Dalam adat Jawa, istilah Kondangan bukan berarti acara
menghadiri sebuah pesta pernikahan atau hajad semacamnya. Jika mengacu
ke hal demikian, maka di masyarakat Jawa lebih umum menyebutnya dengan
kata 'Jagong'.
Kondangan di budaya Jawa adalah kegiatan semacam upacara yg dilakukan oleh beberapa orang dengan dipimpin oleh seorang 'Modin', yg pada saat dilakukannya disertakan semacam sesaji.
Maksud dan tujuan dilakukannya kondangan adalah serta merta untuk menghormati pada paham Animisme dan Dinamisme. Mengenai waktu dan rangka pelaksanaan kondangan itu sendiri tidaklah selalu sama, berbagai moment atau peristiwa bisa saja menjadi latar orang melaksanakan kondangan.
Kondangan dihadiri oleh warga sekitar yg sebelumnya telah disuruh oleh tuan rumah untuk datang, peristiwa itu biasa disebut dengan 'atur-atur'. Dari sekian banyak tamu yg datang, yg pertama kali hadir biasanya adalah 'mbah modin' yaitu orang yg memimpin jalannya kondangan. Modin itu sendiri tidaklah orang sembarangan, biasanya modin itu adalah sesepuh atau orang yg dituakan oleh warga, serta sudah memiliki wawasan yg luas tentang paham yg berlaku di adat suku Jawa.
Selanjutnya modin itu seorang diri membaca mantra dengan dupa berupa kemenyan yg dibakar di hadapan serangkaian sesajen (sajen) yg diperuntukkan untuk para leluhur (disebut dupo). Mantra biasanya dilisankan secara lirih, sehingga komat kamit'nya tidak begitu terdengar oleh orang lain. Pada saat itu warga lainnya belum aktif mengikuti pelaksaan kondangan, bahkan bisa saja ada yg belum datang.
Selesai modin melakukan dupo dan warga telah berkumpul, maka pelaksanaan kondangan siap untuk digelar. Para warga duduk secara melingkar, menghadap ke sajian yg terletak ditengah tengahnya. Sajian itu biasanya berupa nasi putih yg sudah dibentuk, yaitu Golong adalah nasi yg dibentuk menyerupai bangun tabung, dan Giling adalah nasi yg berbentuk kerucut. Keduanya ditata dalam sebuah wadah dengan dan di pusat tatanan itu ada satu bentuk nasi lagi yg bernama Asahan, yaitu seperti halnya nasi Giling tetapi dengan ukuran yg lebih besar. Di antara nasi putih itu, disertakan pula lauknya, umumnya adalah oseng tahu, tempe, kentang, srundeng, dan lauk utamanya berupa ayam goreng atau telur. Untuk nasi golong karena bentuk permukaannya rata, maka lauk itu akan ditempatkan persis di atas nasi dengan sehelai daun pisang sebagai pembatasnya. Sedang karena nasi giling mempunyai bentuk yg lancip, maka lauknya dipisahkan dengan diletakkan dalam wadah yg dibuat dari daun pisang bernama takir.
Dalam saijian itu juga terdapat 'jenang jangkep', yaitu jenang tiga rupa, masing masing jenang merah, jenang putih, dan jenang katul.
Selain itu, tersaji pula apem dan kembang setaman.
Setiap bentuk dan jenis sajian itu memiliki arti tersendiri.
Di sini lagi lagi modin akan kembali membacakan mantra, dalam hal ini biasanya disebut dengan istilah 'njawabne'. Dimana modin akan membahas tentang arti dari masing masing sajian tadi. Bahasa yg digunakan sebenarnya adalah murni bahasa jawa, namun karena tingkat ke'krama'an-nya begitu tinggi, apa yg diucapkan modin itu susah susah gampang untuk dipahami. Yg jelas modin menyampaikan maksud dan tujuan dari pelaksanaan kondangan itu kepada pada leluhur atau tempat tempat yg dikramatkan dan diyakini memiliki kekuatan magis. Dari setiap maksud dan tujuan yg diucapkan modin, dan sebelum mengungkapkan maksud dan tujuan selanjutnya, di sela sela itu warga yg mengikuti kondangan serentak mengucapakan kata 'nggih' sebagai pertanda bahwa dirinya menjadi saksi atas apa yg didengarnya.
Sesi akan diikuti dengan pembacaan doa, yg akan diamini oleh para pengikut kondangannya.
Setelah njawabne selesai, acara akan dilanjutkan dengan pembagian sesajian itu kepada semua peserta kondangan, ini dikenal dengan istilah 'mbruncah'. Nasi dan lauk itu akan dituangkan di atas selembar daun jati sebagai wadahnya. Sajian yg telah didapat boleh langsung dimakan di tempat, boleh juga untuk dibawa pulang dengan cara dibungkus dengan wadahnya atau sebutannya 'berkat'. Dengan berakhirnya sesi pembagian ini maka selesailah susunan acara sebuah kondangan itu dilaksanakan.
Sesuatu yg melatari pelaksanaan kondangan itu beragam.
'Kething-kething' adalah kondangan yg dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, yg dilakukan saat bayi itu berumur sepasar (5 hari), selapan (36 hari), 3 bulan, 7 bulan, 1 tahun, dan 1,5 tahun. 'Piton-piton' adalah kondangan yg dilakukan ketika ada bagian keluarga yg dinyatakan positif hamil, waktu pelaksanaannya yaitu sebelum janin berumur lebih dari 7 bulan, di dalam piton-piton atau pitonan biasanya sesaji yg di hidangkan dilengkapi dengan ayam ingkung berjumlah 7 buah. 'Brokohan' adalah kondangan untuk sebuah barang berharga yg baru dibeli, seperti mobil atau hewan ternak seperti sapi. 'Mendhak' adalah istilah penyebutan pelaksanaan kondangan untuk orang yg telah meninggal, waktu pelaksanaannya adalah 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari pasca meninggalnya orang itu, dalam kondangan ini biasanya disertai dengan yasinan (pembacaan surat yasin) sebagai kiriman do'a kepada orang yg telah meninggal. 'Megengan' dan 'Badan' adalah kondangan yg dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan dan Syahwal.
Kondangan dinilai secara prosesinya memang terkesan adanya unsur spriritual, ini lantaran kepercayaan nenek moyang dulu pada sebuah aliran Animisme dan Dinamisme, perihal inilah yg menimbulkan selisih dengan norma keagamaan, sehingga tradisi yg telah turun temurun itu pun mulai menimbulkan pro kontra, bahkan kini kondangan yg telah menjadi adat itu pun mulai ditinggalkan oleh sedikit orang.
Kondangan di budaya Jawa adalah kegiatan semacam upacara yg dilakukan oleh beberapa orang dengan dipimpin oleh seorang 'Modin', yg pada saat dilakukannya disertakan semacam sesaji.
Maksud dan tujuan dilakukannya kondangan adalah serta merta untuk menghormati pada paham Animisme dan Dinamisme. Mengenai waktu dan rangka pelaksanaan kondangan itu sendiri tidaklah selalu sama, berbagai moment atau peristiwa bisa saja menjadi latar orang melaksanakan kondangan.
Kondangan dihadiri oleh warga sekitar yg sebelumnya telah disuruh oleh tuan rumah untuk datang, peristiwa itu biasa disebut dengan 'atur-atur'. Dari sekian banyak tamu yg datang, yg pertama kali hadir biasanya adalah 'mbah modin' yaitu orang yg memimpin jalannya kondangan. Modin itu sendiri tidaklah orang sembarangan, biasanya modin itu adalah sesepuh atau orang yg dituakan oleh warga, serta sudah memiliki wawasan yg luas tentang paham yg berlaku di adat suku Jawa.
Selanjutnya modin itu seorang diri membaca mantra dengan dupa berupa kemenyan yg dibakar di hadapan serangkaian sesajen (sajen) yg diperuntukkan untuk para leluhur (disebut dupo). Mantra biasanya dilisankan secara lirih, sehingga komat kamit'nya tidak begitu terdengar oleh orang lain. Pada saat itu warga lainnya belum aktif mengikuti pelaksaan kondangan, bahkan bisa saja ada yg belum datang.
Selesai modin melakukan dupo dan warga telah berkumpul, maka pelaksanaan kondangan siap untuk digelar. Para warga duduk secara melingkar, menghadap ke sajian yg terletak ditengah tengahnya. Sajian itu biasanya berupa nasi putih yg sudah dibentuk, yaitu Golong adalah nasi yg dibentuk menyerupai bangun tabung, dan Giling adalah nasi yg berbentuk kerucut. Keduanya ditata dalam sebuah wadah dengan dan di pusat tatanan itu ada satu bentuk nasi lagi yg bernama Asahan, yaitu seperti halnya nasi Giling tetapi dengan ukuran yg lebih besar. Di antara nasi putih itu, disertakan pula lauknya, umumnya adalah oseng tahu, tempe, kentang, srundeng, dan lauk utamanya berupa ayam goreng atau telur. Untuk nasi golong karena bentuk permukaannya rata, maka lauk itu akan ditempatkan persis di atas nasi dengan sehelai daun pisang sebagai pembatasnya. Sedang karena nasi giling mempunyai bentuk yg lancip, maka lauknya dipisahkan dengan diletakkan dalam wadah yg dibuat dari daun pisang bernama takir.
Dalam saijian itu juga terdapat 'jenang jangkep', yaitu jenang tiga rupa, masing masing jenang merah, jenang putih, dan jenang katul.
Selain itu, tersaji pula apem dan kembang setaman.
Setiap bentuk dan jenis sajian itu memiliki arti tersendiri.
Di sini lagi lagi modin akan kembali membacakan mantra, dalam hal ini biasanya disebut dengan istilah 'njawabne'. Dimana modin akan membahas tentang arti dari masing masing sajian tadi. Bahasa yg digunakan sebenarnya adalah murni bahasa jawa, namun karena tingkat ke'krama'an-nya begitu tinggi, apa yg diucapkan modin itu susah susah gampang untuk dipahami. Yg jelas modin menyampaikan maksud dan tujuan dari pelaksanaan kondangan itu kepada pada leluhur atau tempat tempat yg dikramatkan dan diyakini memiliki kekuatan magis. Dari setiap maksud dan tujuan yg diucapkan modin, dan sebelum mengungkapkan maksud dan tujuan selanjutnya, di sela sela itu warga yg mengikuti kondangan serentak mengucapakan kata 'nggih' sebagai pertanda bahwa dirinya menjadi saksi atas apa yg didengarnya.
Sesi akan diikuti dengan pembacaan doa, yg akan diamini oleh para pengikut kondangannya.
Setelah njawabne selesai, acara akan dilanjutkan dengan pembagian sesajian itu kepada semua peserta kondangan, ini dikenal dengan istilah 'mbruncah'. Nasi dan lauk itu akan dituangkan di atas selembar daun jati sebagai wadahnya. Sajian yg telah didapat boleh langsung dimakan di tempat, boleh juga untuk dibawa pulang dengan cara dibungkus dengan wadahnya atau sebutannya 'berkat'. Dengan berakhirnya sesi pembagian ini maka selesailah susunan acara sebuah kondangan itu dilaksanakan.
Sesuatu yg melatari pelaksanaan kondangan itu beragam.
'Kething-kething' adalah kondangan yg dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, yg dilakukan saat bayi itu berumur sepasar (5 hari), selapan (36 hari), 3 bulan, 7 bulan, 1 tahun, dan 1,5 tahun. 'Piton-piton' adalah kondangan yg dilakukan ketika ada bagian keluarga yg dinyatakan positif hamil, waktu pelaksanaannya yaitu sebelum janin berumur lebih dari 7 bulan, di dalam piton-piton atau pitonan biasanya sesaji yg di hidangkan dilengkapi dengan ayam ingkung berjumlah 7 buah. 'Brokohan' adalah kondangan untuk sebuah barang berharga yg baru dibeli, seperti mobil atau hewan ternak seperti sapi. 'Mendhak' adalah istilah penyebutan pelaksanaan kondangan untuk orang yg telah meninggal, waktu pelaksanaannya adalah 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari pasca meninggalnya orang itu, dalam kondangan ini biasanya disertai dengan yasinan (pembacaan surat yasin) sebagai kiriman do'a kepada orang yg telah meninggal. 'Megengan' dan 'Badan' adalah kondangan yg dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan dan Syahwal.
Kondangan dinilai secara prosesinya memang terkesan adanya unsur spriritual, ini lantaran kepercayaan nenek moyang dulu pada sebuah aliran Animisme dan Dinamisme, perihal inilah yg menimbulkan selisih dengan norma keagamaan, sehingga tradisi yg telah turun temurun itu pun mulai menimbulkan pro kontra, bahkan kini kondangan yg telah menjadi adat itu pun mulai ditinggalkan oleh sedikit orang.