25 June 2013

Gunung Mulia Bumel, Favorite Bus Putih Abu Abu

Berawal dari acara hunting yg telah terencana dari minggu lalu, maka pagi itu aku beranjak dari rumah untuk menuju lokasi yg bakal menjadi background'nya dengan naik bis.
Dari arah terbitnya matahari, terlihat sebuah bis bumel putih dan itu pulalah yg membawaku mencapai jembatan Kalimider, sebuah jembatan yg merupakan titik perbatasan antara kecamatan Slogohimo dan Purwantoro.
Ku pilih deretan kursi paling belakang sebagai singgasanaku dalam menempuh jarak sekitar 6km itu.
Kondektur, sesuatu yg jelas tak asing lagi pada mata yg sedang melayangkan pandang ke kabin bis bumel, segera ku umpankan tanganku yg menggenggam dua lembar pecahan 2000'an pada kasir jalan itu. Masih segar teringat olehku, "EKO", yups itulah nama asisten keuangan pada armada Gunung Mulia 22 Sabtu itu. Kiranya tak kurang dari empat tahun aku tak pernah bertemu denganya seusai aku mendapat ijazah STM pada 2008 lalu, tak ada niat untuk berbasa basi dalam sepatah katapun dengannya, toh pikirku mana mungkin dia masih ingat dengan roman wajahku.
"Arep nyandi?", tanyanya padaku, hmmm pasti dia cuma sok tau saja padaku karena kaos yg ku sandang ini bercorak gambar Legacy SR1, jadi mungkin dia sok akrab dengan para penggemar bis. "Jatisrono", sekata tanpa embelan ku balaskan.
"Saiki kerjo neng endi? Bar lulus kok ora tau ketok?", ups, mungkinkah dia masih ingat pada aku yg dulunya sering berjumpa dalam suasana desak desakan di armada Gunung Mulia 53?

Bersumber dari fenomena pagi itu, aku jadi teringat akan kenangan masa masa putih abu abu ku dulu kala, yg mana di ketika itu seorang pelajar tingkat menengah atas begitu mengidolakan armada Gunung Mulia sebagai sarana bertransportasi antara rumah dan sekolah.
Di dekade itu, ku ingat ada 11 unit armada yg mengisi jalur Solo-Purwantoro dan satu unit yg ditugaskan sebagai armada cadangan. Jam paling awal diisi oleh 06 yg biasanya dipenuhi oleh anak sekolahan Jatisrono baik berangkat ke sekolah ataupun pulangnya (ndilalah kok jamnya pas banget), lalu tiga diposisi terakhir adalah 50, 51, dan 53 yg dilanggani oleh penyandang osis dari Wonogiri sewaktu pulang sekolah.
Apalagi kalau hari itu adalah Sabtu, dimana yg biasanya ngekost pun pada pulang, hmmm harap harap cemas deh, jangankan tempat duduk, secelah ruang untuk menapakkan kaki dan pegangan tangan pun susah diperebutkan.
Padahal, andaipun berkenan, saat itu ada bis dari PO lain sebagai selingan dari urutan jam Gunung Mulia, atau kalau tidak, di belakang jam Gunung Mulia juga masih ada bis lain yg cukup longgar. Namun kenapa ya, saat itu mereka lebih demen berdesakan dalam sebuah ruang yg panjangnya tak lebih dari 12 meter itu. Toh juga gak ada sistem member yg bisa memberikan diskon pada penumpang langganannya, jadi harga tetap sebanding dengan bis lain, gak ada pula undian berhadiah bagi mereka yg sering ikut.
Lantas apa yg mengilhami kegilaan mereka pada bis berbadan putih itu? Gengsi... Ya, itulah niscayanya. Sebagai manusiawi yg hidup di usia belasan, tentu emosional merupakan warna dari keremajaannya. Wajar saja, di samping mereka berlomba dalam menggapai prestasi, soal kepribadian, fashion dan lifestyle pun turut dipertontonkan menjadi pertaruhan, dan itu pulalah yg mencangkup rasa "Bis yg aku naiki mesti bagus" dari mereka.
Memang apa adanya, mungkin hingga kini pun di jalur Solo - Purwantoro itu masih Gunung Mulia lah yg armadanya paling recomended. Sehingga tak mustahil, jiwa seorang muda yg emosinya masih subur berapi api mengidolakan bis berkelir grafis tiga warna garis itu.
Monggo dinilai sendiri, inilah sebagian wajah mulus beberapa prajurit kerajaan Gunung Mulia yg berjuang di jalur pertempuran Solo-Purwantoro...




8 June 2013

Awal Yang Indah

Bukan dalam batasan penggemar bis saja, mereka para khalayak yg tau ala kadarnya pun menyanjung, artinya apa yg diagungkan tentangnya bukan cuap cuap basi.

"Sing apik apik ki bis ngalor'an lho", kumandang itu tak jarang terdengar, rupanya virus masyarakat Jateng Utara mulai menular, menjamah mata lalu turun ke hati, para penghamba bis dari daerah lain mulai tau soal segi 'apik' nya armada, apalagi jika 'banter' dan 'murah' sudah melengkapi puji kekaguman itu, niscaya PO adikuasa adalah jelmaan dari perusahaan perusahaan eks Karisidenan Pati inside, kapanpun mereka mau, urusan mematikan pasar daerah jajahan bukan problema yg dipusingkan.

Dibalik jeri payah PO lain yg mendera keuzururan ingin sematan tampang muda di jiwa tuanya, bak disegani himpitan finansial, para bos dari tlatah Kidul Segoro Jowo malah gencar menghadirkan unit unit anyar, tak tanggung tanggung, mesin gres body pun fresh. Itupun tanpa dikawal rasa eman eman, tumpah ruah solar yg disenjatakan, serta (mungkin) minimnya klaim paska ngedor yg dibebankan pada awak, membuat sopir relatif manaikkan jarum speedometer ke angka yg diingini. Tentunya, anggaran bahan bakar dan biaya perbaikan musibah tak terduga menjadi ekstra, namun nyatanya itu seperti bukanlah bab yg menjadi bahasan strategi manajemen. Dan yg membuat geleng geleng, ke-eksklusif-an'nya ditawarkan dengan tebusan lumrah, bukankah semestinya harga jual tinggi diimbaskan atas suguhan buah jor-joran'nya?

Muriaan Muriaan,
Tak sanggup nalarku memikirkanmu...


Benarkah balutan gengsi membelakangi perang dingin antar kerajaan ayoman Gunung Muria, atau karena tuntutan penumpang yg senantiasa dimanjakan bis bis berkelas?

****

Lama sudah rasa ini ingin beranjak dari sekedar pengagum, sekali kali diri ini bisa dipangku nuansa kemewahan, terbawa laju 'ora ngeblong ora penak' nya, tapi, kepincutku terkurung oleh ketiadaan kesempatan. Apa daya, sosok yg tak canggung touring, sekedar besensasi dengan bis ini itu, sekalipun tak sedikit waktu, tenaga, dan materi yg berhamburan demi memuasakan hasrat ke-bismania-an, urunglah ku jiwai. Sekedar sarana pencapai tujuan, itulah lelakon ngebis-ku selama ini.

Pagi kemarin, Agra Mas menghadiahkan kesan padaku, lantaran ajakan seorang teman, sebut saja Piyik, aku pun mendelegasikan bis merah ferarri itu sebagai moda transportasi bis malam menuju Jakarta. Urusan kerja terhapus di sket plan tujuanku kali itu, ekspedisi pengawalan Ibuku ke sebuah rumah kecil di Jakarta Timur adalah amanah yg usai ku emban, tiada alasan untuk menambah hari hari di Ibukota, kalaupun menjelang subuh itu ada bis angkatan pagi ke Purwantoro, sudah ku pasrahkan jiwa raga ini padanya. Sayangnya, sambang pacar yg kudu diacarakan Piyik di siang harinya, menuntut kebesaranku sehari semalam lebih betah membumi di Gandaria 2, Pekayon, Pasar Rebo, lantarannya adalah rajutan mulih bareng yg sudah diagendakan.

Inilah saatnya ! Batinku bergelora...

Sekian lama inginku mencicip rasa Nusantara, New Shantika, Muji Jaya, Haryanto, dan Bejeu masih terpendam. Serangkaian nama itulah urutan kesemsem ku dari yg terdahulu hingga sekarang. Bukankah andilnya satu teman cukup sebagai obat derita kebutaan pada daerah luar, juga menjadi tameng tatkala musibah calo menyerang, sejujurnya dua hal itu yg menyiutkan nyali akan nyidam ku pada muria united.

Soal apalagi kerisauanmu, kapan lagi kesempatan datang jika kali ini kau siakan. Muriaan itu bagus, muriaan itu banter, muriaan itu tidaklah mahal !!!

Bisikan demit pantura itu seakan menggitikku, menghacurkan ragu, menyuluh keyakinan, memupuk semangat, hingga suburlah tekad ini...

Jepara, eh maksudnya, Semarang I'm coming...

****

Sesuai romantika hati, dimana saat ini teguh memegang nama Bejeu. Beberapa hari silam, para penyandang anggota grup Black Bus Community memberiku bekal tentang option perpindahan ketika nanti aku dan si hitam berpisah di Semarang. Dari berbagai komentar atas tanya yg ku layangkan ke facebook, rute / transit yg mengukuhkan hati adalah Terminal Terboyo, konon di terminal rawan calo itu Safari Group mulai menadahkan kabinnya pada penumpang dari jam 02.00 dini hari.

Rampung mencapai mufakat via telepon dari Piyik dan seorang teman, sebut saja Khepik, selaku peserta musyawarah, cekatan ku suarakan info status tiket ke agen Sri Muji Pal Depok.

"Waduh, Bejeu dinten niki mpun telas niku Mas...", jawaban penjaga agen pada tanyaku yg lupa menyertakan kata 'besuk' sebagi waktu keberangkatan.

"Owh, yen mbenjing wonten. Tumut sing Jeporo nopo Tayu?"

"Saksae Pak, kulo namung mandhap Terboyo..."

"Owhalah gur Terboyo to, yo wis nekno. Kursi ngarep opo mburi iki?"

Lho lho, kok tumben tumbennya agen ini memberiku kebebasan dimana aku akan bersandar nantinya. Ibarat sholat pun, ganjaran shaf barisan depan diumpamakan setimpal gajah, kuda, kerbau, sapi, sedang makin mundur makin kecil hingga yg terbelakang hanyalah kebagian semut. Tak ubah, kalau diperkenanakan, grup seat depanlah pilihanku.

Kurang dari 2 jam menjelang pergantian waktu sore dan malam keesokan harinya, kewajiban datang tepat waktu di agen kami taati, bahkan 30 menit lebih awal dari jam yg diharuskan.

"Wis yahene enek'e gur tekan Solo ki", sambut penjaga agen mendapati kedatanganku.

Owhalah Pak Pak, kali ini Purwantoro ku coret dari destinasi, pun tak usah kerepotan akan tujuan Solo sebagai alternatif, tau diri ku mengilhami saat ini bukanlah ritme bis Wonogiren mangkal, backing itulah yg membuat kami setor muka sesore ini, lha wong Bejeu sudah mencatat kesertaan sebagai penumpangnya kok.

"Owh lha iki, layak wingi iku masaku sing kulino njaluk Laju Purwantoro kok njaluk Bejeu".

Salah siapa Pak, Sampeyan sungkan memberikan ruang untuk nomorku, padahal akeh sithik aku kan berperan mendatagkan omset bagimu, walaupun itu setahun sekali, hehe...

130.000 x 3 orang adalah jumlah tebusan jasa transportasi executive Depok-Semarang. Bukan omong kosong, soal kabar murahnya banderol tiket memang ku amini, realitanya butuh peran tiga lembar pecahan sepuluh ribu lagi untuk mengencani bis bis Soloensis dengan kelas imbang.

Kami sempatkan mengenalkan lidah pada sajian kuliner yg bertengger di ujung jejeran kios kios penjualan tiket. Racikan yg pas antara bahan dan bumbu, serta penanganan profesional dalam proses pengolahannya, menyokong selera santap sore masakan Javanese food ini. Siaga akan kemacetan, didukung kekosongan perut, menambah nilai plus citra rasa yg diramu koki handal asal Jawa Tengah, lebih tepatnya Tegal ini.
Taukah Anda, mini resto ini biasa disebut dengan nama Warteg? Haha...
Biar begitu, jangan entengkan kejujuran lidah dalam meresapi setiap kecapannya, buktinya Piyik lebih rela mengikis pundi pundi dompet daripada mengeluarkan bekal amunisi penguruk lapar yg sudah terkemas dalam bungkusan kertas minyak yg terikat karet di dalam tasnya.
Meh mbok dudah neng endi Yik ?

Imbas jamuan warung bahari yg mengencangkan otot perut, Piyik dan Khepik tumpah semangat seketika B13 muncul di penglihatannya. 'Iki bis-e', mungkin begitulah batin mereka beranggapan, hingga keduanya sudah bersiap angkat badan dengan tas di pegangan tangannya.
Batinku pun membalas, 'lha wong agen'e we meneng wae kok', lepas dari lakunya lembar yg didagangkan, tuntunan pada penumpang pasti diwajibkan atas syarat sah seorang agen, kalau tiada aba aba apapun darinya artinya kita tetap disarankan untuk berdiam menunggu bis yg belum datang.

Tak lama bis berbody Scorpion King itu disundul koleganya pemegang trayek BE-05, inilah yg menjadi tumpuan kami ke terminal utama Semarang. Pintu lorong bagian tengah sebagai gate entry menuju kursi 2CD, sedang Piyik  berhak atas nomor 3C.


Di bagian atas pintu pemisah kabin yg diapit dua layar LCD 'sungguhan' (karena memang difungsionalkan sebagi entertaiment, bukan sekedar pajangan belaka), sebuah stiker tentang kewajiban kru memberikan waktu sholat subuh tertempel. Di samping kesan kebesaran management kepada penumpang muslim, yg tak kalah membuatku merasa luar biasa adalah inovasi nya itu sendiri, bukankah pelayanan macam ini masih terbilang baru dan belum banyak PO yg menyuguhkan. Ternyata dibalik gengsi yg konon mengotaki adu garang antar sesama BMC (Bigbos Muriaan Community), tak serta merta membuatnya terlena dalam hingar bingar rivalitas hingga menjatuhkan nilai nilai agamis yg dijunjungnya.


Hotspot on the bus, menarikku untuk menyelaminya, karena dari sinilah bibit bis pengusung jaringan wi-fi yg saat ini ramai berkeliaran itu ditampak. Perangkat eclair-ku memang mampu mendeteksi sinyal nirkabel itu, begitupun ketika tulisan conect mendapat sentuhan ibu jari, pancaran yg dihasilkan Bejeu Cyber Bus B8 itu bak sebuah tim tanggap darurat pada kuota paket flash unlimited ini, sayang, loading tak menunjukan gelagat terbukanya halaman baru pada broswer opera mini di smartphone yg dahulu pernah meraja sebelum tergeser oleh versi 2.2 froyo ini.


Kegirangan yg dijamah Khepik sewaktu 'kapusan' oleh B13 tadi justru kini meredam, rautnya mewartakan ada kecewa yg membalut hatinya.
“Opo iki, malah ora oleh Skorkin”', itulah jawaban dari rasa gelo yg diluapkan wajahnya.
Aku jadi teringat, manakala di hari itu suaranya via telepon menanyakan keberadaan Super Executive yg dirodai GMS, sampai sampai terjun ke Terminal Lebak Bulus adalah lakon yg kudu direlakan sebagai aktifitas siang itu, ku simpulkan sendiri itu merupakan usaha untung untungan dapat bersemayam di bawah kabin by Tentrem-nya Comando / Invansion.
Memang kali ini bukan body yg mungkin bakal discontinu oleh kelahiran Scorpion X yg kami dapati, melainkan sebuah High-Decker yg dibenami head lamp New Marcopolo oleh Adiputro. Jadi, itukah faktor mengapa dia enggan be happy lagi.
Itu dikuatkan saat mengiyai tawaranku 33 jam yg lalu, “nek numpak bis lor'an nek ora bis ireng ora”, begitulah embel embel persetujuan yg ku negosiasikan sesaat sebelum ku booking tiket kemarin. Jauh dari kata luput, untuk berjodoh dengan body kembaran Scania Touring ditunjuklah Bejeu sebagai penyedia jasanya, menilik PO yg seinduk dengan perusahaan furniture Bongkotan Jati Utama ini gemar ngopeni Raja Kalajengking sebagai dominasi kandangnya, kesempatan merasakan sengatannya akan lebih besar. Adapun belum beruntung, ilhamilah bahwa jodoh itu di tangan Tuhan, jika esok Allah telah menggariskan, bukan tidak mungkin jodoh idaman itu justru datang dari Metromini atau Kopaja.

235 tenaga kuda rasanya kekuatan yg kecil untuk saat ini, mengingat dominan power mesin mesin varian anyar berkisar diangka 260, pun begitu tak memberatkan sopir dalam menyisir Jalan Raya Bogor ruas Pal-Pasar Rebo. Bunyi dekur yg masuk ke kabin mengiringi akselerasi membuahkan tanya akan kemungkinan adanya fitur yg disematkan atau part yg dioplos sebagai jampi jampi mesin J08E-UG ini, ataukah memang bawaan dari produsernya, keawamanku tak cukup paten menganalisa, wong yo lagi iki numpak RK Jes Junior.

Fly Over Pasar Rebo, yg oleh pihak Trans Jakarta disebut Fly Over Raya Bogor sebagai nama halte Busway di bawahnya, adalah batu loncatan agar terhindar cegatan lampu merah oleh arus dari dan ke Jalan TB Simatupang, untuk merujuk agen Pasar Induk. Sepasang muda mudi hengkang dari kursi 3AB saat mendengar “Solo pindah sini Mas” dari kenek. Besar kemungkinan dua insan itu adalah penumpang ketinggalan kreto yg dititipkan oleh agen ke bis ini, owh Mas Mbak kenging nopo mboten mandhap Semarang mawon kersane kulo tambah rencang...

Lepas dari pasar yg merangkap terminal bagi truk truk distributor sayur mayur itu, rute jalan tipe 2x2 yg melintasi tiga kabupaten dalam dua provinsi dituntaskan dengan manuver kanan di pertigaan Hek. Melenceng dari bis non muria pada umumnya, yg menjadikan Terminal Pinang Ranti sebagai lahan nafkah para partner agency, bis beridentitas B8 ini melewatkan persimpangan di depan Tamini Square tanpa adanya arahan kemudi ke terminal kecil muara busway yg dioperatori JTM, BMP, dan DMR itu. Pantas saja, sekali aku menjumpai di pagi hari, keluarga satu rumahnya memanfaatkan u-turn di depan pasar komplotan sawi dan kubis itu untuk berpindah haluan menuju arah Bogor, yg mengindikasikan bahwa gate exit Pasar Rebo lebih dipilihnya untuk membumikan kaki penumpang di pasar langganan tukang sayur itu, daripada harus mencicipi sedikit aspal tol Jagorawi.

Gerbang Bambu Apus sebagai welcome di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, arus lalu lintas padat lancar membuat MD041 berjalan sakpenake, sehingga seluruh badan Jetbus Custom itu dilewatkan B8 dari kanan. Pump, Thot, sapa serta imbal balas dari sesama driver yg terkenal dengan tipikal banternya itu ketika kedua bis sejajar. Tenyata sengitnya persaingan para ndoro majikan tak mengguna-guna bawahan dalam memegang erat 'tunggal guru ojo ngganggu, tunggal japa ojo ngoda' dalam kiprahnya meniti karir sesama pengendali setir. Biar begitu, tidak berarti harus diam ketika diperlakukan kalah lincah, Muji Jaya ungu pun membalasnya karena bis dengan tajuk Royal Platinum Class ini harus mengendorkan putaran saat pintu keluar Jatiasih menyambut, isyarat klakson pun kembali terulang sebagai pupukan solidaritas.

Hadangan macet terjadi sepeninggalan tol JORR, berbaur dalam lalu lintas yg padat merayap bersama TZ32 dan Rosalia PB108.
Setelah tol Jakarta-Cikampek mulai ramah pada penggunanya, greget sopir pun kembali tersalurkan, galaknya kaki dalam membuka celah gas diindahkan oleh duo Rosin di depan rest area KM 39, masing masing NL 308 dan NL XXX berkelas Non AC.
Mati satu tumbuh seribu, tumbangnya tiga squat Karanganyar tadi belumlah membuat namanya lenyap, kali ini satu komplotannya digiring B8 di jalur paling kanan melewati barisan truk yg mengular. Renteran lampu dim ditembakkan padanya, namun Royal Bus Morodadi Prima itu peka akan serangan yg terus dilancarkan dari belakang, beberapa kali sopir berusaha menjatuhkan dari lajur sebelah kiri, namun mobil mobil pembawa bak yg belum mengurai tak memberikan cukup celah. Bis bernomor lambung 201 itu akhirnya berhasil 'menang ora kondang' karena rest area KM 57 menyengkal usaha pengejaran yg dilakukan B8.

Siraman garingnya tangki dilakukan bersama B13 dan salah satu pasukan Haryanto kesatuan The Phoenix.

Usai tugas memastikan solar dalam keadaan full, pembagian snack berupa roti bakery yg dikemas dalam wadah tas karton disusul air mineral 600 ml adalah kewajiban yg diemban kenek. Berlanjut dengan acara pendataan tujuan akhir penumpang, satu per satu lokasi yg diutarakan penghuni kursi dicatatnya di atas kertas berlambaran paper board.

"Nek teng Solo, penak'e mandhap Krapyak nopo Terboyo Mas?", ku gantungkan titik landing pada orang berpawakan gemuk itu sebagai pertimbangan awamku karena jabatan abdi jalannya yg tentu lebih gamblang urusan transit, walaupun sebenarnya Terboyo sudah ku alternatifkan sebagai point perpindahan terbaikku.

"Pokok'e yo kuwi  Mas, nek ora Krapyak yo Terboyo. Ngko tak tekokne sopirku sek ya..."
Kalihurip menjadi lubang untuk meloloskan diri dari jalan tol sepanjang 73 KM yg beroperasi di bawah PT Jasa Marga itu. Kemacetan di Dawuhan membuat sopir menempel ketat bokong Luragung Jaya yg melakukan contra flow meninggalkan pemandangan parkir paralel puluhan truk di lajur aslinya. Sesekali harus menyelipkan kepala di kerapatan kendaraan pengangkut barang, namun jejak bis kejar setoran berstiker 'sahara' itu menjadikan jurus sakti menembus Simpang Jomin dalam waktu lebih singkat dibandingkan harus pasrah di tengah keadaan.

Armada terjunan Pak Haji ber-id HR01 yg tak sengaja terjalin pertemuan di rest area tadi, diriwayatkan sebagai bis yg tersisih oleh kehadiran Black Bus ini di Pangulah.
Begitupun 401 yg disenjatakan Rosalia Indah ke dalam kelas Executive, tak luput menambah daftar sejarah ketika Patok Beusi mendarati permukaan rodanya, walaupun kemacetan di Ciasem kembali menyeimbangkan perlawanannya sebentar.
Sumber Alam dengan dekorasi 'beda tipis' di kacanya, tidak membuahkan peluh sopir untuk menjadikannya korban pelarian di depan RM.Dody Jaya.
Armada lawas yg tak kunjung turun pamor di mata pelanggannya, Raya, nekat pamer eksistensi 'tua tua keladi' ketika jalan raya di muka RM.Taman Sari 2 mempertemukannya dengan bis bermoto 'elegant black bus with colorfull service' ini. Kelihaian sopir dalam memacu mesin yg konon digembok di rentang kecepatan 0-90 KM itu, membuatnya tetap menari indah dibawah tekanan B8, alih alih tersungkur, buritan Nucleus 3 itu malah hilang tertelan jarak dan arah pandang lantaran kewajiban memasuki RM.Barokah Indah menjinakkan kaki sopir yg sebentar lagi akan habis jam kerjanya di shif pertama ini.

B13 dan B15 adalah saudara yg lebih dulu mengisi parkiran di halaman belakang. Sedang pelataran muka dihuni oleh tetangganya, New Shantika.

Telur asin, ikan jambal dan ayam goreng dalam tiga loyang terpisah mengacungkan jempolku pada rumah makan langganan bis Jepara ini, belum lagi sayur sop dan tumis mie sebagai pelengkapnya, sungguh executive pula sajian menu yg ditunggu pelayan pelayan seksi ini.
"Pake apa Mas? Ini..?.", tanya salah satu dara cantik yg impossible is nothing bakal jadi jodohku esok ini sambil mengarahkan capit ditangannya ke tumpukan ayam goreng.
Hmmm, ora kacek...
Ternyata pikiranku tentang lauk 3in1 meleset, dari ketiganya hanya diperkenankan satu lauk yg menemani sayur sop dan tumis mie di atas gundukan nasi putih. Malah ada sepasang Bapak Ibu berusia senja bertingkah ndagel, yg bermaksud untuk mengurungkan service makan yg sudah dijatahkan dan meminta kembali uang kuponnya.
Keherananku memuncak tatkala ingatanku tertuju pada nasi bungkus yg diselipkan Piyik diantara pakaian kotor di tasnya yg juga belum mendapat perlakuan apapun, mungkinkah ini sesajen keselamatan untuknya yg harus dibruncah di lokasi yg sudah ditentukan?

Kehadiran B21 mengganjilkan jumlah Scorpion King serta menggenapkan pasukan hitam di area itu.


Sopir tengah mulai memasuki kokpit yg juga laku sebagai dua seat CD itu, penumpang pun bergegas mengikutinya lewat pintu kabin yg sudah dikhususkan untuk proses naik turun penghuninya.
Bersama B13 sempat berhenti sebelum pintu keluar rumah makan dilampaui, entah apa yg tengah dilakukan keduanya, adapun peran controler man juga tidak diberlakukan di sini.

Sebuah Zentrum memberi jengkal pada bisku yg telat hitungan detik dalam mencumbu pantat B13 sewaktu take off. Samar samar terlihat lampu Legacy diburitan Rosalia Indah sedang ditempel ketat Scorking yg dipisahkan oleh TZ 32 dengan B8 ini.

"Mas jare sopirku malah penak medun Mangkang", saran kenek dalam menjamui dilema-ku.

What, Mangkang? Bukankah personil Mangkang kalah rajin memulai start pagi daripada penguat Terminal Terboyo? Lantas harus berapa lama kebosanan ini ku derita menantikan New Ismo, Shantika, Raya, dan Rajawali menjemput.

"Sopirku kenalane sopir Solonan akeh Mas, ngko ben dititipne", ok lah kalo begitu, biarpun nantinya kami terpaksa melestarikan ilegalisme yg ditanamkan Pak Sarkawi, niscaya persentase kesesatan akan menurun.

Tiga unit Sinar Jaya, Sumber Alam, dan Handoyo harus berbesar hati memberi kesempatan nyalip pada dua bis bernama nyleneh ini, Zentrum dan Bejeu. Termasuk lawan sepadannya, HR01 yg sedang disurung B13 pun tak luput jadi sasaran kegirangan B8 yg dinavigatori Jetbus HD berkelir globe di dasar warna biru itu. Namun endingnya, gawang pertahanan PO plat K Purwodadi itu harus jebol ketika disaksi-bisukan daerah Lorasang.

Palikanci tak menghadiahkan tontonan apik, hanya Rosalia Indah 387 dan sebuah Sinar Jaya yg menguatkan gadang kebanteran bis bintang sembilan ini. Di luar itu, ketiadaan sindhen ratan berjenis bis malam yg bisa dijadikan kompetitor di atas panggung tol terpanjang se-Cirebon ini malah berubah nina-bobo untukku.
Ser-ser-an, begitulah kata orang Wonogiri dalam meng-istilah-i tidur yg tidak pulas, karena sering kali ku rasakan kabin yg menjadi tumpuanku limbung, mungkin ini efek goyang-tempel dari style driver dalam membelah keramaian lalu lintas jalur Pantai Utara, sayang kesadaranku enggan menelisik apa yg sesungguhnya terjadi di luar sana.

Pikiranku spontan berkata saat ini berada dilingkup kabupaten ujung kulon Jateng ketika Universitas Muhadi Setiabudi adalah obyek pertama yg terbaca di awal kehidupan ragaku. Bahu jalan yg berupa tanah berdebu, menjadi lajur dadakan sebagai daruratisme under construction lajur kanan supaya jalan lintas provinsi ini tidak merosot dari tipe 2x2, meskipun adanya lajur sementara itu belumlah mampu mengentaskan para pelukis malam dari kemacetan.
Lucu ku tujukan pada pemandangan yg dihadapi B8, sebuah chasis yg mungkin akan menjemput body-nya ke Malang, Magelang, atau Ungaran itu nekat memilih tanah yg dipenuhi lubangan lagi gundukan sebgai medannya. Sungguh, seperti apa sopir engkel yg konon bergaji tinggi itu, merasakan guncangan akibat permukaan yg bersinggungan dengan roda jauh dari kata mulus. Sedangkan kendaraan yg sudah on the road lengkap dengan fitur penunjang kelembutan berupa suspensi udara ini pun masih ku rasakan adanya gejala mental mental, ingkar dari sesnsai mentul mentul yg dibangun oleh rangkaian balon udara di setiap as rodanya.

Aku yg terlena dibuai pelukan Alldila, hanya mampu menyaksikan sisa sisa ekspedisi ini sesaat sebelum daratan beton jalan lingkar Alas Roban dilintasi.
Jika jalur paling lebar ini dicentang oleh sopir di antara dua jalur pembelah hutan jati lainnya, itu artinya bis tidak masuk rumah makan ke-dua layaknya bis ngetanan, muncul beberapa kegaduhan lagi dihatiku. Pertama, lantaran tidak adanya acanya mampir ngopi maka kendali masih abadi ditangan sopir tengah, padahal urusanku turun di Mangkang adalah sopir pinggir yg menjanjikannya. Kedua, tentang pertanyaanku yg urung terjawab, dimana tempat berpindahnya isi bungkusan yg bersembunyi di perut tas ke perut Piyik jika tidak ada rumah makan yg menjadi arena load-nya?

Di tengah risauku, B15 ngacir meninggalkan B8 di rumpun pepohonan yg beberapa ratus tahun silam pernah dibabat paksa oleh Mbah Herman Londo, seorang Gubernur Jenderal  Hindia Belanda yg pada masa itu menjabat kepala pelaksana pengadaan bentang jalan Anyer-Panarukan dengan nama proyek Jalan Raya Pos. Tak senang dengan ulah saudara mudanya, headlamp yg kini telah sold out dan berganti lampu royal itu terus di tempelkan pada bumper bawaan Karoseri Tentrem di depannya. Usaha perebutan posisi itu tak urung mematahkan speed yg dicapai Pahala Kencana Jetbus Nano Nano di depan RM.Sari Rasa. Tak mau dientengkan dengan cemooh 'kalah doyo', sekuat pacuan R235 ini pun akhirnya mampu melangkahi 260 tenaga kuda hasil olahan mesin belakang Mercy yg dari tadi ingin disosornya.
Hampir bersamaan, Kramat Djati New Marcopolo, Gunung Mulia Proteus, dan Shantika Masterbus harus mengakui skil driver dalam mengoptimalkan mesin rawatan mekanik mekanik kota ukir ini.

Menyusul B17 di Terminal Mangkang, tak ada tanda tanda rotasi tugas dari sopir tengah ke sopir pinggir, artinya rencana titip diri ke bis malam tujuan Solo pulih ke destinasi awal, Terboyo. Kenek pun juga sudah meralat saran yg dikemukakan beberapa jam yg lalu, ku iya-i rujukannya karena memang kondisi merubah haluan sebelumnya.

Ku hancurkan rangkaian mimpi yg dibangun Piyik dan Khepik menoler perpisahan yg tidak lama lagi (mungkin, wong ya belum tau dari Mangkang ke Terboyo itu memakan berapa waktu). Gragapan ditunjukkan Piyik ketika orang yg disanding dikursi 3D ternyata bukanlah sosok Nawang Wulan seperti dalam imajinasi tidurnya tadi. Tangannya langsung grayah grayah mengontrol keutuhan bungkusannya, rautnya plong manakala indera perasanya memastikan sesuatu di dalam tas itu aman dari sergapan kucing, sekarang namanya bukan nasi bungkus lagi, tapi basi bungkus.

Satu penumpang turun di depan RS.Sultan Agung, sebenarnya di sinilah seharusnya aku turun, sesuai dengan arahan yg diilmukan salah satu komentar grup BBC di facebook. Namun karena gagasanku itu belum tercium Piyik, daripada penjelasanku harus menjembatani kebingungannya di waktu yg tinggal beberapa detik saja itu, ditambah mata mata kenek yg selalu awas sehingga membuatnya mencegah gelagatku "Ngko sek, jik kono", akhirnya Terboyo lah yg menyudahi kebersamaanku dengan B8.

****

Nyandi Mas?
Ayo tak terke wae...
Naksi wae ayo Mas...

Sambutan para penyedia jasa yg bertengger di luar terminal, menjalani rutinitas paginya menjemput rezeki yg dianugerahkan lewat perantau perantau asal Semarang yg sedang jenguk kampung.

"Wes dijemput Pak", jurus Piyik untuk memblokade tawaran yg mengerubungi itu. Batinku, lelembut ngendi Yik sing arep marani awake dewe?
Sambil tangannya sibuk menghubungi teman yg katanya bisa memberinya arahan liku liku terminal besar itu supaya bebas dari ulah kriminalitas dan selamat sampai Solo.

"Kae lo pos polisi, jare bar medun bis ki kon nyebrang rono, nunggu bis neng pos polisi kae...", seruku ditengah usaha Piyik yg tak kunjung nyambung lewat jaringan selular dengan sohibnya itu.
Langkah akhirnya kami tujukan ke seberang jalan, menantikan moda transportasi orang bingung di dekat pos polisi yg ku tunjuk tadi.

Ndlalah, belum habis sebatang rokok, Royal Safari yg dari tadi ngetem di depan terminal mulai nggremet putar arah. Lebih ku ikhlaskan ludesnya sisa sisa batangan tembakau itu daripada raibnya kesempatan ini.
Cabut ! See you Terboyo...

Hmmm, tenang rasanya, sesudah bertolak dari sini, sak-keblasuk-keblasuk-e paling juga di Solo, kecuali kalau memang bis ATB ini yg keblasuk.

Tarif bis berkabin New Armada ini adalah 14.000 untuk rute tempuh T3, Terboyo Teko Tirtonadi. Selisih seribu rupiah lebih murah daripada tarikan kondektur Tunggal Dara Putera boemel class sebagai angkutan sambungan dari Solo ke Purwantoro.

****

Kesemsem dalam melihat, kemudian gandrung merasakannya, akan torehan bis bis laskar Gunung Muria, kini telah gugur oleh perjalanan ini, meskipun baru Bejeu, karena memang awalan, dari banyaknya nama lain.
Pamor yg disandang, apik, banter, dan murah pun diindahkan olehnya pada pengalaman perdana ini.
Entah, siapa lagi yg menarik sandingku suatu saat nanti datang kesempatan lagi, Nusantara, New Shatika, Haryanto, Muji Jaya, Tri Sumber Urip, bahkan Selamet sekalipun...

2 June 2013

Buktikan Merahmu


Kalau hari Sabtu berangkat ke Jakarta lalu Senin'nya balik lagi ke kampung, sementara hari Minggu yg menjadi interval waktu PP mesti ku manfaatkan untuk ke Bekasi melepas kangen. Hmmm, waktu yg ku rasa singkat, apalagi tujuan utamaku kali ini adalah untuk mengantarkan mama ke Jakarta, sehingga aku harus bisa tiba sedini mungkin, toh kalau bisa sampai lebih awal berarti luang waktu istirahat sebelum aku memulai perjalanan ke Bekasi juga lebih lama.
Repair jalan Pantura yg tak pernah ada hentinya adalah satu hal yg aku kawatirkan menghambat waktu tempuhku, kabarnya usaha Pemerintah untuk kebut perbaikan jalan sebelum tiba arus mudik lebaran menjadi momok di balik kemacetan panjang di daerah Pemanukan.
Intinya, aku harus mencari solusi agarku tak terjebak kemacetan itu, dan ku pikir satu satunya cara untuk itu adalah ikut PO yg keberangkatannya lebih awal, kenapa? Karena saat bis tiba di titik kemacetan, niscaya lalu lintas belum dipenuhi oleh bis bis malam yg berangkat di waktu normal, sehingga memungkinkan macetnya belum terlalu parah.
Agra Mas, ya... seketika terlintas di pikiranku untuk menggandeng PO yg dulu pernah mengecewakanku itu. Namun itu dulu, saat arus balik lebaran tahun 2009, yg notabene PO berkelir merah itu belum resmi membuka trayek ke Wonogiri seperti saat ini, kalau teringat pelayanannya ketika itu, rasanya mustahil lah aku bakal mau bermitra dengannya lagi.
Tapi, sekarang lain, dari aneka kabar yg tertangkap, mengatakan bis yg bermarkas di Karawang ini reputasinya bagus, dan itu aku amin'i lantaran terus bermunculan armada armada gres utuk mengukuhkan squatnya, dan juga telah menihilkan sistem sarkawi yg dulu pernah dianutnya. Dan satu lagi, di awal trayek resmi ke Wonogirinya diraih, ada yg bilang bahwa bis ini jam 7 malam telah mencapai kota pemalang arah Jakarta, woow sungguh... di saat yg lain masih mengarungi aspal Tol Semarang, bis ini mampu melesat lebih dari 100km di depannya.
Biarlah, kenangan pahit yg lalu bersamamu akan ku hapuskan, dan kini aku harapkan untukmu memberi yg terbaik kepadaku, buktikan merahmu wahai Agra Mas...
"So, mobile sing jatah Bogor body Evolution iki, piye sido melu Agra ora?", begitulah suara earphone'ku saat jam 7 pagi nada dering HP ku memberantakkan mimpi indahku. Yups, konsekuensi yg patut di acungi jempol, bis berangkat lebih awal ditandai dengan agen yg buka lebih pagi, dan itulah suara temanku yg hendak melakukan trip bersamaku nanti, dialah yg aku percayai mecari tiga lembar tiket.
Masa bodo lah, entah armada berparas apapun yg jalan, aku tak memilah milih, yg aku mau kali ini adalah yg penting Agra Mas.
Jam sembilan aku telah stand by di pinggir jalan raya, katanya sih dari terminal take off jam 09.30 makanya aku siap 30 menit sebelum keberangkatan, bukan takut ketinggalan, tapi belajar on time, disiplin, menghargai kru gitu lah lebay'nya, hehe...
Sayang, info agen ternyata meleset 30 menit, membuat aku harus duduk dalam kebosanan selama satu jam. Jam 10.00 temanku yg lokasi penantiannya di desa Sukomangu menelfonku memberi kabar jika bis telah lepas landas, tak lama bis merah polos rajutan karoseri Bogor itupun tiba juga menghampiriku, dengan sekali kedipan mata Marcopolonya diiringi suara klakson khas hino serta kelap kelip lampu hasyrad, mengisyaratkan padaku bahwa dialah bis yg aku tunggu.
"Bagasi kabeh ora mas...", tanya sang kenek saat membukakan pintu bagasi untuk sebuah kardus dan tas jinjing yg dibawa ibuku. Tanpa ada pinta dariku, helper itu seakan langsung tanggap akan kebutuhan tempat untuk barang bawaan penumpangnya, baru kali ini lho aku menemui sesuatu seperti ini...
2AB, nomor seat untuk kami berdua, sedang temanku Piyik menempati satu seat di depanku, kursi keramat yg selalu menjadi incaran para BMC yg doyan touring.
Fasilitas selimut lengkap dengan bantalnya, hanya saja lubang AC'nya berada di dalam bagasi atas, tak terletak di setiap plafond di atas tempat duduk penumpang, melihat hal ini aku yakin bahwa bis ini sebelumnya adalah bis kota atau bis pariwisata yg di legalkan untuk divisi malam.
Sopirnya ramah, santun lagi, setiap kali satu persatu penumpang naik dari agen yg dilewatinya langsung disapa olehnya "Monggo Pak / Bu... dipun persani wonten tiket'ipun lenggahe nomor pinten...".
Keneknya juga selalu berbahasa krama baik dengan para penumpang atau dengan sopir, kebiasaan yg telah lama tak ku temui, jadi ingat kenangan saat dulu masih setia dengan Gunung Mulia, kenek selalu berbahasa halus dengan sopirnya, terkesan lebih etis, dimana jabatan lebih rendah akan menuakan dan menghormati pada yg lebih tinggi, inilah etika yg patut dicontoh.
11.30 bis memasuki terminal Wonogiri, sudah ada satu armada disitu dan ada lagi dua armada yg menyusulku, aku gak melihat kode BM berapa saja yg menjadi nomor body Agra divisi bis malam di situ.
Setengah jam waktu yg dibutuhkan untuk urusan transfer penumpang, dan mantabnya lagi bis yg aku tumpangi telah full seat dari terminal Giri Adipura ini, berarti laju bis nantinya bakal langsung bablas, tanpa mampir mampir di agen lagi, sipp lah... lumayan bisa mempercepat waktu tempuh.
Dari sini kendali setir telah beralih kepada driver yg baru, lho padahal kan belum sampai rumah makan kok sudah oplosan ya, ooh rupanya Agra menganut sistem sopir langsir, dan baru di sinilah lingkar kemudi dipegang oleh sopir pinggir aslinya.
Masuk terminal Kartasura, belum terlihat pasukan Laju Prima ngumpul di sini, pertanda bisku tiba lebih awal darinya.
Lepas Kartasura, temanku Piyik bergegas meninggalkan kursi idamannya dan berpindah ke seat CB berdampingan dengan sang kenek, aku lebih memilih tidur, enggan buat ninggalin seat 2B ku, pasalnya kalau itu aku lakukan berarti aku juga ninggalin ibuku, gak ah... lebih baik bobok manis aja...
Sebelum memasuki Tol Semarang, dua unit Purwo Widodo "Kian Santang" mulus di take over.
Tepat jam enam sampailah di persinggahan makan malam, rumah makan Raos Eco. Tempat service makannya berderet dengan Tunggal Dara Putera, Sari Giri, dan Travel. Tak ubahnya dengan Laju Prima, di sini pun lauk utama tetap diambilkan oleh si pelayan rumah makan, tidak seperti di Sari Rasa atau Taman Sari yg kesemuanya diambil oleh si penumpang yg hendak makan, sebenernya ini prasmanan apa bukan sih?
Suasana ruang makan masih sepi, hanya bisku dan satu unit Sari Giri saja sebagai penghuninya.
Jadi ingat, dulu waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah makan ini, belum ada yg namanya service makan prasmanan di sini, semua yg masuk di sini adalah dengan membayar dulu apa yg telah dipesan, baru deh dimakan.
Saat itu Timbul Jaya, Sedya Mulya, dan Serba Mulya masih berlangganan di sini, sebelum akhirnya keberadaannya tergusur oleh Laju Prima dan Agra Mas yg menguasai stand parkir di rumah makan ini.
Setengah jam berlalu, kini giliran driver tengah yg bertugas memacu mesin Hino RG ini. Kata temenku Piyik yg juga ternyata kenal akrab dengan pak sopir itu, namanya adalah Pak Tulus yg merupakan eks Gunung Mulia.
Menyusuri tanjakan Plelen Sinar Jaya 55 AC harus rela memberi jalan untuk pak Tulus maju ke depan, di Subah Gunung Harta mesti terlewati karena lajunya yg merayap, pariwisata Muda Perkasa dan AM Shantika pun pasrah saat diasapi di Batang, hingga akhirnya harus terjebak kemacetan yg lumayan panjang bersama Sinar Jaya 26 2X, Dedy Jaya "One Heart", dan Coyo di Pekalongan lantaran adanya acara pembukaan Mall baru.
Sepanjang perjalanan, sang sopir dan kenek banyak membicarakan uang jalan yg di jatahkan manajemen pada kru, mulai dari konsumsi solar, uang makan, uang cuci bis, sampai pada sisa dari keseluruhan biaya satu perjalanan yg nantinya bakal menjadi hak milik ketiga kru itu.
Kenek yg akhirnya ku ketahui bernama Pukit adalah orang Pacitan, yg saat ini sedang di alih tugaskan untuk line Purwantoro. Dalam pengakuannya dengan pak Tulus, sebelumnya dia bekerja di Pacitan Jaya Putra untuk bis kecil jurusan Pacitan-Nawangan, semenjak reputasi perusahaan yg dinaunginya meredup, kemudian dia memilih hengkang dan sampai sekarang bercengkrama dengan Agra Mas. Dikatakan pula, konon keseluruhan armada PJP saat ini hendak dijual dengan nilai 4M termsuk garasi dan ijin trayeknya.
Sebelum masuk Tol Cirebon, pak Tulus menghentikan armadanya, sementara Piyik turun untuk mengganjal ban menggantikan tugas seorang kenek karena dialah yg saat itu menduduki seat CD. Entah kenapa mesti diganjal, apakah armada eks Marissa Pariwisata ini fungsi Hand Rem'nya telah ditanggalkan?
Setelah mata terpejam, aku kembali terjaga ketika bis berhenti di rumah makan Taman Sari untuk kontrol penumpang.
Dari sini kendali setir masih tetap dipegang pak Tulus.
Kemacetan di Pemanukan menjadikan pak Tulus ragu untuk memilih lewat jalan mana, antara jalan alternatif menghindari macet atau tetap lewat jalan utama menerjang kemacetan panjang. Akhirnya pak Tulus memberanikan diri untuk tetap melaju di jalur utama dengan alasan waktu dini itu adalah hari Minggu yg niscaya lalu lintas tak seramai hari kerja, dan benar saja, ternyata justru tiada sedikitpun kemacetan yg terjadi di sini, sipp deh, bakal tiba di Jakarta sebelum fajar.
Oplosan driver pinggir berlangsung di Poll Karawang. Dari sini kenek tampak sibuk dengan DP (Daftar Penumpang) yg ada di tangannya, tak lain seperti seorang kenek bis bumel yg memberi aba aba turun pada penumpangnya. Yups, beginilah mestinya tugas seorang kenek, mengatur naik turunnya penumpang, dengan begitu maka tak akan ada kejadian penumpang kebablasan, toh itu juga bisa mencerminkan reputasi lebih lagi kan untuk PO nya.
"Pall, Pall, ingkang Pall wonten tigo, monggo persiapan...", hingga akhirnya aba aba mas Pukit pun jatuh padaku, di sini lah aku, ibuku, dan Piyik turun.
Ku lihat jam di HP, 04.00... Waktu yg masih begitu pagi, masih ada senggang waktu untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Bekasi nanti.
Semua berakhir seperti apa yg ku harapkan, kini telah kau buktikan merahmu padaku wahai Agra Mas...