29 September 2013

Kibar Bendera Merah Putih



Kala itu, jalur bumel Solo - Purwantoro berkibar bendera berbagai PO. Selain Gunung Mulia dan Purwo Group yg masih eksis hingga kini, nama nama seperti Jaya Mulya, Gunung Giri, Daya Palapa, dan Timbul Jaya merupakan warna warni moda transportasi yg terkenal dengan jam mepet'nya itu.
Problema menyurutnya eksistensi PO besar di kota gaplek itu, rupanya turut dialami oleh divisi AKDP pula, satu persatu PO mulai lengser dari kancah persaingan.
Diawali dari Jaya Mulya yg secara tiba tiba bagaikan menghilang tanpa jejak, ketiadaan armadanya tak meninggalkan bekas, entah dimanakah besi besi saksi kejayaannya saat itu, apakah masih menjadi squat armada PO di luar kota sana, atau telah terkubur oleh tumpukan barang bekas lain di limbah rongsok. Lemparan trayeknya pun tak menyiratkan kabar, pada siapa trayek itu dibisniskan kembali, semua begitu misteri.
Hilang satu yg lain menyusul, Gunung Giri dengan kekuatan dua armadanya yg terpandang sungguh memprihatinkan, menapak tilas langkah Jaya Mulya untuk mundur dari arena. Serasa inilah jalan terbaik untuknya dan untuk semua, dengan fisik armada yg dibawah standar layak itu, memang mengandangkan armada dan mengakuisisikan trayeknya ke Gunung Mulia sangat dibenarkan.
Pengikut jejak selanjutnya adalah Timbul Jaya, izin trayek dan operasional armadanya yg banyak rupanya tak mampu menjadi benteng pertahanan di area tempur. Dari lantaran kata menyerah darinya, maka lahirlah pemain baru di jalur ini yg sebelumnya hanya berperan di dunia malam, Tunggal Dara Putera sebagai penadah aset tenggelamnya kejayaan yg dulu pernah timbul itu, baik armada dan trayeknya.
Sedangkan Daya Palapa memilih mengakhiri eksistensinya setelah kekayaan armada beserta trayeknya diakuisisi oleh Gunung Mulia.
Dengan begitu, kini tinggal tiga nama saja di jalur ini. Gunung Mulia yg dari dulu memang mengantongi izin trayek yg banyak ditambah trayek hasil akuisisinya, dan Tunggal Dara Putera yg mengambil alih keseluruhan aset Timbul Jaya, maka tinggallah bendera Merah dan Putih itulah yg saat ini berkibar bersama sedikit squat dari Purwo Group.
Tak lain seperti Mira dan Sumber Group di jalur ATB Surabaya-Yogya, Harapan Jaya dan Pelita Indah untuk ATB Surabaya-Tulungagung, serta jalur bumel Solo-Purwodadi yg nyaris hanya diisi oleh Rela dan Gandoz Abadi, akankah demikian sengitnya rivalitas antar dua PO yg saling berkompetitor di jalur Solo-Purwantoro ini?


28 September 2013

Relokasi Terminal Wonogiri, Kapan Terealisasi?

Ketika browsing soal terminal bis, di sana sini kok adanya cuma ulasan tentang kemegahan yg patut dihadiahi senyum kekaguman. Nampaknya tak hanya Operator, Pabrikan, dan Karoseri saja yg turut menghangatkan seluk beluk dunia bis, terminal ternyata bukan sesuatu yg dikesampingkan keandilannya.

Kabar yg paling sensasional adalah tentang akan dialih fungsikan terminal bis Lebak Bulus dan direlokasikannya bis bis AKAP ke terminal Pulo Gebang. Terminal pengganti yg konon berstandar internasional ini kabarnya akan mewakili Indonesia sebagai pemilik terminal terbesar se-Asia Tenggara.

Terminal Pulogebang Jakarta
Tirtonadi, terminal yg pernah dilantunkan Didi Kempot lewat tembang genre Pop Jawa'nya itu kini telah selesai renovasi untuk terminal bis arah barat, ruang tunggunya pun didesain layaknya bandara, dengan pendingin udara serta LCD TV sebagai infotaimentnya. Entah apakah tahap pembangunan terminal induk kebanggan wong Solo ini akan berlanjut keseluruhanya atau berhenti sampai di sini saja.

Ruang Tunggu Penumpang Terminal Tirtonadi Solo
Di Pekanbaru, terminal Bandar Jaya Sekaki dinilai satu di anatara terminal terbagus di Indonesia. Terminal ini merupakan relokasi dari terminal sebelumnya yaitu Mayang Serurai.

Terminal Sekaki Pekanbaru
Begitupun di Denpasar, tak dinyana teminal utama pulau emasnya Indonesia ini ternyata banyak yg mengatakan kecil dan sempit, bahkan banyak yg menganggap tak laik menjadi kepunyaan pulau yg menjadi tujuan turis manca itu. Tapi kini relokasinya yg bernama terminal Mengwi jauh lebih mumpuni dari keberadaan terminal Ubung yg menjadi terminal lamanya.

Terminal Mengwi Bali
Nah, rupanya banyak kota atau provinsi yg punya terminal yg pantas menjadi sorotan publik, baik relokasi ataupun sekedar renovasi saja. Lalu kapan relokasi terminal Giri Adipura Wonogiri akan terealisasi?

Proyek Relokasi Terminal Giri Adipura

27 September 2013

Rumah Makan Bis Executive


Hehe, andai saja...
Aku adalah orang asli Jakarta, suatu ketika hendak refreshing (biasa orang kota gitu...) ke sebuah kampung di Jawa Tengah untuk kali pertamanya, yaaaa diandaikan lagi aja menerima ajakan pacar sowan ke rumahnya gitu lah...
Mau naik pesawat, eh rumah pacarnya jauh dari bandara... mau naik kereta api, gengsi sama mertua... mau bawa mobil pribadi, tapi gak kuat nyewa... Akhirnya setuju untuk naik bis aja dengan janji dan iming iming dari pacar bahwa bis'nya berkelas "Executive"...
Tiba di agen, sambil nunggu bis'nya datang, "Mas, tadi udah minum Antimo belum?", tanya pacar. Ku jawab "Ah, gak usah minum lah, katanya kan bis Executive, pasti disediain kantong plastik kan buat penumpang yg mabok".
Belum sempat dijawab bis'nya datang, "Bis'nya yg ada tulisan JETBUS HADE nya itu ya Ay, wah bagus ya, biar gak gandeng tapi ini terlihat lebih bersih dan terawat, pantes aja kalau kelasnya Executive...", tanyaku penuh kagum. "Iya Mas, ayo buruan naik, biar adem, di luar panas...", ajak pacarku.
Aku langsung duduk di belakang sopir, kebetulan masih kosong, pikirku biar tau jalanan nantinya. Eh tiba tiba, "Mas, kita duduk di kursi 5AB, bukan di sini...", hehe kirain bebas milih, gak taunya udah dijatah to...
LCD TV di depan lumayan gedhe, bahkah lebih besar dengan yg ada di ruang tamu rumahku, AC nya dingin melebihi ruang kerja di kantorku, pantes aja kantorku tak menyediakan selimut seperti di bis ini, orang AC nya gak dingin.
Ku pikir pikir, ini bis gak rugi apa ya, kok bis jarak jauh juga kursinya cuma berformasi 2-2, bis sini aja yg cuma jarak dekat penumpangnya sampai suruh bergelantungan saking berjubelnya.
Menoleh ke belakang, eh kok ada toilet dan smoking areanya segala, di kamarku aja kalau mau ke toilet harus turun dulu ke lantai satu, gak seperti ini yg ada toilet dalam satu ruangan, hmmm mungkin ini yg namanya bis Executive.
Kursi deretan sebelahku yg tadi kosong, baru saja di tempatin dua orang gadis, facenya selisih dikitlah dengan Asti Ananta dan Sandra Dewi, bikin imanku goyah aja tuh cewek. Tiba tiba kok pacarku nyodok, "Awas kalau main mata, apalagi lebih...", aduh rupanya curi curi pandangku terdeteksi juga sama pacarku. Ku jawab aja, "Iya iya gak..." sambil berkata dalam hati "Executive Executive...".
Bis perlahan berjalan, tapi kok seperti gak menyentuh bumi ya, wah jangan jangan ini bis bisa melayang layaknya pesawat.
"Ay, ini udah jalan belum seh, kok rasanya halus banget gini?", daripada penasaran dan takut mending ngomong jujur aja lah. "Udah Mas, ini kan bis dengan Air Suspension, jadi getaran yg timbul akibat gejala body bis menyentuh medan tanah diminimalisir, sehingga lebih terasa halus dan empuk...".
Oh, gitu to ceritanya, jadi tulisan di kaca samping tadi ternyata Air Suspension to, sekilas tadi terbaca Air SusuPeresan.
Saking sempurnanya reaksi dari aksi teknologi Air Suspension itu, dipadu dengan alunan lagu "Januari Yang Biru", tak sadar akupun mulai tertidur...

Ssssssttttt.....

"Sampai mana ini Ay?", tanyaku sesaat terbangun dan melihat jam menunjuk pukul 16.11. "Baru sampai Indramayu Mas, oh ya sebentar lagi masuk rumah makan Mas, jangan tidur lagi, siap siap turun", penjelasan pacarku.
"Oh iya, ya udah aku ke toilet dulu ya...", niatnya abis tidur sekedar cuci muka gitu. "Eh Mas, jangan... Ini kan udah mo nyampe rumah makan, ditahan dulu, ntar aja pipisnya di toilet rumah makan...", sambil pegangin tanganku yg hampir saja beranjak dari kursi ini. "Lhah, emang kenapa Ay, kan emang disediain untuk digunakan to?", tanyaku diatas keheranan. "Iya Mas, tapi alangkah baiknya kita menggunakan toilet itu ketika benar benar dalam kondisi darurat, jika sekiranya masih bisa ditahan sampai kita turun nanti, mending ditahan dulu. Kasihan bapak kernetnya Mas, ngisi air toiletnya kan susah, apalagi waktu istirahat beliau masih harus ngecek ban, nglipat selimut kita kita ini juga, dan untuk yg muslim harus menunaikan solat, padahal jam istirahatnya kan gak lama".
Oh jadi gitu to, intinya kita harus bisa bertenggang rasa dengan pak kernet, iya juga ya, kita emang gak boleh semena mena walaupun penumpang adalah raja.
"Woow, rumah makannya besar banget Ay, parkirannya luas banget kaya terminal aja, itu yg ijo bis Lorena ma Tunggal Daya ya, di sampingnya lagi ada Purwo Widodo, yg jalan di depan kita itu Laju Prima dan Maju Lancar, sedang di belakang kita ada Madu Kismo sama Tunggal Dara, tuh yg parkir di sana juga ada Ay, Agra Mas sama Sindoro Satria Mas itu...", decak kagum'ku saat melihat rumah makan sebesar ini dengan penghuni beraneka warna nama bis, tak bisa ku pungkiri namanya bis Executive pasti masuk di restorant yg berkelas pula.
Dari balik kaca samping, ku lihat para pelayannya yg ihhhh, aduhai deh, dengan pakaian berseragam, menandakan eksistensi bahwa ini bukan rumah makan biasa, dalam benakku sekali lagi bersua "inilah rumah makan bis Executive".
Setelah ke tolilet untuk melegakan apa yg sempat ku tahan tadi, pacarku menunggu di depan pintu masuk, dan segera kami berdua memasukinya.
"Mo pesen makan apa nih Ay?”
"Udah disediain kok Mas, gak usah pesen, ntar tinggal ambil aja, gratis pula".
What, gratis? Resto sebesar ini, yg seyogyanya mesti tertebus dengan kantong yg tebal, ini disediakan secara free, sungguh pelayanan bis Executive.
Pacarku mulai mengambil piring sedang aku mengikuti di belakangnya, piring sengaja tak ku penuhi dengan nasi, niatan siaga jikalau tak muat menampung lauknya nanti.
"Maaf Mas, hanya diperkenankan ambil satu potong saja", teguran si pelayan yg sedikit lebih perfect dari pacarku, uuh malu maluin aja, kalau memang cuma boleh ambil satu kenapa gak dikasih tulisan, kenapa harus nunggu ada yg ambil lebih dari satu terus dihadiahi teguran?
Menu selanjutnya adalah sayur bening, tapi apa ya yg ada diantara kuah encer nan banyak yg seolah kurang bumbu itu, ah daripada mubadzir mending aku gak ambil deh, pasti pilihan lauk lain juga masih banyak.
Untuk stand yg keempat kalinya setelah nasi, ayam, dan sayur, kini bakwan jagung tersedia di sebuah nampan stainless, daripada dapat teguran lagi, ambil satu aja lah, hihihi... gak mau malu lagi sama dara cantik berambut lurus panjang itu...
Eh, tak kira masih ada menu ke-lima ke-enam dan selanjutnya, ternyata gorengan yg disebut "Bala Bala" oleh orang suku sunda tadi merupakan menu lauk terakhir, selanjutnya tinggal kerumunan gelas yg berisi air teh saja.
"Es nya mana Mbak?", tanyaku pada pelayan, karena di sediakan air teh yg hanya berisi setengah gelas maka ku pikir ini adalah untuk yg mengingini tambahan es sehingga isi dalam gelas menjadi penuh.
"Maaf Mas, gak ada es", lho... kalau gak ada es, kenapa juga disediakan air teh yg gak full? Huuh, mesti malu lagi lantaran dapat kata maaf untuk yg kedua kalinya.
Alhasil piring di tanganku hanya berisi nasi putih, sepotong ayam, dan sebuah bakwan jagung, serta segelas teh di tangan kiriku.
Ku ikuti langkah pacarku dalam mencari tempat duduk untuk menyantap hidangan resto ala economis food ini.
"Yuuk Mas, cepetan dimakan, istirahatnya gak lama lho, ntar ketinggalan malah...".
"Iya Ay, ngomong ngomong ini kan bis Executive Ay, kok service makannya cuma kaya gini?", tanyaku pada pacarku seolah penuh gelengan kepala.
Sambil tersenyum sinis dia menjawab "Hheh, yg berkelas Executive kan bis'nya Sayang, kalau hidangan rumah makan'nya berkelas Ekonomis....".

25 September 2013

Terungkit Masa Lalu Di 78




"So, melu 78 yo, 87 perpal dicadang 78", begitulah kurang lebihnya warta dari Piyik yg muncul di layar HP ku pagi itu. Seperti rencana kemarin, bahwasannya hari ini aku dan dia hendak menjalani touring Purwantoro - Purwodadi. Sejujurnya gak full semangat seh, lantaran sesungguhnya niat awal adalah mencoba moda transportasi yg menjadi ikon kota Solo yaitu bis tingkat Werkudara, namun dipikir pikir jam operasionalnya gak ada yg bersahabat dengan waktu keberangkatan atau kepulangan kami, jadi dicancel dulu aja deh, dan trip kali inilah sebagai penggantinya.
Thoot Thoot, klakson khas mercy yg begitu familiar di telingaku, laksana pita suara yg mewartakan bahwa itulah bis bumelnya Gunung Mulia. Biar indera penglihat ini belum menemui penampakan yg seaslinya, namun aku optimis, gendang telinga ini tak salah mengisyaratkan sebuah keyakinan bahwa itulah 78 yg diinfokan Piyik tadi.
Dinginnya pagi seakan menyurutkan langkahku meniti sebidang aspal untuk mencapai sebrang jalan, ditambah lagi kobaran semangat yg gak fix, malah seakan makin ke sini makin berimbuh aja alasan yg menguras niatku hari ini. Pasalnya, kiranya sepanjang touring nanti ada gak ya rangkuman menarik yg bisa ku jadikan sebuah catatan perjalanan. Kalau gak ada terus apa yg menjadi buah tangan dari perjalanan ini, apa mungkin aku hanya ingin mengupas kebersamaanku dengan Piyik aja, dimana kami dua insan dari persepsi yg berbeda, antara aku yg seorang buruh kuli dan Piyik yg seorang anak kampus bisa bertemu menjadi akrab lantaran kesamaan berhobi di dunia bis, ah nanti malah dikira homo lagi bagi manusia yg sirik melihat seorang bismania.
Nucleus 3 berselendang Legacy itu datang dari arah timur, tatapan mataku ku fungsionalkan sebagai tanda aku meminta sein kiri darinya, armada putih itu pun berhenti dengan pose pintu bagian belakang tepat di depanku, heh kebiasaan sopir bumel tak pernah musnah oleh jaman, wiwit mbiyen sampai tomorrow pun pasti kalau penumpang laki laki dinaikkan lewat pintu belakang, dan sebaliknya pintu depan adalah untuk perempuan terutama yg masih muda dan berface bak pramu Lion Air atau teller BCA.
Seperti biasa, kalau di bis bumel aku selalu milih di kursi paling belakang, beda dengan bis malam yg mengusung hotseat di deretan kursi terdepan. Nampaknya jajaran 6 kursi itu tinggal menyisakan 4 free of change aja, 2 lainnya telah berpenghuni ibu ibu paruh baya beserta seambres barang bawaannya, sehingga sedikit agak menyulitkanku untuk bisa menuju kursi paling kanan.
"Ajeng teng pundi Dek...?", tanya seorang dari dua orang ibu itu. Batin batin siapa ya, rona ronanya seh pernah tertangkap di kornea ini, tapi mungkin gak ke save di memory, memang sering seh kalau pas ngebis gini bareng sama ibu ibu pedagang di seat paling belakang, tapi masa seh sampai ada seorang ibu yg mengingatku setelah pertemuan yg gak lebih dari sekali itu, lha wong aku aja lupa.
"Teng Solo Bu...", jawabku dengan sedikit senyuman.
Dari gelagatnya seperti ada lagi kata kata yg hendak terucap oleh ibu itu untukku, tapi mesti tertahan sejenak selama aku menelfon Piyik mengabarkan kalau aku telah berada di dalam kabin nomor penerbangan GM 078.
"Lha, angsale dugi deknopo Dek...?", satu pertanyaan kembali dilancarkan setelah tertunda beberapa saat, siapa ya ibu ini, kok tanya kapan aku pulang, secara tau donk kalau aku kerja di Jakarta.
Waktu pandangku menghadap sembari menjawab "Sampun 3 dinten Bu wonten dalem...", makin penasaran saja aku, sepertinya aku bertatap muka tak hanya sekali dua kali saja, tapi sayang ingatanku belum bisa menerawang jauh ke belakang.
"Kulo niki mbah'e Devi Jatirejo...".
Ups, Owh, Waduh, Astaga... Entahlah ungkapan apa yg pas sebagai gambaran perasaanku kala itu, deg deg'an, malu, sungkan, bingung, layaknya cendol, kolang kaling, janggelan, dan santan yg bercampur aduk di segelas Dawet Ayu.
Pantas saja begitu mengenalku, yg aku heran kenapa aku yg masih muda justru lupa.
Gak tau meski ngomong apa, tiada ide untuk sekedar berbasa basi, hanya sepatah kata "Ow Nggih..." dan senyuman yg bisa ku hadiahkan atas pengakuannya.
Jalanan naik setelah jembatan Jurang Krakal memaksa bis berjalan semampunya saja, serasa bertambah lama saja waktu ini, padahal tak jauh lagi beliau turun, hmmm andai roda bis bisa berputar lebih cepat.
Mengisi waktu dalam kebersamaan yg tinggal beberapa ratus meter lagi "Yooh, gek mboten sido kalih Devi nggih Dek, nyuwun ngapunten lo Dek... Bocah'e nek dikandhani angel, karep kulo sing cedak wae yo enek kok ndadak adoh adoh...", ternyata harapannya dulu masih juga terkenang hingga kini dalam bentuk simpatinya.
Hmmm entahlah, aku enggan untuk membuka lembar kemarin yg telah tertutup dan terganti, sekarang keadaan yg berbicara, semua telah berbeda, tak perlu ada penyesalan atau bayang bayang lagi, kalimat terakhirku "Nggih Bu, kersane... Kulo mboten nopo nopo, namine jodo..." setengah membatin "Masa Lalu biarlah Masa Lalu, jangan kau ungkit jangan ingatkan aku".