11 September 2014

Skyliner Khusus Bis Premium, Benarkah?



Hadir dengan tubuh yg sedang nge-trend High Decker, bermata sipit nan bening, dengan aksen rear-lamp ala Touring di bagian buritannya. Hmmm, memang di awal kelahirannya tak kurang menarik pesona, lebih khusus lagi untuk Rahayu Santosa sendiri, gagasan desain yg berhasil direalisasi itu seakan menjadi senjata bahwa dirinya belumlah pupus setelah beberapa waktu hanya mengandalkan Evo-series yg terkesan monoton sebagai peluru peluru perangnya dengan sesama bus builder.
Entah, memang telah menjadi konsekuensi sebelumnya, ataukah hanya pikiran tiba tiba, bahwa menurut informasi yg bisa dilihat di sini, body terupgrade bertajuk Skyliner itu dilabel ke dalam kelas platinum, alias bis bis yg menyandang baju tersebut dikhususkan pada bis premium. Sehingga chasis yg dihalalkan sebagai pondasinya hanyalah yg berspesifikasi space frame serta build-up suspensi udara saja.
Spontan pasal pasal yg mengatur tentang hal itu dikuatkan dengan chasis Mercedes-Benz OH 1626 yg menyangga body berkelir silver saat pertama kali launching di IIMS 2012 silam. Lambat laun, PO Anugerah yg ketika itu menjadi salah satu operator yg mengikuti road test Mercedes-Benz OC 500 RF 1836 memilih body adik kandung Euroliner itu sebagai rumah rumah chasis modular yg menanggalkan huruf H yg menjadi identitas mesin belakang dari Mercy itu. Tak lama, operator bis pariwisata Manhattan pun membenamkan produk terbaru dari pabrikan Swedia Scania K360i untuk menjadi tompangan kabin made in karoseri yg berhome base di Gunung Putri tersebut.
Sungguh, beberapa fenomena itu cukup memberi image Skyliner sebagai body bis premium, serta membuktikan bahwa Rahayu Santosa pun mampu mempertahankan konsekuensinya.



Saat arus mudik kemarin, sempat melihat Agra Mas di Jalan Raya Bogor juga memakai body tersebut, padahal sepengetahuan selama ini PO berkelir merah itu begitu loyalis dengan chasis Hino, namun kabar kabarnya ternyata bis dengan kode BM 040 itu memang mengusung chasis RN285 yg merupakan satu satunya varian Hino dengan pembekalan balon udara. So, sampai di sini, belum ada tindakan yg melanggar atas bunyi pasal yg diatur dalam undang undang Rahayu Santosa tentang pengalokasian body terbarunya itu.
Namun oh namun,,, belum lama ini ada sebuah foto di sebuah group facebook yg kiranya patut untuk dijadikan bahan bukti dalam mengusut kebenaran akan undang undang tersebut diatas...


Sekilas yg paling nampak, bahwa armada tersebut dipakai untuk kelas Non AC, terbukti dengan keberadaan kaca samping yg bisa dibuka tutup sebagai celah sirkulasi udara. Secara logis, mungkinkah chasis yg berada dalam high-level digunakan untuk melayani penumpang yg peka akan pendingin ruangan? Apalagi PO itu masih dalam jangkauan homebase di pulau Jawa, sedangkan PO di seberang barat sana yg terbilang jor-jor'an pun minimal menggunakan chasis chasis mahal itu untuk kelas Patas VIP ke atas.
Itu baru dalam logika, secara teknis, perhatikan overhang depan yg paling ampuh untuk dijadikan patokan. Belumlah merambah ke hal yg detail, dilihat dari ukuran panjangnya saja, adakah varian Mercy build up Air Suspension yg berukuran overhang sependek itu? Apalagi Hino yg dari generasi RG pun jarak antara lubang pintu dan spakbor memang lebih panjang daripada Mercy generasi OH 1521 dan kakak tuanya. Lebih lebih Scania atau Golden Dragon, impossible kan? Kalaupun Volvo, its Volvo apakah gerangan?
Nah, lalu chasis apakah yg sebenarnya terbenam di balik body indah yg disanjung premium itu?
Setelah meragukan akan konsekuensi sebuah Skyliner oleh RS karoseri lantaran munculnya bukti tersebut, lantas secara tiba tiba entah mengapa tak lama dari foto yg pertama muncul foto kedua di gruop Garuda Mas Mania itu...


Tak perlu detail kejelasan lagi kan soal foto di atas? Dari grill depan dan emblem yg menghiasinya, cukup dimengerti bukan?
Nah, bagaimanakah sebenarnya fenomena itu terjadi, mungkinkah Rahayu Santosa memang tak kukuh dalam mematenkan gadangan premium pada produk mutakhirnya tersebut? Ataukah memang itu merupakan sebuah limited oleh RS, khusus pada PO Garuda Mas yg memang telah loyalitas padanya semata?

14 June 2014

Kondangan

Dalam adat Jawa, istilah Kondangan bukan berarti acara menghadiri sebuah pesta pernikahan atau hajad semacamnya. Jika mengacu ke hal demikian, maka di masyarakat Jawa lebih umum menyebutnya dengan kata 'Jagong'.
Kondangan di budaya Jawa adalah kegiatan semacam upacara yg dilakukan oleh beberapa orang dengan dipimpin oleh seorang 'Modin', yg pada saat dilakukannya disertakan semacam sesaji.
Maksud dan tujuan dilakukannya kondangan adalah serta merta untuk menghormati pada paham Animisme dan Dinamisme. Mengenai waktu dan rangka pelaksanaan kondangan itu sendiri tidaklah selalu sama, berbagai moment atau peristiwa bisa saja menjadi latar orang melaksanakan kondangan.
Kondangan dihadiri oleh warga sekitar yg sebelumnya telah disuruh oleh tuan rumah untuk datang, peristiwa itu biasa disebut dengan 'atur-atur'. Dari sekian banyak tamu yg datang, yg pertama kali hadir biasanya adalah 'mbah modin' yaitu orang yg memimpin jalannya kondangan. Modin itu sendiri tidaklah orang sembarangan, biasanya modin itu adalah sesepuh atau orang yg dituakan oleh warga, serta sudah memiliki wawasan yg luas tentang paham yg berlaku di adat suku Jawa.
Selanjutnya modin itu seorang diri membaca mantra dengan dupa berupa kemenyan yg dibakar di hadapan serangkaian sesajen (sajen) yg diperuntukkan untuk para leluhur (disebut dupo). Mantra biasanya dilisankan secara lirih, sehingga komat kamit'nya tidak begitu terdengar oleh orang lain. Pada saat itu warga lainnya belum aktif mengikuti pelaksaan kondangan, bahkan bisa saja ada yg belum datang.
Selesai modin melakukan dupo dan warga telah berkumpul, maka pelaksanaan kondangan siap untuk digelar. Para warga duduk secara melingkar, menghadap ke sajian yg terletak ditengah tengahnya. Sajian itu biasanya berupa nasi putih yg sudah dibentuk, yaitu Golong adalah nasi yg dibentuk menyerupai bangun tabung, dan Giling adalah nasi yg berbentuk kerucut. Keduanya ditata dalam sebuah wadah dengan dan di pusat tatanan itu ada satu bentuk nasi lagi yg bernama Asahan, yaitu seperti halnya nasi Giling tetapi dengan ukuran yg lebih besar. Di antara nasi putih itu, disertakan pula lauknya, umumnya adalah oseng tahu, tempe, kentang, srundeng, dan lauk utamanya berupa ayam goreng atau telur. Untuk nasi golong karena bentuk permukaannya rata, maka lauk itu akan ditempatkan persis di atas nasi dengan sehelai daun pisang sebagai pembatasnya. Sedang karena nasi giling mempunyai bentuk yg lancip, maka lauknya dipisahkan dengan diletakkan dalam wadah yg dibuat dari daun pisang bernama takir.
Dalam saijian itu juga terdapat 'jenang jangkep', yaitu jenang tiga rupa, masing masing jenang merah, jenang putih, dan jenang katul.
Selain itu, tersaji pula apem dan kembang setaman.
Setiap bentuk dan jenis sajian itu memiliki arti tersendiri.
Di sini lagi lagi modin akan kembali membacakan mantra, dalam hal ini biasanya disebut dengan istilah 'njawabne'. Dimana modin akan membahas tentang arti dari masing masing sajian tadi. Bahasa yg digunakan sebenarnya adalah murni bahasa jawa, namun karena tingkat ke'krama'an-nya begitu tinggi, apa yg diucapkan modin itu susah susah gampang untuk dipahami. Yg jelas modin menyampaikan maksud dan tujuan dari pelaksanaan kondangan itu kepada pada leluhur atau tempat tempat yg dikramatkan dan diyakini memiliki kekuatan magis. Dari setiap maksud dan tujuan yg diucapkan modin, dan sebelum mengungkapkan maksud dan tujuan selanjutnya, di sela sela itu warga yg mengikuti kondangan serentak mengucapakan kata 'nggih' sebagai pertanda bahwa dirinya menjadi saksi atas apa yg didengarnya.
Sesi akan diikuti dengan pembacaan doa, yg akan diamini oleh para pengikut kondangannya.
Setelah njawabne selesai, acara akan dilanjutkan dengan pembagian sesajian itu kepada semua peserta kondangan, ini dikenal dengan istilah 'mbruncah'. Nasi dan lauk itu akan dituangkan di atas selembar daun jati sebagai wadahnya. Sajian yg telah didapat boleh langsung dimakan di tempat, boleh juga untuk dibawa pulang dengan cara dibungkus dengan wadahnya atau sebutannya 'berkat'. Dengan berakhirnya sesi pembagian ini maka selesailah susunan acara sebuah kondangan itu dilaksanakan.
Sesuatu yg melatari pelaksanaan kondangan itu beragam.
'Kething-kething' adalah kondangan yg dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, yg dilakukan saat bayi itu berumur sepasar (5 hari), selapan (36 hari), 3 bulan, 7 bulan, 1 tahun, dan 1,5 tahun. 'Piton-piton' adalah kondangan yg dilakukan ketika ada bagian keluarga yg dinyatakan positif hamil, waktu pelaksanaannya yaitu sebelum janin berumur lebih dari 7 bulan, di dalam piton-piton atau pitonan biasanya sesaji yg di hidangkan dilengkapi dengan ayam ingkung berjumlah 7 buah. 'Brokohan' adalah kondangan untuk sebuah barang berharga yg baru dibeli, seperti mobil atau hewan ternak seperti sapi. 'Mendhak' adalah istilah penyebutan pelaksanaan kondangan untuk orang yg telah meninggal, waktu pelaksanaannya adalah 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari pasca meninggalnya orang itu, dalam kondangan ini biasanya disertai dengan yasinan (pembacaan surat yasin) sebagai kiriman do'a kepada orang yg telah meninggal. 'Megengan' dan 'Badan' adalah kondangan yg dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan dan Syahwal.
Kondangan dinilai secara prosesinya memang terkesan adanya unsur spriritual, ini lantaran kepercayaan nenek moyang dulu pada sebuah aliran Animisme dan Dinamisme, perihal inilah yg menimbulkan selisih dengan norma keagamaan, sehingga tradisi yg telah turun temurun itu pun mulai menimbulkan pro kontra, bahkan kini kondangan yg telah menjadi adat itu pun mulai ditinggalkan oleh sedikit orang.

13 June 2014

Bis Pariwisata Berseliweran di Wonogiri

Memasuki moment libur panjang, pasti ada sesuatu yg terlihat 'baru', yg biasanya tidak begitu menonjol, kini karena volumenya yg berstatus rame sehingga menggugah pandangan, alhasil membuat kita bakal menyadari akan itu.
Ya, itulah fenomena bis pariwisata, bis yg dalam hari hari biasa mungkin lebih sering leyeh leyeh di garasi, kini mulai kwalahan menyanggupi banjir order.
Di daerah yg kaya akan pariwisata, seperti halnya yg kita kenal di Bali dan Yogya, tentu jumlah bis yg berseliweran berlevel paling banyak daripada daerah lain yg minim daerah tamasya, pasalnya memang di kota yg punya daya tarik itulah nantinya mobil penumpang berukuran besar itu akan berlabuh.
Mungkin para Bupati atau Gubernur'nya begitu senang kala menjumpai barisan bis yg membawa rombongan anak TK, anak SMP, anak kuliahan, karyawan pabrik, keluarga besar, komunitas, bahkan ibu ibu PKK menjamah daerah kepemimpinannya. Karena dengan adanya roda yg berputar dan selanjutnya parkir di tanah yg di'ayomi, maka dibarengi pula oleh adanya wisatawan yg berkunjung ke sana. Di sektor wisata yg di kelola pemerintah setempat, tentunya kehadiran para turis domestik ataupun manca itu bakal menambah pundi pundi pendapatan daerah, itu keuntungan bagi penggedenya, lantas untuk para rakyatnya pun tak luput kebagian rejeki lewat omset dari pernak pernik, cinderamata, kerajinan, mainan anan anak, oleh oleh, persewaan, es kelapa muda, es buah, bakso, soto, tongseng, obat kuat, obat cari jodoh, obat galau, dan segalanya yg bisa diperdagangkan. Di luar itu juga akan menciptakan kebanggan tersendiri lantaran tempatnya diprimadonakan mayoritas orang, berbagai orang dari segala penjuru tiba, menikmati, dan memuja karena sebuah pesona serta pengalaman. "owh jadi ini pantai Sanur yg terkenal Sunset'nya itu", "ini to wujud candi Prambanan yg fenomenal itu", sungguh kekaguman itu akan membawa nama pemiliknya begitu agung di mata pengunjung, "Bali memang indah", "Yogya tak akan ku lupakan", "Gak nyesel jauh jauh ke Malang".
Yaaah, ibaratnya daerah daerah yg memiliki daya pikat tinggi itu adalah individu yg punya aset melimpah sekaligus figur publik, maka untuk meraup untung serta menjadi terkenal segampang pepatah membalikkan telapak tangan.
Sedangkan di Wonogiri, aset apakah yg laku dijual, yg kiranya bisa mendatangkan para pelancong datang, lebih lebih dari bangsa nan jauh di sana.
Kalau bicara tentang potensi SDA yg layak dijadikan pelet, dimanakah surga itu terletak? Biarpun tak berarti nihil, namun perkembangannya belumlah mampu menjelma menjadi magnet bagi khalayak yg haus panorama.
Di sektor budaya dan adat istiadat, rasanya begitu fana untuk dijadikan obyek yg mampu membuat mata asing mau melirik. Jelas saja, reality'nya kalau penduduk asli Wonogiri ingin menggelar kethoprak yg merupakan original art Jawa Tengah saja, mesti mendatangkan grup seni dari Solo. Apalagi soal adat istiadat, yg kian hari kian luntur jalaran pro kontra serta kepercayaan.
Maka, tidak berlebih jikalau di jalanan Wonogiri kala memasuki liburan pun juga banyak 'berseliweran' bis pariwisata dari luar daerah. Mau kemanakah mereka, apa yg didambakannya dari Wonogiri sampai rela menyewa bis untuk mencapainya?
Entah dimana titik tujuan mereka, yg pasti bukanlah di Wonogiri dermaga bis bis itu, sekali lagi mereka hanya 'berseliweran' alias 'lewat' doank. Bisa saja mereka itu rombongan dari Solo yg hendak berekreasi ke Malang, atau dari Ponorogo yg akan menuju Yogya, dan Wonogiri hanyalah menyandang tahta sebagai jalur alternaifnya semata.
Kapan ya bis bis itu akan berhenti di Wonogiri, tertata rapi layaknya di Bali atau Yogya?

Sluman Slumun Slamet

Kegagalan untukku meminang 'W3' 21 April lalu, seolah telah mengukuhkan hati untuk menuliskan bahwa itulah hanya keberhasilan yg tertunda semata. Namun pembuktian untuk menguaknya yg ku rencanakan seminggu sesudahnya itu ternyata harus tertunda (lagi), planing back to Jakarta rupanya mesti mundur lantaran dininya pengerjaan proyek di kota pahlawan. Yaah, apa boleh buat, ini kan bukan halnya touring murni, melainkan sekedar touring aji mumpung, jadi jikalau keadaan belum menghadiahkan trip ke Jakarta, tiada efektif lain selain bersabar.
Terhitung sebulan menunda keberangkatan, selama moment itu pula proyek sebuah franchise resto cepat saji di ibukota povinsi Jawa Timur ku rampungkan, dan saat setelah itulah yg kini ku yakini sebagai moment untuk memungkiri kegagalan sebelumnya.
Pagi itu ku melangkah, mengarahkan driven sepeda motor menuju terminal Purwantoro, mencari sebongkah meja berlabel Pahala Kencana. Begitu antusias sang penjaga meja itu tatkala kedatanganku tertangkap oleh kedua matanya, mula keberadaanya yg sedikit menjauh dari lapak dagangannya, seakan tergegas memburu bangku transaksinya menyambut langkah kaki ini.
"Teng pundi Mas?" terlantun halus, hangat, lembut, dan sopan serta diiringi senyuman khas, its first exeperince, bukan bermaksud membandingkan, namun apabila boleh merekor, inilah agen ter'ramah yg pernah ku datangi di terminal kecil nan sesak berbagai nama bus itu.
"Pall wonten Pak?" sembari aku menyanding duduk di sebelah kirinya.
"Nge-Pall wonten, tiang pinten nggih?". Nomor 1AB dan 2AB di sketsa seat, terlingkari goresan spidol boardmarker merah sebagai option untukku menentukan dua kursi yg hendak ku beli. Karena menurut jawaban yg ku tanyakan bahwa kabin armada mengadopsi sekat pemisah, maka aku memilih nomor 2A-2B. Dari pengalaman di lain PO yg berpartisi antara kokpit dan ruang penumpang, ternyata duduk di hot seat itu justru memiliki ruang gerak paling minim.
Harga tiket tak berbeda sepeser pun dengan sang pelopor 'ventura' di market Wonogiri area, 135ribu plus servis makan tentunya.
"Mas, susuk'e kurang 5000, mengke mawong nggih nek mangkat, mengke kulo kawal bise, jam 10 sampeyan siap nyegat nggih...".
"Owh nggih Pak, matur suwun Pak..." terucap sebagai kalimat pamitmu.
Pulang.... Cus, hihi alay dikit ah...
****
Prepare, sarapan, pamitan, dan Cus lagi deh... Hehe, alay lagi...
****
Belum lama menginjakkan telapak sepatu di tempat penantian Pahala, justru satu unit Jetbus HD berkelir brand sebuah permen itu baru mengarah ke timur, entah apakah itu ganjaran yg digariskan untukku, ataukah salah satu di antara para kolega W-series'nya. Warnanya yg kuning fresh itu lho, hmmm menambah kesan vulgar sebuah armada baru. Memang, gebrakan yg dilakukan terbilang jor-jor'an, bukan sekedar peremajaan lagi, namun langsung penggantian dengan unit gess, dan hebatnya lagi terjadi dalam waktu yg serentak di semua divisi W, memang sungguh rasanya, yah begitulah kekuatan sebuah PO besar. Ya semoga saja, persaingan yg dilakukan itu turut berpengaruh pada persaingan rekrutan penumpang ke depannya.
Tak hingga lelah ku bersabar, terlihat jelas livery nano-nano pada sebuah body karya karoseri New Armada bertengger dari timur, dari sein kiri yg menyala genit maka ku pastikan inilah Pahala yg ku dapat.
Beruntunglah rupanya aku kali ini, secara barisan W telah didrop spesies spesies anyar dari kota Malang bertenaga erka-jes, namun tak sengaja hari ini aku malah kebagian Evonext berpendorong RG yg mungkin sedang ditugaskan sebagai pemain pengganti. Biarpun daripada jatah aslinya ini terbilang lebih tua, satu hal yg tak membunuh rasa bejo ku karena inilah kali pertamanya aku merasakan body yg pada first-generation'nya bertajuk Evobus itu, bahkan lebih luasnya lagi, ini adalah pengalaman pertama dalam hal bis malam aku merasakan ruang besi garapan tangan tangan Magelang itu.
Kenek sibuk membukakan bagasi untuk sebuah kardus berisi alat kerja yg dibawa teman seperjalananku, sedang sopir lebih dulu menyambutku dengan senyuman ringan dan anggukan kepala sebagai isyarat welcome, serasa tiba di kabin sebuah maskapai penerbangan swasta bukan? Yaah, memang dalam hal keramahan yg original itu tidak berpatokan pada sebuah background, tidak berarti kalau PO A itu semua kru'nya ramah, sedang PO B semua kru'nya kaku, namun justru bergantung pada individulismenya masing masing. Namun andaikan sebuah PO melakukan sebuah pembentukan diri, mendidik dan melatih para kru untuk bisa berlaku seperti sopir ini, di sektor ini kualitas sumber daya manusia lah yg di'ujung-tombakkan, mengedepankan pelayanan di sisi ramah tamah, tak khayal bisa menjadikan nilai plus dalam menunjang eksistensi.
Selangkah setelah aku naik dari titik standar chasis ke level High-Deck mencari tumpuan badan sesuai nomor yg telah deal, cegatan agen yg kini merangkap sebagai pengawal lima langkah itu menghentikan kejelianku, "Mriki Mas, nomere kulo pindah 1AB, wong niki kan mboten wonten sekat'e, kebeneran nggih kosong. Pundi tikete kulo rubah nomere. Gek niki susuke wau kirang 5000 nggih", batin batin loe tau yg gue mau aja Pak, kursi depan adalah favorite, konon begitulah sebutan akrabnya.
Kami berdua bagaikan pembabat alas kabin ini, tiada satupun kursi terisi selain kursi driver, CB, kandang macan, dan 1C yg dihuni oleh agen. Prihatin rasanya, ironis, gertakan besar yg dilakukan belumlah mampu bertahta sebagai subyek pelambai calon penumpang. Mungkin kalau bukan di'motori oleh Pahala Kencana, trayek ini telah lelap dalam tidurnya.
Lambaian tangan agen Slogohimo membalas seruan klakson sopir, menandakan tiadanya point di titik tersebut.
Penjaga agen menyudahi tugas anyarnya sebagai pengawal di timur pasar lawas Jatisrono. Di terminal kecamatan ini pun laju W3 hanya terhenti oleh transaksi meal-meal'an kepada petugas dishub.
Di terminal wilayah hombase PO Purwo Group, kabin mengalami pertambahan seorang penduduk.
Di pos selanjutnya, Ngadirojo, terjadi lonjakan penduduk. Tapi ini bukanlah penumpang abadi, melainkan hanyalah titipan dari agen yg katanya tadi ketinggalan armada.
Terminal induk Wonogiri hanya dimasuki demi mematuhi peraturan 'bus umum masuk terminal' saja.
Transit penumpang titipan ke armada W6 dilakukan di terminal setengah jadi alias terminal Krisak sekaligus menambah pundi pundi kabin menjadi genap 4 orang. W6 langsung mangkat seusai penumpang operan menduduki kursi kekuasaannya, sedang W3 masih terdiam sejenak di area relokasi terminal Giri Adipura ini.
Beranjak dari terminal, di depan masih tertangkap mata bokong kolegannya, entah apakah itu W1 ataukah W2.
Perilaku serupa agen Slogohimo kembali terjadi di terminal Sukoharjo.
Di agen pinggir jalan sesudah pabrik tekstil Sritex, penumpang bertambah 100% sehingga menjadi 8 orang.
Berjalan beberapa kilometer, seorang penumpang maju mendekati kru, tepatnya duduk di kursi 1C, memberikan aba aba "kiri" pada driver. Ku pastikan ini adalah adanya rekanan dari penumpang pemberi komando yg menunggu di seputar area itu. Sayangnya seruan dari Bapak itu tak mampu tertangkap oleh kedua kru, hingga melampaui batas 3x kata "kiri" itu baru disadari oleh sopir yg kemudian langsung membanting setirnya ke arah sesuai comand.
"Bapak kalau mau berhenti harusnya bilang pas naik tadi, gak mendadak kaya gini", ungkapan kenek terlontar dengan sedikit nada emosi.
"Mundur mundur", timpal penumpang itu lagi seolah merasa bahwa aba abanya tak digubris sehingga menyebabkan kebablasan.
"Ngapain mundur Pak? Ini mah mobil gede, gak bisa mundur seenaknya", pembelaan dari sang kenek lagi.
Hehe, ku benarkan sikap kenek, biarpun terkuak adanya kandungan emosi, namun seharusnya penumpang tidaklah searogan itu, batin batin "emang Mikrolet Pak? Kok pakai mundur segala".
Kenek terlihat meminta persetujuan dari sopir atas negosiasi yg sedang dilakukan bersama penumpang itu. Setelah mencapai mufakat, ku intip lewat tebengan spion kanan ternyata penumpang itu membawa 3 barang bawaan seukuran kardus TV 29", jadi mungkin cas atas kelebihan bagasi inilah yg tadi dirunding oleh kedua kru itu.
Sebuah SPBU di Kartasura difungsikan sebagai media penambah asumsi bahan bakar. Sopir sempat memarkirkan mobilnya di sebelah kiri mesin pompa, lantas diingatkan oleh kenek bahwa lubang titik pengisiannya terletak di body sebelah kiri, sehingga bis harus mundur untuk memosisikan badan di sebelah kanan pompa.
Di tempat yg akrab disebut 'pom bensin' itu nampaknya jg merangkap menjadi perwakilan PK divisi Solo, Ponorogo, dan Wonogiri. Seorang penumpang tujuan Lebak Bulus mengakhiri kebersamaannya dengan W3 di sini untuk selanjutnya bergabung ke W5 yg telah parkir terlebih dulu bersama sebuah armada livery lama berbody Jetbus versi Tri-xxx, entah seri apa dan berapa.
Tak lama bergabung parkir menyusul dua sahabatnya, kenek naik membawa sebuah bungkusan, setelah di buka ternyata isinya air mineral 600ml yg kemudian dibagikan kepada para penghuni kursi kabin. Hmmmm, 135 plus makan plus air mineral lagi, jelas lebih murah bukan? Sesuai dengan moto yg tertulis di cover tiketnya "lebih dari yang lain".
Nano nano berlabel HT 557 berangkat tanpa adanya tambahan penumpang, membuntuti duo Merah-Putih berkode BM. Melihat speed yg ditunjukkan oleh sopir ini dan berpegang pada pengalaman bertumpu di atas Agra Mas, tentu ini bukan lawan main, kalau saja tak harus bergelut dengan rapatnya lalu lintas, pasti dua Hino RK8 bertubuh Adiputro itu sudah tercentang oleh double-u-three ini. Benar saja, tak lama kemudian BM 010 berhasil dilengserkan lantaran roda drivennya yg mengarah ke terminal Kartasura, hehehe...
BM 028 melejit meninggalkan W3 yg terhadang nyala lampu merah, sementara W5 mampu memanfaatkan celah di sisi kiri sehingga berhasil start lebih dulu saat lampu berubah hijau. Makin lama buritan Jetbus HD itu malah makin menjauh dan perlahan menghilang.
Meal untuk dishub Boyolali diserahkan pada petugas yg berjaga di depan terminal alias bis tidak memasuki terminal.
Tanpa isyarat apapun, lagi lagi W5 mencuri celah dari kiri dan berhasil menjadi semakin di depan, bisa disainyalir bahwa W5 terlewati lantaran dia masuk ke terminal kota susu tadi.
BM 028 pun kembali menampakkan diri, terlihat berlari apa dayanya karena kedua lajur dipenuhi truk, sedang ketidak-sabaran W5 dalam menunggu nganggurnya satu lajur pun dibuktikan lewat skil'nya menerjang bahu jalan. Namun lagi lagi W3 belumlah mampu pamer atas kedigdayaannya pada armada merah cabe eks mocaccino itu karena harus tertahan oleh laju mobil barang yg melamban merayap. Dan lagi lagi hanya mampu melakukan take over yg tak pantas disombongkan karena BM 028 hendak memasuki terminal Bangak.
Terminal Ungaran menjadi titik pengambilan penumpang terakhir yg jumlahnya tak lebih dari satu orang. Cewek berjilbab itu duduk di sebelah kanan'ku dan terpisah gang, namun maaf, aroma parfumnya begitu menyengat, mungkin sebelum berangkat wanita itu mandi dengan minyak wangi, dan harumnya pun tak disukai indera pencium ini, bikin gak tahan malah, rasanya pengen menutup hidung. Instruksi dari kenek, dia boleh mencari tempat duduk yg kosong supaya bisa lebih lega. Hmmm, gumanku untunglah kalau nanti dia pindah menjauh dari singgasanaku, eh lha kok ternyata cuma pindah ke jok nomor 2AB, ya sami mawon bau parfumnya tetap terdeteksi di setiap hisapan nafasku.
Dua spesies lahiran karoseri Revolution dengan warna khas merah bergradien kuning terlewati di Kendal.
Seiring senja menghilang, pelataran rumah makan Sendang Wungu pun akhirnya tercapai oleh W3 menyusul dua kawannya yg telah hadir terlebih dulu. Suasana parkiran masih sunyi sepi, belum ada satupun pasukan Gajah yg mendominasi halaman parkir depan, begitupun keadaan di dalam ruangan, tak menampakkan pemandangan berjubel para penumpang yg hendak menukar selembar kupon dengan sepiring nasi, bahkan kios jajanan di samping ruang makan PO ini pun malah baru buka bersamaan dengan take-off nya W3.
Dua kolega dengan seri W1 dan W5 pun tak bernasib lebih baik, selisih penumpang dengan W3 mungkin ibarat 11-12 saja, bahkan seandainya penumpang dari tiga unit armada ini dikumpulkan, keseluruhannya tak akan melebihi jumlah kursi dalam satu bis saja. Soal untung rugi, tak usah ditanya lagi, kalau asumsinya adalah omset satu armada dalam satu kali PP, mustahil kata 'untung' itu ada. Entah seperti apakah sistem manajemen perhitungan pada Pahala Kencana sehingga dalam kenyataan seperti ini pun konsekuensi dalam mengantarkan penumpang seakan tetap menjadi harga mati. Yg jelas, seandainya sikon ini terjadi pada PO lain, mungkin penumpang dioper dan bis diperpalkan adalah pilihan yg bersahabat dengan hal finansial.
Bicara menu makan, apapun PO nya dan dimanapun rumah makan ampirannya, rasanya ya cuma seperti itu itu saja lah, sepiring nasi dengan lauk sederhana plus teh setengah manis. Hanya saja disini aku menemui kecap lidah yg benar benar beda, ramuan bumbunya begitu terasa dan pas. Kalau sebelumnya Raos Eco yg ku puja sebagai rumah makan mitra bis yg paling berasa, sekarang lidah tak bisa berbohong lagi. Maklum lah, singgahan kali ke-tiga'ku di rumah makan ini merupakan yg pertama kali merasakan lauk hidangannya, dua kali sebelumnya saat aku dibawa Gajah Mungkur dan GMS beberapa tahun yg lalu adalah perjalanan ke timur, sehingga tiada acara servis makan di sini.
W5 lebih dulu meninggalkan dua rekannya saat piringku masih menyisakan separoh nasi, sedang W1 menyusulnya ketika sebatang rokok menemani penantian pada W3 yg tak lama kemudian mengikuti jejak kedua rekanannya itu.
Namun tak jauh beranjak, belum sempat menginjak aspal, nampaknya W1 mengalami sedikit trouble, sehingga W3 pun harus bersabar menemani.
"Jakarta?", tanya seorang dari dua orang laki laki yg sepertinya sedang mencari tumpangan ke ibukota pada sopir pinggir yg kebetulah masih berada di jok CB.
"Owh, nggen kulo mboten saget niku Mas, kudu liwat agen...", jawaban sopir memberi penolakan dan pengertian, kemudian mengarahkan dua lelaki itu untuk menunggu dan bernegosiasi dengan Gajah bersaudara.
Mengingat sebenarnya masih tersediannya kursi kosong, dan ada penumpang datang tak diundang, sesungguhnya laksana air di gurun pasir, setidaknya bisa berperan sebagai pundi pundi tambahan sekedar untuk biaya meal dan tol. Ya namun inilah Pahala Kencana, menoleh kefenomenalan sebutan sarkawi yg konon kelahirannya diinduki oleh PO ini, seakan menjadi pantangan bagi kru untuk mengulang sejarah itu lagi.
W1 beres, langsung kembali mengaspal. Sayang, komplotan 'W' ini angkatannya terbilang awal, seawal jam keberangkatan Agra, ditambah larinya yg lumayan greget, alhasil sampai di sini BM the gank mungkin malah masih di belakangnya. Sehingga meski speed'nya terbilang joss, rasanya kurang asik kalau belum ada lawan mainnya, andai saja time start dari pangkal mundur sekurangnya dua jam, pasti para punggawa lor-lor'an bisa menjadi kawan sekaligus lawan dalam menjajaki jalur 1000 proyek ini.
Hanya nama nama seperti Siba Surya, Dinoyo Putro, Gudang Garam, dan mobil penggendong bak saja yg ada untuk disungkurkan sebelum akhirnya bisa menjebol benteng alon alon Pelita Baru di depan hotel Dewi Ratih Batang.
Concerto bernomor body 14AC dan Non'A Dewi Sri telewati saat gerbang selamat datang kota Pekalongan menyambut.
Berlanjut dengan Panorma DX 24S dan Dedy Jaya Marco New Armada di Pemalang.
Lagi lagi hanya Sinjay 89VX yg ditemui dan ditaklukkan di Tegal sebelum akhirnya singgah di pos jaga detasemen anti sarkawi.
New Celcius 76RA dan Jetbus HD Buble Gum menjadi daftar terakhir yg tercatat di Brebes.
Memasuki tol Pejagan, W1 dan W5 terlihat berdiam di bahu jalan, mungkin acara trouble di rumah makan tadi bersambung dan inilah episode lanjutannya. W3 pun turut berpartisipasi meramaikan parkiran di depan tenda kopi itu.
Entah berapa puluh laskar pelangi Cibitung yg memamerkan bokongnya pada tiga nano nano yg tengah mengaktifkan kedua sein'nya itu. Ada pula rekan seperusahaan berbody Marcopollo dengan goresan warna khas Nirwana yg hanya menyapa ketiga kawannya tanpa rasa peduli, jadi mungkin ketika terjadi masalah pada sebuah armada seperti itu, hanya armada lain dalam satu divisi saja yg diwajibkan untuk urun membantu. Ya memang aku rasa itulah kebijakan yg benar, kalau gak begitu, misal ada satu bis mengalami trouble di Brebes arah ke barat, kebetulan semua armada di lain lain divisi lewat secara bersamaan dan semuanya ikut membantu, bisa bisa ujung parkirnya sampai di Tegal, hehehe...
20 menitan berhenti, akhirnya serentak ketiganya kembali meneruskan langkah. Sepanjang tol Pejagan-Kanci, dibuktikannya digdaya atas puluhan Sinar Jaya yg tadi meluluhkan barisan ketika prajurit 'W' sedang tak berdaya.
Menuntaskan lajur tol Palikanci, dari arah sebaliknya terjadi kemacetan parah, mungkin lebih dari satu jam waktu untuk menembusnya. Tak ku temui adanya kawanan B-VGA menyelip dalam kemacetan sepanjang 5 kilo'an itu, kalau ada mungkin jalur W3 ini sudah dirampasnya.
Macet beralih ke jalur arah barat sesampainya di Indramayu, dua Dedy Jaya menjadi pembuka jalur lawan yg diikuti oleh Dewi Sri dan sebuah travel, sedangkan W3 tetap anteng di jalur yg halal. Mata berusaha ku istirahatkan setelah lepas dari kemacetan yg dilatari oleh truk mogok itu.
****
"Pasar Rebo... Pasar Rebo...", komando kenek menghancurkan romantisme ku dengan Sandra Dewi yg ku bangun antara jarak Indramayu-Jakarta. Cijantung menjadi landasan pertama penurunan penumpang, menyusul Kiwi, dan aku menempati urutan ke-tiga sewktu turun di Gandaria.
Ku lihat HP, jam 04.09, hmmm masih pagi juga, rupanya bisa juga diandalkan untuk mengalahkan fajar.
####
Mendapati satu pengalaman perjalanan bersama PK, dan mengutip tembang Campursari karya Manthous yg dilantunkan duet dengan Lilis Diana, ku rasa pas banget...
Sluman slumun sing penting slamet...
Ngarep arep rejeki ojo nganti seret...
Pinter srawung tundhone wis mesthi untung....
Ora wurung, yen tinulung becike ojo tanggung tanggung...
(Apa yg diharapkan dari sebuah bisnis tansportasi, tidak lain adalah keuntungan. Namun biarpun di suatu ketika keadaan sedang tidak bersahabat dalam hal pendapatan rejeki, pelayanan bukan menjadi imbasnya, biarpun rugi tetapi gak tanggung tanggung penumpang yg berjumlah sedikit tetap dibawa mencapai titik tujuan).
Sluman slumun sing penting slamet...
Eling-eling ro konco ora perlu njimet...
Etung-etung ben sithik watone untung...
Modal jujur sing penting sugih sugih sedulur...
Sluman slumun slamet dasar wasis lan ubet...
Ojo samar saben dino wis mesthi ngliwet...
Sluman slumun slamet ora dhemen nyimpet...
Alah srimpat srimpet tundhone wis mesthi ruwet...
(Biarpun penumpang sedikit yg notabene omset pun demikian pula halnya, namun tetap berpegang pada pendiriannya, menolak sarkawi, jujur itu lebih baik).
Eman jo samar yen ra keduman...
Nyasar nyusur wong sabar wis mesthi subur...
(Bukankah sudah cukup panjang umur Pahala Kencana line Wonogiri, namun bagaimana kenyataannya? Kalau dikata okupansi penumpangnya lebih bagus dari Laju Prima dan Agra Mas rasanya tidak demikian, padahal mereka justru terhitung lebih baru di pasar Wonogiri. Ya semoga dengan sabarnya Pahala Kencana meniti karirnya di jalur 'W' ke depannya akan membuatnya subur).

24 April 2014

Menoleh Masa Babat Alas Divisi BM



Berkali ku ulang menekan dial pad dengan angka yg masih sama, namun sama pula hasilnya, bukan suara 'thuuut' yg ku dengar melainkan voice mail tentang non aktifnya nomor. Tak biasanya CP agen langgananku itu offline, ah ya sudahlah, biar ku coba esok lagi, mungkin besok usahaku tak disambut suara digital otomatis itu lagi, namun ditanggapi dengan salam 'halo' manusia asli.
Tak luput memang, pagi harinya suara lantang merespon nada dari panggilanku, ganjilnya kok ini suara seorang ibu ibu. Hasil klarifikasi menyatakan bahwasanya dialah pengganti penjaga agen langgananku yg tengah libur. "Nggih mpun Buk, kulo tak teng agen mawon sakniki...", kalimatku seraya menutup sambungan antar GSM itu. Suka gak suka, aku harus sedikit repot untuk menyelesaikan transaksi pagi ini juga, gak bakal bisa jikalau ku pesan lalu ku tebus bebarengan waktu keberangkatanku nanti layaknya dulu dulu, lha wong penjaga agennya lain. Okelah, aku ke sana...
****
"Kemana Mas?"
, sambutan lantang Ibu yg sebelumnya hanya ku dengar suaranya via HP itu. Kok pasti yg ditanya agen soal arah tujuan, kenapa tidak soal tiket PO apa yg hendak dicari, terkesan meremehkanku tentang sepenggal pengetahuan subyek bis beserta obyek wilayah renggutan klien'nya, hehehe...
"Purwantoro Buk, Pahala wonten mboten?", langsung saja ku tekankan soal iktihadku menyasar lembaran tiket nano nano itu.
"Waah, Pahala yo ora enek, yen Purwantoro yo iki no, 135 oleh mangan". Hehmz, gumanku dalam hati sudah bosan Buk dengan yg itu itu saja.
Tanpa ada keterangan lanjutan soal ketidaktersediaan tiket incaranku itu, dilema antara sesunggunghnya W3 bukan mustahil bertrayek Bogor-Purwantoro akan tetapi di sini aku belum berjodoh, sekelebat niat mencari jati dirinya di agen lain, namun sayang naluriku mengurungkannya, apa boleh buat.
"Sampeyan urung tau numpak iki to Mas?" haduwh, Ibu ini kok menambah nggrundhel aja, ku balaskan pandangan sinis dan raut mrengut sebagai ungkapan kekesalanku. Batin batin, aku enggan lantaran bosan, kok malah dikira belum pernah mencobanya. Serasa ingin menampik prakiraannya itu, "Ora tanggung tanggung Buk, aku ngrasakne numpak Agra wiwit jamane babat alas mbiyen".
Sekilas fenomena itu mengingatkan kembali ke sebuah masa, saat dimana cikal bakal divisi BM megawali kiprahnya.

****

Ramadhan telah menginjak hari hari akhir, lebaran tinggalah sejengkal lagi. Ketika itu pula, "Cethoel" begitulah panggilannya, sempat mengabarkan bab profesi baru yg akan digelutinya pasca hari lebaran tahun 2009 itu. Sebendhel tiket seolah menjadi bukti akan antusias perannya membawa PO Agra Mas mencoba peruntungan di jalur bis malam untuk melayani luapan penumpang di arus balik nantinya. Aku pun turut dilibatakan walaupun tidaklah secara langsung, dalam perjanjian tidak tertulis dan tidak terikat hukum saat itu, tercapai sebuah kesepakatan bahwa jikalau nanti aku bisa mencari seorang penumpang, maka fee yg ku terima sebesar 5000 rupiah, sungguh iming iming yg menggugah. Aku pun meng'iya'i tawaran kerjasama kecil itu, namun bukan lantaran nominal bergambar pangeran Tuanku Imam Bonjol itu yg menggerakkan kemauanku, melainkan rasa ingin membantu sebatas mampuku.
H(+) mulai bergulir, tak banyak yg ku lakukan dalam menjalani karir abal abalku itu, aku hanya mencari klien dari teman yg ku kenali, sebatas mencari tau waktu keberangkatannya saja, untuk selebihnya ku serahkan nomor HP nya kepada Iwan (chethoel) untuk negosiasi lebih lanjut. Namun tak jarang, teman yg ku umpankan tadi balik mengabariku tentang keberatannya menjadi penumpang bis asing (kala) itu, faktor tujuan lah yg menjadi biangnya, maklum berhubung hanya satu unit armada yg disenjatakan dalam rintisan itu, sehingga kesulitan dalam mencapai tujuan memang tidak fiktif.
Hingga akhirnya tepat seminggu usai lebaran, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, dan sudah barang pasti aku harus melakoni pengalaman pertama bersama si merah itu.
Bis tidak masuk ke terminal Purwantoro, saat itu desa Tunggur menjadi lahan parkirnya, sehingga aku pun harus butuh extra untuk mencapai keberadaannya. Tiket dibanderol 140 ribu, konon harga itu khusus untukku, alhasil hanya dipathok pas untuk setoran kantor saja, tanpa adanya tambahan untuk kantong pengawal, komisi calo, dll. Sedangkan untuk harga umumnya adalah plus sepuluh ribu. Jujurkah? Iya aja lah...
Meski rodanya masih dalam status ilegal berputar di aspal Wonogiri, namun armada yg dihadirkan tak tanggung tanggung, gress baik mesin maupun bodynya. Apalagi kehadiran New Travego dari karoseri tersohor se-Indonesia pada saat itu masih dalam level fresh serta anget anget'nya, bahkan sebatas lingkup pandang mataku, inilah bis pertama dan satu satunya di Purwantoro yg mengusung builder Adiputro bertitel New Series itu.
Dalam perjalanan, bis selalu berhenti di setiap ada kerumunan orang yg menunjukkan gelagat ke Jakarta, hingga akhirnya tempat duduk berjumlah 60 (59 seat + 1 CD) tak muat menampung penumpang yg melebihi kapasitas di terminal Bangak jam 5 sore. Ada sekiranya 10 orang yg memilih kembali turun untuk meng'cancle tiket.
Dari titik inilah bis memulai perjalanan mulusnya, setelah sebelumnya lebih sering berhenti daripada jalannya.
Masuk rumah makan Raos Eco jam 9 malam, management belum memberikan service makan layaknya sekarang, masih memberlakukan sistem 'mangan karepmu, ora mangan yo rapopo' kepada setiap penumpangnya. Meskipun kala itu Laju Prima belum hadir di sini, namun areal parkirnya cukup penuh oleh Tunggal Dara Putera, Sedya Mulya, Timbul Jaya, dan Serba Mulya, sebelum akhirnya Timbul Jaya hengkang dari rumah makan ini dan di susul oleh Sedya Mulya, serta Serba Mulya yg jua hengkang dari jagat bis malam.
Tak banyak yg tercatat dalam kesadaran sepanjang perjalan ini, yg ku rasa sesaat jiwaku terbangun, ternyata bis'nya banter juga.
Bis masuk melalui gerbang tol Karawang Timur, penumpang bertujuan Karawang tidak diantar ke terminal ataupun pool dengan alasan bis akan langsung masuk tol, padahal sesuai janji bahwasanya penumpang yg bertujuan tidak searah dengan rute bis akan dilakukan transit di pool Klari, namun tidak begitulah fakta menyatakannya.
Melalui gerbang tol Cikunir, bis mengambil arah menuju tol lingkar dalam, padahal titik tujuanku semestinya bis mengambil arah ke tol lingkar luar.
Memasuki daerah Grogol seiring fajar menyingsing, lanjut Daan Mogot, Kalideres, dan Poris. Sungguh tragedi yg tidak mengenakkan bagiku, mengingat saat itu aku baru setahun di Jakarta, yg notabene aku masih rabun akan tata letak kotanya, was was akan nyasar karena aku tidak sampai di tujuanku begitu menggumpal di benak. Untung saja seusainya penumpang wilayah Tangerang berhasil diantarkan, bis langsung menuju Lebak Bulus, dan aku pun turun di Pasar Rebo untuk selanjutnya oper angkot menuju Gandaria tepat jam 10 siang, jadi total waktu tempuh genap 24 jam penuh.

****

Beberapa bulan berselang, via HP Cethoel menginformasikan bahwasanya usaha babat alas Agra Mas harus terhenti karena belum mendapat izin trayek resmi.
Dan tak berjarak lama, ku ketahui dia justru bergabung dengan Gunung Mulia Bumel line Solo-Purwantoro.

****

Lebaran selanjutnya, tepatnya di tahun 2010, tak ku ketahui persis apakah moda transportasi binaan Anugerah Mas itu kembali mengulang usaha babat alasnya memanfaatkan momentum arus balik ataukah tidak, apalagi ketika itu Cethoel masih menyandang status sebagai kondektur bumel Gunung Mulia. Namun sempat dua kali aku memergoki armada merah cabe ini jalan di kawasan Purwantoro.

****

Lebaran tahun berikutnya, Cethol mengkonfirmasiku untuk kembali mengulang dua tahun silam. Ini pertanda bahwa Agra mencoba membinasai kegagalannya dulu, mengasah golok lebih tajam untuk meneruskan babat alas yg sempat tertunda itu. Bahkan, beberapa hari setelah itu, Cethoel kembali menghubungiku menawarkan peluang kerja menjadi Controler untuk Agra, namun masih mistetius apakah yg dimaksudkan adalah divisi bis malam, atau Agra AKAP jarak menengah yg beroperasi di Jabodetabek.
Masih sama yg ku lakukan dengan dua tahun yg lalu, aku tak lebih hanya seorang pencari target via nomor HP. Akan tetapi, untuk urusan pribadiku, aku memilih enggan untuk kembali mengarungi Pantura bersamanya, tragedi yg lalu masih menggores menyisakan trauma untuk ku ulang kembali, aku pun lebih memilih Gunung Mulia untuk membawaku ke jagad golek duit.
Mungkin sejak saat itulah Agra Mas mampu membobol benteng trayek Wonogiri secara resmi.

Kenapa Harus Bis?



Sesungguhnya jengkel menyerang, serasa begitu terpukul, nggrundhel, bosan, mendengar tanya soal kekontra'an seseorang pada objek kemania'an-ku. Pun aku jelentrehkan sepanjang benang tak berujung, niscaya butir butir pasal pembelaan-diri'ku itu tak mudah olehnya untuk dimengerti.
Yaaah, meski sadarku mengilhami akan alasan 'keheranan' lah yg menjadi pelopor kalimat yg diikuti tanda baca clurit itu menyanyatku.
Serangkai kata pencari fakta tentang jawaban "Kenapa harus bis?" lagi dan lagi hadir menghadap, bahkan terkadang menjelma bagai sebuah hina bagiku tatkala dibumbui dengan 'fly to destination' sebagai bahan pertimbangannya.
Satu orang satu selera, kiranya cukup menjadikan gambaran akan fakta tentang perspsi seseorang yg selalu berbeda. Dan bilamana pilihanku memihak pada bis, bukan pada 'montor mabur', itu normal bin wajar plus tidak janggal. Tanya kenapa?
Menembus kaca bis sepanjang perjalanan bisa menghdirkan mozaik tersendiri, berbagai warna isian hidup mampu tertangkap pandang dari dalam kabin. Baik yg berada di lingkup lalu lintas seperti truk over muatan, mobil mewah, becak, pelanggaran lalin, ulah ugal ugalan, atau kecelakaan. Maupun yg terinteraksi disekitarnya, bangunan megah, warung remang remang, sungai, hutan, orang pacaran, bahkan cabe cabean sekalipun. Yg terkadang dari sinilah muncul ironi ironi tentang arti syukur sebuah hidup ini.
Kalau dalam kabin pesawat? Adakah yg pernah melihat elang, meteor, atau pesawat lain? Yg ada hanyalah pemandangan para biduanita bertubuh aduhai berparas cihuy lengkap dengan ramah tamah dan senyum palsunya. Bagaimana tidak palsu, senyum khas yg disuguhkan tak luput dari soal tuntutan kerja, dimutlakkan menyikapi apa yg tengah dihadapi dengan penuh sabar dan santun, maka tak lebih apa yg terasa spesial oleh para penyanjung maskapainya sesungguhnya performa belaka yg memang sudah menjadi tugasnya dalam berkarir.
Jelas berbeda dengan ramah tamah yg tercipta dari profesional pegang setir, yg tugas sejatinya membawa bis dengan aman dan nyaman, niscaya etikanya terlahir dari lubuk hati penuh keikhlasan.
Berada dalam bis mampu menciptakan sensasi adrenalin, menimbulkan rasa yg deg deg sir tatkala speednya memucuk, melewati tikungan setajam silet, buka jalur, selap selip, biarpun mata merem karena takut sekalipun, namun reality keadaannya tak termusnakan oleh deteksi jantung.
Dalam dekapan sayap burung besi, anteng anteng mawon rasanya, meski kecepatannya berbanding 15 kali dengan bis, akan tetapi ketika kokpit telah berada dalam mode auto-pilot yg notabene pesawat tidak sedang take-off atau landing, jangankan untuk mendetail berapa knot kecepatannya, merasakan pesawatnya banter apa alon aja susah, monoton...
Biarpun soal IDR sebenarnya tidak menjadi masalah untukku, karena selama harga tiket singa melet tidak melangit 2x lipat dengan harga tiket singa udara, bis tetap menjadi rekomendasi untuk urusan traveling.


Namun menanggapi celotehan celotehan argumen tentang unda undi budget pembelian tiket garuda terbang versus garuda lari hanya selisih tipis, ah tenane? Entah lagi promo atau lagi down lah, faktanya tetap saja lebih efisien naik bis. Andaikan banderol rupiah antara penjelajah angkasa dan petarung darat sama besar, itu hanya sebatas harga tiket doank. Biasanya untuk ke dan dari bandara harus menggunakan moda transportasi lain yg tentunya butuh extra biaya, belum lagi plus rupiah yg mesti diiurkan guna memenuhi kewajiban asuransi kecelakaan. Lha tapi kalau kecelakaan pesawat asuransinya lebih besar to? Owh, kita ingin selamat sampai tujuan bosss, bukan ingin mencari asuransi, jadi soal itu tak perlu menjadi bahan compare.


Mau membelah awan atau membelah kemacetan seh oke aja, namun persepsiku kalau naik bis adalah pilihan, sedang naik pesawat merupakan keharusan. Bisa saja aku berpaling dari bis dan menghamba pesawat untuk beberapa waktu, namun itu karena sebab tertentu yg memaksaku untuk bercengkerama di udara. Karena sebelum merasakan mengangkasa, aku tak pernah punya keinginan untuk itu, dan setelah merasakannya pun jua tak pernah aku ingin lagi lagi dan lagi.
So, intinya kenapa harus bis? Karena bis adalah pilihan. TITIK!