29 December 2013

Memburu Pagi



'Puump pump', irama khas yg disumberi dari pusat lingkar setir itu bersahut merdu dengan lantun syair 'Jakarta... Jakarta...' mengiring lantah sebuah langgam 'Sarkawi' yg dimusisi'i oleh sopir lansir BM 014 ketika itu. 'Peraturan dibuat untuk dilanggar', otak ini terputar memusat pada larik kalimat simpang siur buah dari penylewengan itu, bukan karena benci aku menaruh heran, namun mengapa harus ada rangkai huruf yg terbaca dalam sebuah kolom pada cover tiket bahwa kru dilarang menaikkan penumpang di luar agen resmi dan akan nyata prakteknya tidaklah demikian. Huuhh, Agra Agra... patutkah engkau meruntuhkan citra yg telah payah kau bangun hanya semata meluluhkan hati orang di pinggir jalan, i hope not...
Sisi lain mengguggat, apalah daya'nya bagiku, kalau aku hendak berpaling, hmmm rasanya itu hanyalah sebuah dusta. Bagaimana tidak, empat kali aku dibawanya ke ibukota, sebanyak itu pulalah dada membusung atas kekalahan surya pagi, bahkan rekor terawalku menginjak Jalan Raya Bogor jam 02.30 tak lain berkat jasanya. Lumrah, usaha mengais nilai jual kursi dijalanan yg dilakoni tak mecetuskanku gagasan 'karena nila setitik rusak susu sebelangga', walau bagaimanapun, urusan mendarat sebelum Roro Jonggrang menabuh kentongan selalu menjanjikan.
Jelas sudah, mesti ku urungkan niat bertumpu pada 'Golden Eagle' atau 'W3' untuk kembali merujuk pada si merah demi mengejar pagi. Bukan soal absensi ataupun urusan yg kudu ku rampungkan, hanya saja melewatkan jam 06.00 berarti siap di'wellcome'i carut mawut jalan raya titik tujuanku yg berimbas harus berusaha ekstra untuk mencapai sebrang jalan, bukan perihal yg sejatinya pantas untuk dipertaruhkan dengan perburuan, namun itulah fakta diriku, takut nyebrang...
Sengaja tiket ku booking dua hari sebelumnya, antisipasi bertambahnya klien di first day libur sekolah, tiga tiket di banderol 435ribu yg artinya update 10ribu dari harga normal.
010 mengisi daftar terbang pertama di barisan divisi BM lainnya, dan bercumbu 019 di belakang New Marcopollo itu. Tak gentar, angkatan Bogor selalu diposisikan sebagai pasukan pamungkas mengintil para pengawalnya, entah di Laju, Gunung, maupun Agra. So, bukan kesabaran baru bilamana aku harus terangkut BM 028 sesudah dua pole position'nya.
Sementara duo 'Fajar' Executive dan SE menjadi pemandangan kedatangan bis dari barat, pohon nyiur di tubuhnya yg bercampur tempelan debu serta beberapa kursinya yg masih bertuan, ku niscaya'i kedua Gajah itu memang baru tiba di bumi homebase'nya. Mungkinkah Pantura mulai kambuh akan murkanya, mengidap rasa enggan untuk sedikit berkasih akan siapa saja yg melintasi, hingga ada bis yg telat tiba di ranah aslinya bab tertahan gejalalanya? Haduuh, if rightly so, bagaimana nasibku esok...
Detik detik berlalu dari jam 10.00, indikasi bahwa 30 menit sudah aku terpaku dalam penantian. Sebuah muka Jetbus merah untuk ke-tiga kalinya tersambut pandang, tanpa isyarat apapun kepastian bahwa inilah bis yg ku tunggu kekal dihati, rona brand 'Jetbus HD' yg menirukan khas Shantika mengukuhkan paten tatkala ku lirik bis ini saat menebus tiket kemarin hari. Spontan langkahku terlilit lantaran 'acuh tak acuh' sang sopir yg tak mengendorkan otot kaki pada pedal gasnya, owh rupanya aku telah dibutakan oleh face kembar dua armada itu, kode BM 024 menepis sangkal jikalau bis yg ku nanti nanti meninggalkanku. Seraya ku sentuhkan jemari di layar HP mencari kejelian informatif dari agen, 'tunggal kandang' yg bertajuk BM 009 urun lewat di mataku. Tak luput, suratan agen mewartakan BM 028 memang menjadi penutup start dari terminal, hanya sebatas kekhawatiran saja yg ku unggulkan, nyatanya dalam peak season seperti ini aku harus optimis berlogika soal hadirnya armada tambahan.
Ku sudahi penantian di bawah mega mendung siang itu, 2A menjadi kursi tahta ku sebagai raja semalam, sedang Ibu dan Adik'ku terpangku oleh seat Alldila lawas di belakangnya. Hampir satu jam selisih waktu keberangkatan ini dengan saat aku terbuai BM 019 dulu, kalau dulu aku sampai jam 04.00, estimasi gampangnya ya tinggal menambahkan saja rentang waktu perbedaannya sebagai prediksi jam take-off ku pagi nanti.
Berbeda dengan armada Morodadi'nya yg menyuguhkan entertainment berupa dua unit LCD 29", di kabin Royal Coach SE ini justru hanya sebuah LCD besar saja yg dipadukan dengan 6 unit berukuran 7".
BM 013 terlihat masih dipercaya untuk mengawali jejaknya dari Agen Slogohimo, sedang  Jatisrono diisi oleh 025. Meninggalkan terminal salah satu distrik kabupaten Wonogiri itu, terpaksa hanya bisa bertumpu pada buritan Super Jetbus bertitle Luxury Bus yg konon kini beralih mitra dari Raos Eco karena tak ingin makan malam bersama dengan para rival pendatang.
Menyusul barisan para pendahulunya di terminal Wonogiri, lambat laun satu persatu pun meninggalkan bis yg dulu berwarana coklat mocha ini sebatang kara, hingga akhirnya 025, 030, dan 5011 tiba menemani.
Di bawah rintik hujan, petualangan pun dimulai lewat tangan sopir pinggir. Kulit sebagaimana tiada, hawa hembusan dari lubang langit langit itu begitu nyata meniup tulang, tak mampu terhadang oleh kain tshit yg ku kenakan, hingga sedini itu juga telah ku fungsionalkan selimut sekedar menangkal kebekuan tubuh.
Bibit penyakit yg kerap menjangkit di Pantura rupanya menular hingga ke Jalan Raya Solo Baru hingga perempatan Gemblekan, jarak yg normalnya terlampaui dalam 10 menit itu menjalar hampir satu jam.
SPBU Laweyan menjadi pit-stop setelah macet melepas cengkramannya, usai tangki solar berstatus full putaran roda kembali menjelajah aspalan menuntaskan area karesidenan yg juga kota satelit itu.
Terminal Kartasura bukan dermaga yg terdaftar untuk dilabuhi, begitupun di Boyolali, sopir lebih memilih untuk memberikan meal pada oknum yg telah nyegat di depan terminal.
Langit serasa acuh padaku, tak punya hirau butiran air yg diruntuhkan adalah bencana di mataku dalam meniti tapak demi tapak apa yg tertembus di depan sana, tak hayal menjenuhkan pandang ini, membuatku merem melek serasa ingin terlelap namun tak bisa.
Terminal Salatiga disambangi sebatas menyampaikan titipan dari pengurus agen Wonogiri tadi kepada agen di area ini.
Ungaran menjadi titik kedua yg urun partisipasi dalam menghambat perburuanku lewat sumbangan kemacetan, dan pertigaan Krapyak menjadi yg ketiganya.
Gala dinner ala Raos Eco berhasil terkecap lidah bebarengan dengan waktu sholat isyak, satu jam lebih lambat dibanding biasanya.
Setra bernuansa ombak biru dengan perkasa memanfaatkan sisi kanan jalan untuk berlari dari hadangan bisku yg tak ingin selalu terdepan dalam menanjaki Plelen.
Sepanjang kota Batik, giliran Nano Nano yg menjadi kawan seperjalanan bisku, kedipan seinnya mampu ditempel ketat oleh BM 028, dua bis yg seolah beda haluan, antara yg dicap banter dan dikenal slow, kini mampu beriringan bagai dua sejoli, entah apakah Pahala Kencana yg lebih lambat atau malah Agra Mas yg lebih cepat.
Rekor gasik yg dipegang divisi BM selama ini, memang tak bisa renggang terkait keberangkatan yg notabene di round awal, sehingga menyurutkan pemandangan yg tengah dilintasinya dari integrasi sesama bis malam yg otomatis masih berada di belakang, membuat tiada kesan yg patut dicatat dalam hal ngeblong atau diblong selain dengan all squat Pekalongan yg jelas saja bukan lawan main yg seimbang.
Kepulasnku tak pernah berubah, mesti hilang saat tersandung macet, entah dimana mataku terbuka saat itu, gambarannya patut dikatakan di sebuah terminal lantaran semua objek kendaraan serempak diam. Tak terhitung berapa puluh mobil yg melenggang bebas di jalur lawan, bahkan konvoinya tak lagi beranggotakan bis saja, bermacam truk kecil hingga trailer long vehicle pun berlomba mengurai kebosanan, seakan layu sudah kesabaran yg tertanam dalam menyikapi dinamika jalanan di pinggiran Pantai Utara itu, merasa sungkan lagi untuk menjadi masyarakat yg berbudaya disiplin hukum akan tetapi tidak diimbangi oleh para penggede’nya,  biarlah pekat langit malam itu menjadi saksi tentang segala aib'nya, dan hanya Tuhan yg tau nilai dosa antara sopir yg merampas jalur lawan dan pejabat yg merampas hak rakyat.
Sementara bisku tersungkur di lajur paling kiri, hanya sebatas sebagai pemirsa atas kedigdayaan mereka yg memaksa arus lawan untuk menyingkir. Aku baru ngeh kalau ternyata berada di kota Cirebon ketika bis memasuki jalan tol tak jauh dari titik kemacetan itu.
Perlahan kembali pudar penglihatanku termakan mimpi, memang tak ada yg ku kehendaki selain tiba sedini mungkin yg bagiku adalah hal terindah, sehingga berpadu dengan kasih sayang seat Alldila pun begitu halal untukku kali itu.
"Rawa Panjang... Rawa Panjang", instruksi kenek kembali membangun jiwaku di atas raga yg nyata. Langit yg mulai memutih sontak mebambah lebar bukaan mata ini, risau ku berikhtiar bahwa hari telah pagi, akankah aku akan benar benar kalah tangkas dengan sengatan mentari. Cekatan ku tilik layar di HP untuk membuktikan penafsiranku, dan ternyata masih dua jam di atas level aman, syukurlah.
Pinangranti menjadi terminal pertama untuk menurunkan sebagian pundi pundi kabin beserta bagasi, selanjutnya menuju persimpangan HEK untuk menyusuri Jalan Raya Bogor yg terlihat mulai ramai.
Hingga akhirnya aku harus berganti tumpuan pada tanah ketika titik Gandaria 2 tercapai. Belumlah sulit untuk hal menyebrang meskipun jalan telah berhias sorot lampu kendaraan, andai saja terlambat minimal satu jam, keadaan tentu telah berbeda, bukan sesuatu yg gampang lagi bagiku untuk membawa tiga nyawa mencapai sebrang jalan raya 2x2 melawan keganasan pelalu lintas di ibukota.
Kali ini, lagi lagi aku mampu menginjak Jakarta lebih awal dari terbitnya fajar, satu catatan lagi untuk menambah yg tertulis sebelumnya di memory, dan memang pantas ku sandangkan bahwa Agra lah yg recomended dalam memburu pagi.

19 December 2013

Karena 'Ningrat' Ingin Dimengerti

"Niki sampun buka Mas", begitulah jawaban penjaga agen seketika ku tanya via telepon tentang waktu buka lapaknya. Segera ku tinggalkan secangkir kopi'ku untuk menuju letak outlet penjualan tiket bis yg oleh anak bismania digadang sebagai salah satu bis paling banter. Dua armada ber'nickname 'Team Solo' dan 'Insaf Pantura' telah menyambut kedatanganku dalam menebus sebendel tiket bernomor kursi 2A dengan nomor bis 107 seharga 150 ribu itu. Dua jam waktu yg ku lewatkan usai fix mem'booking tiket mengingatkan pada pesan agen tadi, "Jam 12 siap wonten mriki nggih Mas", segera aku bersiap diri dan kembali menuju Doyong sebagai run way keberangkatan'ku. 
'Ningrat' yg nantinya bakal menjadi singgasana semalamku telah parkir menggantikan keberadaan 'HR 96' tadinya, entah raib kemanakah armada berkuda 'R 260' dengan kelengkapan balon udara pada kaki kakinya itu.

 

Ada yg hendak membeli tiket tujuan Tayu, memesan tiket tujuan Jepara untuk esok hari, menitipkan paketan pada kru '71', semua silih berganti mewarnai pandang dihadapku dalam menunggu keberangkatan bis Pak Haji yg tengah ditugaskan menjadi squat lini selatan itu.
"Mbah, wis jam 12 lo...", penjaga agen berusaha membangunkan seorang bapak paruh baya yg sekiranya adalah punggawa 'HR 107' itu. Tak lama bis putih bernuansa corak grafis dominan biru tua itu pun maju mendekatkan posisinya sejajar dengan pos agen. Beberapa kali nada corong diisyaratkan untuk mereaksi petugas agen agar segera mempersilahkan penumpangnya untuk naik. Aku dan seorang penumpang tujuan Ungaran menjadi modal dari pengisi kabin dari agen pertama.
"Monggo Mas...", sambutan seorang dari tiga sosok berkemeja biru seragam itu, kata hatiku beliaulah awak yg bertugas menahkodai armada saat jam tengah nanti. Patut ku banggakan, inilah pertama kalinya sepanjang sejarahku 'Naik Bis' mendapatkan sambutan dari salah satu kru'nya, padahal ini adalah 'PO Haryanto', bukan sebuah gas station milik BUMN yg mempunyai iming iming membudayakan 'Senyum, Salam, Sapa' pada pelanggan, hehe seberapa terketuknya hati kita dalam mengikuti penggalakan 'aku cinta produk Indonesia' jikalau apa yg dijanjikan bahkan dipampangkan secara gamblang gamblangngan oleh produsen tak pernah dirasakan oleh konsumen mendapati hak'nya, ya '3S = Sangat Sulit Sekali' untuk merealisasi sebuah janji.
Roda mulai bergulir menyusuri jalan kawasan Jatake, pancalan gas dari Mbah Brewok terlihat ganas, ini yg aku suka, biar pelan karena harus terhadang oleh kondisi lalu lintas, namun jika pijakan kaki sopir terasa greget seperti ini maka sudah bisa ku pastikan tatkala jalanan lancar nanti pacuan'nya akan laksana 'asu digitik'.
Tuntas menempuh jalur dua arah, roda kini menginjak Jalan Raya Bitung, suasana jalan yg ramai lancar membuat kecepatan stabil diantara angka 80-100 km/jam.
Cara nyopir driver pinggir terkesan halus, namun sopir yg biasa dipanggir 'Mbah Wok' ini terbilang sering meniupkan corong panjangnya untuk menhalao pelalu-lintas lain, rasanya sedikit gimana gitu dengan sopir yg suka bermain klakson seperti ini, ya walaupun sejatinya 'bel' khas Hino ku telisik yg paling merdu dalam menggetarkan gendang telingaku, seandainya diungkapin dengan kata kata, hmmm gimaya ya bunyinya itu, sedikit menggaung dan terkesan empuk, ya gitu lah...
Perseneling kembali ke posisi 'N' saat bis berhenti di agen Bitung menyusul duo Mercy 1626 yg telah berjajar disana.


Muka Jetbus bis'ku persis di belakang Tunggal Dara AA 1700 CN yg jua tengah parkir di sana. GMS berbodi Nucleus 3 dan Royal Safari New Travego MP dengan telah melewatiku yg masih terhenti dan berangsur disusul oleh SSM nomor body 211, Gajah Mungkur AD 1647 BG, HR 10, dan HR 82 yg kesemua datang dari arah balik, serta HR 96 pun menyusul.
Waktu pemberhentian bertambah lama ketika terjadi insiden tunggal sebuah motor, entah bagaimana alur cerita terjadinya, karena saat aku mengikuti tatapan mata puluhan orang di luar yg menuju pada objek itu, terlihat salah seorang kru bis'ku berusaha menolong korban yg jatuh di tengah jalan untuk di bawa ke pinggir. Inilah bedanya penyandang seragam 'biru' yg ikhlas bersosial dengan keadaan lingkungan walaupun dibalik itu para penumpang telah 'nganti-anti' dirinya untuk segera kembali berprioritas dalam kewajibannya, andai saja yg menolong itu adalah pemakai seragam 'abu-abu', maka ikhlas gak ya???
Perjalanan berlanjut ke tol Jakarta-Merak melauli GT Bitung, Maju Lancar nomor body 219 dan Harjay 'love story' trayek 10 bukanlah makhluk yg sulit ditaklukkan dengan speed 100-120 kpj hingga akhirnya harus terhenti oleh kemacetan setelah exit di GT Tangerang.
Melewatkan pertigaan Gading Serpong yg merupakan titik kemacetan, perjalanan kembali lancar.
Terminal Lebak Bulus menjadi place untuk mengambil pundi pundi kabin yg ke-tiga kalinya. Para maniak dari berbagai komunitas yg tengah melancarkan aktifitas 'hunting' begitu antusias menyambut kedatangan 'Ningrat' dengan bekal kamera di genggaman'nya, bak seorang artis terkenal yg telah dinanti nanti oleh para fans'nya.
Terlihat HR 55, HR 67, dan HR 111 menempati jatah plavon berjajar dengan rival se'muriaan'nya.
Keberadaan pelapak asongan yg silih berganti menawarkan dagangannya sedikit membuatku terasa kurang nyaman, namun di sisi lain apalah daya selain ku hanya pasrah memaklumi bahwa di sini lah mereka mampu menghidupi keluarganya, dan aku sadar jikalau aku hanyalah satu dari 36 penumpang lainnya, dan bis'ku hanyalah satu dari puluhan bis yg menghuni terminal ini.
TZ 39 terpandang paling menonjol di penglihatanku lantaran telah tertempel stiker 'MK 32', bagaimanakah nasib PO seumur jagung itu ke depannya nanti, jika benar terkabar TSU telah mengakuisisi sebagian besar asetnya, lalu mampukah dia mempertahankan citra cemerlang dari Zentrum yg telah ada sebelumnya.
Panorama di luar masih belum berubah dengan para 'biser' yg sibuk dengan bidikan lensanya, sedang seseorang berkemeja komunitas SBL naik ke kabin dan menuju seat 2CD, mungkinkah dia hendak touring setelah usai melakukan pertemuan lewat acara Kopdar dengan komunitasnya di situ.
Hilang satu berganti yg lain, pedagang tahu turun, giliran dompet yg ditawarkan pedagan lainnya, menyusul gitaris dalam kabin yg mengais rejeki lewat suratan lagu, begitulah seterusnya.
"Eh, ini Shantika", secarik kalimat keluar dari seorang anak yg membagikan amplopnya padaku sambil menunjuk sebuah gambar dan tulisan di dada kemejaku yg sebenarnya adalah 'Scania' bukan 'Shantika', lalu amplopnya diambil lagi, intinya dia tidak jadi memberiku jatah amplop itu. "Eh, ini Shantika juga", begitupun kalimatnya ketika dia akan memberikan sebuah amplopnya pada anak SBL yg duduk di sebelah kananku tadi, dan sama pula, amplopnya pun tidak jadi diberikan padanya. Kenapa gerangan? Apakah penumpang yg mengenakan pakaian yg merujuk bahwa dirinya seorang 'bismania' telah terbebas dari peminta minta? Amplop penumpang di sebelah kiriku yg dibiarkan kosong akhirnya ku isi dengan recehan yg telah ku persiapkan setiap akan melakukan trip. Semoga niat berbagi'ku itu menutup kemungkinan anak itu, bahwa seorang penggemar bis bebas dari tuntutan untuk berbagi pada sesama.
Bersamaan dengan datangnya 'The Fly', bis pun mulai beranjak kembali.
"Ndang le, dipoto iki Kera Sakti iki...", seru Mbah Wok pada anak anak yg mengarahkan kamera kepadanya ketika bis mulai keluar dari pintu terminal. Sontak menjadikan ajang yg mengundang tawa penumpang akan bercandaan Mbak Wok yg mengecap dirinya sebagai 'Kera Sakti' lantaran brewok'nya. "Bocah bocah ngoten niku nggih mbendinten wonten to Pak?", tanya seorang penumpang wanita yg duduk di depanku. "Nggih mbendinten, lha niku wau saking Doyong dugi mriki wonten pinggir dalan rak kathah, dereng melih mengke wonten Pinang Ranti... Nggih pripun namine tiyang seneng. Wong riyen niku malah wonten sing nyidam bis parkir, dadi pas meteng ngoten nyidam'e ndelok Haryanto parkir teng terminal, jane yen sampun ngertos bis'e ngoten nggih sampun...". Wah, ada ada saja cerita Mbah Wok ini, saking cintanya sama bis kah sehingga janin dalam kandungan pun terpancing untuk setiap hari melihatnya, hehe untung cuma nyidam melihat saja, lha kalau nyidam minta bis'nya, repot donk...
Perjalanan di tol JORR bagian TB.Simatupang cukup lancar, kembali macet di perempatan Garuda saat akan menuju terminal Pinangranti. Maju Lancar seri C dan W, serta Ramayana F3 menjadi papasannya tatkala bergelut dengan kemacetan di samping Tamini Square itu. Putar kepala di terminal, perjalanan berlanjut hingga akhirnya masuk di GT Bambu Apus.
Efek dari kurang tidur di malam harinya, lanjutan cerita pun tak ku sadari lagi hingga pabrik YKK menyadarkanku bahwa bis telah sampai di Cibitung. Belum lama mata ku buka, saat itu juga TZ 32 dengan bringasnya mencuri jalan dari kiri, aku hanya bisa melihat kedipan sein'nya saja tanpa ada usaha dari Mbah Wok untuk mengejarnya.
Bis kembali di arahkan ke jalur pintu keluar tol Cikarang Barat setelah sebelumnya cukup lincah dalam mengasapi duo RosIn 386 dan 402.
Ekspedisi berlanjut setelah penumpang full dari agen terakhir itu. Mas Aris selaku kenek terdengar melakukan kontak dengan rekan yg telah berada di posisi lebih awal, tersirat kabar bahwa Dawuhan macet, sehingga Mbah Wok memilih untuk exit di GT Cikampek, di situ pula Ombak Biru dengan line W3 mesti tunduk panda 'Ningrat'.
Selepasnya hanya truk dan mobil kecil saja yg menjadi objek pandangan senja itu, speed pun serasa telah loyo, hanya anteng di angka 80 km/jam bahkan terkadang naik turun 20 kpj lebih rendah.
Mbah Wok memerintah sang kenek untuk membangunkan sopir tengah yg sedang mimpi indah di atas mesin karena hampir tiba di rumah makan.
Tak jauh lagi pun, manuver kiri terjadi pertanda bis telah masuk di pelataran rumah makan Po Haryanto. Kedatangan bis'ku melengkapi jejeran HR 10, 71, 98, 55, dan 99 yg telah datang lebih awal.


Ku tujukan langkah ini mengarah toilet untuk melegakan apa yg sebenarnya telah ku rasa sejak tadi, namun karena jarak yg memisahkan seat Alldila'ku dengan keberadaan toilet cukup jauh, akupun enggan untuk mencapainya.
Memang hanya Haryanto yg mampir di persinggahan ini, namun untuk bisa mulai mengambil menu prasmanan antriannya demikian panjang, hmmm bis'nya yg terlalu banyak ataukah tempatnya yg terlalu kecil? Tidak seperti di rumah makan lain yg monoton, di sini justru tersedia tiga jenis pilihan menu, Soto, Nasi Goreng, dan Nasi putih layaknya prasmanan umumnya. Pilihan lauk tersedia ayam goreng dan telor mata sapi beserta menu pelengkap sayur asem dan sayur bening, semua tanpa dimata-mata'i, artinya tanpa pengawasan sehingga lepas dari sepengetahuan pelayan jikalau kita hendak mengambil lauk double, hihi... Soal rasa, ku nilai ini lebih bersahabat di lidah jika dibandingkan dua rumah makan langganan Haryanto sebelumnya, Taman Sari dan Markoni.
HR 79, 78, 67, dan 82 telah menyusul di halaman parkir ketika ku beranjak keluar dari ruang service dinner.
Ishoma terlaksana, Pak Gunarto kini berperan menjadi pimpinan kabin Royal Coach SE itu. Speed yg belum tercapai penuh lantaran masih dalam tahap angkatan, memberi jalan bagi Nusantara untuk melewatinya. Injakan kaki sang sopir tengah ini tak lain dengan pendahulunya, terasa greget. Bahkan beberapa kali berusaha untuk mengambil alih posisi 'Premier Class' namun harus gagal karena lajur kiri tidak dalam status prei. Hingga akhirnya bis berlivery Purple Ribown itupun dengan mudah terlalui ketika dia sowan ke Taman Sari sebagai padepokan Ishoma'nya.
RosIn PB108 menjadi yg ke-dua kalinya setelah Zentrum dalam pamer kebolehannya. Entah mengapa setiap kali ikut Muria'an selalu mendapati RosIn sebagai salah satu musuhnya.
Berlanjut hanya bisa menggiring RosIn 430 saja yg akhirnya terpatahkan juga seraya melenggang atas ketidak-cekatan LP 30, TDI AD1707BG, RosIn 402, LP 54, serta sahabat tunggal guru 'Insaf Pantura'.
Menjajaki tol Palikanci dibawah derasnya guyuran air hujan, dua unit sesama Safari namun beda alias OBL dan Royal Safari, Madu Kismo, Gunung Harta, RosIn 180, RosIn 400, Ramayana, serta SinJay 5DX menjadi obyek bulan bulanan Pak Gunarto yg memilih untuk berjalan tak melebihi angka 100 km/jam lantaran hujan lebat dan medan yg bergelombang.
Rintik air dari langit di kaca depan yg tak mampu dicapai oleh ujung wiper, menghalangi dimana titik yg ku tembus untuk mengarahkan pandangan ke depan. Aku berusaha memosisikan tubuhku sedemikian rupa agar pas dipangkuan seat Alldila dengan leg rest itu, dan berusaha menghipnotis kesadaranku sendiri.
Sekelebat mata ini melihat jarak truk lawan arah di sebelah kiri begitu dekat, ku identifikasikan saat itu bis telah berada di jalur lawan, jarak antara bis dengan truk tentu tak semepet itu andaikan masih berada di jalur yg benar. Ku tegakkan posisi duduk untuk mencari kebenarannya, saat indera ini ku tujukan ke depan menembus kaca Laminated, benar saja saat itu juga bis'ku seperti hendak adu tanduk dengan sebuah truk. Sayangnya di jalur yg seaslinya, keadaan ternyata justru lancar, alhasil keputusan Pak Gunarto memilih goyang kanan ini justru salah. "Wah, kleru iki mau, ngeblong nganan kiri malah lancar", sesalnya ketika laju bis harus berhenti sempurna karena keramaian arus dari lawan arah, justru kehadiran bis'ku ini malah membuat jalur musuh macet total. "Kuwi dhuwur ora Mas, tak lumpatne kono wae, mesakno sing seko kono malah genti macet", tanyanya pada seorang yg tengah menjalani kegiatan makhruh di kursi CB menuju pada sebuah separator di samping kanan. Akhirnya melintasi ketinggian separator pun nekad dilakoni, keadaannya yg basah membuat licin gesekan roda saat hendak menaikinya, sempat beberapa kali terasa meleset antara roda dan beton itu. Aku merasa bangga dengan perbuatan melanggar lalu lintas oleh Pak Gunarto itu, inilah tipikal PO Pak Haji yg selama ini dikenal, walaupun jarak rampasannya tidaklah panjang namun cukup untuk sekedar mendapati sesuatu yg kental kaitannya dengan PO Haryanto.
"Dugi Brebes Mas", jawabnya tatkala menyikapi deringan handphone'nya. "Lancar kok Mas, wau nate goyang nganan tak kiro macet, jebule malah kiri lancar, nggih nekad mlumpat mesak'ne sing saking mriko malah ganti macet. Mpun mengke sampeyan njikuk kiri terus mawon. Kulo tak rodo ngendho ben ketututan sampeyan", lanjutan percakapannya dengan orang di telepon yg kemungkinan besar adalah Mas Yoyok. Dalam dunia bis, siapa seh orang yg berhak mendapat panggilan Mas dan dibasa'ni krama alus oleh para rekannya? Kalau mengacu pada umur yg lebih tua, kenapa Mbah Wok justru mendapat perlakuan yg biasa saja oleh Pak Gunarto dan Mas Aris.
Seketika itu kepulasan'ku mampu melewatkan kota Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. Melihat medan yg menikung dan naik turun, aku yakin bahwa kemacetan ini berada di kawasan Subah. Pak Gunarto pun kembali melakukan kontak dengan punggawa 'La Samba' merekomendasikan untuk goyang kanan di kemacetan itu.
Menyusul 'The Fly' yg telah terdiam di halaman rumah makan Menara Kudus. Tiada stand kopi yg berada di teras, aku pun enggan untuk masuk ke dalam ruangan, sehingga lebih memilih untuk nongkrong tanpa kehadiran sebuah kopi seperti biasanya di Raos Eco. Sedangkan HR 10 dan HR 100 telihat justru bablas, jadi intinya mungkin hanya pasukan Solo saja yg mampir ke rumah makan kedua. Kembali take off meninggalkan HR 78 yg datang silih berganti dengan HR 54 tadi.
Bis masuk terminal Mangkang dan Pak Gunarto yg telah usai mengemban tugas turun di situ. Berjalan beberapa kilometer bis kembali berhenti menambah literan solar di Krapyak, HR 96 dan HR 106 sebagai sesama squat Solo pun menyusul.
Tol Jatingaleh menjadi tolak awal untuk'ku meneruskan pejaman mata ini hingga terbuka kembali saat berada di area terminal Boyolali.
HR 78 dan HR 106 mendahului saat bis berhenti menurunkan penumpang tak jauh dari terminal. Hingga akhirnya kembali bertemu bersamanya beserta HR 54, dan HR 96 di terminal Kartasura untuk saling transit penumpang. Mas Yoyok menjadi salah satu diantara para penumpang dari bis lain yg naik ke HR 107 itu. 30 menit bukan waktu yg sebentar dalam melakoni oper penumpang, menyalanya lampu utama kabin, aba aba dari kenek, ditambah suasana gaduh naik turunnya penumpang harusnya menggugah kesadaran semua penumpang, namun masih saja ada yg baru beranjak ke depan dan bertanya pada kru "Klaten oper wonten pundi Pak?" ketika bis hampir memasuki terminal Tirtonadi.
04.31 saatnya aku meninggalkan singgasana 2A untuk selanjutnya menuju kios dalam terminal mengurai kebekuan pagi dengan segelas kopi hingga akhirnya ku lanjutkan perjalanan menuju ujung tujuanku bersama Gunung Mulia 27.

Menyikapi pengalaman pertama dengan PO Haryanto, ku rasa hanya biasa saja, meski jarum speedometer acap kali menyentuh angka 120 km/ jam dan entah berapa puluh rival yg bisa digagahi, serta pernah menunjukkan skill goyang kanan, namun masih belum mampu meningkatkan detak jantungku manakala aku bersama B8 dulu, padahal PO ini di'cap sebagai bis yg rekomended dalam hal banter.
Kenapa gerangan?
Mengacu Nickname 'Ningrat' di HR 107 yg berarti 'Bangsawan / Orang yg dimuliakan', atau bisa juga berdefinisi sebagai 'Raja yg mengayomi rakyatnya' seolah mengilhami penyebab dari apa yg ku rasa.
Masih teringat tatkala berada di tol Kanci, Pak Gunarto bersua pada seorang bapak yg sedang duduk di kursi CB, bahwanya di kilometer 240-245 medan tak menentu, artinya tak mulus rata alias banyak yg bergelombang, sehingga jikalau speed melebihi level 100 km/jam maka reaksi antara roda dan medannya akan terasa begitu keras oleh penumpang.
Serta pengakuan Pak Gunarto bahwa melayani kemauan orang banyak itu susah susah gampang, jika beliau terlalu ngebut takut ada penumpang yg complain, namun jika pelan beliau takut kesiangan sampai di tujuan, sehingga beliau memilih untuk konstan di kecepatan 100-120 km/jam yg baginya adalah standar.
Tentu apa yg dilakukan Pak Gunarto tak lain memberi kenyamanan pada penumpangnya, rela berpaling dari tipikal PO yg selama ini dikenal khalayak, ya 'Sopir yg peduli pada penumpang yg dibawanya' bak 'Raja yg peduli pada rakyat pimpinannya'.
Alhasil, biarpun aku begitu menantikan ke'khas'an dari PO Haryanto, namun berhubung tujuan drivernya adalah untuk lebih memberikan comfort pada penumpang, maka aku bisa memakluminya, bisa mengerti pada sosok sebuah 'Ningrat'.
(Hihi, just kidding... Penafsiran belaka, sekedar basa basi seraya menepis kebingungan memberi judul apa...)

11 December 2013

Ada Apa Dengan Hino?

Beda halnya dengan kendaraan lain, yg mesin berikut series'nya mudah dideteksi lewat penampilan luarnya. Di jagad bis, body luar bukanlah suatu acuan sebagai penentu chasis/mesin yg menompangnya, misalnya saja, tidak semua bis berbody Legacy SR-1 itu bermesin Mercy.
Sehingga butuh sedikit ketelitian dalam menelisik ke beberapa sudut untuk mengetahui varian mesin yg dipakai oleh sebuah bis.
Pasti pernah melihat trendster stiker berupa tulisan besar sebagai tag yg menegaskan identifikasi mesin di sebuah bis. Dulu, hanya bis yg bertenaga Scania dan Volvo saja yg berani menjabarkan brand menghiasi kaca body'nya. Tak bisa dipungkiri bahwasanya hingga kini pun, made in Eropa masih menjadi raja di dunia perbisan Indonesia, apalagi dua platform asal Swedia di atas, dimana merekalah yg memelopori pengaplikasian sistem suspensi udara yg membidani kenyamanan pada penumpangnya. Maka tidak berlebih jikalau si empunya memamerkan apa yg dipunyai oleh armada kepunyaannya seraya memagnet calon penumpang terhadap sisi unggul kendaraannya.
Beberapa waktu kemudian, seiring Mercedes -Benz mengikuti jejak 'mentul mentul' dua kompetitornya yaitu diawali dengan lahirnya OH 1626 hingga yg terkini O500R 1836, kaca pada bis pun mulai bertemakan trademark Mercy series, seolah mengimbangi yg sudah ada sebelumnya, mengisyaratkan bahwa bukan Scania/Volvo saja yg patut untuk dibeberkan brand'nya.
Lalu bagaimanakah nasib Hino?
Merk dari negeri sakura ini bukanlah merk bawahan yg pantas diremehkan, bahkan mungkin Hino lah yg menjadi penguasa pangsa pasar industri chasis bis di Indonesia ini. Selain harga yg relatif di bawah merk lain, perawatan yg mudah dan suku cadang yg lebih ekonomis membuat banyak pengusaha otobus lebih memilihnya untuk dijadikan nyawa perusahaan.
Namun biar demikian, mereka seolah enggan untuk mengidentifikasikan mesin dari armadanya itu lewat balutan stiker layaknya yg tengah marak pada bis dengan chasis pabrikan Eropa. Bahkan logo khas yg biasanya nempel di muka dan buritan pun jarang di pasang. Logikanya ini mungkin agar calon penumpang tidak mengenali bahwa bis itu bermesin Hino, walaupun sebenarnya untuk membedakan chasis Hino dengan yg lain itu sangatlah mudah, yaitu dengan melihat jumlah baut di velg rodanya yg hanya  8 buah. 
Hino sering kali diidentikkan dengan kendaraan besar semacam truk, sedang Mercy tipikalnya adalah kendaraan kecil seperti mobil sedan yg mewah. Inilah yg menimbulkan gagasan bahwa bis berchasis Hino fungsional kenyamanannya tak mampu seimbang dengan Mercy atau yg lain, sehingga para onwer seperti 'malu malu kucing' untuk menegaskan bahwa armada miliknya bermesin Hino, sebisa mungkin menghindar dari sepengetahuan calon penumpangnya daripada dikata "enak di elo gak enak di gue" hihihi...
Seiring perkembangan teknologi, dimana yg lain telah mempertimbangkan aspek dari kenyamanan penumpang lewat benaman balon udara, Hino pun tak lagi diam. RN 285 adalah varian terbaru dari Hino untuk mengejar ketertinggalannya akan aplikasi Air Suspension dari para kompetitornya.
Varian anyar yg dulu pernah digadang oleh salah satu PO Muriaan untuk trademark Hino RK8'nya itu kini telah benar benar membumi di Indonesia.
Dan inilah bukti bahwa brandname darinya kini pun mampu eksis layaknya yg lain...