"So, melu 78 yo, 87 perpal dicadang 78", begitulah
kurang lebihnya warta dari Piyik yg muncul di layar HP ku pagi itu. Seperti
rencana kemarin, bahwasannya hari ini aku dan dia hendak menjalani touring Purwantoro - Purwodadi.
Sejujurnya gak full semangat seh, lantaran sesungguhnya niat awal adalah
mencoba moda transportasi yg menjadi ikon kota Solo yaitu bis tingkat Werkudara,
namun dipikir pikir jam operasionalnya gak ada yg bersahabat dengan waktu keberangkatan
atau kepulangan kami, jadi dicancel
dulu aja deh, dan trip kali inilah sebagai penggantinya.
Thoot Thoot, klakson khas mercy yg begitu familiar di telingaku, laksana pita suara yg mewartakan bahwa itulah bis bumelnya Gunung Mulia. Biar indera penglihat ini belum menemui penampakan yg seaslinya, namun aku optimis, gendang telinga ini tak salah mengisyaratkan sebuah keyakinan bahwa itulah 78 yg diinfokan Piyik tadi.
Dinginnya pagi seakan menyurutkan langkahku meniti sebidang aspal untuk mencapai sebrang jalan, ditambah lagi kobaran semangat yg gak fix, malah seakan makin ke sini makin berimbuh aja alasan yg menguras niatku hari ini. Pasalnya, kiranya sepanjang touring nanti ada gak ya rangkuman menarik yg bisa ku jadikan sebuah catatan perjalanan. Kalau gak ada terus apa yg menjadi buah tangan dari perjalanan ini, apa mungkin aku hanya ingin mengupas kebersamaanku dengan Piyik aja, dimana kami dua insan dari persepsi yg berbeda, antara aku yg seorang buruh kuli dan Piyik yg seorang anak kampus bisa bertemu menjadi akrab lantaran kesamaan berhobi di dunia bis, ah nanti malah dikira homo lagi bagi manusia yg sirik melihat seorang bismania.
Nucleus 3 berselendang Legacy itu datang dari arah timur, tatapan mataku ku fungsionalkan sebagai tanda aku meminta sein kiri darinya, armada putih itu pun berhenti dengan pose pintu bagian belakang tepat di depanku, heh kebiasaan sopir bumel tak pernah musnah oleh jaman, wiwit mbiyen sampai tomorrow pun pasti kalau penumpang laki laki dinaikkan lewat pintu belakang, dan sebaliknya pintu depan adalah untuk perempuan terutama yg masih muda dan berface bak pramu Lion Air atau teller BCA.
Seperti biasa, kalau di bis bumel aku selalu milih di kursi paling belakang, beda dengan bis malam yg mengusung hotseat di deretan kursi terdepan. Nampaknya jajaran 6 kursi itu tinggal menyisakan 4 free of change aja, 2 lainnya telah berpenghuni ibu ibu paruh baya beserta seambres barang bawaannya, sehingga sedikit agak menyulitkanku untuk bisa menuju kursi paling kanan.
"Ajeng teng pundi Dek...?", tanya seorang dari dua orang ibu itu. Batin batin siapa ya, rona ronanya seh pernah tertangkap di kornea ini, tapi mungkin gak ke save di memory, memang sering seh kalau pas ngebis gini bareng sama ibu ibu pedagang di seat paling belakang, tapi masa seh sampai ada seorang ibu yg mengingatku setelah pertemuan yg gak lebih dari sekali itu, lha wong aku aja lupa.
"Teng Solo Bu...", jawabku dengan sedikit senyuman.
Dari gelagatnya seperti ada lagi kata kata yg hendak terucap oleh ibu itu untukku, tapi mesti tertahan sejenak selama aku menelfon Piyik mengabarkan kalau aku telah berada di dalam kabin nomor penerbangan GM 078.
"Lha, angsale dugi deknopo Dek...?", satu pertanyaan kembali dilancarkan setelah tertunda beberapa saat, siapa ya ibu ini, kok tanya kapan aku pulang, secara tau donk kalau aku kerja di Jakarta.
Waktu pandangku menghadap sembari menjawab "Sampun 3 dinten Bu wonten dalem...", makin penasaran saja aku, sepertinya aku bertatap muka tak hanya sekali dua kali saja, tapi sayang ingatanku belum bisa menerawang jauh ke belakang.
"Kulo niki mbah'e Devi Jatirejo...".
Ups, Owh, Waduh, Astaga... Entahlah ungkapan apa yg pas sebagai gambaran perasaanku kala itu, deg deg'an, malu, sungkan, bingung, layaknya cendol, kolang kaling, janggelan, dan santan yg bercampur aduk di segelas Dawet Ayu.
Pantas saja begitu mengenalku, yg aku heran kenapa aku yg masih muda justru lupa.
Gak tau meski ngomong apa, tiada ide untuk sekedar berbasa basi, hanya sepatah kata "Ow Nggih..." dan senyuman yg bisa ku hadiahkan atas pengakuannya.
Jalanan naik setelah jembatan Jurang Krakal memaksa bis berjalan semampunya saja, serasa bertambah lama saja waktu ini, padahal tak jauh lagi beliau turun, hmmm andai roda bis bisa berputar lebih cepat.
Mengisi waktu dalam kebersamaan yg tinggal beberapa ratus meter lagi "Yooh, gek mboten sido kalih Devi nggih Dek, nyuwun ngapunten lo Dek... Bocah'e nek dikandhani angel, karep kulo sing cedak wae yo enek kok ndadak adoh adoh...", ternyata harapannya dulu masih juga terkenang hingga kini dalam bentuk simpatinya.
Hmmm entahlah, aku enggan untuk membuka lembar kemarin yg telah tertutup dan terganti, sekarang keadaan yg berbicara, semua telah berbeda, tak perlu ada penyesalan atau bayang bayang lagi, kalimat terakhirku "Nggih Bu, kersane... Kulo mboten nopo nopo, namine jodo..." setengah membatin "Masa Lalu biarlah Masa Lalu, jangan kau ungkit jangan ingatkan aku".
Thoot Thoot, klakson khas mercy yg begitu familiar di telingaku, laksana pita suara yg mewartakan bahwa itulah bis bumelnya Gunung Mulia. Biar indera penglihat ini belum menemui penampakan yg seaslinya, namun aku optimis, gendang telinga ini tak salah mengisyaratkan sebuah keyakinan bahwa itulah 78 yg diinfokan Piyik tadi.
Dinginnya pagi seakan menyurutkan langkahku meniti sebidang aspal untuk mencapai sebrang jalan, ditambah lagi kobaran semangat yg gak fix, malah seakan makin ke sini makin berimbuh aja alasan yg menguras niatku hari ini. Pasalnya, kiranya sepanjang touring nanti ada gak ya rangkuman menarik yg bisa ku jadikan sebuah catatan perjalanan. Kalau gak ada terus apa yg menjadi buah tangan dari perjalanan ini, apa mungkin aku hanya ingin mengupas kebersamaanku dengan Piyik aja, dimana kami dua insan dari persepsi yg berbeda, antara aku yg seorang buruh kuli dan Piyik yg seorang anak kampus bisa bertemu menjadi akrab lantaran kesamaan berhobi di dunia bis, ah nanti malah dikira homo lagi bagi manusia yg sirik melihat seorang bismania.
Nucleus 3 berselendang Legacy itu datang dari arah timur, tatapan mataku ku fungsionalkan sebagai tanda aku meminta sein kiri darinya, armada putih itu pun berhenti dengan pose pintu bagian belakang tepat di depanku, heh kebiasaan sopir bumel tak pernah musnah oleh jaman, wiwit mbiyen sampai tomorrow pun pasti kalau penumpang laki laki dinaikkan lewat pintu belakang, dan sebaliknya pintu depan adalah untuk perempuan terutama yg masih muda dan berface bak pramu Lion Air atau teller BCA.
Seperti biasa, kalau di bis bumel aku selalu milih di kursi paling belakang, beda dengan bis malam yg mengusung hotseat di deretan kursi terdepan. Nampaknya jajaran 6 kursi itu tinggal menyisakan 4 free of change aja, 2 lainnya telah berpenghuni ibu ibu paruh baya beserta seambres barang bawaannya, sehingga sedikit agak menyulitkanku untuk bisa menuju kursi paling kanan.
"Ajeng teng pundi Dek...?", tanya seorang dari dua orang ibu itu. Batin batin siapa ya, rona ronanya seh pernah tertangkap di kornea ini, tapi mungkin gak ke save di memory, memang sering seh kalau pas ngebis gini bareng sama ibu ibu pedagang di seat paling belakang, tapi masa seh sampai ada seorang ibu yg mengingatku setelah pertemuan yg gak lebih dari sekali itu, lha wong aku aja lupa.
"Teng Solo Bu...", jawabku dengan sedikit senyuman.
Dari gelagatnya seperti ada lagi kata kata yg hendak terucap oleh ibu itu untukku, tapi mesti tertahan sejenak selama aku menelfon Piyik mengabarkan kalau aku telah berada di dalam kabin nomor penerbangan GM 078.
"Lha, angsale dugi deknopo Dek...?", satu pertanyaan kembali dilancarkan setelah tertunda beberapa saat, siapa ya ibu ini, kok tanya kapan aku pulang, secara tau donk kalau aku kerja di Jakarta.
Waktu pandangku menghadap sembari menjawab "Sampun 3 dinten Bu wonten dalem...", makin penasaran saja aku, sepertinya aku bertatap muka tak hanya sekali dua kali saja, tapi sayang ingatanku belum bisa menerawang jauh ke belakang.
"Kulo niki mbah'e Devi Jatirejo...".
Ups, Owh, Waduh, Astaga... Entahlah ungkapan apa yg pas sebagai gambaran perasaanku kala itu, deg deg'an, malu, sungkan, bingung, layaknya cendol, kolang kaling, janggelan, dan santan yg bercampur aduk di segelas Dawet Ayu.
Pantas saja begitu mengenalku, yg aku heran kenapa aku yg masih muda justru lupa.
Gak tau meski ngomong apa, tiada ide untuk sekedar berbasa basi, hanya sepatah kata "Ow Nggih..." dan senyuman yg bisa ku hadiahkan atas pengakuannya.
Jalanan naik setelah jembatan Jurang Krakal memaksa bis berjalan semampunya saja, serasa bertambah lama saja waktu ini, padahal tak jauh lagi beliau turun, hmmm andai roda bis bisa berputar lebih cepat.
Mengisi waktu dalam kebersamaan yg tinggal beberapa ratus meter lagi "Yooh, gek mboten sido kalih Devi nggih Dek, nyuwun ngapunten lo Dek... Bocah'e nek dikandhani angel, karep kulo sing cedak wae yo enek kok ndadak adoh adoh...", ternyata harapannya dulu masih juga terkenang hingga kini dalam bentuk simpatinya.
Hmmm entahlah, aku enggan untuk membuka lembar kemarin yg telah tertutup dan terganti, sekarang keadaan yg berbicara, semua telah berbeda, tak perlu ada penyesalan atau bayang bayang lagi, kalimat terakhirku "Nggih Bu, kersane... Kulo mboten nopo nopo, namine jodo..." setengah membatin "Masa Lalu biarlah Masa Lalu, jangan kau ungkit jangan ingatkan aku".
No comments:
Post a Comment