Sehari sudah raga ini menaungi ibukota, urusan pergantian
expired'nya data rekening'ku sebagai
nasabah di dua nama bank cabang Cimanggis telah ku rampungkan 9 jam kemudian
usai mendarat dengan BM 014 pada pagi harinya, namaku juga
unregister dalam selembar tiket yg beberapa saat lagi akan di'
chek-in'kan di Soekarno Hatta
International Airport.
Batinku
"Yes, pulang kampung
lagi", sebuah kebahagian sesaat yg timbul manakala keadaan mengizinkan
untuk kembali ke desa, kok cuma sesaat, kenapa? Iya lah, lantaran kesenangan
bisa berlama lama menghuni ranah asli Jowo'ku itu terkait erat dengan soal tak
adanya
income, hingga jenuh niscaya
akan memporak porandakan ketentraman membumi di Wonogiri lantaran dompet tak
berisi, tapi bukannya sang tokoh pencetus musik campursari
Manthos berkata dalam embel embel salah satu tembangnya,
"Wes, mulih wae neng deso, mangan ra
mangan sing penting sugih", hahaha
think
a black.
Ya sudahlah, biar yg lain
take off
dari SHIA menuju bandara Syamsudin Nor dengan Citylink, dan aku akan meluncur
pula ke Purwantoro bersama seorang teman yg menyerah sebelum berperang ke
Banjarmasin itu karena hajat keluarganya yg tak lama lagi mewajibkan
kehadirannya, namun dengan maskapai apa ya???
Ku pikir, ini adalah
moment yg pas
untuk'ku merajut kesan kedua bersama PO muriaan, pasalnya aku telah menyonteng
2x BM 0XX dan 1x LP XX di kurun pasca lebaran tahun ini, secara dalam dua bulan
ini aku akan menjalani 4x perjalanan, hmmm rasa rasanya bosan juga di jalanan
kalau teralu sering, entah seperti apa ya yg terbiasa pulang kampung seminggu
sekali? Maka mencoba PO yg
never
dalam daftar'ku selama ini mungkin merupakan terobosan dalam mengikis kebosanan
itu.
Terkabar Pak Haji baru saja menambah empat unit armada gress untuk mengukuhkan
line selatan, tapi yg ke Solo kok gak ada yg dari Bogor, sedang yg dari Bogor
yg notabene via Pall Depok justru ke Prambanan, kalaupun turun di Kartasura
bisa menjadi jalan terbaik, maka harus setinggi apa tingkat kesabaranku dalam
menunggu bis dari Semarang sebagai transisi perpindahan ke Tirtonadi?
Atau malah Shantika? Konon akhir akhir ini armada seri 20 telah dialolasikan
menjadi seri A, itu berarti aku bisa naik dari Pall dan turun di Solo, entahlah
apakah perpecahan yg melahirkan dua nama baru di PO ini masih menggolongkan
Shantika
non New sebagai kelompok Muriaan atau tidak, yg penting aku bisa
merasakan pulang kampung naik
Raja
Kalajengking bertenaga
KEBO itu.
Namun sayang, option kedua'ku ternyata belum di'amini pihak agen yg menyatakan
Shantika divisi Ponorogo tak lagi di'squati oleh duo Scania itu. Apes apes...
Kapan ya mimpiku untuk sekedar bersemayam di atas chasis dari Swedia itu
terpeluk?
Dan option terakhir yg telah ku persenjatakan untuk bersiaga melawan kegagalan
adalah
Zentrum tujuan Gemolong. Belum lama kan melakukan touring gagal
total dengan niat awal ke Purwodadi namun akhirnya hanyalah sampai di Gemolong
saja, sehingga sisa sisa ingatanku akan tata arsitek daerah yg terkenal dengan
Gunung Kemukus'nya itu bisa ku jadikan modal pathokan untukku menuju Solo nantinya.

Seat 4CD telah diinformasikan oleh penjaga agen sebagai tempat penompang
tubuhku dengan banderol 280 ribu yg penebusannya dilakukan nanti bersamaan
waktu keberangkatan.
Mungkin memang bukan seh jawabannya, andaikan terlempar tanya apakah PO yg
bermarkas di Purwodadi ini masuk katogori bis Muriaan. Namun dari huruf awal
nomor polisinya yaitu K, cukup mengidentitaskan jiwa kemuriaannya, apalagi yg
paling menonjol kalau bukan soal speed.
Mengingat kala bercengkerama dengan si Hitam,
saat itu bis yg berkode TZ XX inilah yg merupakan rival tersengit sepanjang
perjalanan Jakarta-Semarang.
Di luar sisi kecepatan, aku begitu terpesona melihat corak dari sekujur bodynya
yg didominani gambar bola dunia berpeta Indonesia, begitu indah dan elegan
ditatapanku.
Jam 3 sore, waktu yg ditetapkan agen untukku tiba.
Zentrum biru menempati parkir paralel
urutan pertama di teminal bayangan Jalan Raya Bogor itu, tak sempat ku telusuri
berlabel TZ berapa, dalam hati hanya menanya apakah ini bis yg akan memelukku
malam nanti. Laju Prima berlampu
Royal menempati urutan selanjutnya, tak juga ku melirik berkode LP berapa, dan
jua tak begitu jeli apakah berkaroseri Adiputro atau Morodadi Prima. Di
belakangnya Harapan Jaya Legacy Lama
yg menjadi seri 8, tak kira kalau bis yg ini cuma sekedar bantuan kala arus
memuncak saja, pasalnya dari bodynya tiada terlukis gambar kuda yg
mengidentikkan divisi AKAP di PO Tulungagung itu, gak taunya sekarang kok juga
masih dioperasionalkan untuk kelas VIP.
Madu Kismo Scorpion King putih ungu
datang bersama saat ku hendak menyebrang jalan, lalu parkir menyusul Garuda Mas yg berada persis di depan
agen yg ku tuju.
"Wah,
lha iki langganane teko. Nyandi iki Solo opo ngendi?", sambutan
penjaga agen saatku mulai menginjakkan kaki ke dalam ruang tunggu yg tersediakan
olehnya. Heran heran gimana ya rasanya, beliau seh cukup mengenali wajahku,
bahkan sebutan langganan menandakanku lumayan sering menyambanginya, tapi
kenapa kok nomor HP ku tak juga disimpannya. Sehingga ketika aku memesan tiket
di luar tujuan semestinya (Purwantoro), pasti kedatanganku tak langsung di'welcome'i oleh tiket yg telah ku booking sebelumnya, sungguh berbeda jika
yg ku pesan adalah tiket Laju Prima atau Agra Mas.
Seseorang yg akhirnya ku ketahui adalah pengawal Garuda Mas, terlihat menunda
langkah kakinya ke dalam kabin JETBUS HD yg sepertinya hendak take off itu, seolah menunggu jawaban
dariku yg siapa tau bisa menjadi tambahan poin
untuknya.
"Aku
wis pesen Zentrum Gemolong mau lo Pak", jawaban singkatku
menyudahi rasa bingung sang agen.
"Owalah,
Zentrum to... Nggih mpun Pak Budi, wong biasane niki nggih teng Jepara nopo,
lali kulo...", sembari memberikan dua lembar tiket kepadaku dan
sepertinya menghentikan usaha pengawal Garuda tadi untuk menunggu jawaban
tujuanku.
"Yo
wes, yen ngono wonge telepon'en tak tunggu ngarep YKK yo?",
begitulah imbal balasan dari Pak Budi tadi. Mungkin Garuda Mas ini akan segera
berangkat, hanya saja ada penumpang yg belum datang ke agen, bener juga ya
konon terkabar bahwa PO ini jam keberangkatannya paling On-Time.
"Bis'e
udu sing neng ngarep kae Pak?", tanyaku menjurus ke Zentrum biru
yg ku maksud di atas.
"Udu,
bise ngko sing Ijo, ngarep kae Ekonomi kok...".
Di file group FB TransZentrum Mania
tercatat bahwa armada berwarna hijau dengan kelas VIP bermesin Hino RK8 plus
Air Suspension, okelah kalo begitu.
Tiga orang bersamaan denganku berada di ruang tunggu, dari tangannya terlihat
memegang tiket yg tak lain sama seperti yg ku punya.
Santoso, Raya, Gunung Mulia, Raharja Putra Mulya, Prayogo, Selamet, Shantika berhenti
silih berganti, menjadi tontonan lain pandangan mata ini mengarah jalan raya yg
ruwet akan suasana kepadatan lalu lintas itu.
Berselang asumsi waktu yg mengharuskan penumpang datang lebih awal dari jam
keberangkan yaitu 30 menit, TZ 58 pun
menyudahi penantianku. Seseorang yg kemungkinan adalah pengurus wilayah Pall,
mengarahkanku untuk naik ke bis yg berwarna hijau bersama dua orang bapak yg
sudah lumayan tua, sedang untuk seorang bapak yg bertujuan Cepu supaya naik ke
bis berwarna coklat, rupanya dari sini diisi tiga unit armada setiap harinya,
Ekonomi Gemolong, VIP Gemolong, dan VIP Blora.
Pintu tengah menjadi akses masukku, melewatkan toilet dan sedikit menyusuri
koridor maka sampailah tubuh ini ke pangkuan seat Hai, kursi bis buatan Rimba
Kencana yg ku gadang paling nyaman diantara yg pernah aku merasakannya.

Tata letak interiornya tak jauh dengan Bejeu,
mengadopsi sekat pemisah antara ruang kokpit dan kabin penumpang, berpintu
tengah, serta toilet rendah. Hanya saja Zentrum
ini lebih unggul satu unit LCD yg menggantung tepat di atas toilet, juga dengan
adanya sebuah sesuatu di plafond depan dan tengah yg mungkin itu adalah kamera
kabin.

Oh iya hampir lupa, perbedaan antara Bejeu dan Zentrum ini juga pada
seat nomor 3D nya, dulu di Bejeu ku rasa tiada yg spesial dengan seat itu,
namun di Zentrum begitu spesial lantaran dihuni seorang gadis yg ibarat kata
seindah bis yg dinaikinya, hihi...
Usai kontrol penumpang terlaksana, perlahan bis berjalan meninggalkan TZ 71 yg masih parkir berjamaah dengan Shantika Dreambus dan Gunung Mulia Proteus.
Stabilitas pijakan kaki sopir pada pedal gas mesti tak sempurna karena padatnya
arus kendaraan di Raya Bogor saat itu.
Agen Cijantung adalah titik pengambilan poin
selanjutnya, di depan terlihat bokong Blue
Titans sedang antri menunggu nyalanya lampu hijau.
Lolos dari lampu lalu lintas Mall Graha Cijantung, fly over Pasar Rebo menjadi rute tempuh untuk menuju persinggahan
di agen Pasar Induk menyusul HR 47 itu.
Penumpang telah terisi penuh sesuai dengan jumlah kursinya di agen ini,
sehingga bisa langsung joss tanpa mampir mampir lagi nantinya.
Keruwetan lalu lintas jalanan Jakarta Timur ini belum mencair juga, membuat
sopir hanya bisa pasrah menyalurkan skil'nya.
Teringat saat saat dulu, dimana ketika aku dalam perjalanan pulang kerja, pasti
selalu crash dengan Zentrum Ijo di sekitar sini, rasanya
hanya bisa melambaikan tangan untuk berkata ‘Dadaaa’ saja tanpa adanya
pandangan hati untuk kapan bisa menuruti kepincutnya hati ini padanya, kini aku
telah mampu berada di balik kaca yg ditembus oleh tatapan mata gadis gadis di
luar sana, namun kenapa juga tiada satupun yg melambaikan telapak tangannya
sebagai ungkapan ‘Dadaaa’, mungkinkah mereka tak kepincut sedikitpun padaku
Zentrum ini?
"Kebakaran
kebakaran", kata kata dari teman yg duduk bersamaku meleburkan
ironi lamunanku sepanjang perjalanan HEK - Taman Mini itu.
Nampaknya di luar tersuguh pemandangan yg sebenarnya tak patut dikagumi pun
menggugah empati lantaran ini bukan yg pertama kalinya terjadi. Kobaran api
berselimut asap hitam tebal dengan gagah perkasa memamerkan jati dirinya
sebagai Si Jago Merah melalap bongsor tubuh sebuah Trans Jakarta.

Hmmm, belum juga rencana dari wakilnya Pak Jokowi untuk mendatangkan unit unit
baru dari Swedia sebagai pengganti armada Busway
yg dinilai telah dibawah standar layak itu terealisasi, kok armada yg ada malah
terbakar lagi terbakar lagi. Mustahilkah akibatnya, bahwa fenomena seperti itu
niscaya akan menjadi momok yg menghantui niat masyarakat ibukota untuk
meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke transportasi masal? Seberapa
menarik iming iming pemkot, seberapa kuat janji akan bukti bahwa moda
transportasi yg direkomendasikannya itu aman dan nyaman? Huuh, kalau seperti
ini terus, kapan akronim PO yg ku naiki ini bakal tertanam di hati orang
Jakarta, ZENTRUM (ZamanE Numpak TRansportasi UMum).
Kumandang klakson khas Hino menjadi
acuan para pelalu lintas yg melambatkan tunggangannya untuk segera maju atau
minggir karena menutup badan jalan yg hendak dilewati bis'ku. Bagai menyiratkan
pertanda jikalau sang driver ingin segera menjauh dari tontonan gratis itu,
seolah tak mau batangannya menjadi sub-pandangan mata khalayak ramai sebagai
ajang sangkut paut akan nilai nilai keselamatan sebuah bis.
Menyusuri jalan di muka pintu masuk TMII dengan speed yg lumayan hingga akhirnya bergabung di jalan bebas hambatan
lingkar dalam via gerbang Bambu Apus.
Seperti yg terjadi selama kurun waktu setahun terakhir ini, kondisi simpang
susun Cikunir yg merupakan transisi perpindahan dari toll JORR menuju toll
Cikampek belum berangsur membaik dari status tersendat.
Hati ini menyalurkan sinyal ke indra penglihat untuk lebih condong menikmati
suguhan layar LCD ketimbang berbaur dengan panorama jalanan yg tak diindahkan
oleh keadaan. Artis panggung Jawa Timur seperti Lilin Herlina, Wiwik Sagita,
Vivi Rosalita, Ayu Arista, serta Brodin cukup menjadikan entertaiment untukku lewat alunan tembang yg dilantunkan bersama OM
New Pallapa itu. Teringat dulu pernah sekilas menyimak sebuah forum, yg di situ
tertulis sebuah pendapat mengatakan bahwa bis bagus itu akan hilang kesannya
manakala terhiasi oleh gambar LCD yg mempertontonkan aksi panas sebuah pentas
dangdut koplo. Namun untukku pribadi itu salah besar, selain kesalahan dalam
menyangkut pautkan antara bis dan fasilitas hiburannya, toh Orkes Melayu Jawa
Timu'ran seperti New Pallapa dan Monata juga tak senonoh dalam memeragakan
aksinya, tiada erotisme yg terkesan
lewat gerakan tubuhnya. Kalaupun ada yg membenarkan pendapat ngawur tersebut, silakan menelisik
tentang sebuah maskapai swasta dengan tabir tingkah polah para pramugarinya
saat di luar jam terbang, apakah itu tidak lebih melenyapkan segala kekaguman
akan pelayanannya?
Sinar Jaya 9RA menjadi kontestan
pertama yg berhasil mendapati kata nuwun
sewu dari sopir di Cikarang Pusat.
Di Karawang Timur, menyusul Harapan Jaya
berkode bis 4 mesti mengakui jati
dirinya sebagi PO yg mengutamakan kenyamanan dan keselamatan, bukan kecepatan.
Tepat di bawah jembatan jalan toll Cipularang, Raya New Proteus entah seri apa, dan Sinar Jaya 6DX begitu mudah dilalui dalam sekali sikat, namun tidak
pada Santoso yg menjadi pimpinan
konvoi dua unit bis tadi. Lalu lintas ramai lancar membuat bis ber’tag-line Lelaki Cadangan itu tetap
melenggang di depan himpitan Zentrum'ku
yg pada akhirnya harus merelakannya bebas merdeka karena pilihan dua gerbang
toll yg berbeda, TZ 58 exit via
Dawuhan sementara Santoso tetap lurus
untuk menghabiskan sisa lahan toll Cikampek itu.
Jam pulang kerja karyawan pabrik dan rapatnya Hiba Utama sebagai penguasa pasar bis antar jemput berimbas pada
antrian panjang di sepanjang jalan kawasan BIC ini. Memanfaatkan jalur lawan yg
sesaat sedang sepi menjadi siasat untuk meringkas waktu dalam berbaur dengan
kemacetan.
Garuda Mas New Celcius Non AC menjadi
salah satu di antara puluhan truk besar yg berhasil diambil alih posisinya.
Namun Garuda Mas Jetbus HD VIP dan Sinar Jaya SR-1 berbalik memecundangi
kesabaran sopir yg enggan untuk merampas jalur kanan karena titik persimpangan
dengan jl. Jend Ahmad Yani sudak tak jauh lagi.
Mentari yg mulai letih, membuat lampu lampu menggantikan sinarnya. Nuansa
pandang ke pinggiran jalan menelusuri suasana habis senja tak begitu jeli lagi,
melongok ke depan pun tiada arti, hanya deretan truk saja yg mendominasi, bukan
hal yg patut ku hadiahi kata ‘Woow’
kalaupun lajunya terinjak oleh keganasan kaki sopir akan pedal gasnya. Dua
layar datar di belakang sekat pemisah pun tak ubahnya bagaikan matahari yg tak
mampu abadi, ditambah remang remang biru beberapa buah lampu tidur yg menghiasi
atap atap kabin, rasanya tiada hal lain yg memikat hatiku selain menyudahi mata
ini menerawang dunia nyata untuk sementara.
Suara glodakan saat melintas medan yg
amburadul terkadang menggugah
ke'tidak-sadaran'ku. Aneh, kenapa suspensi BM
014 itu begitu nyaman, bahkah nyaris seimbang dengan OH 1626, padahal tak lain hanya berchasis RK8 tanpa tambahan balon
di setiap axle'nya, lantas ini yg
sudah di aplikasikan perangkat air
suspension kok justru masih keras begini, ah siapa tau sejarahnya dulu
sewaktu masih gress TZ 58 ini juga
tercatat nyaman, dan siapa tau juga misteri masa depan akan BM 014 nanti, selain hal perawatan kan
faktor waktu juga menyebabkan umur sesuatu selalu bertambah.
‘Byaaar’, silau lampu utama kabin
membuka mata ini, ku toleh ke sisi samping, tertangkap sebuah rumah makan di
seberang kanan jalan, jadi ini tempat langganannya Trans Zentrum Bus, RM.Nusantara 2. Seperti tak ada
tanda tanda kehidupan di rumah makan ini, tiada satupun makhluk yg menghuni lahan parkir sebelumnya, sungguh berbeda dengan
tetangga sebelahnya 'Taman Sari 2' yg
begitu meriah dengan berbagai nama PO.
Sobekan kecil dari bagian cover tiket
menjadi alat pertukaran dengan sekepal nasi putih, sejernih kuah sayur nangka,
sebutir telur bulat, dan sekuasanya telapak tangan dalam mengambil kerupuk,
serta segelas teh manis panas.

Ini lebih familiar jika disebut sebagai sayur prasmanan daripada makan
prasmanan, betapa tidak, nasi yg di rumah makan lain dipersilahkan mengambil
semaunya, lain halnya dengan di sini yg diambilkan oleh pelayannya sebanyak
takaran cetak di rumah makan padang pada umumnya, itupun dengan rasa nasi yg
sepertinya kurang matang. Lalu dengan keberadaan telurnya, sudah barang pasti
jikalau hanya diperbolehkan menuangkannya satu saja ke atas piring, begitupun
minumannya, mustahil ada yg mengambil lebih dari segelas. Jadi, hanya sayur
nangka berkuah bening saja lah yg free
untuk diambil semarem niatan. Pantas saja setelah semuanya kembali ke kabin Royal Coach, banyak penumpang yg ngoceh
akan buruknya pelayanan dinner di PO
ini, sampai sampai ada yg compare
dengan Garuda Mas yg merupakan rival
utama Zentrum Purwodadi'an.
Tiada kontrol penumpang terlakukan disini, sopir tengah mulai memberangkatkan
armadanya saat TZ 01, TZ 65, dan TZ 71 menyusul di belakangnya.
Beberapa kilo meter meninggalkan persinggahan, roda kembali berhenti di sebuah
SPBU, uang jalan berkurang 500 ribu untuk membuat isi tangki bertambah 91 liter
bahan bakar.
Kondisi jalanan lancar, namun tiada lawan di depan menampakkan bokongnya, hanya
kendaraan barang saja yg membuat sopir harus banting setir kanan kiri untuk
bisa bertahap melaluinya.
Tiga unit layar datar kembali difungsikan, kali ini mempersembahkan tiga
legenda humoris Indonesia Dono, Kasino, dan Indro, namun bukan lewat film Warkop
DKI'nya. Sayang, suara raungan mesin dan blower AC cukup menghalangi
getaran yg dihasilkan oleh speaker kabin ke telinga'ku, sehingga suaranya hanya
terdengar lirih.
Silau cahaya akibat pancaran video dari brand LG itu membuat kalah manakala
mata memandang keluar menembus kaca, apalagi dengan tiadanya aksi yg menarik
untuk diminati, akhirnya aku pun terlena akan kelucuan drama yg diperankan oleh
tokoh kawakan itu.
Mencapai Provinsi Jawa Barat paling timur, tersendat mulai menjadi gejala dan
akhirnya macet yg merupakan penyakitnya pun menyerang.
Harapan Jaya bis 8 dan bis 10, Sahabat Shangrilla, serta Sinar
Jaya 04RA berhasil dikhianati lewat style
gunting kanan gunting kiri, namun usaha yg tak mudah itu harus bagaikan tak
berarti saat HR 94 dengan percaya
dirinya melesat lewat jalur kanan.
Pemindahan jalur yg menjadi pangkal kemacetan akhirnya tertembus, lamat lamat
sebuah bokong Jetbus HD putih berkelir merah biru tertangkap di mataku, makin
lama makin mendekat dan makin menipis saja jaraknya dengan hidung Zentrum ini, biar jarak tinggal
selangkah lagi namun Rosalia bernomor
lambung 400 itu gesit juga, rentetan
lampu dim yg diarahkan ke spionnya justru memancingnya untuk semakin lincah
saja. Hingga akhirnya harus terlampaui bersamaan dengan HR 29 dan Raya Panorama DX
saat melewati gerbang toll Plumbon.
Ku nanti lewat pandangan ke kanan kiri, tak segera muncul perlawanan lagi oleh
tiga bis di belakang tadi, di depan samar samarpun juga tak terlihat gambaran
stiket Premire Class yg ngeblong
tadi.
Kurang tidur di malam kemarin berefek juga pada saat ini, padahal baru sampai
toll Kanci kok sudah terasa kurang daya begini, tidur gak ya, gimana nanti
kalau bakal terlukis cerita yg bisa menjadi kenangan akan malam ini? Lah, tapi
mana juga musuhnya, biarlah aku menuruti hasrat mata ini, apa yg telah
diunjukkan dari Jakarta sampai di sini sudah cukup menciptakan sebuah keindahan
bagiku, pun nanti bakal ada tragedi yg terabaikan karena mimpiku, aku berjanji
untuk tak akan menyesalinya, karena ku
mencintainya setulus hatiku...
"Telolet
Telolet Telolet..." suara klakson yg akrab disebut sebut khas Efisiensi itu menggugahku dari mimpi,
merubah segalanya tentang alam bawah sadarku pada kenyataan bahwa inilah kota
Pemalang, rupanya dua kabupaten di pesisir Pantura begitu cepat menjadi masa
lalu perjalanan ini, pantas saja 9 dari 10 wanita memilih softex tidur
saat berada di dalam bis, mungkinkah itu untuk mengakali akan panjangnya waktu
tempuh yg dirasakan? My be...
Rosalia Indah New Celcius lebih dulu dapat ditaklukkan sebelum akhirnya
terhalang rintang oleh jalur dua arah yg menyunahkan mendahului saat situasi
dan kondisi dari lawan arah berstatus minim akan terjadinya crash, dengan begitu maka cukup lama
bis'ku mencumbu bokong New Marcopollo'nya
sebuah Laju Prima, ungkapan selamat
tinggal dariku tercipta ketika LP 42
itu menepi ke pinggiran jalan.
Biarpun pendek, namun kemacetan di Kota Batik cukup membuat TZ hijau ini terlangkahi oleh empat
rivalnya sekaligus lewat blong kiri. Pertarungan belum berakhir, titik
perpisahan masih jauh, bahkan jalanan Pekalongan pun belum pupus, perlahan tapi
pasti, mencuri kesempatan lewat celah celah dari truk truk lambat, akhirnya OBL New Travego harus menundukkan
kepalanya, duel Merah Maroon SR-1 dan
Marcopollo ala Revolution adalah
korban pembalasan urutan selanjutnya, dan terakhir kelihaian NL 400 mesti kesabet untuk yg kedua kalinya
di tikungan Subah.
‘Byarrr’ untuk yg kali keduanya
membuatku mengucek mata menyahabatkan dengan ungkapan habis gelap terbitlah
terang.
Ku kenali lokasi dimanakah saat ini aku berpijak, di samping kanan ada Kramat Djati, sedang RosIn Evonext berada di sebelah kirinya,
ingatanku mengatakan inilah halaman belakang Sari Rasa, rumah makan
terbesar dan terbersih serta terbanyak pula bis yg menyambanginya.

Aduh, tau tau kok sudah di sini, ternyata di Subah tadi aku tanpa sadar kembali
terjun ke dunia mimpi, yaaah jadi terlewatkan saat saat bis'ku menyusuri
turunan curam dan tikungan tajam jalur alas roban, ah tak mengapa lah, pun
begitu tetap saja cintaku dengannya malam ini begitu indah...
Toilet menjadi tujuan utama langkah ini, kalu gak ke toilet trus kemana juga,
andai di rumah makan lain tentu ada pilihan stand
coffe atau kalau tidak pedagang jahe anget dan jagung rebus, kalau di sini
selama aku berkecimpung bolak balik PP Jakarta belum pernah yg namanya ngopi di
rumah makan ini.
Namun sekarang beda, biar tak semegah di tempat lain, yg menyediakan kursi dan
makanan ringan lainnya, ternyata di samping toilet ada sebuah kedai kopi dan
teh manis, syukur deh bisa sedikit menggertak badan yg beku karena hembusan
kondisi hawa Thermo King.
"Berapa
Mbak kopi dua?"
"Sepuluh
ribu Mas", lho kok cuma sepuluh ribu, bukannya kalau kopi susu
dibanderol 7500? Ya sudahlah, lumayan
sisa kebaikan Mbak Mbak penunggu kedai ini bisa buat ngopi lagi nanti di Solo,
hihi...
Dengan habisnya segelas kopi mix dan dua batang black cappuccino serta
bersamaan dengan datangnya RosIn NL 172,
kembali saatnya untuk take off di
belakang kendali driver pinggir.
Kali ini mata sengaja tak akan ku biarkan terpejam, biarpun sedikit ku paksakan
namun itu demi meniti seluk beluk jalur Semarang-Gemolong yg baru akan ku
sambangi sekali ini.
"Semarang
Semarang, ingkang Semarang wonten mboten nggih?", seru kenek yg
tampak berjiwa sabar dan murah senyum serta sapa itu ketika hendak memasuki
terminal Mangkang.
Penumpang masih utuh hingga bis keluar toll dan menyusuri jalan Majapahit.
Perempatan Karangawen menjadi saksi bisu kelonggaran kabin dengan berkurangnya
lima orang penumpang.
Gubuk, Godong, Penawangan, perlahan satu persatu penumpang mulai out dari
persinggahannya, hingga berimbuh lagi saat mendapat transit dari TZ 70 di Poll Purwodadi.
Bis kembali mampir menambah energi solar di SPBU Simpang Lima bersama TZ 65. Keluar dari SPBU yg terletak
berseberangan dengan dealer Honda Harpindo Motor itu, Rela yg nantinya bakal jadi moda transitku ke Tirtonadi sudah
namapak ngetem di situ, batinku tenang setelah sempat kawatir kalau tiba
kepagian sehingga belum mengejar operasional jam bumelan Solo-Purwodadi.
Di kawasan hutan Raya Geyer, tampak dua unit truk dan sebuah medium bus
berhenti di depan bis'ku, cukup lama antrian yg tak ku pahami apa penyebab dan
tujuannya ini. Pedagang tahu asongan memanfaatkan deretan kendaraan yg tak
kunjung berjalan ini sebagai lahan buka lapaknya, sebuah tanda tanda kalau
kemacetan ini bukan baru terjadi saat ini saja.
Ternyata di depan sedang ada pengecoran separo badan jalan, sehingga
diberlakukan sistem buka tutup jalur secara bergantian, hehe gak di Pantura gak
di sini kok pada' bae'.
Selepas jalan normal, greget sopir makin menjadi jadi, keganasannya melibas
truk truk di depannya tanpa peduli tanjakan dan tikungan tikungan pendek
seperti ini cukup menyiutkan nyaliku. Bahkan Rela yg sempat mendahuluinya saat bis'ku menurunkan penumpang tadi
pun seperti menjadi uberan, beberapa
kali sopir mencoba memaksa untuk mengambil alih posisinya namun mesti
diurungkan karena crash dari lawan
arah.
Dan akhirnya salip menyalip pun benar terjadi, Zentrum memanfaatkan waktu saat Rela
berhenti mengambil poin, begitupun Rela
yg tidak mau menyiakan moment ketika Zentrum
menepi menurunkan penumpang.
Pemandangan kejar kejaran antara bumel
dengan bumel itu lumrah adanya, atau
balapan malem dengan malem juga sudah biasa di Pantura, namun
kalau Bumel vs Malem baru tau ini saja, kalau dipikir juga apa maksud dari sopir Zentrum ini?
Mungkin saja seh sopir ingin as soon as
possible sampai di Gemolong dan putar kepala ke Poll sehingga bisa
beristirahat, tapi bukankah dalam satu lingkaran line, biasanya divisi malem
paham dengan jam mepet'nya bumelan,
sehingga lebih condong memberikan jalan untuknya? Atau jangan jangan dua sopir
ini menyimpan dendam pribadi, hahaa Hanya Tuhan Yang Tau...
"Gemolong
Gemolong, perempatan Gemolong...", akhirnya aba aba sang kenek itu
mengakhiri kebersamaanku dengan si ijo TZ
58, aku turun untuk menunggu Rela Sahabat
yg tadi tersungkur di belakang, sedang TZ
58 mengarah ke terminal untuk melakukan putar balik. Bersamaan dengan itu
juga LP 77 dan Agra Mas entah BM berapa datang dari arah Solo, baru ngeh ternyata
Gemolong ini diisi dua macam pemain to, via Purwodadi dan Via Solo.
Ku lihat jam di HP menyiratkan angka 6 lebih seperempat, asumsi waktu sampai di
Tirtonadi sekitar jam 7, lalu Solo-Purwantoro berkisar 3 jam, berarti kurang
lebih jam 10 aku baru bisa mencapai titik tujuan terakhirku.
Haduuuh, pasti nanti banyak pertanyaan menyerbuku...
"Dari
Jakarta jam berapa kok baru datang...?"
atau...
"Ikut
bis apa kok jam segini baru nyampai..."
Begitu ku jawab "Ikut Zentrum, lewat Purwodadi jadi
sampai di sininya siang..."
Hmmm, seperti apa balasan kata kata mereka nanti???
Ah, biarlah... Entah seruwet apa kalimat kalimat yg bakal ku terima nanti,
sudah ku siapkan mental dalam menelan resiko, membuyarkan gaung gema suara
suara ‘tidak’ untukku yg menurutnya
aneh aneh, kebanyakan polah, golek angel, atau apalah...
Biarkanlah saja semua berkata tidak yg
penting aku padamu Zentrum...
