26 January 2016

Biarlah Bulan Bicara



Tiada acuan yg lebih pantas selain kata nyaman dalam acara bali ngulon ku saat itu, pasalnya numpak bis kali itu bertajuk first of ordinary traveling dalam catatan kiprah persahabatan dengan daratan panjang antara tanah kelahiran ke ranah rantau. Urusan transit bukan lagi something yg ku anggap gampang, rasa bangga berstatus penumpang PO A-B-C mesti ku pendam, serta ku urungkan rujukan goda seribu satu macam bis akan citra rasanya.
Aku harus bersahaja dalam berbagi rasa, secuil persentase bahagiaku untuk perjalanan yg selalu ku agungkan, dan sisanya adalah prioritas kehampaan rasa kecewa pada istriku, itulah yg membuaiku menyayat norma norma di lingkup jiwa pribadi atas kekaguman pada jagad bis, karena saat itu aku tak lagi seorang diri dalam daftar penumpang atas tiket yg ku bayar. Oleh karenanya, aku menamai dengan perjalanan luar biasa yg pertama, karena memang sebelum itu aku urung mencatatkan sejarah ngebis karo bojo.
Option top level class dipegang oleh dua nama, walau realita lapangan berkata ada ketidak-samaan formasi seat di antaranya, namun super executive adalah tag yg sama sama dilabelkan. Tak perlu njlimet, siapapun, tanpa didasari niatan apus-apus, pasti penuh legowo akan jatuh pilih pada yg membenamkan formasi 2-1, namun adanya operan di Kartasura ku senjatakan untuk menumpas salah satu segi kekuatan bis berlivery firefox itu.
Biarpun pangkuan Rimba Kencana nya tak seluas tipe SE ala Alldila, jok ber-id-number 01-02 itu ku masukkan dalam kategori leluasa, toh mengingat posisi paling depan yg umumnya paling sempit karena adanya sekat kabin, di situ seluruh kakiku bisa ku luruskan penuh.
Meski armada nya sudah bisa dibilang lama, karena baik body maupun mesin dari pabriknya sudah dinyatakan discontinu, pun juga telah bermetamorforsis kulit pertanda adanya usaha peremajaan, namun kata penak masih patut untuk dipujikan.
Separuh rasa dipangku kata nyaman, sisanya terlengkapi oleh madu kasih buah garis Sang Kuasa selain rejeki dan akhir hayat, menghadirkan sosok Scorpion King itu sebagai kenangan indah dalam romantika perjalanan.
Biarpun dalam penjiwaan yg polos, ketabuan, dan ke-sok-tau-annya, bis ora penak dicatatkan istriku atas cakar cakar OH 1525 yg menyangga body yg konon terinpirasi oleh karoseri Higer itu.

****

Torehan kepuasan yg tersuguh, nampaknya tak cukup sekedar ku bukukan dalam kenangan terindah.

Aku terjatuh,
Aku terjatuh lagi dipelukanmu,


Kiranya syair karya Charly itu mewakili senandung rasaku, laksana pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah hatiku ber-pepatah tentang romantisisme super executive kami kala itu. Maka izinkanlah aku berselingkuh dengan istriku akan keawaman, ciutnya wawasan, serta cupetnya pandang dalam penjuriannya tentang bis ora penak itu...

Maaf ya Jem...
Tidaklah cinta ini hanya bernaung sebentar di hatimu.
Bukan pula setiaku terlunturkan fatamurgananya duniawi.
Di usia perjuangan meraih sakinah mawadah warahmah kita yg tak setua umur jagung ini,
tak pupus jua tekadku menjadi insan yg saleh demi imbanganku atas salehamu...
Selama apa takdirku membumi atas kuasaNya,
niscaya sampai di sana lah pelukan ini terlepaskan...
Namun kali ini, ridhokan aku untuk semalam saja berpaling dari rasamu, dari pandangmu akan bis bersuspensi atos, dari anggapan hatimu pada bis ora er-supensyen...


****

Kalau saja phonebook gadget lawas ini include barisan angka yg bisa menyasar ke HP pengawal, tentu tangan agen Purwantoro tak berjasa padaku, pun imbalku atasnya.
Padatnya makhluk yg mendiami pelataran terminal tak selaras dengan kehidupan yg dinahkodai pasar jasa penjualan tiket itu. Parkiran paling selatan diangkremi oleh armada berplat K dan B, keduanya berbendera Menara Kudus, HR 143 dan HR 108. Tunggal Dara Putra Bisnis AC dan Junior Executive merapatkan barisan di sebelah kanannya, terpisah tiga unit Tunggal Dara Royal Class dan Tunggal Daya SR1 dengan jejeran Agra Mas yg mengikat kontrak dua round parkir paling Utara. Sedang di sisi Timur, tak kurang dari paralel lima armada yg menempatkan kepalanya di Utara sebagai kompromi akan minimnya lahan terminal. Bukan sombong andaikan bos cucian mobil di sekitarnya berbangga diri atas area yg diemban secara tidak langsung meningkatkan taraf terminal menjadi longgar.
Namun dibalik populasi armada armada kosong itu, kios serta emperan tempat empat kaki meja agen terpijak, justru melompong dari para calon pembeli dagangannya. Hanya di bangku bersarungkan identitas Agra Mas saja yg sedikit terlihat riuh, entah apa yg dijampikan bis merah ferrari itu pada perantau Wonogiri sehingga terkintil kintil dengannya dalam kurun singkat.
Arus balik pasca libur sekolah, natal, dan tahun baru, serta melorotnya harga solar, rupanya tak menjadi teror perusahaan otobis dalam mematok harga. IDR 250.000 adalah harga imbas tagar #kami_tidak_takut akan aksi terorisme bom Sarinah, yg dibanderolkan sebagai nilai jual tiket kelas puncak GMS.

****

Legacy SR1 dengan coretan grafis menyerupai kepala burung nampak dari kejauhan telah kembali dari kewajiban puter walik ke Terminal Purwantoro, tak tertangkap angka berapa di belakang seri LP-nya oleh kejelian mata yg memandang dari jarak lebih dari satu hektometer. Legacy berikutnya bercat merah kombi dengan tag Loyalitas, SM 214 Depok-Purwantoro.
Merk mobil sport yg sempat menjadi trending topik ulah dari akrobat dengan rival sekelasnya Ferrari, yg akhirnya harus menanggung malu karena kobar jiwa pemberaninya sebagi street fighter tak dilandasi pondasi skil balap yg mumpuni, dan akhirnya harus berdosa atas nyawa tak bersalah yg terbunuh oleh kesemenaan pemuda sebagai anake wong nduwe yg action dibalik hilangnya kendali mobil asal Italia itu, Lamborghini, yg tertulis indah di atas angka 108, menyusul dua pendatang di depannya.
Pahala Kencana livery putih, menuntun saudara mudanya nano nano bertrayek W6, disusul oleh Legacy gadungan dari basic aslinya Evolution Rahayu Santosa, yg merupakan special one plat AA di Purwantoro, Handoyo. Purwo Widodo dengan sematan kejujuran oleh stiker yg menghiasi kaca samping, Mercedes-Benz OH 1518 mengekor di belakangnya. Dibuntuti pemain baru Wonogiren, Jaya All New SR1, kenapa gerangan rute via Purwantoro tidak distrategikan sejak dulu kala, sebelum para plat B menyempitkan wilayah jajahannya? Mungkinkah ini adalah jawaban atas trayek Ponorogo via Madiun yg tak luput makin banyak penggandrungnya? Armada bertenaga 480 HP, New OH 1548 milik GMS mengejar ketertinggalannya, mungkin bis berbody clurit ala New Armada itu satu satunya species Mercedes-Benz varian dua gandar dengan daya kuda paling jumbo, bahkan menandingi OH 2542 yg sudah triple-axle sekalipun. Gunung Mulia Panorama 2 yg dandan serupa Jetbus menjadi pamungkas sebelum aku dibawa oleh Comando pada 11.24 zona waktu otomatis jaringan Telkomsel.

sumber foto : grup facebook gms lover

****

Andaikan nomor 5 belum dijadikan agen sebagai pedoman tempat duduk, 29 seat leluasa atas ragaku terpangku, pasalnya akulah penumpang ke-dua yg diangkut bis AD 1461AR ini dari Purwantoro. Lambaian tangan agen Jatisrono membalas kode sopir yg diklaksonkan, mengisyaratkan tidak terjualnya tiket kelas termewah versi GMS. Di Tremes, Sidoharjo, dua orang yg terlihat hendak menghamba ibukota gagal mencapai persetujuan dalam hal tawar menawarnya dengan sopir langsir yg merupakan kru tunggal itu.
Disandingkan dengan saudara kembarnya, Comando ini harus ngaku kalah nyaman, faktornya adalah terbenamnya suara dua ekor tikus dalam kabin, sementara pengalaman tiga bulan yg lalu tidak menyontreng opsi negatif itu pada Invansion. Tambal sulam kaca samping di dekat tempat duduk nomor 4-5 pun sungguh mengikir keyakinan, selain fungsional kederasan zat cair dari luar terbendung, akankah kokoh menyertainya sepanjang perjalanan mengingat ini bukanlah benda real estate, mutlaknya dua bilah papan rawan pecah yg menyatu berkat lem silicon itu disulap menjadi utuh.


Ini sekaligus mengundang hadirnya dilema, dimanakah selayaknya tubuh dimanjakan seat Hai ini, jika ketidak-percayaan di dekat jendela cukup beralasan, kesediaan mepet gangway pun bukan solusi, lantaran komponen kaca di pintu sekat kabin lebih kecil dari adopsi partisi yg mengapitnya, sehingga harus memaksa leher supaya bisa menjauhkan tatapan ke depan.


Penumpang ku sayang, solar ku malang.
Aliran bahan bakar yg terus mengucur demi bentangan jarak 35 km rupanya belum ditimpal balas tetesan barokah yg tercurah lewat lakunya kursi. Laksana bis dengan berpuluh tempat duduk ini hanya diamanahkah sekedar menjemput dua penumpangnya menuju PLP Ngadirojo saja.
Empat unit armada pamer bokong di parkiran sisi Timur, sepertinya ini adalah para jones (ngadiroJo-ngeNes) karena ditahtakan oleh atasan untuk mengisi jatah perpal, satu armada dengan buritan lampu New Marcopolo terlihat telanjang dari bumper yg dikenakan. Sedang Raptor, Invansion, Avenger 005, Falcon, dan satu unit face Jetbus livery lama berteduh di bawah payung payung parkir menghadap ke Utara. Super Executive Plus Plus ku harus kuat menahan sengatan panas tengah hari karena sold-out nya area di bawah lindungan atap baja berat itu.
Ku senjatakan korek api sebagai pengalihan isu bahwa menunggu itu adalah hal yg membosankan dengan membakar secarik kertas yg membalut tembakau racikan orang Kudus. Belum juga satu hisapan pertama bertambah, seorang bapak berjabatan pengawal mengarahkanku move on dari pelukan Comando ke saudara kembarnya, dua armada yg normalnya bersama sama mengisi kekosongan Purwantoro dan Cileungsi itu, kini saling bahu membahu melayani satu arah saja.

Ih, gua mah kalok numpak GMS slalu super, orak sudi kalok orak super.
Tau nggak, saiki rumah makane wes pindah. Pas muleh wingi itu, gua omel omelin tuh pelayane. Kata gua, diem lu mbak, masak atase super juga makannya podo wae karo liyane, gur pakek telur bulet.

Hmmm, omong boso ngendi iki? Batinku...
Syair takabur itu dengan lantang terdengar saat ku melewati batas pemisah antara ruang kemudi dan kabin penumpang, suara yg dihasilkan dari getaran pita ibu ibu itu bagai menyambut lalu membukakan mataku bahwa ini bis kelas orang wah.
Monggo unjuk ke-very-very-an sebagai orang maha important, sebagaimana dada ente membusung atas roman Bahasa Indonesia yg keluar dari mulut Harimau, eh salah, maksudnya mulut Panjenengan, yg mungkin You maksudkan untuk memaknai jati diri Anda sebagai seorang yg menahun akan hingar bingar Kota Jakarta yg super mewah dengan makhluk makhluk elite layaknya Sampeyan. But, seyogiyanya kebiasan bahkan memang niatan berbahasa sok kota lebih lebih campur aduk seperti itu tertutup oleh sadar diri, dimana tempatnya, siapa lawan bicaranya, ok?
Bab sajian menu yg sebanding dengan kelas lain, wewenang menuntut itu memang tidak haram, namun sepintar apakah pembelajaran akan management GMS dalam menyerasikan tarif dan service, andai jawaban perusahaan "Selisih harga antara kelas SE dan Executive / Bussines itu karena adanya perbedaan tingkat kualitas dan fasilitas armada, tidak termasuk peningkatan menu layanan makan prasmanan. Mudah saja kita turut melakukan upgrade menu, namun tentunya dengan penyesuaian harga tiket", apakah penumpang bersedia melakukan sogokan harga tiket supaya bis masuk Resto Pringsewu?
Terlebih, apakah yg dibanggakan tatkala mata penumpang di tatanan meja kelas Bisnis menyorot kita yg tengah mengambil hak makan khusus Super Executive, haruskah kasta itu perlu dipamerkan dalam hal makanan. Bukankah bisa makan dan minum itu adalah nikmat utama, tanpanya mustahil kita bakal merasakan nikmat selanjutnya, di belakang itu, susah payah masih membalut sebagian orang demi sekedar meladeni derita lapar dan dahaga, jangankan menuruti nafsu lidah akan kelezatan yg urung dikecapnya, sebatas rasa kenyang adalah doa yg terkabul.

Bis dengan lukisan khas lima bintang pun diberangkatkan sebagai sapu jagat setelah ditinggal oleh Scorking KW orange dan Avenger. Sedang Falcon serta satu unit Jetbus livery lama, mungkin Shadow atau Hunter, bersama Comando dan empat kawan senasib sepenanggungannya masih anteng mendiami pool yg sekaligus pusat layanan penumpang itu. Satu unit Legacy berpangkat Fajar Executive masih terlihat berdiam diri di plaza pribadinya.

"Enten welut Pak?", ku cegah langkah Bapak pemundak wadah berisi tumpukan tahu asin, arem arem dan keripik belut yg ikut menjadi pe-Numpang bis mahal ini dari PLP Ngadirojo hingga akhirnya hendak turun di Terminal Wonogiri.
"Welut, pinten Mas?"
"Setunggal pinten?"
"Gangsal ewu..."
Tangannya secekat mungkin memarsel dagangan yg segera menjadi hak milik orang lain itu ketika kata 'enam' ku balaskan pada pertanyaan terakhirnya. Bukan perjalanan jauh yg menjadi alasanku jajan, namun konsekuensi pada kiriman whatsapp istriku beberapa beberapa hari yg lalu, "Mas nek bali ojo lali aku gawakno ondhe ondhe sing atos ngono kae, trus kripik welut, trus karo kripik tempe benguk ya...", permintaan oleh oleh yg menurut opiniku sebagi pengagumnya logis dan lumrah, dimana memang cemilan sejenis tersebut tidaklah menjamur di lapak pedagang Jakarta, sayangnya aku tak bisa memanjakannya dengan melengkapi semua klangenan-nya, dari ketiga macam keinginanya, yg disebut terakhir kali itu tak terdeteksi dimanakah gerangan menjual diri.

Terminal Selogiri didaftar menjadi papan ampiran, bukan dalam rangka menambah korban bidikan agen, tapi memindahkan tumpukan kardus dari mobil pick-up ke bagasi, ketiga kru guyub rukun dalam menyempitkan rongga bagasi dengan barang bongkaran dari Grand Max itu, sikon seperti inilah yg mengetuk hati sopir untuk bertindak sebagi kenek, dimana biasanya loading bagasi hanya tugas kenek seorang diri, maka dalam kesempatan yg tak selalu ada ini nurani sopir pun luluh, tak serta merta selimut peluh dan ritme nafas cepat sang kenek yg membuat sopir menaruh simpati, namun pintu hatinya terbuka demi pintu dompet yg ikut terbuka.

Sungguh, kenyamanan yg ku idamkan dari sebuah Super Executive, terusik dari gangguan lantangnya kegaduhan penumpang di depanku, setelah di awal tadi puas mengeluh bab service makan, masih dengan bahasa logat 'loe-gue', tanpa lelah dan bosan ocehan demi ocehan terus dijuruskan, tak khayal menjadi serangan amarah bagi penumpang kalem yg anti cerewet, lingkungan nan adem ayem akhirnya tercemari suara kucing garong.

Bulan sabit yg jatuh di pelataran,
bintang redup tanpa cahaya gemintang,
lelah tanpa arah, sesat di jalan yg terang,
aku yg terlena dibuai pelukan dosa...


Kemerduan hadir dari belakang, lewat syair indah yg di vokalkan dua pengamen bersuara emas. Nyanyian dengan instrument tradisional lagi sederhana 'kentrung' itu membawa kesaktian membungkam ibu ceriwis dari koar-kaor nya, sadar akan keberadaan pengasis rizki jalanan yg lebih bersenandung, entah terketuk atau hanya terpaksa namun gelombang suara darinya mulai melemah.

Ingin pulang membalut luka hatimu,
ku pun tau betapa pedih batinmu,
beri kesempatan atau jatuhkan hukuman,
andai maaf pun tak kau berikan...

Meskipun bukan dipunggawai Ahmad Dhani dan Andra, the ngamen band yg tengah manggung itu serasa Dewa bagiku, vokal dan impromisasinya cukup untuk bekal keikut-sertaan audisi artis selapan (36 hari), syair syair syahdu melow itu dihayati penuh perasa, bak akan mendapat bayaran atas kualitas musikalnya, tak hanya semata uluran belas kasihan, pekewuh, atau rasa takut dari para pemirsa. Lebih dari itu, senandungnya tak pelak membunuh nyawa nyawa cerawak Ibu Ceriwis hingga diam seribu bahasa, andai saja dua sejoli ini unjuk kebolehan sedari Ngadirojo, pasti tak ada penumpang yg ku ganjar Bu Ceriwis, atau malah duo receh ini berekspresi sampai Jakarta, ku pastikan gendang telinga ini tak bakal menangkap sinyal suara yg dipancarkan.

Biarlah bulan...

Ups, rupanya hati Bu Ci terenyuh juga terbawa lirik melow dari Broery Marantika itu, dua kata pengawal reff lagu jaman mbiyen itu justru disahut olehnya. Seandainya lantunan tembang masa pubernya itu menggantikan dialog ngeciprisnya dari awal, pasti indera pendengar penumpang lain antusias menyabut, dan lagi, logam rupiah ini pun berubah haluan menjadi hak milik Anda, hehe...

Body hasil operasi rumah karoseri Revolution yg dinahkodai Tunggal Dara tergeser dari urutan ngarep-mburi dengan Invansion ketika setengah dari jumlah rodanya menyentuh tanah menyusul Jaya Mulya eks TDP yg lebih dulu terdiam di agen sebelum Polres Sukoharjo. Bis'e Wong Pacitan Aneka Jaya Old Legacy, membalas aksi sopir yg dilakukan pada sau-Dara'nya tadi sewaktu kru membeli air mineral di sebuah pedagang gerobak sebelum pertigaan yg mempertemukan Jalan Jaksa Agung dan Jalan Jenderal Sudirman.
Penyusuran Jalan Slamet Riyadi Solo terputus oleh cabang jalan menuju Terminal Tirtonadi. All New SR-1 berlivery Gunung Mulia AD1061B kalah start di Bangjo Manahan. Royal Safari berkabin New Travego Morodadi begitu tergesa gesa saat lampu hijau Prapatan Sumber menyala, hingga sopir ku terpaksa kembali menginjak rem karena lajurnya dipotong bis naungan Blue Star itu.
Tiga orang naik sesaat bis berhenti mepet dengan buritan PATAS Sugeng Rahayu di terminal yg lagi gencar renovasi itu, dua diantaranya bukanlah pemegang tiket melainkan pengadu nasib lewat jajanan tahu asin, salah satunya hanya turun di bawah lorong pintu keluar barat lantaran mungkin tak ingin terbawa putaran roda hingga jarak menjauhkannya dari terminal tanpa sedikitpun raupan laba, alhasil berkah jatuh pada pedagang yg telaten menyusuri gangway karena tak sedikit penumpang yg berlaku sebagai pembeli, waluapun bis harus membandang diri dan lapak jalannya sampai Perempatan Sumber, memang, nyasar nyusur wong sabar wis mesti subur...
Neo Harapan Indah AE7472UR
dengan kuasan warna hijau ala Subur Jaya tetap mengutamakan pundi pundi sarkawi daripada menyeimbangkan kecepatannya dengan five star livery bus ini di depan Carefour Ahmad Yani. Di SPBU Pabelan, W2 terlihat kesepian setelah ditinggal para pembawa nama Pahala yg lain. Body 'pernah muda' garapan pribumi pribumi Cibinong, Antero Coach, dengan embel embel Mulyo Indah, lajunya dipatahkan di depan Agen Rosalia Indah Kartasura.
SPBU Kertonatan menjadi rujukan dapur ngebul. Peliharaan satu kandang, Recovery 86, terpenjara dalam storing di stasiun bahan bahan bakar yg juga disinggahi oleh Rosalia Indah 451, Sindoro Satriamas 203, dan Gunung Mulia Evolution ini.
PO yg nama besarnya kini dibuntuti huruf MK, TZ 39, menjadi korban kebringasan tumpah ruahnya solar.
Pengawal : "Pak, miriki Pak"
Sopir : "Pripun?"
Pengawal : "Kulo mandhap mriki"


Namun sayang, prestasinya tak bertahan panjang karena pengawal yg hendak mengakhiri tugasnya di sini harus mengarahkan kenek tentang sket daftar penumpang, kursi yg belum terhuni ditunjuknya satu per satu untuk acuan kru memilah agen mana yg kudu disambangi, terpaksa bis harus berhenti sedikit lama.
Yg membuat kagum, di dunia transportasi khususnya bis malam, antar kru yg baru mengenal atau belum terjalin keakraban, walupun dilingkaran usia yg sepadan, namun mereka bisa saling menjunjung rasa hormatnya dengan Bahasa Krama sebagai media komunikasi, lain dengan saya dan orang sekitar yg justru menganggap Basa Ngoko akan lebih cepat membawa hubungan menjadi lebih erat.
Tunggal Dara AD 1701BG pengusung kelas Executive adalah bis terakhir yg menyandang status kalah banter sebelum akhirnya Terminal Boyolali memuarakan keenam roda Mercy Limited ini.
Kramat Djati kode trayek 5, Gunung Mulia Legacy lawas AD1471BG, firefox dengan latar skyblue NL 278 berkelas Executive, adalah tamu di hamparan aspal yg dikelilingi kios kios berbaleho aneka nama bis itu.
LP 110 selaku imam menuntun Gunung Mulia Evolution mengarah Jalan Jenderal Sudirman setelah dishub kota Salatiga melepas mereka dari lahan retribusinya. Sedang Invansion berkiblat pada Revolution yg merupakan bibitan cangkoknya, adalah Tunggal Dara yg mendelegasikan jalur lingkar selatan.
Kerukunan dua saudara yg dibina dari terminal Salatiga itu akhirnya pecah oleh kontur jalan jembatan tuntang yg menanjak, para Canter, Elf, Dutro dan Dyna yg tengah terpenjara muatan pasir, memblokade turunan sebelum jembatan sebagai runway ancang ancang kendaraan besar, tanpa 'bandul' sebagai asupan tenaga niscaya jiwa jiwa tua akan ngos ngosan di pendakian, itulah mengapa PO tonggo dewe yg tengah menanjak sedayanya bersama Purwo Widodo Mulyo akhirnya ditinggal juniornya.
Terminal menjadi prioritas, mengesampingkan nilai efisiensi yg didulang oleh gate entry tol Bawen. Armada merah maroon make over Jetbus tadi urung juga mengakhiri kebersamaannya, serta Rosalia Indah 278, ketiga PO yg konon sejarahnya sama sama berawal dari Timbul Jaya itu mlebu-metu terminal under contruction ini bersama sama, hanya saja RI-278 enggan merapatkan barisan untuk kembali menuju gerbang tol Bawen, bis biru langit bermata eagle-eyes itu masih menempatkan jalur bawah di sket rutenya.

Petugas SPBU yg terpisah jengkal dengan rumah makan mitra Raya, RM. Pantes, terlihat sedang mengalirkan solar ke wadah penyimpanan energi Yuchai 330 HP milik Laju Prima 109, tentunya disertai senyum salam sapa donk, Pertamina Pasti Pas gitu loh...
Nyidam makan malam yg sedang dirasakan penumpang Kramat Djati, menggitik agresifitas sopir bis bercorak tiga elip bergradien itu untuk serong kanan kiri menyiasati kepadatan lalu lintas di daerah Cepiring, bis ku, Gunung Harta Jetbus 2, dan Zentrum Hijau adalah korban ulah bis yg bermarkas di pasar tumpah pengacau jalan raya itu.
Gunung Harta dengan dorongan 285 kuda RN, dan Langsung Jaya body Jompo-Bus livery Black-Red Nusantara Style, lebih dulu sowan ke SPBU samping RM. Larasati untuk sevice BBM timbang menyinggahi RM. Sari Rasa untuk service makan.
Sendang Wungu, area yg strategisnya diapit Jalan Raya Plelen dan Jalan Lingkar Alas Roban, adalah tempat rujukan wajib untuk bis yg dulu sempat manama-besarkan Gajah Mungkur Sejatera pada armadanya ini.
Enam unit Sindoro Satria Mas mengisi barisan di rest area depan, dirapatkan pula oleh Kramat Djati yg tadi sempat kelaparan, btw soal Mbak KD, kenapa muncul di dua rumah makan ya, Sari Rasa dan Sendang Wungu, apakah memang penempatan acara makan bersamanya terbagi berdasar tujuan, arah perjalanan, atau kelas armada, ataukah malah terbingkai dua kupon dalam satu tiket perjalanan, satu untuk makan di Sari Rasa, dan sisanya di Sendang Wungu? Hehe...
Raptor, Blue Hawk, dan Avenger 005 adalah populasi gajah yg sedang menunggu para penunggangnya. Adanya Raptor dan Blue Hawk yg menyisakan jarak seukuran lebar satu unit bis, mengindikasi jejak gajah yg terlebih dulu berlalu, dan Invansion pun menapak tilas yg ditinggalkan itu.
Nasi, ikan goreng, kuah sayur, krupuk menjadi menu empat sehat, serta teh setengah manis sebagai lima sempurnanya. Pengalaman diner bersama GMS di sini belumlah menggunung, sehingga tidak membuka pengetahuanku apakah sajian menu diragamkan mengikuti tingkat kelas armada atau tidak, akan tetapi beberapa tahun silam ketika aku di bawa Intruder (mungkin sekarang sudah sold out) ke RM. UUN, memang untuk arah perjalanan ke timur, pemegang tiket SE dan Executive dihidangi menu yg berbeda dari kelas di bawahnya dalam dua meja yg saling bersebelahan. Mungkin itulah yg mencuatkan kontra pada Bu Ceriwis, lantaran saat ini GMS pun pasti merujuk pada rumah makan lain yg sesuai dengan rute via Cipali.
Raptor dan Avenger telah icul dari gerombolan gajah raksasa saat aku kembali dari rest room yg di sediakan pihak Sendang Wungu untuk GMS, tak berselang Blue Hawk pun menyusul meninggalkan gajah super sendirian.
Sebuah gajah tetangga pun masuk menuju singgasana ishomanya pribadi, serta Pahala Kencana All New Legacy yg diparkirkan bersebelahan dengan Invansion.
RM. Telaga Asri hanya ditunggu sebuah Santoso, begitupun RM. Bukit Indah menampakkan Shantika Scorpion King hijau divisi Bi sebagai one only guest di halaman depan.
Di tanjakan Plelen, action sopir tengah yg nyaris digadangkan pada Zentrum berubah musibah telatnya pergeseran shift down tuas perseneling, lantaran arus dari lawan arah tak menoler usaha bis yg telah memakan marka jalan ini, akhirnya hanya bisa mendorong pantat TZ yg stiker kaca belakangnya telah raib sehingga menyisakan nama Zen saja itu.
New Marcopolo Non HD, HR 37, walaupun terbilang uzur jika disandingkan dengan The Unicorn Series, armada team Purwodadi itu sungkan jika harus menyiakan bekal solarnya yg los-losan, dibuktikanlah padaku dan semua penumpang yg masih melek tentang eksistensinya sebagai bis banter di Pringapus, Subah.
Kurnia Jaya dengan rumah body garapan Tri Sakti berbentuk New Marco bukanlah bis yg ganas, terbukti seorang sopir sepuh ini pun mampu menjinakkannya di Wiradesa, Pekalongan.
Comal.
Comal menjadi saksi bisu atas pelecehan yg dilakukan Kramat Djati Jetbus 2, Family Raya, Zentrum-MK TZ 78 dan TZ 05 pada bis never banter ini, atas anjloknya peringkat yg bertubi tubi itu di sini pula ku palingkan muka dari sebuah speed, dan ku rangkul comfort Rimba Kencana extra leg rest sebagai persembahan bis kasta raja.

Menjamah simpang susun Kanci, terlihat konvoi dua Sumber Alam dari arah Pejagan. Laju Prima 109 dan Maju Lancar Utama Evonext berhasil digagahi begitu roda mulai berputar di jalan Palikanci tol road. Sayang, kegesitan yg dipamerkan pada dua bis terakhir itu belumlah mampu disejajarkan dengan Kramat Djati New Travego Smile dan Jetbus Morodadi Prima berstiker darurat 'maaf lampu sein mati' di kap mesin belakang, yg dengan garang unjuk kenekatan melalui bahu jalan.
Lajur satu yg dipilih sopir sebagai ruang gerak, membuat Sinar Jaya Evolution melongo karena tertahan antrian pembayaran GT Ciperna Utama di lajur dua. Pelanggaran yg disengaja oleh Dewi Sri Sprinter, Royal Safari Scorpion King H1637BC, Putra Remaja Jetbus, serta dua bis pariwisata Sahabat PC 88 dan PC 74, membuktikan bahwa bahu jalan adalah alternatif dalam menjebol kemacetan sekitar 1 km itu.
Selepas pintu keluar Ciperna, dua unit Shantika dengan dandanan Scorking livrery tribal biru, menepi di bahu jalan dengan keadaan kap mesin terbuka di salah satu armada, satu armada lainnya sebagai penerangan darurat dalam penanganan troublenya, entah apakah dua Scania itu masih mendapuk Bangun Perkasa sebagai sang empunya atau telah lengser ke pihak lain.
Biar sedikit ku paksa, mata ini masih sanggup menjadi saksi perjalanan di tol Cipali. Bukan soal kecepatan yg membuahkan kata nyalip, harapanku hanyalah ingin melihat keberadaan obor abadi. Masih tercatat di ingatan semu, bahwa api yg konon justru berbahaya jika dimatikan itu terletak setelah kita melihat batu bleneng ketika mengarah ke Jakarta, dan batu itu sendiri tak berjarak jauh dari GT. Palimanan, sehingga aku tak sampai kehabisan tenaga dalam memperjuangkan melek ku demi panorama kobaran api di tengah kegelapan, karena dalam gulita inilah mata bisa menangkap bentuk jilatan api secara utuh tanpa dilamurkan oleh sinar matahari. Sinar Jaya Skyliner dan Sumber Harapan SR 1 menjadi penutup kesaksianku pada aksi sopir yg menjelang manula ini di jalan tol pemegang rekor terpanjang se-Indonesia.

Sisa jarak tol yg kondang membuai pengendara terlena mengontrol pedal gas itu, serta separo bagian tol Jakarta-Cikampek, terlewatkan berkat comfort yg dibangun seat plus legrest Rimba Kencana. Sadarku pulih ketika pool Cikarang menyambut, Avenger yg hendak keluar kandang, membuat bis ku harus menahan rodanya untuk bisa bergantian melintas di gerbang masuk.
Niat menghirup udara bebas tertahan rasa kantuk yg belum hilang penuh, terlebih posisi parkir bis tidak menunjukkan gelagat untuk berhenti lama, daripada setengah batang rokok bakal terbuang sia sia, ku putuskan untuk mendiami singgasana kemewahan ini.

"Bitung Bitung, Tangerang...", ultimatum kenek pada para penumpang dengan tujuan melenceng dari bis yg membawanya sampai Cikarang.
"Mas Mas, njenengan Depok to? Oper niko nggih", seorang Bapak yg berada dipuncak kenikmatan mimpi, harus diputus oleh tangan kenek yg mengarahkannya pindah tumpangan.

Depok pindah??? Pikirku...
Bukankah dermaga bis ini di terminal Cileungsi, kenapa penumpang Depok harus terusik dari nice dream nya gara gara prosesi oper.

"Pal yo pindah Mas?", ku jelikan tanya pada kenek.
"Iyo Mas, pindah kae lo...", jawabnya seraya menunjuk sebuah All New Legacy SR1 berkelas Bussines di depannya.

Sungguh kaget bukan kepalang, kenapa aku juga menjadi korban penurunan kasta ini, bukankah tiga bulan yg lalu Invansion ini adalah bis pertama sekaligus terakhir yg membawaku dari Purwantoro ke Gandaria, kenapa kali ini mengingkari kepercayaan yg ku persembahkan dari satu pengalaman kemarin, padahal tekad awal berpaling dari istriku tak lain agar ku dapati kepuasan dalam kencan malamku dengannya, bukan kenikmatan yg disuguhkan tiga hati, Comando-Invansion-Blue Hawk.

Inikah ganjaran dari sebuah kata menduakan, sudah terkandung dosakah polah yg ku lakukan ini, hingga derita pun dilimpahkan sebagai balasan. Andai saja, record larik lantunan pengamen kemarin hari bukan khayalan untuk direply, rasanya akulah orang yg dijiwakan lagu indah itu.

Biarlah bulan bicara sendiri,
Biarlah bintang kan menjadi saksi,
Tak kan ku ulangi walau sampai akhir nanti,
Cukup derita sampai di sini...
 
sumber foto : grup facebook gms lover

18 January 2016

King Of The Night Yang Kepagian



Sorot dim dari Toyota Limo putih itu ku balas dengan lambaian tangan, pertanda jasa transportasi berbasis taksi dari group Ekspress itu memang tengah ku butuhkan, ku alunkan langkah semi cepat untuk mencapai posisi sedan varian Vios yg sedikit kebablasan dari tempatku berdiri tadi karena memang isyarat persetujuan antara aku dan sopir tadi tercipta ketika mobil yg dikemudikannya tinggal menyisakan sejengkal jarak denganku, ditambah lagi usahanya untuk menepis lajur kiri yg kebetulan tidak dalam status prei. Putaran u-turn terdekat dilaluinya usai ku infokan kemana destinasiku. Sopirnya terlihat agresif dalam mengontrol kakinya menyentuh pedal gas, jangan jangan beliau ini mantan sopir Sumber Kencono, sayang tiada dialog yg mengisi sunyi perjalanan ini, andai saja aku tak sungkan membuka perkacapan ringan dengan sopir ini, mungkin ku ketahui sepak terjangnya sebelum beliau menyalurkan keahlian mengemudinya di Ekspres. Jarak Gandaria Raya Bogor ke Lenteng Agung terpangkas dengan argo IDR 36.000, yg nyatanya tetap saja aku membayar senilai 40.000 karena hanya selembar uang nominal 10.000 yg ku terima sebagai kembalian lembaran biru ku tadi. Bukan masalah pelit, wong di lain perjalanan dengan rute yg sama biasanya kembalian dari uang 50-ribua-an itu malah ku biarkan saja, itung itung sebagai tip barang bawaan yg kudu memerlukan ruang di bagasi, namun di sisi lain uang 4000 itu cukup untuk tarif angkot jarak dekat. Akan tetapi saya ridho dan ikhlas, sehingga uang hasil mengemudinya itu berupa rejeki yg halal guna menghidupi keluarga bapak sopir tersebut.

****

"Tikete mundak Mas, 190 saiki...", kata penjaga Agen Lenteng sembari menyiapkan tiket untukku.
"Solar medun kok malah tiket mundak to Mbak?", candaku berbasa basi.
"Iki ijik rego liburan wingi, dadi ngasi saiki urung normal...".

Ngobrol ngalor ngidul menjadi pengisi waktu penantian armada yg katanya diisi oleh si hitam eks Nusantara. BM 033 menjadi bis pertama yg melintas di Lenteng siang itu, yg kemudian disusul oleh Sedya Mulya. Biasanya, disusul lagi oleh Sindoro kemudian tak lama bis ku pun datang, tapi hingga LP 108 dan satu LP berbody New Marco lewat, kok belum juga bis ku datang, padahal semestinya angkatan Laju Prima dari Depok lebih siang dari Haryanto.
Sepatah dua patah kata yg tersambung lewat jaringan telepon selular antara penjaga agen dan pengawal itu membuahkan warta bis sedang storing di Bubulak dan tidak jalan ke timur alias perpal. What, padahal sudah molor setengah jam dari jadwal, tapi bis masih di Bubulak?
Penjaga agen menawarkan kepadaku apakah ingin tetap pulang dengan bis lain atau menunda satu hari keberangkatan, karena waktu masih belum bergeser dari jam 1 siang, maka tak ada alasan untukku mengundur keberangkatanku menjadi besok hari, namun dilemannya adalah semua bis dari Depok sudah berangkat, seandainya informasi kerusakan armada itu lebih awal maka masih ada kesempatan untukku mengais sisa sisa kursi Agra, Laju, sekalipun Sedya Mulya.
Ku sarankan agen untuk menilik keberadaan armada SSM, karena selama aku di sini memang belum ku lihat armada 212 / 214 melintas, siapa tau dewi fortuna masih berpegang padaku, namun hasilnya pun nihil, bahwasanya hanya mataku saja yg tak menangkap momen armada Sindoro lewat.
Dering telepon agen menyerukan ralat perpal, tapi berhubung mundurnya keberangkatan dengan imbas waktu yg terkuras, dibarengi hampanya pundi pundi meja agen Terminal Depok, demi memangkas jarak Bubulak-Pasar Rebo, dicarilah alternatif menyimpang dari jalur sesuai trayek, full menapaki aspalan Raya Bogor tanpa mengarahkan kemudi menyinggahi agen Depok, Lenteng, dan Tanjung Barat, alhasil kenyamanan leyeh leyeh ku di agen Lenteng kudu terusik oleh layanan Go-Jek sebagai media darat menuju agen Pal, soal biaya jasa ojek online itu sudah ditanggung seutuhnya oleh agen.
Huhhh, ribet, dari Gandaria ke Lenteng balik lagi ke Pal, sesungguhnya siapa ya yg menjadikan hidupku hari ini didera susah bin ribet, ya jelas aku sendiri, andai saja dari awal optimisku merujuk agen Pal walau bukan dengan armada Pak Haji, jelas aku tak seribet ini.

****

"Pak, njenengan agene wonten pundi? Kulo sampun wonten ngePal, niki wonten ngajeng Sumba Putra.", lantunan via HP ku tujukan pada 12 digit nomor yg konon dimiliki Pak Edi selaku agen Haryanto wilayah Pal yg dibekalkan agen Lenteng tadi.
"Sinten Niki?”
"Niki penumpang saking Lenteng wau".
"Oo nggih kulo tak teng mriku, njenengan tunggu mriku, Sumba Putra ngajeng niku to?"


Layaknya orang yg masih buta akan tata letak jejeran agen di Pal saja, akupun lebih memilih berdiam di depan agen Rosalia Indah hingga tak lama orang berseragam Haryanto pun menghampiri dan menuntunku ke Agen. Ternyata Pak Edi ini bukan seorang penjaga agen melainkan seperti pengurus di daerah Pal.
Selain Sumba Putra, ada dua Harapan Jaya dan sebuah SHD berkelir hijau jurusan Bogor-Malang. Di agen ada 4 penumpang lain yg akhirnya lebih dulu take off dengan Kramat Djati dan dua orang lainnya dibawa oleh Haryanto 1626 eks Nusantara, HR 143 mungkin?
Barisan menara kudus lainnya adalah HR 10 serta Blue Titans entah berkode HR berapa.
Ramayana, Harapan Jaya, Gunung Harta, Jaya, Rosalia Indah, Laju Prima, Zentrum MK, Raya, Sari Indah, silih berganti berhenti mengisi parkir paralel terminal bayangan yg selalu membuat kemacetan pada jam jam tertentu itu, serasa lama sudah aku menunggu bis yg tak kunjung menampakkan kisi kisi AC dari kejauhan. Perutku dari pagi ku tuntut untuk bersabar, menanti jatah dari hasil tukar kupon yg ku niscayakan bakal berlangsung sebelum senja berpaling, namun karena adanya trouble itu maka tak terpungkiri bakal ada keterlambatan juga soal asupan gizi pada tubuh ini.

****

15.00 akhirnya 132 pun membawaku beranjak dari deretan agen yg berhadapan dengan Cimanggis Square itu.
Rupanya penumpang dari agen Tanjung Barat juga harus mengalami transisi ke Pasar Rebo, dari sini jumlah penghuni kabin made by Adiputro ini sudah layak untuk tidak dikatakan besar pasak daripada tiang.
Berjalan beberapa kilometer selepas gerbang tol Pasar Rebo, injakan kaki kanan sopir harus silih berganti antara gas dan rem dalam rentan waktu beberapa detik saja, ini lantaran lalu lintas berstatus padat merayap. Jelas, makin bertambah lama lagi aku bakal mencicipi sepiring nasi sebagai makan malamku nanti, lebih ngenes lagi lantaran rumah makan yg disambanginya ternyata sudah berpindah ke RM. Kalijaga Cirebon, minimal selisih satu jam lebih lama dibandingkan semasih bermitra dengan rumah makan di Patok Besi dulu, alhamdulillah aku tak mengidap gejala mag atau lambung yg mungkin saja kambuh karena urusan telat makan.
Putaran roda di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta harus terpotong oleh penumpang di agen Jatiwarna.
Gunung Mulia berbody Proteus munjadi objek bis yg terakhir ku lihat sebelum akhirnya aku bisa sejenak memejamkan mata. Lumayan, mengisi waktu dimana perut sedang dangdutan dan lalu lintas tengah tak bersahabat pula. Terlihat lalu lintas lancar ketika mata ini kembali menangkap kenyataan, terlihat Garuda Mas ngacir di sebelah kanan, terpisah separator dengan bis berpintu tengah ini, ku pastikan ini adalah exit Gerbang Tol Cikarang Barat 3. Di agen sudah parkir Haryanto berbody Evonext, tak ku telisik berlabel HR berapa, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh armada berlivery Black-Pearl ini.
Masuk rest area KM.57 bersama Pesibo dan Redbul. Pedagang Dodol Garut menawarkan dagangannya selama proses pengisian solar berlangsung penuh.
Di penghujung tol Cikampek, terlihat Pahala Kencana masuk dari GT.Cikopo mengarah ke Cipali, entah darimanakah armada Jetbus Nano Nano itu, mungkinkah masih mempercayakan service makannya di seputaran Indramayu, ataukah hanya sejenak sowan ke agen Cikampek saja.
Dua Zentrum masing masing berbody New Setra livery biru dan Scorpion X livery biru eks Madu Kismo dengan mudah didahului dari lajur kanan, sepertinya kru kedua Zentrum itu saling kenal dengan kru King Of The Night ini, setiap kali mendahului pasti sopir selalu sedikit melambatkan bisnya hingga beberapa detik kedua bis berposisi sejajar lalu saling menyapa lewat alunan klakson.
Masih sempat ku saksikan kedigdayaan si Perak Hitam ini atas Ramayana, Gunung Mulia, dan Tunggal Dara yg berjalan waton kelakon di lajur kiri.
Seiring senja berganti, rasanya pun enggan untuk melek ria, sebuah kebahagiaan bagiku jikalau Tuhan mengabulkan keinginanku untuk kembali sejenak mengistirahatkan indera sebagai alternatif dari rasa lapar yg kian tak terbendung serta suasana akan panorama tol panjang yg menjenuhkan. Walupun sewaktu terang telah hilang, di tol terpanjang se-Indonesia ini kita bisa menyaksikan kobaran obor abadi dengan jelas, namun aku lupa tepatnya di KM berapa, yg jelas jika mengarah ke Cirebon, api abadi ini berada di sebelah kiri, tak berjarak jauh dari titik batu bleneng yg konon keramat itu.
GT. Palimanan adalah titik pertama yg kulihat setelah melewatkan sebagian panjang Cipali dalam lelap.
Zentrum MK terlihat berjejer rapi di halaman rumah makan Singgalang Jaya. Tak jauh, rumah makan yg papan namanya masih terlihat sementara, yg pastinya adalah cabang baru karena imbas Cipali, RM. Barokah Indah 2 dipenuhi oleh pasukan Laju Prima. Selanjutnya RM. Aroma terlihat dihuni oleh dua nama PO yaitu Pahala Kencana dan Harapan Jaya, padahal dulu sebelum Cipali beroperasi, Harapan Jaya sudah menggandeng RM. Kalijaga untuk sebagian armadanya yg tidak mampir di Taman Sari 2 Pemanukan, sekarang sewaktu semua armadanya harus menempatkan servis makan di daerah Cirebon, kenapa HarJa tidak meneruskan kontrak kerja samanya dengan Kalijaga dan malah memindahkan layanan makan gratisnya di RM. Aroma?
Besar kemungkinan umur rumah makan di daerah ini tidak akan terimbas oleh tol Trans Jawa, pasalnya seandainyapun nanti ruas tol Pejagan-Pemalang bisa beroperasi dan perusahaan bis malam mengalihkan rute armadanya via tol Trans Jawa, exit GT Kanci dan kembali masuk GT Pejagan mungkin menjadi alternatif terbaik dalam meminang rumah makan langganannya.
Dan tiba giliran HR 132 untuk masuk rumah makan Kalijaga. Terlihat tagname Laskar Pelangi sudah take off meninggalkan resto mitranya itu. Biasanya untuk team Wonogiri itu tiba di rumah makan lebih awal, dan hanya bareng dengan armada Madura, tapi karena keterlambatan keberangkatan tadi maka untuk kali ini bercampur aduk dengan armada ke Muriaan juga.
121, 124, 66, 51, 26, 143, 133, 10 adalah kode kode armada HR yg parkir berjajar dengan bis yg membawaku.
Ada dua option menu makan, selain nasi putih dan lauk disediakan pula nasi soto. Lhah, ini sih biasa dalam layanan makan Haryanto, namun menu pilihan seperti ini biasanya disuguhkan di rumah makan kepunyaannya sendiri, tapi ini di rumah makan lain kok juga seperti ini, tanya kenapa?
Ternyata oh ternyata, jawaban ini sekaligus menjawab soal hengkangnya PO asal Tulungagung dari sini. Di papan nama depan ( pinggir jalan) memang masih tepampang tulisan Kalijaga sebagai identitasnya, namun sewaktu aku kembali menempati seat 3B, sekilas ku lihat sebuah spanduk bertulis ‘Selamat Datang di Rumah Makan Menara Kudus’ di pintu masuk sisi kirinya. Wow, mungkinkah aset ini telah berpindah ke tangan PO Haryanto juga?
Tiada kontrol yg dilangsungkan sebelum bis kembali menapaki aspal, entah cara apa yg diberlakukan perusahaan macam Haryanto, Bejeu, Rosalia Indah dan Harapan Jaya untuk mengantisipasi adanya ilegal passenger dalam sebuah perjalanan bis-bisnya. Padahal kursi kursinya juga tidak selalu terisi penuh di semua perjalanan, pun begitu tak jua ku saksikan adanya fenomena sarkawi ketika aku tengah melakoni perjalanan dengannya. Bertolak dengan Pahala Kencana atau Laju Prima yg justru mengalokasikan seorang cheker di berbagai titik, selain di kedua rumah makan kontrolan juga dilakukan di daerah Tegal.
Selain kontrol, rupanya pergantian sopir pun juga tidak dilakukan, alias kali ini HR 132 dibawa oleh sopir bertajuk engkel, merangkap sebagi sopir pinggir sekaligus sopir tengah. Hemmm, tak ada rasa capek, kantuk, atau bosan kah berada di belakang kemudi dalam waktu kurang lebih 15 jam tanpa adanya istirahat yg berarti, baik tenaga, pikiran, dan indera harus dituntut bekerja tanpa boleh lengah sebentar saja, memerangi medan jalan yg tak selalu mulus dan lalu lintas yg bisa saja amburadul. Mungkin inilah yg menjadikan obsesi sopir untuk melabeli armadanya dengan julukan 'King Of The Night'.

****

B 21 terlihat lihai berlari di depanku, Santoso dan The Green Titan 'Persibo' dengan gampang dilewati 'Raja Malam' ini berkat tuntunan si hitam. Walaupun beberapa kali ada kesempatan untuk mengambil alih posisi Bejeu di depannya, namun nampaknya sopir lebih memilih untuk menjadi pengintil saja, dua kali lampu utama dimatikannya sebagai pertanda Scorpion King hitam itu dipersilahkan untuk tetap menjadi imam.  RM. Kedung Roso menjadi titik pungkas kebersamaan dua bis bercat hitam ini, Bejeu tak kunjung mengarahkan rodanya keluar dari medan jalan, seperti berniat menunggu HR 132 berposisi tepat di sampingnya, "Gek ndang selak masuk angin", sapaan kenek kepada kru Bejeu ketika kedua bis saling berhenti sejajar, "Yo iyo", balasan dari sopir B 21.
Kenapa Bejeu memilih singgah di sini, padahal rumah makan langganannya dulu 'Barokah Indah' juga telah membuka cabang baru di daerah Cirebon.
Dari lawan arah, dua unit New Setra berlivery merah merona tengah berkonvoi, bisa ditebak bis berkode BM itu sampai di Jakarta sebelum hari berganti.
TZ 80 melenggang lewat sisi kanan, lumayan lama Mercy 1830 ini hanya bisa membuntuti, walaupun pada akhirnya juga tetap bisa dilewatinya lagi.
Kalau saja keberangkatan tadi mundur satu jam lagi, mungkin bakal lebih banyak aksi aksi yg apik dijadikan tontonan, karena pasti lebih banyak bertemu bis bis lor'an, drivernya pun mungkin juga lebih gesit pembawaannya karena semakin telat akan semakin banter.
Tak banyak pemandangan yg ku lirik selama perjalanan, walaupun seat Alldila tak mampu menjadi singgasana yg menghadiakan mimpi bagiku, namun pas on board memang belumlah muncul niatan merangkai ulasan cerita perjalanan ini.
Penumpang lain telah lelap menikmati keindahan dunia bawah sadar, layar LCD 29" tak lagi menyuguhkan visual yg kiranya bisa memberiku entertaiment, mata ini pun enggan untuk mengerti kehendak untuk melewatkan menit menit tanpa kesadaran, hanya aktivitas merem-melek lah yg bisa ku lakukan saat itu, serta berharap welcome dari RM. Menara Kudus Gringsing cepat terlaksana agarku lekas bisa mencicip raos kopi hitam dan menyalurkan hasrat menghisap Djarum Black Cappuccino yg terpenjara sedari Cirebon tadi.
Sedikit kemacetan dari imbas pengecoran membuat HR 66 menyusul, sempat terjadi dialog antara kedua sopir untuk menyiasati arus yg padat merayap itu dengan membuka jalur kanan, tapi karena dari lawan arah lalu lintas cukup rapat, akhirnya ujung kemacetan pun ditembus dengan jurus sabar lan narimo.
Komunikasi telepon membuat sopir sedikit mengurangi pijakan pedal gas di tikungan Subah, dari sisi kiri New Setra berkode TZ 80 berhasil mengambil kesempatan yg tercipta oleh konsentrasi sopir pada dialog via HP nya. Rosalia Indah, Harapan Jaya, Tunas Merapi eks Lorena, Maju Lancar Non AC, dan Kramat Djati putih-orange berturut turut menjadi bulan bulanan HR 132 yg berupaya terus mengejar TZ 80 itu. Di suatu kesempatan akhirnya Zentrum MK putih-hijau itupun seperti ngalah dengan hanya membututi bokong truk gandeng di lajur kanan, sehingga memudahkan HR 132 ini untuk kembali melenggang dari kiri.
Jalan baru dipilih sebagi jalur untuk membelah belantara pohon jati Alas Roban, andai saja ada pilihan aku lebih srek untuk lewat jalur Poncowati, selain membuahkan sedikit adrenalin lewat konturnya yg sempit, curam, dan berkelok, teksturnya pun lebih mulus daripada jalan baru yg justru bergelombang karena permukaan betonnya yg tak kunjung ditimpah aspal. Dan yg jelas, harapanku untuk mengisi pergantian hari dengan segelas kopi di Menara Kudus pun musnah sudah dikarenakan bis tidak melewati rumah makan pribadinya itu. Sedikit kemungkinan sebagai obat galau, bisa saja bis menempatkan tradisi ngopi penumpangnya itu di RM. Menara Kudus 2 bersamaan dengan mereffil tangki bahan bakar. Terlihat sudah ada dua bis Haryanto yg sedang melakoni pengisian solar, namun tiada penampakan armada parkir dengan penumpang berhamburan di luar kabin seperti yg ku lihat di perjalananku beberapa bulan lalu yg jua dengan Black-Pearl 1830 ini. Sinar kabin yg tak lekas berganti terang, pertanda terkuncinya akses keluar bagi penumpang untuk sekedar menggugah kebekuan syaraf dengan racikan air plus kopi dan gula khas Kendal. Sungguh, sejatinya aku merindu akan secuil moment ini, di perjalanan ku ngetan akhir akhir ini, terlebih setelah open tol road Cipali dinyatakan valid, jam sowan di rumah makan ke-dua menjadi lebih dini, tak pernah melampaui batas 22.00. Berbeda ketika aku masih menggantungkan urusan traveling pada Laju Prima, Gajah Mungkur, Tunggal Dara, dan Gunung Mulia dulu, yg waktu second-pit-stop nya telah melewati star time next day.

****

Lampu utama kabin sebgai penerangan satu penumpang yg akan turun menyilaukan pejaman mata di Terminal Boyolali. Bis tidak masuk ke Terminal Kartasura, dan mengambil rute tempuh melalui jalan Solo-Jogja tembus ke Solo Baru, jalur alternatif yg biasa dipilih bis malam yg melakukan perjalanan ke barat untuk bisa terhindar dari kemacetan sepanjang jalur dari Solo Baru hingga Jalan Slamet Riyadi bila melewati rute sesungguhnya.
Jalur dalam kota dipilihnya ketika memasuki daerah Sukoharjo, terlihat aktivitas Pasar Sukoharjo sudah ramai oleh para pedagang sayur serta beberapa pedagang makanan dan minuman sebagai penghangat pagi para pelaku jual beli di pasar yg belum lama direnovasi itu.
Rupanya Terminal Giri Adipura masih disinggahinya untuk menurunkan beberapa penumpang tujuan Praci, Batu, dan Pacitan. Entah, siapa yg bakal membawa mereka sampai di tujuan yg tertulis di tiket, dengan selisih keberangkatan yg hampir 4 jam, masihkan dua kolega non-purwantoro nya masih berada di belakang, namun baik di tempat bis berhenti maupun ketika bis berjalan tidak ku temuai adanya armada Wonogirian lainnya. Malah di sini yg muncul justru dua punggawa bis ATB yg sudah tidak diragukan lagi soal speednya, Sumber Selamat dan Sugeng Rahayu.
Segelas kopi hitam dan dua buah tahu goreng melegakan kedahagaan yg kurindukan sejak setengah perjalanan tadi.
Perempatan Ponten menjadi titik pertama penurunan penumpang setelah bis kembali berjalan.
Ojek dan para sopir angkutan berlarian bergegas menadah adanya penumpang yg turun di Ngadirojo, namun sayang pundi pundi yg berbuah rejeki bagi mereka rupanya nihil alias penumpang bertujuan Ngadirojo kosong.
Tikungan tikungan di barat Sidoharjo mengidentifikasikan bahwa rupanya sopir sudah mulai kalah akan serangan kantuk, bis berjalan pelan ketika lingkar kemudi diputar mengikuti lekuk indah seribu satu kelokan itu, seolah sopir baru menjajaki kontur jalanan di area Wonogiri. Irung Petruk, ditikungan yg kalau dilihat aneh nan bikin heran ini, sopir semakin menunjukkan jiwa sadarnya yg mulai terkikis, berkali kali menguap dan lebih sering garuk garuk kepala adalah tanda tanda makhluk Tuhan yg paling ngantuk.
Melewati Pasar Ndarjo, tak juga sopir menunjukkan gelagat kebugarannya kembali. Perasaanku mulai terusik, ketenangan perlahan pergi, pasalnya perjalanan yg penuh dengan romantika tikungan ini bakal terkesan masih menyisakan lumayan jarak bila diukur dalam keadaan pengemudi yg ngantuk. Kenek hanya acuh, penumpang di depan juga diam seribu bahasa, tiada larik kalimat yg disuarakan untuk sebatas memberi solusi akan gejala yg dialami sopir.
Hmmm, ternyata guyonan yg selama ini aku dengar, bahwa sopir bis yg ugal ugalan lebih berpeluang masuk surga lantaran bisa membuat penumpang yg dibawanya senantiasa berdoa itu bohong, itu palsu, faktanya aku lebih giat memanjatkan pinta perlindungan dariNya ketika sopir ngantuk daripada sopir ugal ugalan. Andai saja squat bumel Solo-Purwantoro lebih rajin dalam memulai rutinitasnya, maka lebih baik ku percayakan raga ini di dalam peluknya.
Gumanku menggerutu, ngakunya King Of The Night, tapi kok keteteran melawan malam. Yaah, walaupun naluriku tetap bisa memaklumi, mungkin karena jadwal mangkat yg mundur 3,5 jam, sehingga semestinya saat ini sopir sudah nglilir namun masih harus nyetir.
SPBU Jatisrono sudah terlihat riuh ramai, bukan karena antrian kendaraan yg ingin menanti tancapan nozzle ke mulut tangki kendaraannya, melainkan sinar remang remang lampu buritan barisan bumel Tunggal Dara Putera yg mejadikan Pom Bensin itu sebagai garasinya. Tak biasanya pemandangan ini ku saksikan dalam acara pulkam ku, dara dara abdi jalan 2 x sehari pulang pergi itu biasanya masih adem dengan rehatnya, kali ini ritual pemanasan mesin sebagi SOP mesin diesel telah dilakukan oleh keenam armadanya. Owhalah, tak ku sadari kalau hari telah beranjak pagi, pantas saja si King Of The Night ini hampir klepek klepek, rupanya virus kepagian mulai menjalar merasuk digdayanya dalam merajai malam, untung saja Desa Miricinde sebagai point tujuanku tercapai sebelum fajar ber-silau, andai telat sebentar saja, pasti si hitam ini semakin tak mampu bertahan dengan tahta rajanya.
Hmmm, King Of The Night yg kepagian, berlalulah menuju singgasa terakhirmu, sebelum akhirnya menjadi kesiangan...