di belakang garis untuk start dalam ajang perebutan serpihan serpihan rejeki yg diselenggarakan setiap detiknya oleh Kota Monas.

Hmmm, Wonogiri...
Ditunggu gak bikin kaya, ditinggal ngangeni...


Ungkapan yg acap kali terlontar oleh anggota rantau comunnity itu tak luput adanya, penampakannya ialah gebuan rasa tatkala jam ngaso dari status komuter Ibukota tiba, enggan rasanya untuk menunda jadwal mulih ngetan pun sehari saja, sebaliknya, sehari, dua hari, seminggu, adalah akumulasi detik detik bahagia mengubur rindu bersama keluarga, sanak saudara, kawan lama, ranah tumbuh dewasa, atau sebuah kenangan.
Apa daya, ciutnya ruangan pekerjaan di kota pemilik bendungan sumber PLTA tak muat menampung ratusan manusia yg tanpa terkecuali butuh makan, niscaya kehanggatan yg terangkai bersama sanak family, jalinan keakraban dengan sahabat, bahkan roman roman yg terukir dengan calon mbok'ne bocah pun mesti terelakan pupus akan momok musim paceklik dompet pasca-outcome.

Yo wis lah, apalah arti sebuah pertemuan, tanpa landasan perpisahan yg perlahan memupuk kerinduan...

Lion Air ku coret dari sket hunter public transport ku, centang option pada Garuda Indonesia pun ku urungkan, pun moda yg menjadi title salah satu tembang yg dikaryakan Cak Diqin feat Wiwid Widayati, Sepur Argo Lawu, belum juga mencuatkan asa untuk menjadikan sebatas pengalaman.
Entah mengapa, kegandrunganku pada bis masih saja terpupuk hingga kini, biar sejatinya repot terkadang berlaku sebagai hadiah atas keputusan yg ku ulur, ku pikir, ku timbang timbang demi sebuah kemufakatan diri.

Gunung Mulia, bis berkulit putih bersih yg biasa dikawal Pak Bagong hingga homebasenya Sukoharjo itu ronanya terlalu sering ku jelajahi kabinnya, alangkah pas aku menjalani kencan malam dengan sosok lain. PO yg belum lama ku sanjung, Laju Prima, hasratku belum mencapai puncak keinginan untuk menobatkannya sebagai singgasana ke-empat kalinya. Meski baru secarik ingatan yg tertulis di board otak ku, namun keribetan oper-operan yg dilakukan Rosalia Indah membuatku enggan untuk menambah catatan dengannya lagi di waktu ini. Laksana tak ingin terdiam oleh gertakan para pelancong dari luar plat AD-G, duo Gajah bersaudara sukses merasuk hati mencatatkan nama sebagai nominasi, sayang, GMS tak mampu meluluhkan ragu akan rolling basis armada yg ditugaskan sebagai angkutan orang 'wah' di hari chek-out ku, pasalnya aku begitu nyidam akan kegarangan Scorpion King yg mengemban amanah Komando Super Executive itu, namun tiada jaminan keteguhan atas armada mana yg bakal melanglang ke Terminal Purwantoro dengan kasta teratas di hari itu. Sedang sang kakak, harus ada ekstra tenaga plus biaya lagi untukku diakui sebagai penghuni kabin selevel kelas Super Executive milik Rosalia, OBL, Pahala, dan Nusantara itu, ah amat ribet, Purwantoro-Ngadirojo-Cilandak-Pasar Rebo-Pal, terhitung empat kali aku kudu menggandeng angkutan dalam sekali perjalanan.

Bukan sesal yg ku umpankan atas takdir menjadi Wong Wonogiri, tak juga aku menitik-bawahkan layanan transportasi berbasis bis malam di kabupaten tempat Semar menjatuhkan batu anak plinthengnya beberapa abad lalu. Namun andai saja kaki Gunung Muria menjadi ibu pertiwi, tak khayal kebingungan akan lenyap dengan kemilau sajian armada armada apik yg penuh sanjung puji dari masyarakat awam hingga para penggila bis di Pulau Jawa. Kerajaan Haryanto dengan prajurit tangkas macam The Phoenix, The Phoebus, The Ocean, The Purpple The Titans, dan The Destroyer. Bejeu yg menyematkan fitur smart berupa Hot Spot On The Bus. Atau Nusantara yg dianugerahi rekor dari United Tractor sebagai pembeli dengan keranjang belanjaan bertumpah ruah.

Sekelebat renungan itu mengalihkan ingatan, dulu begitu mata terbuka akan pelintas Pantura, yg tertatap dari balik tempered-glass Panorama DX sebuah Gunung Mulia, teringat jelas akan ilmu jalanan, dikenalkan aku olehnya sebuah pengetahuan baru akan merk chasis/mesin bis di Indonesia. Adalah scania, digurui oleh armada armada squat Kota Kretek Nusantara, dan satu lagi PO asal Jawa Timur sisih kidul, Harapan Jaya.
Ough, gelengku, kenapa aku mesti bersusah memburu singa melet itu ke kota semarak, kenapa pikiranku tak segera menangkap bahwa Tulungagung juga memelihara kelestarian singa keturunan Swedia itu. Thettt, bel pertanda akhir waktu penentuan, mutlak satu jawaban, nihil kesempatan ralat, Harapan Jaya, optimisku melingkari opsi yg ku yakini menyumbang angka tambahan nilai rapor perjalanan sampai saat ini.

****

Grup FB Harapan Jaya Mania ku jadikan sohib dalam menimba informasi jaringan agen yg kiranya tak memeras keringat dalam mencapainya. Bukan perkara mudah bagiku, meski coretan alamat telah mengisi saku, kebutaan tata letak kota Solo adalah hambatan berarti. Lantaran Jalan Adi Sucipto merangsak address-memories, usaha hunting tiket hari pertama ku nyatakan jauh dari sukses. Ahmad Yani adalah nama jalur di tengah daratan berdirinya agen incaran, yg pada akhirnya menampakkan bangunannya di episode 2 kisah nyata pemburu tiket, namun peranku urung mendramakan adanya hasil lantaran sutradara menggariskan pintu agen dalam keadaan tertutup sebagi alur ceritannya. Ujung sinema, ku percayakan lembaran tiket sementara itu pada seorang teman yg tengah merampungkan garapan proyek di kota satelit itu.
Ku umpankan aset dompet menunjuk kelas executive sebagai satu satunya jaring mendapatkan jatah bis dengan trademark scania, apes, rupanya trayek yg bersinggungan dengan domisiliku hanya dilayani kelas patas dan VIP. Apalah kuasaku, selain pasrah akan keadaan yg dikondisikan management PO penguasa trayek Patas Tulungagung-Surabaya itu, VIP lah penawar pahitnya realita tak berjodoh dengan bis berpangkat panglima jenderal itu.

****

Dengan estimasi waktu tempuh normal, butuh sekitar 3 x 60 menit untuk move on dari Purwantoro ke Solo, ku cadangkan waktu setengah jam untuk bersahabat dengan keberangkatan bis 15 yg ditarget pukul 18.00. Agresifitas kaki sopir Gunung Mulia, ditambah penanggalan tradisi ngetem sebuah bis bumel, bukan mengulur waktu yg telah ku asuransikan, justru memangkasnya menjadi 30 menit lebih cepat, alhasil memberi slot time penantian tak kurang dari satu jam andai bis datang sesuai janjinya.
Pemandangan senja kota Solo begitu indah dengan adanya lalu lalang bis dari ataupun mengarah Terminal Tirtonadi, panorama di bawah mega oranye itu semakin elok akan sliweran Sumber Group, Eka/Mira, Safari and Family, beraneka bumel, dan ragam bis malam yg harus mampir ke bus station Surakarta itu.
Parade blue-led ciri khas New Travego face lift melamurkan pandang yg selama sejam lebih menyoroti dan disoroti lampu lampu pupolasi Jalan Ahmad Yani, ku tolehkan leher seraya menangkap sinar biru itu memenuhi bola mata, inilah bis yg akan memberiku the new experience to travel malam ini, batinku yakin setelah tertangkap secarik kertas putih bertulis angka 15 yg tertempel di kaca depan sebagi id-number of destination nya.
Nomor yg dibekalkan agen pada lembar tiket, tak selaras dengan pemandangan aslinya, bukan enggan menerima kenyataan untuk berpindah posisi, namun andai ku tujukan kaki pada tempat duduk pelarian dari semestinya, siapa tau penghuni resminya sudah menanti di agen depan, alah bodo amat, bukan ulahku mericuh, ku abadikan raga ini di seat kosong ber-id 8A. Terpisah gangway dengan sosok gadis yg berdua satu angkatan satu tujuan denganku, sayang, tingkah yg ditunjukkan ku anggap megelne (bikin sebal), komprominya dengan agen untuk meminta jok yg sebelahnya tak terjual, alias kelicikannya untuk buy one free one seat membuat bapak paruh baya harus rela terusir dari 8C-8D. Huhh, tak serta merta ku layangkan bully padanya lantaran akal bulus meminta dua jok atas satu tiket yg dibayar, namun dengan begitu maka mustahil sudah kesempatan emas untuk meminimalisir jarak ku dengannya yg terpisah lorong menuju toilet, pintu belakang, serta kandang macan itu. Andai saja aku bisa menjadikan satu diantara seat yg dipeluknya erat menjadi singgasanaku, niscaya bakal ada kesibukan lain jikalau tiada aksi yg tersuguh di luar nantinya. Yaah, apa boleh buat, jodohku adalah 8A, bukan 8C/8D lebih lebih penghuninya.
Satu selimut diberikan oleh kenek padaku, jelas saja ini pertanda bahwa selimut masih dalam status terikat tali seusai dicuci, sehingga masih dieman eman untuk dialokasikan di setiap kursinya, hanya pada yg berpenduduk saja selimut itu disebar.

Galaxy AirS satu kandang mencabuk dari kiri sebelum bangjo di dekat RM. Pantes, seolah mengisyaratkan pada driverku bahwa waktu mulai larut. Lajur yg sebenarnya diperuntukkan untuk lalu lintas yg hendak belok ke kiri, disabet dua kuda yg tengah guyub rukun ini untuk menjebol antrian panjang menunggu lampu hijau menyala. Skil kaki kiri sopir dalam menginjak kopling, membuat armadanya goyang patah patah, terasa adanya loncatan loncatan kecil berulang ulang, itu dilakukannya untuk merangsak kembali ke lajur sebenarnya, memaksa sebuah Hino Lohan dengan terpaksa harus berhenti menanti body sepanjang 12 meter ini masuk seluruhnya.
Sunyi sepi menyituasikan halaman RM. Sari Rasa yg biasanya dipenuhi berpuluh armada dari ragam nama PO, hanya dua bis berstiker geng kuda ini saja yg mengisi parkiran depan.
Ku alunkan kaki munyusuri lorong kabin karya orang Malang ini, mengikuti langkah yg dijejakkan para penumpang yg lebih dulu turun sebagi tuntunan akan rabunku pada letak meja yg mendulang sajian makan malam Harapan Jaya. Uniknya, tua muda, miskin kaya, pria wanita, dan perawan atau janda, semua langsung menyerbu pintu masuk rumah makan, pemandangan lain dari yg biasa ku saksikan bahwa toilet umumnya lebih diprioritaskan.
'Harapan Jaya', sambutan seorang laki laki dengan penampilan formal yg berdiri di depan pintu akses sub-room rumah makan seraya menyobek kupon makan dari tiket yg diumpankan para pemburu hidangan gratis. Rupanya PO elite ini menempatkan area prasmanan di ruang terpisah dari PO PO lain, lengkap dengan pendingin udara serta toilet di dalamnya, pantas saja aktifitas sowan toilet nihil terjadi selepas bebas dari dalam bis. Yg tak biasa lagi, tiada embel embel 'maaf ambil satu potong saja' menyanding lauk utama yg biasa terlihat di servis makan Gunung Mulia di sini, entah apakah itu menegaskan bahwa ayam kecap ini boleh diambil melebihi kapasitas patut atau tidak.
Dua kuda jantan lain telah merusak romantisme bis ku dan Galaxy varian terakhir itu, masing masing Scorpion King dan Jetbus HD yg sama sama didorong 260 tenaga kuda dari Jerman. Pupolasi Touring ala Tentrem kembali imbuh, sebuah Scania bertag Beyond Imaginaton datang dengan unjuk kebolehan turunnya body bis menyisakan sejengkal jarak dengan bumi, fitur canggih yg hanya dipunyai armada penyandang suspensi udara saja, jelas fungsinya membantu daya jangkau kaki penumpang sewaktu transisi antara kabin bis dan tanah terjadi.

Seruan nomor 15 dari kenek pertanda aku dan 29 orang lainnya agar segera kembali ke pangkuan seat Hai, selimut yg tadi telah ku aktifkan untuk penangkal hawa dingin yg disemburkan blouwer AC kini kerapiannya kembali menyelimuti tempat ku menyandarkan punggung, reclening seat yg telah ku otak atik guna menyelaraskan rebahan badan pun kembali ke sudut standarnya, tak bukan ini adalah ulah kenek sewaktu bis dalam keadaan kosong ditinggal pendudukkan mengisi perut tadi, layanan yg baru ku jumpai di PO white-orange ini, meski positif yg ku nilaikan, namun sejatinya memberatkan tugas kenek.
Bis dengan body yg kini telah discontinue berganti menjadi Jetbus itu pun meninggalkan ke empat kawannya. Suasana jalan daerah Kendal-Wleri-Batang-Subah mulai sepi dari panorama bis malam mengarah barat, tinggal lakon alon alon waton kelakon truk truk saja yg menjadi tontontan.
Ku lirik, Yuanita Cristiani KW2 tengah memimpikanku di seat 8D, Mbak Mbak...andai saja egomu tak menangkal kehadiran sesama manusia di seat 8C sebelahmu, pasti mimpimu seketika indah dalam kenyataan.
'glethok glethok', bunyi yg berasal dari bawah kabin itu enggan membisu tatkala medan non-mulus diterjang, melepaskan pelukku pada Mbak Asti yg ku rangkai dalam mimpi, huhh, bukan karena susah tidur lagi kesal ini tercurah, namun karena kemesraan itu tak terbawa ke realita, suara apa yg sebenarnya menjadi biang kerok perpisahan itu?

Pemalang belum juga menghadiahkan bobo manis untukku, malah macet imbas pengecoran jalan terjadi. Beberapa sopir menjadikan tanah berdebu di pinggir kiri sebagai tol darurat guna meloloskan bis yg dibawa, Galaxy AirS yg tadi tertinggal di Sari Rasa, Rosalia Indah New Travego, serta Haryanto adalah bis yg menjadi tuntunan sopir ku untuk turut terjun dari munafik aspal atas kemulusannya.
Iman dan satu makmum yg melakoni jamaah off road tadi langsung melejit bagai tak ingin menyiakan arti sebuah kelancaran. Hanya Rosalia Indah saja yg ogah menunjukkan kesan age-age, bersama dengan GMS, OBL, dan Muji Jaya akhirnya harus mengakui kejantanan kuda putih dari kabupaten pemilik wisata Pantai Popoh ini.
Suguhan sinema jalanan akhirnya tak mampu mengikat pandangan untuk setia bersaksi, Brebes menjadi titik start-ku memulai ekspedisi alam bawah sadar.
Biarpun bunyi glodakan yg sepertinya disumberi oleh komponen kaki kaki itu tak peka oleh jam dan jarak, tapi tak seperdetik pun mata menyapu kilas kabupaten Cirebon. Cahaya putih pancaran langit langit mahakarya Adiputro mengusik pejaman mata akan silaunya, rumah makan, begitulah pikirku sembari menyatukan senyawa jiwa.

Trio Raja KalajengKing yg lahir di Malang telah terparkir rapi di sini, ketiganya bernyawa Scania. Secangkir kopi dan seiris roti ditahtakan sebagai free snack service in the traveling.
Scorpion King feat Mercedes-Benz OH 1526 menyusul merapatkan barisan setelah aku kembali keluar menatap mega menjelang fajar bumi Indramayu.






Bis 4 pertama diberangkatkan, disusul bis 5 yg dibarengi dengan bis 15 ku. Kres dengan Lorena bergenre Mercy Limited OH 1725 ketika bisku berhasil menginjakkan rodanya di aspal.
Rosalia, Pahala, dan Haryanto menjadi sedikit teman saat jalanan sudah sepi dari populasi bis malam.
Sopir tengah yg kini mendapat jatah ngaso, memilih kursi nomor 9CD untuk rehat sementara sebelum menuju sprint-bed nya, bapak paruh baya yg sebernarnya bersertifikat di 7C tapi transmigrasi ke 10CD sempat bicara soal suara yg selakyaknya mengganggu kepulasan penumpang bagian belakang itu pada sopir, dijawabnya bahwa itu disumberi oleh per daun sebagai tompangan as roda, konon chasis Mercy penyempurnaan dari OH 1525 ini memang seperti ini semasih menyandang status montor anyar, namun seiring waktu pada akhirnya akan meredam tanpa sulap tanpa sihir.

Taksi putih bermahkota huruf E ku opsikan sebagai angkutan feeder menuju domisiliku, di bawah fly over Pasar Rebo aku menjalani transisi ini.
"Kemana Mas?"
"Pal Pak..."
"Lho, itu ke Pal to Mas?"
,penjelasannya setengah heran sambil menunjukkan jarinya mengarah pada mantan mobil palat kuning ku yg berjalan di depannya.
Memang andai aku mau, aku bisa mencapai domisiliku tanpa jasa taksi, karena Raya Bogor adalah jalur yg dilalui bis tujuan akhir Bogor dan Cileungsi, jelas aku tinggal mengayunkan kaki menapaki bumi untuk setor diri sampai rumah. Namun bukan dominasi kata mau yg aku ingkarkan pada jasa Harapan Jaya saat ini, melainkan kata mampu, ya, waktu tak kurang dari jam 8 pagi, jam dimana jalan raya sedang sarat pelalu lintas, bukan perkara mudah bagiku menjangkah sepuluh kali untuk membawa raga ini ke sebrang jalan, entah mengapa, aku masih banci dalam hal menjadi objek hidup yg memotong laju arus di jalanan Jabodetabek, maka kali ini ku percayakan Express menjadi tedheng aling aling.

5 February 2012

Cinta Segilima

Tak ku ingat pastinya, sudah berapa lama dan terhitung berapa kali aku berpaling muka padanya. Dampak wajah wajah anyar yg malang melintang dihadapku, laksana racun yg membutakan mata hati, bahwasanya dia lah muara sanjung puji dan tambatan asmara semasih jiwa ke-bis-an ku disangga masa puber.

Kini rasa enggan itu malah kian berlapis, bukan saja tentang seperti apakah dirinya, yg mulai malas merekrut artis baru jebolan produser Laksana sebagai pemeran sinema malam Pantura Story, pun penampilan bintang bintang anyar turut menyumbang kausa ke-pecundang-an-ku.

Setelah sosok LP62, LP39, dan LP51 urun serta mengindahkan jalanku, yg memaknai adanya bubuhan noda dalam kesucian cinta pertamaku, tidaklah lantas membangun ironi mengagungkan kembali rindu padanya. Malah, adanya jeratan dusta akan cinta segilima antara Aku, Dia, dan Mereka.

Tak ubah dari senandung bait bait awal, rangkaian cerita yg terjalin beberapa kali dengan Laju Prima akhir akhir ini, membuahkan anggap 'aku bukan pilihan hatimu' dari Dia, Gunung Mulia...
Lalu, siapa maksud 'Mereka', yg bakal mencemburkan hati ke samudera rasa Aku dan Dia?
Jangan kemana mana, karena di sini akan mengangkat hal hal tabu menjadi layak dan patut untuk diperbincangkan, semua akan dikupas secara tajam, setajam Golok !

####

Entah mengapa, kali ini gelora asmaraku mendidih, rasanya tak ingin sekedar mencumbu satu nama. Opo maneh, sasaran ini pernah gagal oleh 'kencan rahasia' yg memenjarakan beberapa waktu silam, alhasil kerakusan melirik Nona Rosa, Neng Lia, dan Mbak Indah adalah gejolak jiwa yg sukar ku bendung. Biarlah cibiran 'playboy cap tiga jari' tertuju padaku, kalau tidak begitu, kapan ku dapati hangat pelukan tiga nama gadis berkulit putih itu.

Apalagi dalam ruwatan bali ngulon nanti, bukan urusan kerja dari big bos yg ku titik beratkan, melainkan mengenteng-entengi teman yg sedang terbebani gelimang uang lantaran ketiban setumpuk proyek kejar target. Niscaya itu bisa menombak kepekaannya pada ketiga nama ayu pengubur setiaku itu,

"Nek ora bareng Rosa, Lia, karo Indah, aku wegah mangkat".

Nampaknya senjata itu cukup ampuh menjerat ikatan pekerjaan, melumpuhkan organ organ jaringan fanatisme pada Dara cinta sejatinya.

****

Mungkin sudah akrab didengar, bahwa cucu dari nenek moyang Jawa yg menghuni ujung timur Kabupaten Wonogiri, disunahkan menjalani ritual sebelum berangkat ke Jakarta naik bis, waktunya boleh dilakukan beberapa jam, sehari, dan sepasar sebelumnya. Nama PO, kelas armada, tujuan, dan seserahan adalah sesaji yg kudu dipersiapkan sebelumnya. Oleh masyarakat Purwantoro peristiwa yg masih dilestarikan itu dinamai 'tuku tiket'.

Maka danyang yg bertengger di Jalan Raya Purwantoro-Ponorogo ku jamah demi tradisi yg diwariskan orang tua itu. Memang keberadaan pendhopo agen BPU asal Karanganyar itu lebih banyak menjauhkan diri dari populasi market ticket dalam terminal, lagi bangunannya pun kokoh dan permanen, mayoritas lengkap dengan area pembumian armadanya.

Hubungan kontak antara penjaga agen dan kantor pusat dalam mendatakan namaku dan dua teman sebagai penumpang Executive Class cukup lama. Berkali kali apa yg disuarakan harus diulanginya lagi lantaran penerimaan yg kurang responsif, sering putusnya sambungan selular makin menambah detik detik di PPT (Pusat Penjualan Tiket) yg tercecer di Kecamatan paling timur Provinsi Jateng itu.

Endingnya, pangkuan kursi 2B 2C dan 2D dikabulkan dengan tumbal uang tunai 450 ribu rupiah.

****

Mobil jenis pick-up dengan rumah rumah penumpang di bak belakang, yg bukan pemandangan aneh apabila di salah satu kecamatan rangkulan kota gaplek ini diindahkan sebagai angkutan orang, bersedia melebarkan trayek ilegalnya dari terminal non-bus Purwantoro ke agen tujuanku dengan akumulasi tarif 15.000 / 3 orang.

Memang tak semudah kenanganku dengan Dia, dimana nomor handphone pengawal merampungi segala urusan pemesanan tempat duduk, jeri payah tenaga, waktu, dan ongkos pun terpangkas oleh kebijakan take off dari agen yg tidak mengikat.

Menjelang dzuhur bis feeder pool Kartosuro itu datang. Instruksi kenek untuk memilih tempat duduk 'saksenenge' langsung menyambut kami bertiga, karena sesuai informasi darinya jikalau seisi bis masih akan dibongkar muat di pool.

Ternyata Concerto berpangkat Executive ini 'mungkin' berbeda dengan PO lain dengan kelas setara. Kata 'mungkin' ku sisipkan karena memang inilah my first trip dengan armada yg sepengetahuaku berfasilitas leg-rest itu, namun tidak demikian yg ku alami saat ini, melainkan hanya foot-rest sajalah yg dibekalkan sebagai penunjangnnya.

Agen Jatisrono yg lokasinya berada di Pasar Lawas, sedikit menyiutkan kabin 'ngelondang' ini. Dilihat dari gawan yg mungkin sudah dijatuhi klaim berupa cas apabila ini adalah sebuah pesawat, penafsiranku pulau seberanglah tanah jujukannya.

SPBU Wonogiri dipilih sebagai pemasok BBM besubsidi jenis solar ke dalam fuel tank yg terbenam dibawah rumah rumah arsitektur Rahayu Santosa ini sebelum berlanjut nyebrang ratan alias masuk pool perwakilan kota 1001 PO.

Imbuhan penumpang membuat bis bernomor lambung 154 ini nyaris tak menyisakan free seat. Bis mulai berjalan dengan pintu depan yg masih terbuka, rupanya hanya mencari posisi untuk kontrolan saja. Nama nama yg telah tercantum di DP disuarakan oleh petugas, pemeriksaan tiket dan tujuan pun tak luput adanya, disertai relokasi tempat duduk sesuai dengan nomor yg telah tertulis di dalamnya. Kok aneh, kalau warta kenek tadi dipedomankan, harusnya semua ini terjadi di Kartosuro.

Aku pun terhuyung menuju barisan kurawa (barisan bagian belakang) mencari kursi yg belum diakui, lantaran harus tersingkir oleh id-number-seat kami yg justru berpegang pada orang lain. Awalnya itu tidaklah ku problemakan, karena di sini aku hanyalah orang titipan. Persoalan terjadi saat di Kartosuro, ternyata bis tak menyisakan pun satu penumpang sama sekali, malah masih sempat ku tangkap mata, justru armada itu puter walik kembali mengarah timur yg kemungkinan akan menuju garasi Palur. Trus, apa manfaat dilakukannya operasi penertiban papan panggonan di sini ?

"Siapa yg belum dipanggil ?"

"Saya", sambil menunjuk mengarah nirwara.

Tak ubah seperti suasana taman kanak kanak yg ku alami belasan tahun lampau. Siapa yg belum diabsen ? Saya Buk... Siapa yg belum selesai tunjuk jari !

Rosa Rosa, hadirku ini berlaku sebagi pelangganmu, bukan sebagai jalan untukku beranjak dari masa bocah. Andai saja tutur 'ada yg belum dipanggil' diralatkan, sedikit ubahannya memberi kesan yg berbeda, lebih santun.

Langkah Pak Guru itu lantas menyambangi kumpulan kami, tiga tiket yg diminta lalu dibawanya turun masuk ke kantor, mungkin untuk di-scan keabsahannya. Setelah orang dalam melegalitas keaslian lembaran yg dibalut cover biru itu, akhirnya bukti sertifikasi uang 150 ribu x 3 itu kembali menjadi hak milik kami,

"Dari agen Purwantoro nggak ada konfirmasi ke sini masalahnya. Ini nanti oper di Kartosura ya !", imbuhnya.

"Iyaaa Paaak...".

Perjalanan menuju pool Kartosuro berlanjut. Central Loundry yg ada di Solo Baru, dijadikan tempat mengistirahatkan selimut selimut yg telah menghangatkan puluhan tubuh, untuk ditukar dengan yg baru, baru dicuci maksudnya...

Seperti yg tersinggung di atas, seisi bis baik manusia atau barang, terkecuali kepunyaan Rosa sendiri, atau orang yg menggantungkan pakaryan pada Lia dan Indah, diwajibkan untuk meloloskan diri dari dalam kabin tunggal gawan (setunggal-gangsal-sekawan) ini.

"Iki oper endi Mas ?", ku selakan tanya pada kesibukan mengosongkan bagasi yg dilakukan kenek berjiwa banyolan itu.

"Gak weruh aku, kono tekok nyang loket !".

Ayunan langkah mulai meninggalkan area yg tidak memadahi untuk sebuah bis memutarkan mukanya secara instan, sehingga peran gigi 'R' harus diperbantukan untuk meloloskan badannya dari tiang tiang penyangga atap yg membuat ruangan dengan penghuni empat unit bis 'mati' dan satu body yg ditompang oleh drum itu menjadi gelap tak bercahaya.

Melihat sebuah body yg bertumpu pada tong kosong tak terbunyi nyaring karena tidak ditabuh itu, apakah tempat ini adalah salon pribadi Rosa Lia serta Indah dalam berganti dandanan mengikuti fashion dan make up yg sedang dalam masa ngetrend, yg dikenal dengan nama karoseri Rosalia Indah di kaca belakangnya itu, tapi bukankah workshop itu di Palur adanya ? Lhah, embuh...

Menginjak ruang tunggu, jangkah orang orang dalam menjebol partisi kaca menjadikan pedoman bahwa itulah yg dimaksud loket oleh kenek tadi, segera aku mengekor pada aktifitas itu.

Dari beberapa penunggu meja yg membentuk konsonal 'L', sejujurnya mata hati ini menjatuhkan lirikan pada desk office yg dibacking-i kaum Hawa suku Jawa asli Kartasura. Pertama-karena jaraknya paling dekat dengan pintu, kedua-karena seorang wanita itu akan lebih lemah lembut, ramah tamah, dan sopan santun dalam melayani, ketiga-karena perkenalan itu terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya saja, tetapi juga karena kesempatan. Sayang, cegatan muncul oleh kursi yg dihadapnya sudah didahului Pak Adam, apa boleh buat, selain ku labuhkan kebingungan ini pada Customer Service yg nganggur.

Seperdelapan detik mata Bapak pendiam meja tujuan menatap kedatanganku, setelahnya, kembali bertatap layar dengan komputer didepannya. Andai spiritiualnya dapat menyelami batin ini, kalimat 'aku rene ki arep tekok, ora kok arep ndelok' pasti menjadi bisikan gaibnya.

Ku iringkan kata kata "Ini bis'nya yg mana Pak?" ketika ku serahkan tiga tiket di atas mejanya, mengingat di depan ruang tunggu memang sudah didiami oleh dua armada, siapa tau itu bis yg akan mengantarku ke Provinsi Banten.

Alih alih disambut tanggapan menilik tiketku, nada ketus "Ditunggu aja diluar nanti dipanggil !" adalah yg ku dapati. Seolah tangan ini membungkam rapat agar mulutku tak kebobolan perkataan khas Arek Suroboyo, 'Djancuk'.

Apakah semua yg ada di sini adalah penumpang lama yg otomasis sudah mendalami seluk beluk perusahaan yg Timbul dari ke-Jaya-an Bapak Atmo Wiranto itu, bukankah untuk pelanggan baru sepertiku ini lumrah jika merasa bertanya adalah rambu rambu kebingungan.
Kalaupun itu memang prosedur untukku sebagai penumpang, maka tidak ada yg salah dengan apa yg disuruhkan Bapak tadi, yg ganjil bagiku hanyalah hal penyampaiannya, kaku dan acuh. Sebatas ingin disegani dengan tata wicara, bukan berati aku ingin dianggap spesial kan? Pun itu yg dirasakannya, apa salahnya jika disuguhkan pada seorang pelanggan.
Kalau tidak memandang gelutan profesinya itu demi kehidupan keluarganya, mungkin saja bagiku untuk melepaskan Bapak itu dari jabatan yg diemban, caranya? Berdoa pada Allah, hahaha...

Silih berganti armada datang dan pergi dengan wiper yg bergerak untuk menembus pandangan lewat kaca akan derasnya peluru yg dihujamkan langit, cuaca pun mamasok jenuh ke dalam acara janjian dengan Rosa ini.

Toilet yg berada di belakang ruang tunggu, bukan fasilitas yg dibebaskan dari wajib dana kebersihan. Kenapa bangunnya tidak di luar pool saja ya kalau sama sama masih ditarif biaya ? Lumayan kan recehan dari orang yg bukan penumpang pun bisa mengisi celengan yg di siap sediakan.

Sate ayam dan gorengan belum cukup mengisi waktu penantian panjang ini, sementara lambat laun deretan kursi yg awalnya penuh kini mulai banyak yg terlihat tak bertuan, artinya sebagian penduduk telah sukses move on ke tumpuan yg lebih empuk dengan formasi 2-2 di ruang barunya. Trus, aku kapan ?

Saranku untuk kembali mengambil kejelasan ke dalam kantor akhirnya dengan gampang di-iya-i salah satu teman, perannya memang sengaja ku cadangkan pada sendiriku yg sudah canggung berinteraksi dengan abdi dalem ke-pt-an Rosalia Indah.
Lain dengan kiprah awalku yg keluar dengan bawaan hampa,

"Bis'e urung teko, sing tak tekok'i mau tekok nyang sandinge, pool Bitung sudah ada yg masuk belum, trus dijawab belum, ngono"

adalah warta yg dioleh-olehkan temanku, setidaknya bisa menjadi ayoman hati bahwa kami tercatat sebagai penumpang.

Seiring hujan yg terus mengguyur tanah kecamatan di bawah Pemkab Sukoharjo, semakin deras pula laju penumpang yg bergegas meninggalkan ruang tunggu. Umpama pemandangan ini terjadi dari awal, mungkin tidak akan terasa lama waktu penuh kebosanan ini, lantaran kelonggaran kursinya sangat leluasa untuk merebahkan badan merangkai kehidupan dunia lain.

"Tiketnya mana Mas ?",
tanya seorang petugas kantor yg menjalani praktek ke lapangan, mungkin sebagai tindakan atas pertanyaan kenapa masih ada beberapa penumpang yg belum berangkat.
Tiket serahanku dibawanya masuk ke kantor, entah bakal diapakan, mungkin proses scan kelegalan untuk yg ke-dua kalinya.

"Ini nanti nomor bis nya 297 ya Mas".
Sekeluarnya petugas paling sabar itu berhasil membawakan sebuah penawar kekhawatiran bagi kami, meski tanpa kepastian kapan armada itu akan datang.

****

"297 kae, apik So bis'e...",
spontanitas temanku menyambut kehadiran Lia dan Indah.
Apik? Kanggomu kuwi, batinku...
Coretan new livery memang mengesankan keanyaran, padahal bodynya saja sudah selayaknya turun pangkat dari Executive Class, sebuah rumah rumah yg dibangun oleh karoseri kota asal Inul Daratista, Tugas Anda.
Ditinggalkannya tajuk livery 'era 200X tampil beda' mungkin memang disengaja demi dongkrak penampilan, sehingga orang awam sepertiku lebih lebih temanku tidak berkecil hati melihat armada dengan rating kelas lebih rendah menggunakan armada baru (entah hanya body saja atau juga chasisnya).

Biarpun tua, bangun arsitektur made in Pasuruan ini masih sanggup menjalankan fungsionalnya memberi payungan dari panas dan hujan, terbukti tidak adanya titik kebocoran karena tertembus kederasan reaksi mencairnya mendung.

"Lungguho ngarep kono lo Mas, kuwi enggonku, aku nek lungguh ngarep ki ora penak"
sebenarnya suara itu lirih ku dengar dari seorang Ibu yg bikin bingung kedua temanku lantaran seat 2D telah ditempatinya, saking kemrungsungnya maka mereka pun tidak menangkap apa yg disuarakan Ibu itu.
Atas laporan kekisruhan tempat duduk ini, kenek kemudian mengecek tiket. Bukan menjelaskan dengan lugas perpindahan kursinya, Ibu itu malah ngomong "Kandani kon lungguh ngarep kok, wong kursi ijek okeh we kok bingung", seolah beliau paling tau soal bis ini.
Anak sebaya yg duduk di sampingku pun menimpalnya "Lha niku kursi mpun payu, nek sing duwe munggah pripun ?" atas gagasan ngawur Ibu itu.
Akhirnya tiga tiket yg ku pegang ini bertransisi seat-number menjadi 1C, 2B, dan 2C.

Air yg mengaliri kaca samping membuat pandangan keluar tidak tembus, sesekali hanya terlihat lamat lamat armada tunggal kandang dan Harapan Jaya. Sorenya keberangkatan membuat bis bis Wonogiri Inside sudah ngacir jauh di depan.

Perbincangan ringan dengan penumpang sebelahku yg katanya orang Ngawi lebih banyak mengisi waktu perjalanan awal shif pertama itu.

Di daerah Salatiga, terlihat satu komplotannya di pinggir jalan dalam keadaan berhenti dengan kap mesin terbuka. Melihatnya, sopir hanya bertanya pada kenek "Opo kuwi ? Non AC to ?" tanpa turut menepi membantu kedua sahabatnya yg tengah uthek berpayung pintu ruang mesin.
Sesuatu yg menurutku asing dari kebiasaan PO pada umumnya, yg walaupun sebatas mengganti ban pun, tetap ada rekan yg urun bantuan.
Apakah karena jumlah armada pemberangkatan perharinya yg buuuanyak, sehingga hanya kawan satu kelas saja yg diwajibkan tanggap darurat, atau memang di sini murni tiada aturan untuk bahu membahu ketika salah satu armada mengalami trouble ?

Shif pertama berakhir ketika bis menginjakkan roda di RM.Sari Rasa, tapi itu tidak berlaku untuk sopir, yg umumnya peralihan kendali setirnya dilakukan ketika start dari rumah makan ini.

Gradag gradak... Cesst... Greg...
Lubangan di jalur lingkar alas roban membuat sopir mendadak menginjak rem, kekagetannya membuat tidak seimbang antara pijakan rem dan kopling, karena mungkin kaki kiri memang sedang bebas tugas dari siaga di atas pedal, alhasil membuat mesin seketika mati.

"Lha ndisek ora rusak ngene iki ya ?"
Memang dari obrolannya dengan kenek, sepertinya sopir ini sudah lama tidak ditugaskan di rute Jakarta-nan, dan perjalanan inilah awal pertamanya beliau kembali dipindah tugaskan.

Usai mendapat jawaban bahwa sopir memilih untuk tidak melewati tol Palikanci, kenek lantas izin untuk tidur di kandang macan.

Tak ku ketahui di daerah mana, begitu aku membuka mata setelah sejenak tertidur, Bejeu New Travego menunjukkan aksinya sebagai kontestan Pantura asal Muria Grup yg dikenal dengan kecepatannya. Belum juga lampu triple diamond yg menempel di bumper belakang bis putra Jepara itu menjauh dari pandangan, kolega mudanya yg berbody Scorpion King pun menyusulnya.

Nusantara dengan balutan New Marcopolo yg sedikit memotong lajur saat mengejar dua bis hitam itu, membuat sopir sedikit menginjak rem supaya spion kirinya tidak kecanthol buntut bis ungu berlivery New York City itu.

Tak ingin ketinggalan dengan tiga rival banter nya, Haryanto bercorak The Phonix pun mengukuhkan pengakuan sopirku akan kekalahannya pada bis bis tlatah lor itu. Malah tak berselang lama, jauh di depan yg terlihat lamat lamat hanya rear lamp Marcopolo, Scorking, dan Triple Diamond, tandanya bis berbendera Menara Kudus itu sukses menyungkurkan ketiga lawan sesama Muriaannya.

Tidur ayam ku terbangun kembali ketika laju bis tersendat oleh kemacetan, Shantika biru Galaxy AirS di depanku, berusaha berpindah haluan ke lajur kiri, sehingga menyebabkan Shantika lainnya yg berada sejajar denganku yg sama sama berlivery biru dan berbody Galaxy AirS harus tertahan oleh kembarannya.

Perpindahan Shantika memberikan celah pandangan ke depan, sehingga terlihat kausa kemacetan ini, adalah Muji Jaya yg menyalakan lampu hazrad di lajur kanan. Sopir beratribut topi ala Glan Fredly ini pun mengikuti jejak navigator bis yg kini pecah menjadi beberapa sub nama itu.

Rupanya daruratisme Muji Jaya adalah proses oper penumpang karena armada se-garasi-nya nyeruduk bokong Haryanto The Phonix yg sempat menyisihkan bis ku ketika nemburu Nusantara dan dua Bejeu tadi. Tak hanya disruduk, bis berstiker euro 3 itu pun juga mencium pantat kendaraan di depannya, Raya. Kecelakaan karambol antara tiga nama PO itulah biang keladi ketersendatan ini.

Aku pun kembali tertidur, dan pulih terjaga saat bis masuk ke rumah makan pribadinya untuk memberikan layanan snack yg sudah dibanderol ke dalam tiket. Secangkir kopi dan seiris roti basah cukup menghangatkan pagi di Indramayu itu, paling tidak kesempatan untuk sekedar melepas nafsu makhruh 'merokok' bisa terlaksana di sini.

Karena ini adalah rumah makan interen, tidak ada clean-man yg tugasnya mencuci kaca depan bis ala kadarnya, maka sopir terpaksa melakukannya sendiri, dengan inisiatif mengaktifkan wiper dan menyiramkan air dari botol air mineral dari luar.

Sekembalinya ke perjalanan hanya ku isi dengan pejaman mata saja, hingga akhirnya sebuah lampu merah perempatan di Tangerang (entah dimana tempatnya, karena memang baru pertama kalinya aku ke sini) menjadi tempatku menyudahi hubungan dengan Mbak Rosa, Lia, dan Indah.