14 October 2013

Waterboom Masuk Kampung

Menerawang jauh ke belakang, terlintas beribu masa lalu, teringat akan kenangan saat saat belumlah beranjak dewasa dulu. Air, bukan saja berperan sebagai pokok kehidupan, berkecimpung dengan media air terasa sangat menyenangkan apalagi bagi anak anak seumuranku dulu.

Zaman itu selalu berubah, dulu semua belumlah berevolusi, perkembangan era urung ku rasakan bersama sahabat sahabat kecilku pada masa itu. Sungai adalah tempat favorit untuk sekedar mendapatkan fasilitas genangan air yg luas dan dalam demi mengobati rasa nyidam akan yg dinamakan berenang. Sekalipun apa yg dilakukan itu mesti diam diam dari sepengetahuan orang tua yg tak pernah menghalalkan bermain di sungai lantaran resiko banjir yg kedatangannya tak pernah terkira.
Bukan hal yg patut direaksi dengan gelengan kepala, mengingat kenyataan keberadaan sebuah kampung kecil memanglah tak semegah ibukota, jangankan wahana dunia air, kolam renang pun masih langka adanya.
Bila sekarang pandangan terlukis akan memory tersebut, mungkin senyum ini akan menyiratkan fakta batin "itu kan dulu..."



Hano Waterboom, sebuah wahana taman air yg terletak di desa Sudimoro, kecamatan Sidoharjo. Sebuah Waterpark satu satunya di Wonogiri saat ini yg menawarkan wahana bermain di area kolam renang baik untuk anak anak maupun dewasa.
Tiket masuk untuk semua umur adalah 15000/orang pada hari biasa, sedangkan untuk peak season dikenakan kenaikan sebesar 5000.
Di dalamnya terpadat empat kolam renang dengan air yg tampak membiru, jika tak sabar untuk segera menyelaminya maka kita diharuskan untuk berganti pakaian renang yg disarankan oleh penjaganya di kamar khusus berganti pakaian (bukan toilet), yg terpenting adalah larangan untuk memakai celana jeans saat berenang. Pun kita lupa atau secara sengaja tidak berbekal pakaian renang, maka tersedia pakaian khusus renang baik  yg dijual ataupun hanya sekedar disewakan saja.
Untuk dewasa disediakan kolam renang utama yg cukup lebar dengan kedalaman maksimal 1,5 meter, di sini kita bisa melompat, menyelam, ataupun mengapung. Untuk yg tidak bisa berenang pun jangan berendah hati, karena balon udara akan membantu anda berada di tengah kolam dengan harga sewa 5000 untuk waktu yg unlimited.





Bosan berenang, kita bisa mencoba beralih ke wahana seluncuran, dan rasakan sensasi bond setinggi 4 meter dengan panjang lintasan 10 meter ini, begitu selesai melintasi sirkuit seluncuran ini kita akan langsung sampai di kolam renang ke-dua yg merupakan kolam landasan terjun kita.


Bagi yg bersama buah hatinya, disediakan pula kolam ke-tiga dan ke-empat yg lebih dangkal, manjakan putra putri kasayangan dengan arena yg disediakan. Di kolam ke-empat terdapat juga wahana air tumpah, buat diri kita tertawa riang sesaat terguyur air dari atas.
Tak perlu kawatir akan keceriaan si kecil yg kita bawa, balon udara khusus anak anak pun tersedia di sini, atau ketika dia bosan di dalam air, arena bermain seperti di sebuah play grup pun dibenamkan pula. Dan kita pun bisa mengawasinya dari tempat yg telah diperuntukkan untuk duduk santai ataupun beristirahat.







Haus, lapar? Tenang, ada kok lapak yg menjual aneka minuman dan makanan ringan. Jika kurang puas, kita bisa keluar sebentar untuk memesan makanan di Hano Resto, tentunya dengan seizin penjaga sehingga untuk memasukinya kembali tak perlu membeli tiket lagi.
Memang ada larangan untuk tidak makan dan merokok di area kolam seh, tapi tak perlu kawatir karena memang telah disediakan area khusus untuk itu.




Namun karena ini adalah republik Indonesia maka sudah sepantasnya jika peraturan itu tidak diindahkan dengan menaatinya. Jadi bagi yg enggan untuk nyebur ke air, kita bisa mengisi waktu dengan ngemil atau merokok disini...


Atau kita bisa seperti ini...


Kalu tidak, bisa juga mencari wahana lain seperti ini...

Malu ach difoto pake kamera bagus...
Ayo cepetan donk, malu tuh banayak cowok cakep...
Rasa dingin yg menyerang mungkin baru menyadarkan kita akan berapa lama kita di sini, jika telah puas, untuk mengurai rasa dingin sekaligur mengeringkan pakaian kita bisa sejenak berjemur.

Narsis dulu, kali aja masuk blogspot...

Pas banget dengan backgroundnya...

Wahana Satwa pun juga ada...
Nah bagaimana? Biar tak selengkap Waterpark di Pantai Kuta dan Pantai Indah Kapuk, namun keberadaan Hano Waterboom ini cukup bisa mengobati demam kita akan bersuka ria di air sekaligus bisa menghantikan keberadaan sungai sebagai medan arena'nya kan...
Monggo mencoba...




Aku Padamu

Sehari sudah raga ini menaungi ibukota, urusan pergantian expired'nya data rekening'ku sebagai nasabah di dua nama bank cabang Cimanggis telah ku rampungkan 9 jam kemudian usai mendarat dengan BM 014 pada pagi harinya, namaku juga unregister dalam selembar tiket yg beberapa saat lagi akan di'chek-in'kan di Soekarno Hatta International Airport.
Batinku "Yes, pulang kampung lagi", sebuah kebahagian sesaat yg timbul manakala keadaan mengizinkan untuk kembali ke desa, kok cuma sesaat, kenapa? Iya lah, lantaran kesenangan bisa berlama lama menghuni ranah asli Jowo'ku itu terkait erat dengan soal tak adanya income, hingga jenuh niscaya akan memporak porandakan ketentraman membumi di Wonogiri lantaran dompet tak berisi, tapi bukannya sang tokoh pencetus musik campursari Manthos berkata dalam embel embel salah satu tembangnya, "Wes, mulih wae neng deso, mangan ra mangan sing penting sugih", hahaha think a black.
Ya sudahlah, biar yg lain take off dari SHIA menuju bandara Syamsudin Nor dengan Citylink, dan aku akan meluncur pula ke Purwantoro bersama seorang teman yg menyerah sebelum berperang ke Banjarmasin itu karena hajat keluarganya yg tak lama lagi mewajibkan kehadirannya, namun dengan maskapai apa ya???
Ku pikir, ini adalah moment yg pas untuk'ku merajut kesan kedua bersama PO muriaan, pasalnya aku telah menyonteng 2x BM 0XX dan 1x LP XX di kurun pasca lebaran tahun ini, secara dalam dua bulan ini aku akan menjalani 4x perjalanan, hmmm rasa rasanya bosan juga di jalanan kalau teralu sering, entah seperti apa ya yg terbiasa pulang kampung seminggu sekali? Maka mencoba PO yg never dalam daftar'ku selama ini mungkin merupakan terobosan dalam mengikis kebosanan itu.
Terkabar Pak Haji baru saja menambah empat unit armada gress untuk mengukuhkan line selatan, tapi yg ke Solo kok gak ada yg dari Bogor, sedang yg dari Bogor yg notabene via Pall Depok justru ke Prambanan, kalaupun turun di Kartasura bisa menjadi jalan terbaik, maka harus setinggi apa tingkat kesabaranku dalam menunggu bis dari Semarang sebagai transisi perpindahan ke Tirtonadi?
Atau malah Shantika? Konon akhir akhir ini armada seri 20 telah dialolasikan menjadi seri A, itu berarti aku bisa naik dari Pall dan turun di Solo, entahlah apakah perpecahan yg melahirkan dua nama baru di PO ini masih menggolongkan Shantika non New sebagai kelompok Muriaan atau tidak, yg penting aku bisa merasakan pulang kampung naik Raja Kalajengking bertenaga KEBO itu. Namun sayang, option kedua'ku ternyata belum di'amini pihak agen yg menyatakan Shantika divisi Ponorogo tak lagi di'squati oleh duo Scania itu. Apes apes... Kapan ya mimpiku untuk sekedar bersemayam di atas chasis dari Swedia itu terpeluk?
Dan option terakhir yg telah ku persenjatakan untuk bersiaga melawan kegagalan adalah Zentrum tujuan Gemolong. Belum lama kan melakukan touring gagal total dengan niat awal ke Purwodadi namun akhirnya hanyalah sampai di Gemolong saja, sehingga sisa sisa ingatanku akan tata arsitek daerah yg terkenal dengan Gunung Kemukus'nya itu bisa ku jadikan modal pathokan untukku menuju Solo nantinya.


Seat 4CD telah diinformasikan oleh penjaga agen sebagai tempat penompang tubuhku dengan banderol 280 ribu yg penebusannya dilakukan nanti bersamaan waktu keberangkatan.
Mungkin memang bukan seh jawabannya, andaikan terlempar tanya apakah PO yg bermarkas di Purwodadi ini masuk katogori bis Muriaan. Namun dari huruf awal nomor polisinya yaitu K, cukup mengidentitaskan jiwa kemuriaannya, apalagi yg paling menonjol kalau bukan soal speed. Mengingat kala bercengkerama dengan si Hitam, saat itu bis yg berkode TZ XX inilah yg merupakan rival tersengit sepanjang perjalanan Jakarta-Semarang.
Di luar sisi kecepatan, aku begitu terpesona melihat corak dari sekujur bodynya yg didominani gambar bola dunia berpeta Indonesia, begitu indah dan elegan ditatapanku.
Jam 3 sore, waktu yg ditetapkan agen untukku tiba.
Zentrum biru menempati parkir paralel urutan pertama di teminal bayangan Jalan Raya Bogor itu, tak sempat ku telusuri berlabel TZ berapa, dalam hati hanya menanya apakah ini bis yg akan memelukku malam nanti. Laju Prima berlampu Royal menempati urutan selanjutnya, tak juga ku melirik berkode LP berapa, dan jua tak begitu jeli apakah berkaroseri Adiputro atau Morodadi Prima. Di belakangnya Harapan Jaya Legacy Lama yg menjadi seri 8, tak kira kalau bis yg ini cuma sekedar bantuan kala arus memuncak saja, pasalnya dari bodynya tiada terlukis gambar kuda yg mengidentikkan divisi AKAP di PO Tulungagung itu, gak taunya sekarang kok juga masih dioperasionalkan untuk kelas VIP.
Madu Kismo Scorpion King putih ungu datang bersama saat ku hendak menyebrang jalan, lalu parkir menyusul Garuda Mas yg berada persis di depan agen yg ku tuju.
"Wah, lha iki langganane teko. Nyandi iki Solo opo ngendi?", sambutan penjaga agen saatku mulai menginjakkan kaki ke dalam ruang tunggu yg tersediakan olehnya. Heran heran gimana ya rasanya, beliau seh cukup mengenali wajahku, bahkan sebutan langganan menandakanku lumayan sering menyambanginya, tapi kenapa kok nomor HP ku tak juga disimpannya. Sehingga ketika aku memesan tiket di luar tujuan semestinya (Purwantoro), pasti kedatanganku tak langsung di'welcome'i oleh tiket yg telah ku booking sebelumnya, sungguh berbeda jika yg ku pesan adalah tiket Laju Prima atau Agra Mas.
Seseorang yg akhirnya ku ketahui adalah pengawal Garuda Mas, terlihat menunda langkah kakinya ke dalam kabin JETBUS HD yg sepertinya hendak take off itu, seolah menunggu jawaban dariku yg siapa tau bisa menjadi tambahan poin untuknya.
"Aku wis pesen Zentrum Gemolong mau lo Pak", jawaban singkatku menyudahi rasa bingung sang agen.
"Owalah, Zentrum to... Nggih mpun Pak Budi, wong biasane niki nggih teng Jepara nopo, lali kulo...", sembari memberikan dua lembar tiket kepadaku dan sepertinya menghentikan usaha pengawal Garuda tadi untuk menunggu jawaban tujuanku.
"Yo wes, yen ngono wonge telepon'en tak tunggu ngarep YKK yo?", begitulah imbal balasan dari Pak Budi tadi. Mungkin Garuda Mas ini akan segera berangkat, hanya saja ada penumpang yg belum datang ke agen, bener juga ya konon terkabar bahwa PO ini jam keberangkatannya paling On-Time.
"Bis'e udu sing neng ngarep kae Pak?", tanyaku menjurus ke Zentrum biru yg ku maksud di atas.
"Udu, bise ngko sing Ijo, ngarep kae Ekonomi kok...".
Di file group FB TransZentrum Mania tercatat bahwa armada berwarna hijau dengan kelas VIP bermesin Hino RK8 plus Air Suspension, okelah kalo begitu.
Tiga orang bersamaan denganku berada di ruang tunggu, dari tangannya terlihat memegang tiket yg tak lain sama seperti yg ku punya.
Santoso, Raya, Gunung Mulia, Raharja Putra Mulya, Prayogo, Selamet, Shantika berhenti silih berganti, menjadi tontonan lain pandangan mata ini mengarah jalan raya yg ruwet akan suasana kepadatan lalu lintas itu.
Berselang asumsi waktu yg mengharuskan penumpang datang lebih awal dari jam keberangkan yaitu 30 menit, TZ 58 pun menyudahi penantianku. Seseorang yg kemungkinan adalah pengurus wilayah Pall, mengarahkanku untuk naik ke bis yg berwarna hijau bersama dua orang bapak yg sudah lumayan tua, sedang untuk seorang bapak yg bertujuan Cepu supaya naik ke bis berwarna coklat, rupanya dari sini diisi tiga unit armada setiap harinya, Ekonomi Gemolong, VIP Gemolong, dan VIP Blora.
Pintu tengah menjadi akses masukku, melewatkan toilet dan sedikit menyusuri koridor maka sampailah tubuh ini ke pangkuan seat Hai, kursi bis buatan Rimba Kencana yg ku gadang paling nyaman diantara yg pernah aku merasakannya.


Tata letak interiornya tak jauh dengan Bejeu, mengadopsi sekat pemisah antara ruang kokpit dan kabin penumpang, berpintu tengah, serta toilet rendah. Hanya saja Zentrum ini lebih unggul satu unit LCD yg menggantung tepat di atas toilet, juga dengan adanya sebuah sesuatu di plafond depan dan tengah yg mungkin itu adalah kamera kabin.


Oh iya hampir lupa, perbedaan antara Bejeu dan Zentrum ini juga pada seat nomor 3D nya, dulu di Bejeu ku rasa tiada yg spesial dengan seat itu, namun di Zentrum begitu spesial lantaran dihuni seorang gadis yg ibarat kata seindah bis yg dinaikinya, hihi...
Usai kontrol penumpang terlaksana, perlahan bis berjalan meninggalkan TZ 71 yg masih parkir berjamaah dengan Shantika Dreambus dan Gunung Mulia Proteus.
Stabilitas pijakan kaki sopir pada pedal gas mesti tak sempurna karena padatnya arus kendaraan di Raya Bogor saat itu.
Agen Cijantung adalah titik pengambilan poin selanjutnya, di depan terlihat bokong Blue Titans sedang antri menunggu nyalanya lampu hijau.
Lolos dari lampu lalu lintas Mall Graha Cijantung, fly over Pasar Rebo menjadi rute tempuh untuk menuju persinggahan di agen Pasar Induk menyusul HR 47 itu.
Penumpang telah terisi penuh sesuai dengan jumlah kursinya di agen ini, sehingga bisa langsung joss tanpa mampir mampir lagi nantinya.
Keruwetan lalu lintas jalanan Jakarta Timur ini belum mencair juga, membuat sopir hanya bisa pasrah menyalurkan skil'nya.
Teringat saat saat dulu, dimana ketika aku dalam perjalanan pulang kerja, pasti selalu crash dengan Zentrum Ijo di sekitar sini, rasanya hanya bisa melambaikan tangan untuk berkata ‘Dadaaa’ saja tanpa adanya pandangan hati untuk kapan bisa menuruti kepincutnya hati ini padanya, kini aku telah mampu berada di balik kaca yg ditembus oleh tatapan mata gadis gadis di luar sana, namun kenapa juga tiada satupun yg melambaikan telapak tangannya sebagai ungkapan ‘Dadaaa’, mungkinkah mereka tak kepincut sedikitpun padaku Zentrum ini?
"Kebakaran kebakaran", kata kata dari teman yg duduk bersamaku meleburkan ironi lamunanku sepanjang perjalanan HEK - Taman Mini itu.
Nampaknya di luar tersuguh pemandangan yg sebenarnya tak patut dikagumi pun menggugah empati lantaran ini bukan yg pertama kalinya terjadi. Kobaran api berselimut asap hitam tebal dengan gagah perkasa memamerkan jati dirinya sebagai Si Jago Merah melalap bongsor tubuh sebuah Trans Jakarta.


Hmmm, belum juga rencana dari wakilnya Pak Jokowi untuk mendatangkan unit unit baru dari Swedia sebagai pengganti armada Busway yg dinilai telah dibawah standar layak itu terealisasi, kok armada yg ada malah terbakar lagi terbakar lagi. Mustahilkah akibatnya, bahwa fenomena seperti itu niscaya akan menjadi momok yg menghantui niat masyarakat ibukota untuk meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke transportasi masal? Seberapa menarik iming iming pemkot, seberapa kuat janji akan bukti bahwa moda transportasi yg direkomendasikannya itu aman dan nyaman? Huuh, kalau seperti ini terus, kapan akronim PO yg ku naiki ini bakal tertanam di hati orang Jakarta, ZENTRUM (ZamanE Numpak TRansportasi UMum).
Kumandang klakson khas Hino menjadi acuan para pelalu lintas yg melambatkan tunggangannya untuk segera maju atau minggir karena menutup badan jalan yg hendak dilewati bis'ku. Bagai menyiratkan pertanda jikalau sang driver ingin segera menjauh dari tontonan gratis itu, seolah tak mau batangannya menjadi sub-pandangan mata khalayak ramai sebagai ajang sangkut paut akan nilai nilai keselamatan sebuah bis.
Menyusuri jalan di muka pintu masuk TMII dengan speed yg lumayan hingga akhirnya bergabung di jalan bebas hambatan lingkar dalam via gerbang Bambu Apus.
Seperti yg terjadi selama kurun waktu setahun terakhir ini, kondisi simpang susun Cikunir yg merupakan transisi perpindahan dari toll JORR menuju toll Cikampek belum berangsur membaik dari status tersendat.
Hati ini menyalurkan sinyal ke indra penglihat untuk lebih condong menikmati suguhan layar LCD ketimbang berbaur dengan panorama jalanan yg tak diindahkan oleh keadaan. Artis panggung Jawa Timur seperti Lilin Herlina, Wiwik Sagita, Vivi Rosalita, Ayu Arista, serta Brodin cukup menjadikan entertaiment untukku lewat alunan tembang yg dilantunkan bersama OM New Pallapa itu. Teringat dulu pernah sekilas menyimak sebuah forum, yg di situ tertulis sebuah pendapat mengatakan bahwa bis bagus itu akan hilang kesannya manakala terhiasi oleh gambar LCD yg mempertontonkan aksi panas sebuah pentas dangdut koplo. Namun untukku pribadi itu salah besar, selain kesalahan dalam menyangkut pautkan antara bis dan fasilitas hiburannya, toh Orkes Melayu Jawa Timu'ran seperti New Pallapa dan Monata juga tak senonoh dalam memeragakan aksinya, tiada erotisme yg terkesan lewat gerakan tubuhnya. Kalaupun ada yg membenarkan pendapat ngawur tersebut, silakan menelisik tentang sebuah maskapai swasta dengan tabir tingkah polah para pramugarinya saat di luar jam terbang, apakah itu tidak lebih melenyapkan segala kekaguman akan pelayanannya?
Sinar Jaya 9RA menjadi kontestan pertama yg berhasil mendapati kata nuwun sewu dari sopir di Cikarang Pusat.
Di Karawang Timur, menyusul Harapan Jaya berkode bis 4 mesti mengakui jati dirinya sebagi PO yg mengutamakan kenyamanan dan keselamatan, bukan kecepatan.
Tepat di bawah jembatan jalan toll Cipularang, Raya New Proteus entah seri apa, dan Sinar Jaya 6DX begitu mudah dilalui dalam sekali sikat, namun tidak pada Santoso yg menjadi pimpinan konvoi dua unit bis tadi. Lalu lintas ramai lancar membuat bis ber’tag-line Lelaki Cadangan itu tetap melenggang di depan himpitan Zentrum'ku yg pada akhirnya harus merelakannya bebas merdeka karena pilihan dua gerbang toll yg berbeda, TZ 58 exit via Dawuhan sementara Santoso tetap lurus untuk menghabiskan sisa lahan toll Cikampek itu.
Jam pulang kerja karyawan pabrik dan rapatnya Hiba Utama sebagai penguasa pasar bis antar jemput berimbas pada antrian panjang di sepanjang jalan kawasan BIC ini. Memanfaatkan jalur lawan yg sesaat sedang sepi menjadi siasat untuk meringkas waktu dalam berbaur dengan kemacetan.
Garuda Mas New Celcius Non AC menjadi salah satu di antara puluhan truk besar yg berhasil diambil alih posisinya. Namun Garuda Mas Jetbus HD VIP dan Sinar Jaya SR-1 berbalik memecundangi kesabaran sopir yg enggan untuk merampas jalur kanan karena titik persimpangan dengan jl. Jend Ahmad Yani sudak tak jauh lagi.
Mentari yg mulai letih, membuat lampu lampu menggantikan sinarnya. Nuansa pandang ke pinggiran jalan menelusuri suasana habis senja tak begitu jeli lagi, melongok ke depan pun tiada arti, hanya deretan truk saja yg mendominasi, bukan hal yg patut ku hadiahi kata ‘Woow’ kalaupun lajunya terinjak oleh keganasan kaki sopir akan pedal gasnya. Dua layar datar di belakang sekat pemisah pun tak ubahnya bagaikan matahari yg tak mampu abadi, ditambah remang remang biru beberapa buah lampu tidur yg menghiasi atap atap kabin, rasanya tiada hal lain yg memikat hatiku selain menyudahi mata ini menerawang dunia nyata untuk sementara.
Suara glodakan saat melintas medan yg amburadul terkadang menggugah ke'tidak-sadaran'ku. Aneh, kenapa suspensi BM 014 itu begitu nyaman, bahkah nyaris seimbang dengan OH 1626, padahal tak lain hanya berchasis RK8 tanpa tambahan balon di setiap axle'nya, lantas ini yg sudah di aplikasikan perangkat air suspension kok justru masih keras begini, ah siapa tau sejarahnya dulu sewaktu masih gress TZ 58 ini juga tercatat nyaman, dan siapa tau juga misteri masa depan akan BM 014 nanti, selain hal perawatan kan faktor waktu juga menyebabkan umur sesuatu selalu bertambah.
‘Byaaar’, silau lampu utama kabin membuka mata ini, ku toleh ke sisi samping, tertangkap sebuah rumah makan di seberang kanan jalan, jadi ini tempat langganannya Trans Zentrum Bus, RM.Nusantara 2. Seperti tak ada tanda tanda kehidupan di rumah makan ini, tiada satupun makhluk yg menghuni lahan parkir sebelumnya, sungguh berbeda dengan tetangga sebelahnya 'Taman Sari 2' yg begitu meriah dengan berbagai nama PO.
Sobekan kecil dari bagian cover tiket menjadi alat pertukaran dengan sekepal nasi putih, sejernih kuah sayur nangka, sebutir telur bulat, dan sekuasanya telapak tangan dalam mengambil kerupuk, serta segelas teh manis panas.


Ini lebih familiar jika disebut sebagai sayur prasmanan daripada makan prasmanan, betapa tidak, nasi yg di rumah makan lain dipersilahkan mengambil semaunya, lain halnya dengan di sini yg diambilkan oleh pelayannya sebanyak takaran cetak di rumah makan padang pada umumnya, itupun dengan rasa nasi yg sepertinya kurang matang. Lalu dengan keberadaan telurnya, sudah barang pasti jikalau hanya diperbolehkan menuangkannya satu saja ke atas piring, begitupun minumannya, mustahil ada yg mengambil lebih dari segelas. Jadi, hanya sayur nangka berkuah bening saja lah yg free untuk diambil semarem niatan. Pantas saja setelah semuanya kembali ke kabin Royal Coach, banyak penumpang yg ngoceh akan buruknya pelayanan dinner di PO ini, sampai sampai ada yg compare dengan Garuda Mas yg merupakan rival utama Zentrum Purwodadi'an.
Tiada kontrol penumpang terlakukan disini, sopir tengah mulai memberangkatkan armadanya saat TZ 01, TZ 65, dan TZ 71 menyusul di belakangnya.
Beberapa kilo meter meninggalkan persinggahan, roda kembali berhenti di sebuah SPBU, uang jalan berkurang 500 ribu untuk membuat isi tangki bertambah 91 liter bahan bakar.
Kondisi jalanan lancar, namun tiada lawan di depan menampakkan bokongnya, hanya kendaraan barang saja yg membuat sopir harus banting setir kanan kiri untuk bisa bertahap melaluinya.
Tiga unit layar datar kembali difungsikan, kali ini mempersembahkan tiga legenda humoris Indonesia Dono, Kasino, dan Indro, namun bukan lewat film Warkop DKI'nya. Sayang, suara raungan mesin dan blower AC cukup menghalangi getaran yg dihasilkan oleh speaker kabin ke telinga'ku, sehingga suaranya hanya terdengar lirih.
Silau cahaya akibat pancaran video dari brand LG itu membuat kalah manakala mata memandang keluar menembus kaca, apalagi dengan tiadanya aksi yg menarik untuk diminati, akhirnya aku pun terlena akan kelucuan drama yg diperankan oleh tokoh kawakan itu.
Mencapai Provinsi Jawa Barat paling timur, tersendat mulai menjadi gejala dan akhirnya macet yg merupakan penyakitnya pun menyerang.
Harapan Jaya bis 8 dan bis 10, Sahabat Shangrilla, serta Sinar Jaya 04RA berhasil dikhianati lewat style gunting kanan gunting kiri, namun usaha yg tak mudah itu harus bagaikan tak berarti saat HR 94 dengan percaya dirinya melesat lewat jalur kanan.
Pemindahan jalur yg menjadi pangkal kemacetan akhirnya tertembus, lamat lamat sebuah bokong Jetbus HD putih berkelir merah biru tertangkap di mataku, makin lama makin mendekat dan makin menipis saja jaraknya dengan hidung Zentrum ini, biar jarak tinggal selangkah lagi namun Rosalia bernomor lambung 400 itu gesit juga, rentetan lampu dim yg diarahkan ke spionnya justru memancingnya untuk semakin lincah saja. Hingga akhirnya harus terlampaui bersamaan dengan HR 29 dan Raya Panorama DX saat melewati gerbang toll Plumbon.
Ku nanti lewat pandangan ke kanan kiri, tak segera muncul perlawanan lagi oleh tiga bis di belakang tadi, di depan samar samarpun juga tak terlihat gambaran stiket Premire Class yg ngeblong tadi.
Kurang tidur di malam kemarin berefek juga pada saat ini, padahal baru sampai toll Kanci kok sudah terasa kurang daya begini, tidur gak ya, gimana nanti kalau bakal terlukis cerita yg bisa menjadi kenangan akan malam ini? Lah, tapi mana juga musuhnya, biarlah aku menuruti hasrat mata ini, apa yg telah diunjukkan dari Jakarta sampai di sini sudah cukup menciptakan sebuah keindahan bagiku, pun nanti bakal ada tragedi yg terabaikan karena mimpiku, aku berjanji untuk tak akan menyesalinya, karena ku mencintainya setulus hatiku...
"Telolet Telolet Telolet..." suara klakson yg akrab disebut sebut khas Efisiensi itu menggugahku dari mimpi, merubah segalanya tentang alam bawah sadarku pada kenyataan bahwa inilah kota Pemalang, rupanya dua kabupaten di pesisir Pantura begitu cepat menjadi masa lalu perjalanan ini, pantas saja 9 dari 10 wanita memilih softex tidur saat berada di dalam bis, mungkinkah itu untuk mengakali akan panjangnya waktu tempuh yg dirasakan? My be...
Rosalia Indah New Celcius
lebih dulu dapat ditaklukkan sebelum akhirnya terhalang rintang oleh jalur dua arah yg menyunahkan mendahului saat situasi dan kondisi dari lawan arah berstatus minim akan terjadinya crash, dengan begitu maka cukup lama bis'ku mencumbu bokong New Marcopollo'nya sebuah Laju Prima, ungkapan selamat tinggal dariku tercipta ketika LP 42 itu menepi ke pinggiran jalan.
Biarpun pendek, namun kemacetan di Kota Batik cukup membuat TZ hijau ini terlangkahi oleh empat rivalnya sekaligus lewat blong kiri. Pertarungan belum berakhir, titik perpisahan masih jauh, bahkan jalanan Pekalongan pun belum pupus, perlahan tapi pasti, mencuri kesempatan lewat celah celah dari truk truk lambat, akhirnya OBL New Travego harus menundukkan kepalanya, duel Merah Maroon SR-1 dan Marcopollo ala Revolution adalah korban pembalasan urutan selanjutnya, dan terakhir kelihaian NL 400 mesti kesabet untuk yg kedua kalinya di tikungan Subah.
‘Byarrr’ untuk yg kali keduanya membuatku mengucek mata menyahabatkan dengan ungkapan habis gelap terbitlah terang.
Ku kenali lokasi dimanakah saat ini aku berpijak, di samping kanan ada Kramat Djati, sedang RosIn Evonext berada di sebelah kirinya, ingatanku mengatakan inilah halaman belakang Sari Rasa, rumah makan terbesar dan terbersih serta terbanyak pula bis yg menyambanginya.


Aduh, tau tau kok sudah di sini, ternyata di Subah tadi aku tanpa sadar kembali terjun ke dunia mimpi, yaaah jadi terlewatkan saat saat bis'ku menyusuri turunan curam dan tikungan tajam jalur alas roban, ah tak mengapa lah, pun begitu tetap saja cintaku dengannya malam ini begitu indah...
Toilet menjadi tujuan utama langkah ini, kalu gak ke toilet trus kemana juga, andai di rumah makan lain tentu ada pilihan stand coffe atau kalau tidak pedagang jahe anget dan jagung rebus, kalau di sini selama aku berkecimpung bolak balik PP Jakarta belum pernah yg namanya ngopi di rumah makan ini.
Namun sekarang beda, biar tak semegah di tempat lain, yg menyediakan kursi dan makanan ringan lainnya, ternyata di samping toilet ada sebuah kedai kopi dan teh manis, syukur deh bisa sedikit menggertak badan yg beku karena hembusan kondisi hawa Thermo King.
"Berapa Mbak kopi dua?"
"Sepuluh ribu Mas", lho kok cuma sepuluh ribu, bukannya kalau kopi susu dibanderol 7500? Ya sudahlah, lumayan sisa kebaikan Mbak Mbak penunggu kedai ini bisa buat ngopi lagi nanti di Solo, hihi...
Dengan habisnya segelas kopi mix dan dua batang black cappuccino serta bersamaan dengan datangnya RosIn NL 172, kembali saatnya untuk take off di belakang kendali driver pinggir.
Kali ini mata sengaja tak akan ku biarkan terpejam, biarpun sedikit ku paksakan namun itu demi meniti seluk beluk jalur Semarang-Gemolong yg baru akan ku sambangi sekali ini.
"Semarang Semarang, ingkang Semarang wonten mboten nggih?", seru kenek yg tampak berjiwa sabar dan murah senyum serta sapa itu ketika hendak memasuki terminal Mangkang.
Penumpang masih utuh hingga bis keluar toll dan menyusuri jalan Majapahit. Perempatan Karangawen menjadi saksi bisu kelonggaran kabin dengan berkurangnya lima orang penumpang.
Gubuk, Godong, Penawangan, perlahan satu persatu penumpang mulai out dari persinggahannya, hingga berimbuh lagi saat mendapat transit dari TZ 70 di Poll Purwodadi.
Bis kembali mampir menambah energi solar di SPBU Simpang Lima bersama TZ 65. Keluar dari SPBU yg terletak berseberangan dengan dealer Honda Harpindo Motor itu, Rela yg nantinya bakal jadi moda transitku ke Tirtonadi sudah namapak ngetem di situ, batinku tenang setelah sempat kawatir kalau tiba kepagian sehingga belum mengejar operasional jam bumelan Solo-Purwodadi.
Di kawasan hutan Raya Geyer, tampak dua unit truk dan sebuah medium bus berhenti di depan bis'ku, cukup lama antrian yg tak ku pahami apa penyebab dan tujuannya ini. Pedagang tahu asongan memanfaatkan deretan kendaraan yg tak kunjung berjalan ini sebagai lahan buka lapaknya, sebuah tanda tanda kalau kemacetan ini bukan baru terjadi saat ini saja.
Ternyata di depan sedang ada pengecoran separo badan jalan, sehingga diberlakukan sistem buka tutup jalur secara bergantian, hehe gak di Pantura gak di sini kok pada' bae'.
Selepas jalan normal, greget sopir makin menjadi jadi, keganasannya melibas truk truk di depannya tanpa peduli tanjakan dan tikungan tikungan pendek seperti ini cukup menyiutkan nyaliku. Bahkan Rela yg sempat mendahuluinya saat bis'ku menurunkan penumpang tadi pun seperti menjadi uberan, beberapa kali sopir mencoba memaksa untuk mengambil alih posisinya namun mesti diurungkan karena crash dari lawan arah.
Dan akhirnya salip menyalip pun benar terjadi, Zentrum memanfaatkan waktu saat Rela berhenti mengambil poin, begitupun Rela yg tidak mau menyiakan moment ketika Zentrum menepi menurunkan penumpang.
Pemandangan kejar kejaran antara bumel dengan bumel itu lumrah adanya, atau balapan malem dengan malem juga sudah biasa di Pantura, namun kalau Bumel vs Malem baru tau ini saja, kalau dipikir juga apa maksud dari sopir Zentrum ini?
Mungkin saja seh sopir ingin as soon as possible sampai di Gemolong dan putar kepala ke Poll sehingga bisa beristirahat, tapi bukankah dalam satu lingkaran line, biasanya divisi malem paham dengan jam mepet'nya bumelan, sehingga lebih condong memberikan jalan untuknya? Atau jangan jangan dua sopir ini menyimpan dendam pribadi, hahaa Hanya Tuhan Yang Tau...
"Gemolong Gemolong, perempatan Gemolong...", akhirnya aba aba sang kenek itu mengakhiri kebersamaanku dengan si ijo TZ 58, aku turun untuk menunggu Rela Sahabat yg tadi tersungkur di belakang, sedang TZ 58 mengarah ke terminal untuk melakukan putar balik. Bersamaan dengan itu juga LP 77 dan Agra Mas entah BM berapa datang dari arah Solo, baru ngeh ternyata Gemolong ini diisi dua macam pemain to, via Purwodadi dan Via Solo.
Ku lihat jam di HP menyiratkan angka 6 lebih seperempat, asumsi waktu sampai di Tirtonadi sekitar jam 7, lalu Solo-Purwantoro berkisar 3 jam, berarti kurang lebih jam 10 aku baru bisa mencapai titik tujuan terakhirku.
Haduuuh, pasti nanti banyak pertanyaan menyerbuku...
"Dari Jakarta jam berapa kok baru datang...?"
atau...
"Ikut bis apa kok jam segini baru nyampai..."
Begitu ku jawab "Ikut Zentrum, lewat Purwodadi jadi sampai di sininya siang..."
Hmmm, seperti apa balasan kata kata mereka nanti???
Ah, biarlah... Entah seruwet apa kalimat kalimat yg bakal ku terima nanti, sudah ku siapkan mental dalam menelan resiko, membuyarkan gaung gema suara suara ‘tidak’ untukku yg menurutnya aneh aneh, kebanyakan polah, golek angel, atau apalah...
Biarkanlah saja semua berkata tidak yg penting aku padamu Zentrum...


10 October 2013

Tak Selamanya Macet Itu Indah

Buka jalur, atau ngeblong kanan lah istilah penyebutannya, mengesampingkan nilai waktu yg didapat dari perbuatan melanggar lalu lintas, juga menghadirkan rasa deg deg'an bagi penumpang yg masih memandangkan mata. Kalanya tengah trip pulang kampung, yg notabene tak ada tujuan yg mesti diburu, seakan akan macet adalah hal yg menjadi harapan, dan bila saja mimpi itu benar, maka ngeblong kanan lah yg akan mengindahkan kenyataan yg tercipta.
Hehe intinya seh bukan berharap macet, tapi berharap mendapati sesuatu yg mampu menggoyahkan rasa tenang ini, melebarkan pori pori hingga tanpa sadar keringat dingin melumuri kulit, dan mampu membuat pikiran ini selalu berdoa untuk keselamatan. Yaaa walaupun yg dinantikan itu tak selalu terjadi seperti apa yg layaknya hendak ku skenario'i. Terkadang justru merobohkan semangatku untuk bercengkrama dengan cakrawala malam itu, sedikit kecewa, berimbuh anyel, dan menumpuklah menjadi kebosanan, seolah greget ini ingin beranjak dan berkata "Tak sopir'ane Pak", namun senyum kembali menjamah saat naluri menertawakan kesombonganku, yg dengan sinisnya menjawab
ringan kata batinku "Emang bisa nyetir???", hihihi....

Disamping recehan sebagai sub-modalnya, mungkin nyali adalah yg terutama, sehingga lain tangan lain kendali.
Ini adalah ragam mental dan kelakuan sopir bis yg pernah ku alami sesaat macet menghadang...

1. Ngawur
Mungkin inilah grade sopir ngeblong dengan entri level teratas. Atau mungkin sopir ini juga tak lain seperti kata hatiku, semoga macet sehingga bisa ngeblong. Bahkan mungkin, buka jalur adalah impian dalam rutinitas mengemudinya, dan telah berbaur menjadi kegemarannya.
Lepas menjalani ISHOMA di  rumah makan Indramayu, tak jauh berjalan macetpun menyambut LP 39, pada masa itu New Travego Smile ini masih menjadi squat tetap line Depok-Purwantoro sebelum akhirnya sekarang berganti menjadi LP 108.
Kenek seperti tanggap akan jalan apa yg hendak dipilih sopir untuk melewatkan antrian kendaraan di depannya, HP diperankan untuk mencari info dari rekan satu PO'nya yg telah berada di depan, namun lucunya hanya menanyakan tentang keberadaan polisi saja, tanpa mengorek kabar tentang suasana kemacetan aslinya.
Setelah warta nihil polisi diyakininya, kenek memberikan isyarat aman untuk melancarkan goyang kanan, U-turn yg dilaluinya untuk masuk ke jalur lawan sebenarnya agak sempit untuk kendaraan sebesar bis, kenek sebenarnya merekomendasikan untuk masuk celah putaran di depannya yg cukup lebar, namun sopir lebih percaya diri akan talentanya, seolah ingin menunjukkan kebolehannya pada kenek eks Wonogirian itu, ini lho eks sopir Muriaan, Nusantara.
Manuver pun tak bisa mulus, celah separator yg tak bersahabat dengan badan bis mengharuskannya untuk mundur lagi sehingga menimbulkan riuh suara klakson mobil mobil di belakangnya, sopir lanjut memberi mandat untuk kenek menyiapkan recehan.
Ibarat baru mencicipi manisnya jalur lawan, ternyata tepat U-turn selanjutnya semua kendaraan dialihkan ke jalur kanan karena penutupan jalur kiri, dan itulah biang kemacetannya, andaikan sopir tadi menuruti apa yg dikata kenek maka tak perlu tambahan usaha untuk memasukkan gigi R.
Di situ pula ada oknum jalanan yg biasa meminta meal, bis segagah itu harus terhenti oleh seorang remaja yg berdiri menghadang di depannya, seolah dialah juru kunci jalur pantura ini.
Kenek belum juga menemukan uang dengan nominal yg patut untuk difungsikan sebagai meal, hingga sopir meminta kenek untuk memberikan uang pribadinya dulu.
"Tak kiro macete dowo Geng...", ucap sopir pada keneknya setelah berhasil melewatkan para penunggu U-turn tadi.
"Aku mau yo ora tekok macete parah ora, gur ngabarne enek polisi ora ngono, tiwas urung kober isi pulsa malah telepon nyang M3 sisan, wes pulsa entek kelangan 10ewu nggo nge'meal kae mau barang", ungkapnya seperti menyesalkan kerjasama ngawur'nya dengan sang sopir.
Aku turut menahan tawa mendengarnya, dibarengi ketawa sopir seraya bilang "Kok eram etunganmu".

2. Ngikut
Nyali sopir di grade kedua ini memang tak seganas Ngawur, pemikirannya sedikit dimatangkan untuk menentukan pilihan yg bakal diputuskan.
Kemacetan di Cirebon saat itu mengharuskan BM 014 merayap di antara kerumunan long vehicle lainnya, posisinya saat itu tepat di belakang bokong Panorama 2 nya PO Sahabat.
Ketika titik antriannya mencapai persis di sebelah sebuah U-turn, tak ada tanda tanda dari sopir untuk memutar kemudinya ke arah jalur lawan, akhirnya celah tengah jalan yg merupakan pintu surganya para sopir ngeblong itupun terlewati. Perasaanku mulai nggrundel, kenapa sopir menyiakan secelah gang empuk yg mestinya dimasuki untuk menghindari serangan fajar. Andai aku bisa seperti yg lain, melewatkan kenyataan macet ini dengan mengarungi mimpi indah, pasti ketentraman hati ini tak tersangkut paut akan fenomena ngeblong atau tidaknya bis'ku.
Bergulir maju sejengkal demi sejengkal, U-turn pun kembali tersenyum menyambut, seakan penuh rona kegirangan mempersilahkan sopir yg bernyali tinggi untuk cekatan melewatinya.
Sahabat yg masih utuh di depan sorotan mata Royal Bus ku, telah habis masa kesabarannya untuk meniti antrian menggapai tujuan ini, hingga akhirnya jalan pintas goyang kanan dipilihnya. Bis'ku ternyata gak ingin ketinggalan, seusai Sahabat berhasil membuka jalur kanan dengan mulus, manuver dari sopirku pun mengikuti jejak yg ditinggalkannya.
Owh ternyata sopir ini juga berani ngeblong, tapi jikalau sudah ada yg mengepalainya alias cuma ngikut.

3. Ngarep
Kalau ini di bawahnya lagi grade ngikut, atau bisa dibilang bahwa sopir ber'grade ngikut pasti pernah ada kalanya menjadi sopir grade ini terlebih dulu.
Ngarep yg dimaksud adalah mengharapkan, yaitu berharap adanya bis lain yg membuka jalur sehingga dia bisa membuntutinya.
Perbaikan jembatan di Brebes saat itu membuat kemacetan panjang kendaraan yg hendak ke Jakarta. Bis Executive kode jurusan 11 yg aku tumpangi merupakan satu satunya bis dari PO asal Tulungagung itu yg terjebak di dalamnya, karena via HP sang sopir mendapati kabar bahwa bis yg berada di depannya melakukan trip alternatif via Katanggungan, namun karena info yg terlambat datang, maka tiada pilihan untuk bisku selain kata terlanjur.
Lalu lintas lawan arah lenggang, bahkan bisa dikata sepi, mungkin ini menandakan bahwa arus dari Barat pun tak ubahnya melakoni sepak terjang macet.
Setiap kali bis berada di sebelah U-turn, sopir menghentikan laju lambat kendaraannya, meskipun mobil di depannya telah maju dan menyisakan jarak yg cukup jauh dari JETBUS HD ini.
Ini bisa ku deteksikan sebuah niatan sopir untuk mengalihkan rodanya melawan arus, namun kenapa tidak cekatan, padahal jalur kanan begitu sunyi laksana bukan sebidang  jalan utama pantura, so bagiku mengambil langkah goyang kanan adalah pilihan yg pas dan juga aman. Namun sepertinya kabut keraguan menyelimuti hati sang sopir, hingga niatannya pun tertutup keputihan safety driving.
Tercatat hingga tiga kali sopir melakukan tindakan yg sama, yaitu berhenti agak lama tepat di sebelah U-turn namun hasilnya juga nihil ngeblong alias kembali berjalan lurus mendekatkan jarak dengan mobil dihadapannya.
Hingga pada suatu U-turn selanjutnya, sopir pun mengungkapkan harapannya pada kenek "Kok yo oraenek sing ngeblong yo Jo, arep melu...".
Sekarang terjawab sudah keraguanku tentang apa yg dilakukan berulang kali oleh sopir itu, ternyata niatnya ngeblong, tapi nunggu nunutan toh...

4. Ndilalah
Pepatah Jawa mengatakan "Wong bodho kalah karo wong pinter, Wong pinter kalah karo wong bejo". Laksana kepandaian tupai dalam melompat yg niscaya akan jatuh juga, selihainya para sopir ngeblong akhirnya tak berkutik juga manakala petugas Lantas memergoki dan menghalonya.
Tak banyak sopir yg bisa masuk di grade ini, ini bukan sekedar nyali lagi, namun untung untungan lah hal yg mengangkat derajat para sopir nekat sehingga terdaftar dalam peringkat ndilalah ini.
Masih di kawasan kota Brebes di suatu saat yg lain, LP 40 yg kala itu tengah menjadi armada pengganti sebagai transisi kehadiran LP 108 akan minggirnya LP 39 dari jatah tetap Purwantoro.
Aku buta akan kapan sopir memindahkan pegangan armadanya ke jalur lawan, begitu mataku menorehkan tatapan menembus kaca, New Marcopollo itu telah menjadi ajudan di belakang Madu Kismo.
Jalur hasil rampasan milik lawan ini tak mulus lancar lantaran arus tuan rumah tak bisa dikategorikan sepi, kekosongan jalur hanya didapat setelah ada kendaraan yg berbelas kasihan sehingga ia rela untuk menepi, pun begitu namun jarak yg didapat dari keberanian sopir sopir nekat ini cukup panjang dengan waktu yg jelas lebih singkat jika diseimbangkan dengan kendaraan yg enggan mengikuti jejaknya.
Hingga pada suatu ketika tepat roda depan bisku nyaris sejajar dengan celah U-Turn, rupanya sopir Rosalia Indah yg menjadi crash'nya merambukan untuk segera kembali ke jalur asal karena di U-turn depan ada razia. Dengan sigapnya sopir segera mengalihkan posisinya ke jalur kiri, meninggalkan jejak Madu Kismo yg terlanjur berada di depan U-turn sehingga memaksanya untuk tetap berada di jalur lawan menembus oknum berompi hijau di depan, itulah yg namanya gak mujur, keganasannya dalam menjadi pimpinan goyang kanan harus tertebus oleh urusan dengan polisi, lebih ironisnya lagi yg hanya membuntutinya justru tidak.
Ya, inilah ndilalah, ndilalah kok dikasih tau sama sopir Rosalia Indah, ndilalah kok belum melewatkan titik U-turn sebagi akses kembali goyang kiri.

5. Netral
Sesuai namanya, sopir grade ini merupakan sopir yg tidak berulah, gak ingin neko neko, sehingga pasrah akan keadaan. Entah apa yg mendasarinya, lantaran tak bernyali bringas atau memang sadar akan budaya sopan santun berlalu lintas.
Belum beranjak dari Brebes di saat perjalanan dari Jakarta, LP 90 yg sedang menjadi squat Joker untuk line Cileungsi-Purwantoro.
Kendali setir dipegang oleh seorang yg menurut pengakuannya masih di usia 31 tahun, namun rona wajahnya seolah masih di bawah umur yg diakuinya tersebut, pesonanya terlihat masih dini sebagai seorang sopir bis. Dari paras yg berpenampilan remaja itu, seharusnya tak bisa disangkal bahwa jiwanya pun berdarah muda, jiwa yg berapi api, yg maunya menang sendiri.
Dari definisi yg terkutip dari lantun lagunya Bang Haji Haryanto Rhoma Irama tadi, semestinya bisa dipastikan bahwa sopir tak akan mempertahankan kesabaranya, namun lebih condong mengutarakan sisi emosinya untuk menembus liku liku kemacetan panjang itu meski dengan cara yg negatif.
Satu persatu U-turn yg dilewatkan mestinya menjadi tolak awal guna mengefisienkan waktu yg terbuang untuk menunggu, jalur lawan yg sepi patut menjadi acuan untuk menambah kebulatan tekadnya, namun nyatanya Legacy Sky SR-1 ini masih anteng di posisi aslinya, tiada tanda bersitegang untuk mulai menjamah jalur lawan.
Biar Coyo dan Sahabat telah melenggang bebas di jalur kanan, namun itu tak jua menjadi hal pedas yg membumbui emosi sopir untuk segera menyusulnya.
Hingga kemacetan mencair pun, Golden Dragon Yuchai 330 HP itu masih adem ayem meniti jalur yg sesungguhnya.

Ragam mental akan kelakuan sopir di jalanan ternyata lain ya, sehingga harapan untuk mendebarkan jantung ini menjadi lebih cepat tak tentu ku dapati, malah ada kalanya kenyataannya berbanding terbalik dengan keinginan hati.
Memang tak selalu kemacetan itu ditembus oleh sopir dengan langkah goyang kanan, pun langkah itu terambil maka di dalam menjalaninya juga tak selalu mulus dan mengesankan, memang Tak Selamanya Macet Itu Indah.