Berawal dari acara hunting yg telah terencana dari minggu
lalu, maka pagi itu aku beranjak dari rumah untuk menuju lokasi yg bakal
menjadi background'nya dengan naik bis.
Dari arah terbitnya matahari, terlihat sebuah bis bumel putih dan itu pulalah
yg membawaku mencapai jembatan Kalimider, sebuah jembatan yg merupakan titik
perbatasan antara kecamatan Slogohimo dan Purwantoro.
Ku pilih deretan kursi paling belakang sebagai singgasanaku dalam menempuh jarak sekitar 6km itu.
Kondektur, sesuatu yg jelas tak asing lagi pada mata yg sedang melayangkan pandang ke kabin bis bumel, segera ku umpankan tanganku yg menggenggam dua lembar pecahan 2000'an pada kasir jalan itu. Masih segar teringat olehku, "EKO", yups itulah nama asisten keuangan pada armada Gunung Mulia 22 Sabtu itu. Kiranya tak kurang dari empat tahun aku tak pernah bertemu denganya seusai aku mendapat ijazah STM pada 2008 lalu, tak ada niat untuk berbasa basi dalam sepatah katapun dengannya, toh pikirku mana mungkin dia masih ingat dengan roman wajahku.
"Arep nyandi?", tanyanya padaku, hmmm pasti dia cuma sok tau saja padaku karena kaos yg ku sandang ini bercorak gambar Legacy SR1, jadi mungkin dia sok akrab dengan para penggemar bis. "Jatisrono", sekata tanpa embelan ku balaskan.
"Saiki kerjo neng endi? Bar lulus kok ora tau ketok?", ups, mungkinkah dia masih ingat pada aku yg dulunya sering berjumpa dalam suasana desak desakan di armada Gunung Mulia 53?
Bersumber dari fenomena pagi itu, aku jadi teringat akan kenangan masa masa putih abu abu ku dulu kala, yg mana di ketika itu seorang pelajar tingkat menengah atas begitu mengidolakan armada Gunung Mulia sebagai sarana bertransportasi antara rumah dan sekolah.
Di dekade itu, ku ingat ada 11 unit armada yg mengisi jalur Solo-Purwantoro dan satu unit yg ditugaskan sebagai armada cadangan. Jam paling awal diisi oleh 06 yg biasanya dipenuhi oleh anak sekolahan Jatisrono baik berangkat ke sekolah ataupun pulangnya (ndilalah kok jamnya pas banget), lalu tiga diposisi terakhir adalah 50, 51, dan 53 yg dilanggani oleh penyandang osis dari Wonogiri sewaktu pulang sekolah.
Apalagi kalau hari itu adalah Sabtu, dimana yg biasanya ngekost pun pada pulang, hmmm harap harap cemas deh, jangankan tempat duduk, secelah ruang untuk menapakkan kaki dan pegangan tangan pun susah diperebutkan.
Padahal, andaipun berkenan, saat itu ada bis dari PO lain sebagai selingan dari urutan jam Gunung Mulia, atau kalau tidak, di belakang jam Gunung Mulia juga masih ada bis lain yg cukup longgar. Namun kenapa ya, saat itu mereka lebih demen berdesakan dalam sebuah ruang yg panjangnya tak lebih dari 12 meter itu. Toh juga gak ada sistem member yg bisa memberikan diskon pada penumpang langganannya, jadi harga tetap sebanding dengan bis lain, gak ada pula undian berhadiah bagi mereka yg sering ikut.
Lantas apa yg mengilhami kegilaan mereka pada bis berbadan putih itu? Gengsi... Ya, itulah niscayanya. Sebagai manusiawi yg hidup di usia belasan, tentu emosional merupakan warna dari keremajaannya. Wajar saja, di samping mereka berlomba dalam menggapai prestasi, soal kepribadian, fashion dan lifestyle pun turut dipertontonkan menjadi pertaruhan, dan itu pulalah yg mencangkup rasa "Bis yg aku naiki mesti bagus" dari mereka.
Memang apa adanya, mungkin hingga kini pun di jalur Solo - Purwantoro itu masih Gunung Mulia lah yg armadanya paling recomended. Sehingga tak mustahil, jiwa seorang muda yg emosinya masih subur berapi api mengidolakan bis berkelir grafis tiga warna garis itu.
Monggo dinilai sendiri, inilah sebagian wajah mulus beberapa prajurit kerajaan Gunung Mulia yg berjuang di jalur pertempuran Solo-Purwantoro...
Ku pilih deretan kursi paling belakang sebagai singgasanaku dalam menempuh jarak sekitar 6km itu.
Kondektur, sesuatu yg jelas tak asing lagi pada mata yg sedang melayangkan pandang ke kabin bis bumel, segera ku umpankan tanganku yg menggenggam dua lembar pecahan 2000'an pada kasir jalan itu. Masih segar teringat olehku, "EKO", yups itulah nama asisten keuangan pada armada Gunung Mulia 22 Sabtu itu. Kiranya tak kurang dari empat tahun aku tak pernah bertemu denganya seusai aku mendapat ijazah STM pada 2008 lalu, tak ada niat untuk berbasa basi dalam sepatah katapun dengannya, toh pikirku mana mungkin dia masih ingat dengan roman wajahku.
"Arep nyandi?", tanyanya padaku, hmmm pasti dia cuma sok tau saja padaku karena kaos yg ku sandang ini bercorak gambar Legacy SR1, jadi mungkin dia sok akrab dengan para penggemar bis. "Jatisrono", sekata tanpa embelan ku balaskan.
"Saiki kerjo neng endi? Bar lulus kok ora tau ketok?", ups, mungkinkah dia masih ingat pada aku yg dulunya sering berjumpa dalam suasana desak desakan di armada Gunung Mulia 53?
Bersumber dari fenomena pagi itu, aku jadi teringat akan kenangan masa masa putih abu abu ku dulu kala, yg mana di ketika itu seorang pelajar tingkat menengah atas begitu mengidolakan armada Gunung Mulia sebagai sarana bertransportasi antara rumah dan sekolah.
Di dekade itu, ku ingat ada 11 unit armada yg mengisi jalur Solo-Purwantoro dan satu unit yg ditugaskan sebagai armada cadangan. Jam paling awal diisi oleh 06 yg biasanya dipenuhi oleh anak sekolahan Jatisrono baik berangkat ke sekolah ataupun pulangnya (ndilalah kok jamnya pas banget), lalu tiga diposisi terakhir adalah 50, 51, dan 53 yg dilanggani oleh penyandang osis dari Wonogiri sewaktu pulang sekolah.
Apalagi kalau hari itu adalah Sabtu, dimana yg biasanya ngekost pun pada pulang, hmmm harap harap cemas deh, jangankan tempat duduk, secelah ruang untuk menapakkan kaki dan pegangan tangan pun susah diperebutkan.
Padahal, andaipun berkenan, saat itu ada bis dari PO lain sebagai selingan dari urutan jam Gunung Mulia, atau kalau tidak, di belakang jam Gunung Mulia juga masih ada bis lain yg cukup longgar. Namun kenapa ya, saat itu mereka lebih demen berdesakan dalam sebuah ruang yg panjangnya tak lebih dari 12 meter itu. Toh juga gak ada sistem member yg bisa memberikan diskon pada penumpang langganannya, jadi harga tetap sebanding dengan bis lain, gak ada pula undian berhadiah bagi mereka yg sering ikut.
Lantas apa yg mengilhami kegilaan mereka pada bis berbadan putih itu? Gengsi... Ya, itulah niscayanya. Sebagai manusiawi yg hidup di usia belasan, tentu emosional merupakan warna dari keremajaannya. Wajar saja, di samping mereka berlomba dalam menggapai prestasi, soal kepribadian, fashion dan lifestyle pun turut dipertontonkan menjadi pertaruhan, dan itu pulalah yg mencangkup rasa "Bis yg aku naiki mesti bagus" dari mereka.
Memang apa adanya, mungkin hingga kini pun di jalur Solo - Purwantoro itu masih Gunung Mulia lah yg armadanya paling recomended. Sehingga tak mustahil, jiwa seorang muda yg emosinya masih subur berapi api mengidolakan bis berkelir grafis tiga warna garis itu.
Monggo dinilai sendiri, inilah sebagian wajah mulus beberapa prajurit kerajaan Gunung Mulia yg berjuang di jalur pertempuran Solo-Purwantoro...
bumel Gunung Mulia keren...
ReplyDeleteiya mass,,
ReplyDelete