'Puump pump',
irama khas yg disumberi dari pusat lingkar setir itu bersahut merdu dengan
lantun syair 'Jakarta... Jakarta...' mengiring
lantah sebuah langgam 'Sarkawi' yg
dimusisi'i oleh sopir lansir BM 014 ketika itu. 'Peraturan dibuat untuk dilanggar', otak ini terputar memusat pada
larik kalimat simpang siur buah dari penylewengan itu, bukan karena benci aku
menaruh heran, namun mengapa harus ada rangkai huruf yg terbaca dalam sebuah
kolom pada cover tiket bahwa kru dilarang menaikkan penumpang di luar agen
resmi dan akan nyata prakteknya tidaklah demikian. Huuhh, Agra Agra... patutkah
engkau meruntuhkan citra yg telah payah kau bangun hanya semata meluluhkan hati
orang di pinggir jalan, i hope not...
Sisi lain mengguggat, apalah daya'nya bagiku, kalau aku hendak berpaling, hmmm rasanya itu hanyalah sebuah dusta. Bagaimana tidak, empat kali aku dibawanya ke ibukota, sebanyak itu pulalah dada membusung atas kekalahan surya pagi, bahkan rekor terawalku menginjak Jalan Raya Bogor jam 02.30 tak lain berkat jasanya. Lumrah, usaha mengais nilai jual kursi dijalanan yg dilakoni tak mecetuskanku gagasan 'karena nila setitik rusak susu sebelangga', walau bagaimanapun, urusan mendarat sebelum Roro Jonggrang menabuh kentongan selalu menjanjikan.
Jelas sudah, mesti ku urungkan niat bertumpu pada 'Golden Eagle' atau 'W3' untuk kembali merujuk pada si merah demi mengejar pagi. Bukan soal absensi ataupun urusan yg kudu ku rampungkan, hanya saja melewatkan jam 06.00 berarti siap di'wellcome'i carut mawut jalan raya titik tujuanku yg berimbas harus berusaha ekstra untuk mencapai sebrang jalan, bukan perihal yg sejatinya pantas untuk dipertaruhkan dengan perburuan, namun itulah fakta diriku, takut nyebrang...
Sengaja tiket ku booking dua hari sebelumnya, antisipasi bertambahnya klien di first day libur sekolah, tiga tiket di banderol 435ribu yg artinya update 10ribu dari harga normal.
010 mengisi daftar terbang pertama di barisan divisi BM lainnya, dan bercumbu 019 di belakang New Marcopollo itu. Tak gentar, angkatan Bogor selalu diposisikan sebagai pasukan pamungkas mengintil para pengawalnya, entah di Laju, Gunung, maupun Agra. So, bukan kesabaran baru bilamana aku harus terangkut BM 028 sesudah dua pole position'nya.
Sementara duo 'Fajar' Executive dan SE menjadi pemandangan kedatangan bis dari barat, pohon nyiur di tubuhnya yg bercampur tempelan debu serta beberapa kursinya yg masih bertuan, ku niscaya'i kedua Gajah itu memang baru tiba di bumi homebase'nya. Mungkinkah Pantura mulai kambuh akan murkanya, mengidap rasa enggan untuk sedikit berkasih akan siapa saja yg melintasi, hingga ada bis yg telat tiba di ranah aslinya bab tertahan gejalalanya? Haduuh, if rightly so, bagaimana nasibku esok...
Detik detik berlalu dari jam 10.00, indikasi bahwa 30 menit sudah aku terpaku dalam penantian. Sebuah muka Jetbus merah untuk ke-tiga kalinya tersambut pandang, tanpa isyarat apapun kepastian bahwa inilah bis yg ku tunggu kekal dihati, rona brand 'Jetbus HD' yg menirukan khas Shantika mengukuhkan paten tatkala ku lirik bis ini saat menebus tiket kemarin hari. Spontan langkahku terlilit lantaran 'acuh tak acuh' sang sopir yg tak mengendorkan otot kaki pada pedal gasnya, owh rupanya aku telah dibutakan oleh face kembar dua armada itu, kode BM 024 menepis sangkal jikalau bis yg ku nanti nanti meninggalkanku. Seraya ku sentuhkan jemari di layar HP mencari kejelian informatif dari agen, 'tunggal kandang' yg bertajuk BM 009 urun lewat di mataku. Tak luput, suratan agen mewartakan BM 028 memang menjadi penutup start dari terminal, hanya sebatas kekhawatiran saja yg ku unggulkan, nyatanya dalam peak season seperti ini aku harus optimis berlogika soal hadirnya armada tambahan.
Ku sudahi penantian di bawah mega mendung siang itu, 2A menjadi kursi tahta ku sebagai raja semalam, sedang Ibu dan Adik'ku terpangku oleh seat Alldila lawas di belakangnya. Hampir satu jam selisih waktu keberangkatan ini dengan saat aku terbuai BM 019 dulu, kalau dulu aku sampai jam 04.00, estimasi gampangnya ya tinggal menambahkan saja rentang waktu perbedaannya sebagai prediksi jam take-off ku pagi nanti.
Berbeda dengan armada Morodadi'nya yg menyuguhkan entertainment berupa dua unit LCD 29", di kabin Royal Coach SE ini justru hanya sebuah LCD besar saja yg dipadukan dengan 6 unit berukuran 7".
BM 013 terlihat masih dipercaya untuk mengawali jejaknya dari Agen Slogohimo, sedang Jatisrono diisi oleh 025. Meninggalkan terminal salah satu distrik kabupaten Wonogiri itu, terpaksa hanya bisa bertumpu pada buritan Super Jetbus bertitle Luxury Bus yg konon kini beralih mitra dari Raos Eco karena tak ingin makan malam bersama dengan para rival pendatang.
Menyusul barisan para pendahulunya di terminal Wonogiri, lambat laun satu persatu pun meninggalkan bis yg dulu berwarana coklat mocha ini sebatang kara, hingga akhirnya 025, 030, dan 5011 tiba menemani.
Di bawah rintik hujan, petualangan pun dimulai lewat tangan sopir pinggir. Kulit sebagaimana tiada, hawa hembusan dari lubang langit langit itu begitu nyata meniup tulang, tak mampu terhadang oleh kain tshit yg ku kenakan, hingga sedini itu juga telah ku fungsionalkan selimut sekedar menangkal kebekuan tubuh.
Bibit penyakit yg kerap menjangkit di Pantura rupanya menular hingga ke Jalan Raya Solo Baru hingga perempatan Gemblekan, jarak yg normalnya terlampaui dalam 10 menit itu menjalar hampir satu jam.
SPBU Laweyan menjadi pit-stop setelah macet melepas cengkramannya, usai tangki solar berstatus full putaran roda kembali menjelajah aspalan menuntaskan area karesidenan yg juga kota satelit itu.
Terminal Kartasura bukan dermaga yg terdaftar untuk dilabuhi, begitupun di Boyolali, sopir lebih memilih untuk memberikan meal pada oknum yg telah nyegat di depan terminal.
Langit serasa acuh padaku, tak punya hirau butiran air yg diruntuhkan adalah bencana di mataku dalam meniti tapak demi tapak apa yg tertembus di depan sana, tak hayal menjenuhkan pandang ini, membuatku merem melek serasa ingin terlelap namun tak bisa.
Terminal Salatiga disambangi sebatas menyampaikan titipan dari pengurus agen Wonogiri tadi kepada agen di area ini.
Ungaran menjadi titik kedua yg urun partisipasi dalam menghambat perburuanku lewat sumbangan kemacetan, dan pertigaan Krapyak menjadi yg ketiganya.
Gala dinner ala Raos Eco berhasil terkecap lidah bebarengan dengan waktu sholat isyak, satu jam lebih lambat dibanding biasanya.
Setra bernuansa ombak biru dengan perkasa memanfaatkan sisi kanan jalan untuk berlari dari hadangan bisku yg tak ingin selalu terdepan dalam menanjaki Plelen.
Sepanjang kota Batik, giliran Nano Nano yg menjadi kawan seperjalanan bisku, kedipan seinnya mampu ditempel ketat oleh BM 028, dua bis yg seolah beda haluan, antara yg dicap banter dan dikenal slow, kini mampu beriringan bagai dua sejoli, entah apakah Pahala Kencana yg lebih lambat atau malah Agra Mas yg lebih cepat.
Rekor gasik yg dipegang divisi BM selama ini, memang tak bisa renggang terkait keberangkatan yg notabene di round awal, sehingga menyurutkan pemandangan yg tengah dilintasinya dari integrasi sesama bis malam yg otomatis masih berada di belakang, membuat tiada kesan yg patut dicatat dalam hal ngeblong atau diblong selain dengan all squat Pekalongan yg jelas saja bukan lawan main yg seimbang.
Kepulasnku tak pernah berubah, mesti hilang saat tersandung macet, entah dimana mataku terbuka saat itu, gambarannya patut dikatakan di sebuah terminal lantaran semua objek kendaraan serempak diam. Tak terhitung berapa puluh mobil yg melenggang bebas di jalur lawan, bahkan konvoinya tak lagi beranggotakan bis saja, bermacam truk kecil hingga trailer long vehicle pun berlomba mengurai kebosanan, seakan layu sudah kesabaran yg tertanam dalam menyikapi dinamika jalanan di pinggiran Pantai Utara itu, merasa sungkan lagi untuk menjadi masyarakat yg berbudaya disiplin hukum akan tetapi tidak diimbangi oleh para penggede’nya, biarlah pekat langit malam itu menjadi saksi tentang segala aib'nya, dan hanya Tuhan yg tau nilai dosa antara sopir yg merampas jalur lawan dan pejabat yg merampas hak rakyat.
Sementara bisku tersungkur di lajur paling kiri, hanya sebatas sebagai pemirsa atas kedigdayaan mereka yg memaksa arus lawan untuk menyingkir. Aku baru ngeh kalau ternyata berada di kota Cirebon ketika bis memasuki jalan tol tak jauh dari titik kemacetan itu.
Perlahan kembali pudar penglihatanku termakan mimpi, memang tak ada yg ku kehendaki selain tiba sedini mungkin yg bagiku adalah hal terindah, sehingga berpadu dengan kasih sayang seat Alldila pun begitu halal untukku kali itu.
"Rawa Panjang... Rawa Panjang", instruksi kenek kembali membangun jiwaku di atas raga yg nyata. Langit yg mulai memutih sontak mebambah lebar bukaan mata ini, risau ku berikhtiar bahwa hari telah pagi, akankah aku akan benar benar kalah tangkas dengan sengatan mentari. Cekatan ku tilik layar di HP untuk membuktikan penafsiranku, dan ternyata masih dua jam di atas level aman, syukurlah.
Pinangranti menjadi terminal pertama untuk menurunkan sebagian pundi pundi kabin beserta bagasi, selanjutnya menuju persimpangan HEK untuk menyusuri Jalan Raya Bogor yg terlihat mulai ramai.
Hingga akhirnya aku harus berganti tumpuan pada tanah ketika titik Gandaria 2 tercapai. Belumlah sulit untuk hal menyebrang meskipun jalan telah berhias sorot lampu kendaraan, andai saja terlambat minimal satu jam, keadaan tentu telah berbeda, bukan sesuatu yg gampang lagi bagiku untuk membawa tiga nyawa mencapai sebrang jalan raya 2x2 melawan keganasan pelalu lintas di ibukota.
Kali ini, lagi lagi aku mampu menginjak Jakarta lebih awal dari terbitnya fajar, satu catatan lagi untuk menambah yg tertulis sebelumnya di memory, dan memang pantas ku sandangkan bahwa Agra lah yg recomended dalam memburu pagi.
Sisi lain mengguggat, apalah daya'nya bagiku, kalau aku hendak berpaling, hmmm rasanya itu hanyalah sebuah dusta. Bagaimana tidak, empat kali aku dibawanya ke ibukota, sebanyak itu pulalah dada membusung atas kekalahan surya pagi, bahkan rekor terawalku menginjak Jalan Raya Bogor jam 02.30 tak lain berkat jasanya. Lumrah, usaha mengais nilai jual kursi dijalanan yg dilakoni tak mecetuskanku gagasan 'karena nila setitik rusak susu sebelangga', walau bagaimanapun, urusan mendarat sebelum Roro Jonggrang menabuh kentongan selalu menjanjikan.
Jelas sudah, mesti ku urungkan niat bertumpu pada 'Golden Eagle' atau 'W3' untuk kembali merujuk pada si merah demi mengejar pagi. Bukan soal absensi ataupun urusan yg kudu ku rampungkan, hanya saja melewatkan jam 06.00 berarti siap di'wellcome'i carut mawut jalan raya titik tujuanku yg berimbas harus berusaha ekstra untuk mencapai sebrang jalan, bukan perihal yg sejatinya pantas untuk dipertaruhkan dengan perburuan, namun itulah fakta diriku, takut nyebrang...
Sengaja tiket ku booking dua hari sebelumnya, antisipasi bertambahnya klien di first day libur sekolah, tiga tiket di banderol 435ribu yg artinya update 10ribu dari harga normal.
010 mengisi daftar terbang pertama di barisan divisi BM lainnya, dan bercumbu 019 di belakang New Marcopollo itu. Tak gentar, angkatan Bogor selalu diposisikan sebagai pasukan pamungkas mengintil para pengawalnya, entah di Laju, Gunung, maupun Agra. So, bukan kesabaran baru bilamana aku harus terangkut BM 028 sesudah dua pole position'nya.
Sementara duo 'Fajar' Executive dan SE menjadi pemandangan kedatangan bis dari barat, pohon nyiur di tubuhnya yg bercampur tempelan debu serta beberapa kursinya yg masih bertuan, ku niscaya'i kedua Gajah itu memang baru tiba di bumi homebase'nya. Mungkinkah Pantura mulai kambuh akan murkanya, mengidap rasa enggan untuk sedikit berkasih akan siapa saja yg melintasi, hingga ada bis yg telat tiba di ranah aslinya bab tertahan gejalalanya? Haduuh, if rightly so, bagaimana nasibku esok...
Detik detik berlalu dari jam 10.00, indikasi bahwa 30 menit sudah aku terpaku dalam penantian. Sebuah muka Jetbus merah untuk ke-tiga kalinya tersambut pandang, tanpa isyarat apapun kepastian bahwa inilah bis yg ku tunggu kekal dihati, rona brand 'Jetbus HD' yg menirukan khas Shantika mengukuhkan paten tatkala ku lirik bis ini saat menebus tiket kemarin hari. Spontan langkahku terlilit lantaran 'acuh tak acuh' sang sopir yg tak mengendorkan otot kaki pada pedal gasnya, owh rupanya aku telah dibutakan oleh face kembar dua armada itu, kode BM 024 menepis sangkal jikalau bis yg ku nanti nanti meninggalkanku. Seraya ku sentuhkan jemari di layar HP mencari kejelian informatif dari agen, 'tunggal kandang' yg bertajuk BM 009 urun lewat di mataku. Tak luput, suratan agen mewartakan BM 028 memang menjadi penutup start dari terminal, hanya sebatas kekhawatiran saja yg ku unggulkan, nyatanya dalam peak season seperti ini aku harus optimis berlogika soal hadirnya armada tambahan.
Ku sudahi penantian di bawah mega mendung siang itu, 2A menjadi kursi tahta ku sebagai raja semalam, sedang Ibu dan Adik'ku terpangku oleh seat Alldila lawas di belakangnya. Hampir satu jam selisih waktu keberangkatan ini dengan saat aku terbuai BM 019 dulu, kalau dulu aku sampai jam 04.00, estimasi gampangnya ya tinggal menambahkan saja rentang waktu perbedaannya sebagai prediksi jam take-off ku pagi nanti.
Berbeda dengan armada Morodadi'nya yg menyuguhkan entertainment berupa dua unit LCD 29", di kabin Royal Coach SE ini justru hanya sebuah LCD besar saja yg dipadukan dengan 6 unit berukuran 7".
BM 013 terlihat masih dipercaya untuk mengawali jejaknya dari Agen Slogohimo, sedang Jatisrono diisi oleh 025. Meninggalkan terminal salah satu distrik kabupaten Wonogiri itu, terpaksa hanya bisa bertumpu pada buritan Super Jetbus bertitle Luxury Bus yg konon kini beralih mitra dari Raos Eco karena tak ingin makan malam bersama dengan para rival pendatang.
Menyusul barisan para pendahulunya di terminal Wonogiri, lambat laun satu persatu pun meninggalkan bis yg dulu berwarana coklat mocha ini sebatang kara, hingga akhirnya 025, 030, dan 5011 tiba menemani.
Di bawah rintik hujan, petualangan pun dimulai lewat tangan sopir pinggir. Kulit sebagaimana tiada, hawa hembusan dari lubang langit langit itu begitu nyata meniup tulang, tak mampu terhadang oleh kain tshit yg ku kenakan, hingga sedini itu juga telah ku fungsionalkan selimut sekedar menangkal kebekuan tubuh.
Bibit penyakit yg kerap menjangkit di Pantura rupanya menular hingga ke Jalan Raya Solo Baru hingga perempatan Gemblekan, jarak yg normalnya terlampaui dalam 10 menit itu menjalar hampir satu jam.
SPBU Laweyan menjadi pit-stop setelah macet melepas cengkramannya, usai tangki solar berstatus full putaran roda kembali menjelajah aspalan menuntaskan area karesidenan yg juga kota satelit itu.
Terminal Kartasura bukan dermaga yg terdaftar untuk dilabuhi, begitupun di Boyolali, sopir lebih memilih untuk memberikan meal pada oknum yg telah nyegat di depan terminal.
Langit serasa acuh padaku, tak punya hirau butiran air yg diruntuhkan adalah bencana di mataku dalam meniti tapak demi tapak apa yg tertembus di depan sana, tak hayal menjenuhkan pandang ini, membuatku merem melek serasa ingin terlelap namun tak bisa.
Terminal Salatiga disambangi sebatas menyampaikan titipan dari pengurus agen Wonogiri tadi kepada agen di area ini.
Ungaran menjadi titik kedua yg urun partisipasi dalam menghambat perburuanku lewat sumbangan kemacetan, dan pertigaan Krapyak menjadi yg ketiganya.
Gala dinner ala Raos Eco berhasil terkecap lidah bebarengan dengan waktu sholat isyak, satu jam lebih lambat dibanding biasanya.
Setra bernuansa ombak biru dengan perkasa memanfaatkan sisi kanan jalan untuk berlari dari hadangan bisku yg tak ingin selalu terdepan dalam menanjaki Plelen.
Sepanjang kota Batik, giliran Nano Nano yg menjadi kawan seperjalanan bisku, kedipan seinnya mampu ditempel ketat oleh BM 028, dua bis yg seolah beda haluan, antara yg dicap banter dan dikenal slow, kini mampu beriringan bagai dua sejoli, entah apakah Pahala Kencana yg lebih lambat atau malah Agra Mas yg lebih cepat.
Rekor gasik yg dipegang divisi BM selama ini, memang tak bisa renggang terkait keberangkatan yg notabene di round awal, sehingga menyurutkan pemandangan yg tengah dilintasinya dari integrasi sesama bis malam yg otomatis masih berada di belakang, membuat tiada kesan yg patut dicatat dalam hal ngeblong atau diblong selain dengan all squat Pekalongan yg jelas saja bukan lawan main yg seimbang.
Kepulasnku tak pernah berubah, mesti hilang saat tersandung macet, entah dimana mataku terbuka saat itu, gambarannya patut dikatakan di sebuah terminal lantaran semua objek kendaraan serempak diam. Tak terhitung berapa puluh mobil yg melenggang bebas di jalur lawan, bahkan konvoinya tak lagi beranggotakan bis saja, bermacam truk kecil hingga trailer long vehicle pun berlomba mengurai kebosanan, seakan layu sudah kesabaran yg tertanam dalam menyikapi dinamika jalanan di pinggiran Pantai Utara itu, merasa sungkan lagi untuk menjadi masyarakat yg berbudaya disiplin hukum akan tetapi tidak diimbangi oleh para penggede’nya, biarlah pekat langit malam itu menjadi saksi tentang segala aib'nya, dan hanya Tuhan yg tau nilai dosa antara sopir yg merampas jalur lawan dan pejabat yg merampas hak rakyat.
Sementara bisku tersungkur di lajur paling kiri, hanya sebatas sebagai pemirsa atas kedigdayaan mereka yg memaksa arus lawan untuk menyingkir. Aku baru ngeh kalau ternyata berada di kota Cirebon ketika bis memasuki jalan tol tak jauh dari titik kemacetan itu.
Perlahan kembali pudar penglihatanku termakan mimpi, memang tak ada yg ku kehendaki selain tiba sedini mungkin yg bagiku adalah hal terindah, sehingga berpadu dengan kasih sayang seat Alldila pun begitu halal untukku kali itu.
"Rawa Panjang... Rawa Panjang", instruksi kenek kembali membangun jiwaku di atas raga yg nyata. Langit yg mulai memutih sontak mebambah lebar bukaan mata ini, risau ku berikhtiar bahwa hari telah pagi, akankah aku akan benar benar kalah tangkas dengan sengatan mentari. Cekatan ku tilik layar di HP untuk membuktikan penafsiranku, dan ternyata masih dua jam di atas level aman, syukurlah.
Pinangranti menjadi terminal pertama untuk menurunkan sebagian pundi pundi kabin beserta bagasi, selanjutnya menuju persimpangan HEK untuk menyusuri Jalan Raya Bogor yg terlihat mulai ramai.
Hingga akhirnya aku harus berganti tumpuan pada tanah ketika titik Gandaria 2 tercapai. Belumlah sulit untuk hal menyebrang meskipun jalan telah berhias sorot lampu kendaraan, andai saja terlambat minimal satu jam, keadaan tentu telah berbeda, bukan sesuatu yg gampang lagi bagiku untuk membawa tiga nyawa mencapai sebrang jalan raya 2x2 melawan keganasan pelalu lintas di ibukota.
Kali ini, lagi lagi aku mampu menginjak Jakarta lebih awal dari terbitnya fajar, satu catatan lagi untuk menambah yg tertulis sebelumnya di memory, dan memang pantas ku sandangkan bahwa Agra lah yg recomended dalam memburu pagi.