"Niki sampun buka Mas", begitulah jawaban penjaga
agen seketika ku tanya via telepon tentang waktu buka lapaknya. Segera ku
tinggalkan secangkir kopi'ku untuk menuju letak outlet penjualan tiket bis yg oleh anak bismania digadang sebagai salah satu bis paling banter. Dua armada ber'nickname 'Team Solo' dan 'Insaf Pantura' telah menyambut kedatanganku dalam menebus
sebendel tiket bernomor kursi 2A dengan nomor bis 107 seharga 150 ribu itu. Dua jam waktu yg ku lewatkan usai fix
mem'booking tiket mengingatkan pada
pesan agen tadi, "Jam 12 siap wonten mriki nggih Mas", segera aku
bersiap diri dan kembali menuju Doyong sebagai run way keberangkatan'ku.
'Ningrat' yg nantinya bakal menjadi singgasana semalamku telah parkir menggantikan keberadaan 'HR 96' tadinya, entah raib kemanakah armada berkuda 'R 260' dengan kelengkapan balon udara pada kaki kakinya itu.
Ada yg hendak membeli tiket tujuan Tayu, memesan tiket tujuan Jepara untuk esok hari, menitipkan paketan pada kru '71', semua silih berganti mewarnai pandang dihadapku dalam menunggu keberangkatan bis Pak Haji yg tengah ditugaskan menjadi squat lini selatan itu.
"Mbah, wis jam 12 lo...", penjaga agen berusaha membangunkan seorang bapak paruh baya yg sekiranya adalah punggawa 'HR 107' itu. Tak lama bis putih bernuansa corak grafis dominan biru tua itu pun maju mendekatkan posisinya sejajar dengan pos agen. Beberapa kali nada corong diisyaratkan untuk mereaksi petugas agen agar segera mempersilahkan penumpangnya untuk naik. Aku dan seorang penumpang tujuan Ungaran menjadi modal dari pengisi kabin dari agen pertama.
"Monggo Mas...", sambutan seorang dari tiga sosok berkemeja biru seragam itu, kata hatiku beliaulah awak yg bertugas menahkodai armada saat jam tengah nanti. Patut ku banggakan, inilah pertama kalinya sepanjang sejarahku 'Naik Bis' mendapatkan sambutan dari salah satu kru'nya, padahal ini adalah 'PO Haryanto', bukan sebuah gas station milik BUMN yg mempunyai iming iming membudayakan 'Senyum, Salam, Sapa' pada pelanggan, hehe seberapa terketuknya hati kita dalam mengikuti penggalakan 'aku cinta produk Indonesia' jikalau apa yg dijanjikan bahkan dipampangkan secara gamblang gamblangngan oleh produsen tak pernah dirasakan oleh konsumen mendapati hak'nya, ya '3S = Sangat Sulit Sekali' untuk merealisasi sebuah janji.
Roda mulai bergulir menyusuri jalan kawasan Jatake, pancalan gas dari Mbah Brewok terlihat ganas, ini yg aku suka, biar pelan karena harus terhadang oleh kondisi lalu lintas, namun jika pijakan kaki sopir terasa greget seperti ini maka sudah bisa ku pastikan tatkala jalanan lancar nanti pacuan'nya akan laksana 'asu digitik'.
Tuntas menempuh jalur dua arah, roda kini menginjak Jalan Raya Bitung, suasana jalan yg ramai lancar membuat kecepatan stabil diantara angka 80-100 km/jam.
Cara nyopir driver pinggir terkesan halus, namun sopir yg biasa dipanggir 'Mbah Wok' ini terbilang sering meniupkan corong panjangnya untuk menhalao pelalu-lintas lain, rasanya sedikit gimana gitu dengan sopir yg suka bermain klakson seperti ini, ya walaupun sejatinya 'bel' khas Hino ku telisik yg paling merdu dalam menggetarkan gendang telingaku, seandainya diungkapin dengan kata kata, hmmm gimaya ya bunyinya itu, sedikit menggaung dan terkesan empuk, ya gitu lah...
Perseneling kembali ke posisi 'N' saat bis berhenti di agen Bitung menyusul duo Mercy 1626 yg telah berjajar disana.
Ku tujukan langkah ini mengarah toilet untuk melegakan apa yg sebenarnya telah ku rasa sejak tadi, namun karena jarak yg memisahkan seat Alldila'ku dengan keberadaan toilet cukup jauh, akupun enggan untuk mencapainya.
Memang hanya Haryanto yg mampir di persinggahan ini, namun untuk bisa mulai mengambil menu prasmanan antriannya demikian panjang, hmmm bis'nya yg terlalu banyak ataukah tempatnya yg terlalu kecil? Tidak seperti di rumah makan lain yg monoton, di sini justru tersedia tiga jenis pilihan menu, Soto, Nasi Goreng, dan Nasi putih layaknya prasmanan umumnya. Pilihan lauk tersedia ayam goreng dan telor mata sapi beserta menu pelengkap sayur asem dan sayur bening, semua tanpa dimata-mata'i, artinya tanpa pengawasan sehingga lepas dari sepengetahuan pelayan jikalau kita hendak mengambil lauk double, hihi... Soal rasa, ku nilai ini lebih bersahabat di lidah jika dibandingkan dua rumah makan langganan Haryanto sebelumnya, Taman Sari dan Markoni.
HR 79, 78, 67, dan 82 telah menyusul di halaman parkir ketika ku beranjak keluar dari ruang service dinner.
Ishoma terlaksana, Pak Gunarto kini berperan menjadi pimpinan kabin Royal Coach SE itu. Speed yg belum tercapai penuh lantaran masih dalam tahap angkatan, memberi jalan bagi Nusantara untuk melewatinya. Injakan kaki sang sopir tengah ini tak lain dengan pendahulunya, terasa greget. Bahkan beberapa kali berusaha untuk mengambil alih posisi 'Premier Class' namun harus gagal karena lajur kiri tidak dalam status prei. Hingga akhirnya bis berlivery Purple Ribown itupun dengan mudah terlalui ketika dia sowan ke Taman Sari sebagai padepokan Ishoma'nya.
RosIn PB108 menjadi yg ke-dua kalinya setelah Zentrum dalam pamer kebolehannya. Entah mengapa setiap kali ikut Muria'an selalu mendapati RosIn sebagai salah satu musuhnya.
Berlanjut hanya bisa menggiring RosIn 430 saja yg akhirnya terpatahkan juga seraya melenggang atas ketidak-cekatan LP 30, TDI AD1707BG, RosIn 402, LP 54, serta sahabat tunggal guru 'Insaf Pantura'.
Menjajaki tol Palikanci dibawah derasnya guyuran air hujan, dua unit sesama Safari namun beda alias OBL dan Royal Safari, Madu Kismo, Gunung Harta, RosIn 180, RosIn 400, Ramayana, serta SinJay 5DX menjadi obyek bulan bulanan Pak Gunarto yg memilih untuk berjalan tak melebihi angka 100 km/jam lantaran hujan lebat dan medan yg bergelombang.
Rintik air dari langit di kaca depan yg tak mampu dicapai oleh ujung wiper, menghalangi dimana titik yg ku tembus untuk mengarahkan pandangan ke depan. Aku berusaha memosisikan tubuhku sedemikian rupa agar pas dipangkuan seat Alldila dengan leg rest itu, dan berusaha menghipnotis kesadaranku sendiri.
Sekelebat mata ini melihat jarak truk lawan arah di sebelah kiri begitu dekat, ku identifikasikan saat itu bis telah berada di jalur lawan, jarak antara bis dengan truk tentu tak semepet itu andaikan masih berada di jalur yg benar. Ku tegakkan posisi duduk untuk mencari kebenarannya, saat indera ini ku tujukan ke depan menembus kaca Laminated, benar saja saat itu juga bis'ku seperti hendak adu tanduk dengan sebuah truk. Sayangnya di jalur yg seaslinya, keadaan ternyata justru lancar, alhasil keputusan Pak Gunarto memilih goyang kanan ini justru salah. "Wah, kleru iki mau, ngeblong nganan kiri malah lancar", sesalnya ketika laju bis harus berhenti sempurna karena keramaian arus dari lawan arah, justru kehadiran bis'ku ini malah membuat jalur musuh macet total. "Kuwi dhuwur ora Mas, tak lumpatne kono wae, mesakno sing seko kono malah genti macet", tanyanya pada seorang yg tengah menjalani kegiatan makhruh di kursi CB menuju pada sebuah separator di samping kanan. Akhirnya melintasi ketinggian separator pun nekad dilakoni, keadaannya yg basah membuat licin gesekan roda saat hendak menaikinya, sempat beberapa kali terasa meleset antara roda dan beton itu. Aku merasa bangga dengan perbuatan melanggar lalu lintas oleh Pak Gunarto itu, inilah tipikal PO Pak Haji yg selama ini dikenal, walaupun jarak rampasannya tidaklah panjang namun cukup untuk sekedar mendapati sesuatu yg kental kaitannya dengan PO Haryanto.
"Dugi Brebes Mas", jawabnya tatkala menyikapi deringan handphone'nya. "Lancar kok Mas, wau nate goyang nganan tak kiro macet, jebule malah kiri lancar, nggih nekad mlumpat mesak'ne sing saking mriko malah ganti macet. Mpun mengke sampeyan njikuk kiri terus mawon. Kulo tak rodo ngendho ben ketututan sampeyan", lanjutan percakapannya dengan orang di telepon yg kemungkinan besar adalah Mas Yoyok. Dalam dunia bis, siapa seh orang yg berhak mendapat panggilan Mas dan dibasa'ni krama alus oleh para rekannya? Kalau mengacu pada umur yg lebih tua, kenapa Mbah Wok justru mendapat perlakuan yg biasa saja oleh Pak Gunarto dan Mas Aris.
Seketika itu kepulasan'ku mampu melewatkan kota Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. Melihat medan yg menikung dan naik turun, aku yakin bahwa kemacetan ini berada di kawasan Subah. Pak Gunarto pun kembali melakukan kontak dengan punggawa 'La Samba' merekomendasikan untuk goyang kanan di kemacetan itu.
Menyusul 'The Fly' yg telah terdiam di halaman rumah makan Menara Kudus. Tiada stand kopi yg berada di teras, aku pun enggan untuk masuk ke dalam ruangan, sehingga lebih memilih untuk nongkrong tanpa kehadiran sebuah kopi seperti biasanya di Raos Eco. Sedangkan HR 10 dan HR 100 telihat justru bablas, jadi intinya mungkin hanya pasukan Solo saja yg mampir ke rumah makan kedua. Kembali take off meninggalkan HR 78 yg datang silih berganti dengan HR 54 tadi.
Bis masuk terminal Mangkang dan Pak Gunarto yg telah usai mengemban tugas turun di situ. Berjalan beberapa kilometer bis kembali berhenti menambah literan solar di Krapyak, HR 96 dan HR 106 sebagai sesama squat Solo pun menyusul.
Tol Jatingaleh menjadi tolak awal untuk'ku meneruskan pejaman mata ini hingga terbuka kembali saat berada di area terminal Boyolali.
HR 78 dan HR 106 mendahului saat bis berhenti menurunkan penumpang tak jauh dari terminal. Hingga akhirnya kembali bertemu bersamanya beserta HR 54, dan HR 96 di terminal Kartasura untuk saling transit penumpang. Mas Yoyok menjadi salah satu diantara para penumpang dari bis lain yg naik ke HR 107 itu. 30 menit bukan waktu yg sebentar dalam melakoni oper penumpang, menyalanya lampu utama kabin, aba aba dari kenek, ditambah suasana gaduh naik turunnya penumpang harusnya menggugah kesadaran semua penumpang, namun masih saja ada yg baru beranjak ke depan dan bertanya pada kru "Klaten oper wonten pundi Pak?" ketika bis hampir memasuki terminal Tirtonadi.
04.31 saatnya aku meninggalkan singgasana 2A untuk selanjutnya menuju kios dalam terminal mengurai kebekuan pagi dengan segelas kopi hingga akhirnya ku lanjutkan perjalanan menuju ujung tujuanku bersama Gunung Mulia 27.
Menyikapi pengalaman pertama dengan PO Haryanto, ku rasa hanya biasa saja, meski jarum speedometer acap kali menyentuh angka 120 km/ jam dan entah berapa puluh rival yg bisa digagahi, serta pernah menunjukkan skill goyang kanan, namun masih belum mampu meningkatkan detak jantungku manakala aku bersama B8 dulu, padahal PO ini di'cap sebagai bis yg rekomended dalam hal banter.
Kenapa gerangan?
Mengacu Nickname 'Ningrat' di HR 107 yg berarti 'Bangsawan / Orang yg dimuliakan', atau bisa juga berdefinisi sebagai 'Raja yg mengayomi rakyatnya' seolah mengilhami penyebab dari apa yg ku rasa.
Masih teringat tatkala berada di tol Kanci, Pak Gunarto bersua pada seorang bapak yg sedang duduk di kursi CB, bahwanya di kilometer 240-245 medan tak menentu, artinya tak mulus rata alias banyak yg bergelombang, sehingga jikalau speed melebihi level 100 km/jam maka reaksi antara roda dan medannya akan terasa begitu keras oleh penumpang.
Serta pengakuan Pak Gunarto bahwa melayani kemauan orang banyak itu susah susah gampang, jika beliau terlalu ngebut takut ada penumpang yg complain, namun jika pelan beliau takut kesiangan sampai di tujuan, sehingga beliau memilih untuk konstan di kecepatan 100-120 km/jam yg baginya adalah standar.
Tentu apa yg dilakukan Pak Gunarto tak lain memberi kenyamanan pada penumpangnya, rela berpaling dari tipikal PO yg selama ini dikenal khalayak, ya 'Sopir yg peduli pada penumpang yg dibawanya' bak 'Raja yg peduli pada rakyat pimpinannya'.
Alhasil, biarpun aku begitu menantikan ke'khas'an dari PO Haryanto, namun berhubung tujuan drivernya adalah untuk lebih memberikan comfort pada penumpang, maka aku bisa memakluminya, bisa mengerti pada sosok sebuah 'Ningrat'.
(Hihi, just kidding... Penafsiran belaka, sekedar basa basi seraya menepis kebingungan memberi judul apa...)
'Ningrat' yg nantinya bakal menjadi singgasana semalamku telah parkir menggantikan keberadaan 'HR 96' tadinya, entah raib kemanakah armada berkuda 'R 260' dengan kelengkapan balon udara pada kaki kakinya itu.
Ada yg hendak membeli tiket tujuan Tayu, memesan tiket tujuan Jepara untuk esok hari, menitipkan paketan pada kru '71', semua silih berganti mewarnai pandang dihadapku dalam menunggu keberangkatan bis Pak Haji yg tengah ditugaskan menjadi squat lini selatan itu.
"Mbah, wis jam 12 lo...", penjaga agen berusaha membangunkan seorang bapak paruh baya yg sekiranya adalah punggawa 'HR 107' itu. Tak lama bis putih bernuansa corak grafis dominan biru tua itu pun maju mendekatkan posisinya sejajar dengan pos agen. Beberapa kali nada corong diisyaratkan untuk mereaksi petugas agen agar segera mempersilahkan penumpangnya untuk naik. Aku dan seorang penumpang tujuan Ungaran menjadi modal dari pengisi kabin dari agen pertama.
"Monggo Mas...", sambutan seorang dari tiga sosok berkemeja biru seragam itu, kata hatiku beliaulah awak yg bertugas menahkodai armada saat jam tengah nanti. Patut ku banggakan, inilah pertama kalinya sepanjang sejarahku 'Naik Bis' mendapatkan sambutan dari salah satu kru'nya, padahal ini adalah 'PO Haryanto', bukan sebuah gas station milik BUMN yg mempunyai iming iming membudayakan 'Senyum, Salam, Sapa' pada pelanggan, hehe seberapa terketuknya hati kita dalam mengikuti penggalakan 'aku cinta produk Indonesia' jikalau apa yg dijanjikan bahkan dipampangkan secara gamblang gamblangngan oleh produsen tak pernah dirasakan oleh konsumen mendapati hak'nya, ya '3S = Sangat Sulit Sekali' untuk merealisasi sebuah janji.
Roda mulai bergulir menyusuri jalan kawasan Jatake, pancalan gas dari Mbah Brewok terlihat ganas, ini yg aku suka, biar pelan karena harus terhadang oleh kondisi lalu lintas, namun jika pijakan kaki sopir terasa greget seperti ini maka sudah bisa ku pastikan tatkala jalanan lancar nanti pacuan'nya akan laksana 'asu digitik'.
Tuntas menempuh jalur dua arah, roda kini menginjak Jalan Raya Bitung, suasana jalan yg ramai lancar membuat kecepatan stabil diantara angka 80-100 km/jam.
Cara nyopir driver pinggir terkesan halus, namun sopir yg biasa dipanggir 'Mbah Wok' ini terbilang sering meniupkan corong panjangnya untuk menhalao pelalu-lintas lain, rasanya sedikit gimana gitu dengan sopir yg suka bermain klakson seperti ini, ya walaupun sejatinya 'bel' khas Hino ku telisik yg paling merdu dalam menggetarkan gendang telingaku, seandainya diungkapin dengan kata kata, hmmm gimaya ya bunyinya itu, sedikit menggaung dan terkesan empuk, ya gitu lah...
Perseneling kembali ke posisi 'N' saat bis berhenti di agen Bitung menyusul duo Mercy 1626 yg telah berjajar disana.
Muka Jetbus bis'ku
persis di belakang Tunggal Dara AA 1700
CN yg jua tengah parkir di sana. GMS
berbodi Nucleus 3 dan Royal Safari
New Travego MP dengan telah melewatiku yg masih terhenti dan berangsur disusul
oleh SSM nomor body 211, Gajah Mungkur AD 1647 BG, HR 10, dan HR 82 yg kesemua datang dari arah balik, serta HR 96 pun menyusul.
Waktu pemberhentian bertambah lama ketika terjadi insiden tunggal sebuah motor,
entah bagaimana alur cerita terjadinya, karena saat aku mengikuti tatapan mata
puluhan orang di luar yg menuju pada objek itu, terlihat salah seorang kru
bis'ku berusaha menolong korban yg jatuh di tengah jalan untuk di bawa ke
pinggir. Inilah bedanya penyandang seragam 'biru'
yg ikhlas bersosial dengan keadaan lingkungan walaupun dibalik itu para
penumpang telah 'nganti-anti' dirinya
untuk segera kembali berprioritas dalam kewajibannya, andai saja yg menolong
itu adalah pemakai seragam 'abu-abu',
maka ikhlas gak ya???
Perjalanan berlanjut ke tol Jakarta-Merak melauli GT Bitung, Maju Lancar nomor body 219 dan Harjay 'love story' trayek 10 bukanlah makhluk yg sulit ditaklukkan dengan speed 100-120 kpj hingga akhirnya harus terhenti oleh kemacetan setelah exit di GT Tangerang.
Melewatkan pertigaan Gading Serpong yg merupakan titik kemacetan, perjalanan kembali lancar.
Terminal Lebak Bulus menjadi place untuk mengambil pundi pundi kabin yg ke-tiga kalinya. Para maniak dari berbagai komunitas yg tengah melancarkan aktifitas 'hunting' begitu antusias menyambut kedatangan 'Ningrat' dengan bekal kamera di genggaman'nya, bak seorang artis terkenal yg telah dinanti nanti oleh para fans'nya.
Terlihat HR 55, HR 67, dan HR 111 menempati jatah plavon berjajar dengan rival se'muriaan'nya.
Keberadaan pelapak asongan yg silih berganti menawarkan dagangannya sedikit membuatku terasa kurang nyaman, namun di sisi lain apalah daya selain ku hanya pasrah memaklumi bahwa di sini lah mereka mampu menghidupi keluarganya, dan aku sadar jikalau aku hanyalah satu dari 36 penumpang lainnya, dan bis'ku hanyalah satu dari puluhan bis yg menghuni terminal ini.
TZ 39 terpandang paling menonjol di penglihatanku lantaran telah tertempel stiker 'MK 32', bagaimanakah nasib PO seumur jagung itu ke depannya nanti, jika benar terkabar TSU telah mengakuisisi sebagian besar asetnya, lalu mampukah dia mempertahankan citra cemerlang dari Zentrum yg telah ada sebelumnya.
Panorama di luar masih belum berubah dengan para 'biser' yg sibuk dengan bidikan lensanya, sedang seseorang berkemeja komunitas SBL naik ke kabin dan menuju seat 2CD, mungkinkah dia hendak touring setelah usai melakukan pertemuan lewat acara Kopdar dengan komunitasnya di situ.
Hilang satu berganti yg lain, pedagang tahu turun, giliran dompet yg ditawarkan pedagan lainnya, menyusul gitaris dalam kabin yg mengais rejeki lewat suratan lagu, begitulah seterusnya.
"Eh, ini Shantika", secarik kalimat keluar dari seorang anak yg membagikan amplopnya padaku sambil menunjuk sebuah gambar dan tulisan di dada kemejaku yg sebenarnya adalah 'Scania' bukan 'Shantika', lalu amplopnya diambil lagi, intinya dia tidak jadi memberiku jatah amplop itu. "Eh, ini Shantika juga", begitupun kalimatnya ketika dia akan memberikan sebuah amplopnya pada anak SBL yg duduk di sebelah kananku tadi, dan sama pula, amplopnya pun tidak jadi diberikan padanya. Kenapa gerangan? Apakah penumpang yg mengenakan pakaian yg merujuk bahwa dirinya seorang 'bismania' telah terbebas dari peminta minta? Amplop penumpang di sebelah kiriku yg dibiarkan kosong akhirnya ku isi dengan recehan yg telah ku persiapkan setiap akan melakukan trip. Semoga niat berbagi'ku itu menutup kemungkinan anak itu, bahwa seorang penggemar bis bebas dari tuntutan untuk berbagi pada sesama.
Bersamaan dengan datangnya 'The Fly', bis pun mulai beranjak kembali.
"Ndang le, dipoto iki Kera Sakti iki...", seru Mbah Wok pada anak anak yg mengarahkan kamera kepadanya ketika bis mulai keluar dari pintu terminal. Sontak menjadikan ajang yg mengundang tawa penumpang akan bercandaan Mbak Wok yg mengecap dirinya sebagai 'Kera Sakti' lantaran brewok'nya. "Bocah bocah ngoten niku nggih mbendinten wonten to Pak?", tanya seorang penumpang wanita yg duduk di depanku. "Nggih mbendinten, lha niku wau saking Doyong dugi mriki wonten pinggir dalan rak kathah, dereng melih mengke wonten Pinang Ranti... Nggih pripun namine tiyang seneng. Wong riyen niku malah wonten sing nyidam bis parkir, dadi pas meteng ngoten nyidam'e ndelok Haryanto parkir teng terminal, jane yen sampun ngertos bis'e ngoten nggih sampun...". Wah, ada ada saja cerita Mbah Wok ini, saking cintanya sama bis kah sehingga janin dalam kandungan pun terpancing untuk setiap hari melihatnya, hehe untung cuma nyidam melihat saja, lha kalau nyidam minta bis'nya, repot donk...
Perjalanan di tol JORR bagian TB.Simatupang cukup lancar, kembali macet di perempatan Garuda saat akan menuju terminal Pinangranti. Maju Lancar seri C dan W, serta Ramayana F3 menjadi papasannya tatkala bergelut dengan kemacetan di samping Tamini Square itu. Putar kepala di terminal, perjalanan berlanjut hingga akhirnya masuk di GT Bambu Apus.
Efek dari kurang tidur di malam harinya, lanjutan cerita pun tak ku sadari lagi hingga pabrik YKK menyadarkanku bahwa bis telah sampai di Cibitung. Belum lama mata ku buka, saat itu juga TZ 32 dengan bringasnya mencuri jalan dari kiri, aku hanya bisa melihat kedipan sein'nya saja tanpa ada usaha dari Mbah Wok untuk mengejarnya.
Bis kembali di arahkan ke jalur pintu keluar tol Cikarang Barat setelah sebelumnya cukup lincah dalam mengasapi duo RosIn 386 dan 402.
Ekspedisi berlanjut setelah penumpang full dari agen terakhir itu. Mas Aris selaku kenek terdengar melakukan kontak dengan rekan yg telah berada di posisi lebih awal, tersirat kabar bahwa Dawuhan macet, sehingga Mbah Wok memilih untuk exit di GT Cikampek, di situ pula Ombak Biru dengan line W3 mesti tunduk panda 'Ningrat'.
Selepasnya hanya truk dan mobil kecil saja yg menjadi objek pandangan senja itu, speed pun serasa telah loyo, hanya anteng di angka 80 km/jam bahkan terkadang naik turun 20 kpj lebih rendah.
Mbah Wok memerintah sang kenek untuk membangunkan sopir tengah yg sedang mimpi indah di atas mesin karena hampir tiba di rumah makan.
Tak jauh lagi pun, manuver kiri terjadi pertanda bis telah masuk di pelataran rumah makan Po Haryanto. Kedatangan bis'ku melengkapi jejeran HR 10, 71, 98, 55, dan 99 yg telah datang lebih awal.
Perjalanan berlanjut ke tol Jakarta-Merak melauli GT Bitung, Maju Lancar nomor body 219 dan Harjay 'love story' trayek 10 bukanlah makhluk yg sulit ditaklukkan dengan speed 100-120 kpj hingga akhirnya harus terhenti oleh kemacetan setelah exit di GT Tangerang.
Melewatkan pertigaan Gading Serpong yg merupakan titik kemacetan, perjalanan kembali lancar.
Terminal Lebak Bulus menjadi place untuk mengambil pundi pundi kabin yg ke-tiga kalinya. Para maniak dari berbagai komunitas yg tengah melancarkan aktifitas 'hunting' begitu antusias menyambut kedatangan 'Ningrat' dengan bekal kamera di genggaman'nya, bak seorang artis terkenal yg telah dinanti nanti oleh para fans'nya.
Terlihat HR 55, HR 67, dan HR 111 menempati jatah plavon berjajar dengan rival se'muriaan'nya.
Keberadaan pelapak asongan yg silih berganti menawarkan dagangannya sedikit membuatku terasa kurang nyaman, namun di sisi lain apalah daya selain ku hanya pasrah memaklumi bahwa di sini lah mereka mampu menghidupi keluarganya, dan aku sadar jikalau aku hanyalah satu dari 36 penumpang lainnya, dan bis'ku hanyalah satu dari puluhan bis yg menghuni terminal ini.
TZ 39 terpandang paling menonjol di penglihatanku lantaran telah tertempel stiker 'MK 32', bagaimanakah nasib PO seumur jagung itu ke depannya nanti, jika benar terkabar TSU telah mengakuisisi sebagian besar asetnya, lalu mampukah dia mempertahankan citra cemerlang dari Zentrum yg telah ada sebelumnya.
Panorama di luar masih belum berubah dengan para 'biser' yg sibuk dengan bidikan lensanya, sedang seseorang berkemeja komunitas SBL naik ke kabin dan menuju seat 2CD, mungkinkah dia hendak touring setelah usai melakukan pertemuan lewat acara Kopdar dengan komunitasnya di situ.
Hilang satu berganti yg lain, pedagang tahu turun, giliran dompet yg ditawarkan pedagan lainnya, menyusul gitaris dalam kabin yg mengais rejeki lewat suratan lagu, begitulah seterusnya.
"Eh, ini Shantika", secarik kalimat keluar dari seorang anak yg membagikan amplopnya padaku sambil menunjuk sebuah gambar dan tulisan di dada kemejaku yg sebenarnya adalah 'Scania' bukan 'Shantika', lalu amplopnya diambil lagi, intinya dia tidak jadi memberiku jatah amplop itu. "Eh, ini Shantika juga", begitupun kalimatnya ketika dia akan memberikan sebuah amplopnya pada anak SBL yg duduk di sebelah kananku tadi, dan sama pula, amplopnya pun tidak jadi diberikan padanya. Kenapa gerangan? Apakah penumpang yg mengenakan pakaian yg merujuk bahwa dirinya seorang 'bismania' telah terbebas dari peminta minta? Amplop penumpang di sebelah kiriku yg dibiarkan kosong akhirnya ku isi dengan recehan yg telah ku persiapkan setiap akan melakukan trip. Semoga niat berbagi'ku itu menutup kemungkinan anak itu, bahwa seorang penggemar bis bebas dari tuntutan untuk berbagi pada sesama.
Bersamaan dengan datangnya 'The Fly', bis pun mulai beranjak kembali.
"Ndang le, dipoto iki Kera Sakti iki...", seru Mbah Wok pada anak anak yg mengarahkan kamera kepadanya ketika bis mulai keluar dari pintu terminal. Sontak menjadikan ajang yg mengundang tawa penumpang akan bercandaan Mbak Wok yg mengecap dirinya sebagai 'Kera Sakti' lantaran brewok'nya. "Bocah bocah ngoten niku nggih mbendinten wonten to Pak?", tanya seorang penumpang wanita yg duduk di depanku. "Nggih mbendinten, lha niku wau saking Doyong dugi mriki wonten pinggir dalan rak kathah, dereng melih mengke wonten Pinang Ranti... Nggih pripun namine tiyang seneng. Wong riyen niku malah wonten sing nyidam bis parkir, dadi pas meteng ngoten nyidam'e ndelok Haryanto parkir teng terminal, jane yen sampun ngertos bis'e ngoten nggih sampun...". Wah, ada ada saja cerita Mbah Wok ini, saking cintanya sama bis kah sehingga janin dalam kandungan pun terpancing untuk setiap hari melihatnya, hehe untung cuma nyidam melihat saja, lha kalau nyidam minta bis'nya, repot donk...
Perjalanan di tol JORR bagian TB.Simatupang cukup lancar, kembali macet di perempatan Garuda saat akan menuju terminal Pinangranti. Maju Lancar seri C dan W, serta Ramayana F3 menjadi papasannya tatkala bergelut dengan kemacetan di samping Tamini Square itu. Putar kepala di terminal, perjalanan berlanjut hingga akhirnya masuk di GT Bambu Apus.
Efek dari kurang tidur di malam harinya, lanjutan cerita pun tak ku sadari lagi hingga pabrik YKK menyadarkanku bahwa bis telah sampai di Cibitung. Belum lama mata ku buka, saat itu juga TZ 32 dengan bringasnya mencuri jalan dari kiri, aku hanya bisa melihat kedipan sein'nya saja tanpa ada usaha dari Mbah Wok untuk mengejarnya.
Bis kembali di arahkan ke jalur pintu keluar tol Cikarang Barat setelah sebelumnya cukup lincah dalam mengasapi duo RosIn 386 dan 402.
Ekspedisi berlanjut setelah penumpang full dari agen terakhir itu. Mas Aris selaku kenek terdengar melakukan kontak dengan rekan yg telah berada di posisi lebih awal, tersirat kabar bahwa Dawuhan macet, sehingga Mbah Wok memilih untuk exit di GT Cikampek, di situ pula Ombak Biru dengan line W3 mesti tunduk panda 'Ningrat'.
Selepasnya hanya truk dan mobil kecil saja yg menjadi objek pandangan senja itu, speed pun serasa telah loyo, hanya anteng di angka 80 km/jam bahkan terkadang naik turun 20 kpj lebih rendah.
Mbah Wok memerintah sang kenek untuk membangunkan sopir tengah yg sedang mimpi indah di atas mesin karena hampir tiba di rumah makan.
Tak jauh lagi pun, manuver kiri terjadi pertanda bis telah masuk di pelataran rumah makan Po Haryanto. Kedatangan bis'ku melengkapi jejeran HR 10, 71, 98, 55, dan 99 yg telah datang lebih awal.
Ku tujukan langkah ini mengarah toilet untuk melegakan apa yg sebenarnya telah ku rasa sejak tadi, namun karena jarak yg memisahkan seat Alldila'ku dengan keberadaan toilet cukup jauh, akupun enggan untuk mencapainya.
Memang hanya Haryanto yg mampir di persinggahan ini, namun untuk bisa mulai mengambil menu prasmanan antriannya demikian panjang, hmmm bis'nya yg terlalu banyak ataukah tempatnya yg terlalu kecil? Tidak seperti di rumah makan lain yg monoton, di sini justru tersedia tiga jenis pilihan menu, Soto, Nasi Goreng, dan Nasi putih layaknya prasmanan umumnya. Pilihan lauk tersedia ayam goreng dan telor mata sapi beserta menu pelengkap sayur asem dan sayur bening, semua tanpa dimata-mata'i, artinya tanpa pengawasan sehingga lepas dari sepengetahuan pelayan jikalau kita hendak mengambil lauk double, hihi... Soal rasa, ku nilai ini lebih bersahabat di lidah jika dibandingkan dua rumah makan langganan Haryanto sebelumnya, Taman Sari dan Markoni.
HR 79, 78, 67, dan 82 telah menyusul di halaman parkir ketika ku beranjak keluar dari ruang service dinner.
Ishoma terlaksana, Pak Gunarto kini berperan menjadi pimpinan kabin Royal Coach SE itu. Speed yg belum tercapai penuh lantaran masih dalam tahap angkatan, memberi jalan bagi Nusantara untuk melewatinya. Injakan kaki sang sopir tengah ini tak lain dengan pendahulunya, terasa greget. Bahkan beberapa kali berusaha untuk mengambil alih posisi 'Premier Class' namun harus gagal karena lajur kiri tidak dalam status prei. Hingga akhirnya bis berlivery Purple Ribown itupun dengan mudah terlalui ketika dia sowan ke Taman Sari sebagai padepokan Ishoma'nya.
RosIn PB108 menjadi yg ke-dua kalinya setelah Zentrum dalam pamer kebolehannya. Entah mengapa setiap kali ikut Muria'an selalu mendapati RosIn sebagai salah satu musuhnya.
Berlanjut hanya bisa menggiring RosIn 430 saja yg akhirnya terpatahkan juga seraya melenggang atas ketidak-cekatan LP 30, TDI AD1707BG, RosIn 402, LP 54, serta sahabat tunggal guru 'Insaf Pantura'.
Menjajaki tol Palikanci dibawah derasnya guyuran air hujan, dua unit sesama Safari namun beda alias OBL dan Royal Safari, Madu Kismo, Gunung Harta, RosIn 180, RosIn 400, Ramayana, serta SinJay 5DX menjadi obyek bulan bulanan Pak Gunarto yg memilih untuk berjalan tak melebihi angka 100 km/jam lantaran hujan lebat dan medan yg bergelombang.
Rintik air dari langit di kaca depan yg tak mampu dicapai oleh ujung wiper, menghalangi dimana titik yg ku tembus untuk mengarahkan pandangan ke depan. Aku berusaha memosisikan tubuhku sedemikian rupa agar pas dipangkuan seat Alldila dengan leg rest itu, dan berusaha menghipnotis kesadaranku sendiri.
Sekelebat mata ini melihat jarak truk lawan arah di sebelah kiri begitu dekat, ku identifikasikan saat itu bis telah berada di jalur lawan, jarak antara bis dengan truk tentu tak semepet itu andaikan masih berada di jalur yg benar. Ku tegakkan posisi duduk untuk mencari kebenarannya, saat indera ini ku tujukan ke depan menembus kaca Laminated, benar saja saat itu juga bis'ku seperti hendak adu tanduk dengan sebuah truk. Sayangnya di jalur yg seaslinya, keadaan ternyata justru lancar, alhasil keputusan Pak Gunarto memilih goyang kanan ini justru salah. "Wah, kleru iki mau, ngeblong nganan kiri malah lancar", sesalnya ketika laju bis harus berhenti sempurna karena keramaian arus dari lawan arah, justru kehadiran bis'ku ini malah membuat jalur musuh macet total. "Kuwi dhuwur ora Mas, tak lumpatne kono wae, mesakno sing seko kono malah genti macet", tanyanya pada seorang yg tengah menjalani kegiatan makhruh di kursi CB menuju pada sebuah separator di samping kanan. Akhirnya melintasi ketinggian separator pun nekad dilakoni, keadaannya yg basah membuat licin gesekan roda saat hendak menaikinya, sempat beberapa kali terasa meleset antara roda dan beton itu. Aku merasa bangga dengan perbuatan melanggar lalu lintas oleh Pak Gunarto itu, inilah tipikal PO Pak Haji yg selama ini dikenal, walaupun jarak rampasannya tidaklah panjang namun cukup untuk sekedar mendapati sesuatu yg kental kaitannya dengan PO Haryanto.
"Dugi Brebes Mas", jawabnya tatkala menyikapi deringan handphone'nya. "Lancar kok Mas, wau nate goyang nganan tak kiro macet, jebule malah kiri lancar, nggih nekad mlumpat mesak'ne sing saking mriko malah ganti macet. Mpun mengke sampeyan njikuk kiri terus mawon. Kulo tak rodo ngendho ben ketututan sampeyan", lanjutan percakapannya dengan orang di telepon yg kemungkinan besar adalah Mas Yoyok. Dalam dunia bis, siapa seh orang yg berhak mendapat panggilan Mas dan dibasa'ni krama alus oleh para rekannya? Kalau mengacu pada umur yg lebih tua, kenapa Mbah Wok justru mendapat perlakuan yg biasa saja oleh Pak Gunarto dan Mas Aris.
Seketika itu kepulasan'ku mampu melewatkan kota Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. Melihat medan yg menikung dan naik turun, aku yakin bahwa kemacetan ini berada di kawasan Subah. Pak Gunarto pun kembali melakukan kontak dengan punggawa 'La Samba' merekomendasikan untuk goyang kanan di kemacetan itu.
Menyusul 'The Fly' yg telah terdiam di halaman rumah makan Menara Kudus. Tiada stand kopi yg berada di teras, aku pun enggan untuk masuk ke dalam ruangan, sehingga lebih memilih untuk nongkrong tanpa kehadiran sebuah kopi seperti biasanya di Raos Eco. Sedangkan HR 10 dan HR 100 telihat justru bablas, jadi intinya mungkin hanya pasukan Solo saja yg mampir ke rumah makan kedua. Kembali take off meninggalkan HR 78 yg datang silih berganti dengan HR 54 tadi.
Bis masuk terminal Mangkang dan Pak Gunarto yg telah usai mengemban tugas turun di situ. Berjalan beberapa kilometer bis kembali berhenti menambah literan solar di Krapyak, HR 96 dan HR 106 sebagai sesama squat Solo pun menyusul.
Tol Jatingaleh menjadi tolak awal untuk'ku meneruskan pejaman mata ini hingga terbuka kembali saat berada di area terminal Boyolali.
HR 78 dan HR 106 mendahului saat bis berhenti menurunkan penumpang tak jauh dari terminal. Hingga akhirnya kembali bertemu bersamanya beserta HR 54, dan HR 96 di terminal Kartasura untuk saling transit penumpang. Mas Yoyok menjadi salah satu diantara para penumpang dari bis lain yg naik ke HR 107 itu. 30 menit bukan waktu yg sebentar dalam melakoni oper penumpang, menyalanya lampu utama kabin, aba aba dari kenek, ditambah suasana gaduh naik turunnya penumpang harusnya menggugah kesadaran semua penumpang, namun masih saja ada yg baru beranjak ke depan dan bertanya pada kru "Klaten oper wonten pundi Pak?" ketika bis hampir memasuki terminal Tirtonadi.
04.31 saatnya aku meninggalkan singgasana 2A untuk selanjutnya menuju kios dalam terminal mengurai kebekuan pagi dengan segelas kopi hingga akhirnya ku lanjutkan perjalanan menuju ujung tujuanku bersama Gunung Mulia 27.
Menyikapi pengalaman pertama dengan PO Haryanto, ku rasa hanya biasa saja, meski jarum speedometer acap kali menyentuh angka 120 km/ jam dan entah berapa puluh rival yg bisa digagahi, serta pernah menunjukkan skill goyang kanan, namun masih belum mampu meningkatkan detak jantungku manakala aku bersama B8 dulu, padahal PO ini di'cap sebagai bis yg rekomended dalam hal banter.
Kenapa gerangan?
Mengacu Nickname 'Ningrat' di HR 107 yg berarti 'Bangsawan / Orang yg dimuliakan', atau bisa juga berdefinisi sebagai 'Raja yg mengayomi rakyatnya' seolah mengilhami penyebab dari apa yg ku rasa.
Masih teringat tatkala berada di tol Kanci, Pak Gunarto bersua pada seorang bapak yg sedang duduk di kursi CB, bahwanya di kilometer 240-245 medan tak menentu, artinya tak mulus rata alias banyak yg bergelombang, sehingga jikalau speed melebihi level 100 km/jam maka reaksi antara roda dan medannya akan terasa begitu keras oleh penumpang.
Serta pengakuan Pak Gunarto bahwa melayani kemauan orang banyak itu susah susah gampang, jika beliau terlalu ngebut takut ada penumpang yg complain, namun jika pelan beliau takut kesiangan sampai di tujuan, sehingga beliau memilih untuk konstan di kecepatan 100-120 km/jam yg baginya adalah standar.
Tentu apa yg dilakukan Pak Gunarto tak lain memberi kenyamanan pada penumpangnya, rela berpaling dari tipikal PO yg selama ini dikenal khalayak, ya 'Sopir yg peduli pada penumpang yg dibawanya' bak 'Raja yg peduli pada rakyat pimpinannya'.
Alhasil, biarpun aku begitu menantikan ke'khas'an dari PO Haryanto, namun berhubung tujuan drivernya adalah untuk lebih memberikan comfort pada penumpang, maka aku bisa memakluminya, bisa mengerti pada sosok sebuah 'Ningrat'.
(Hihi, just kidding... Penafsiran belaka, sekedar basa basi seraya menepis kebingungan memberi judul apa...)
No comments:
Post a Comment